RRI Surakarta
Radio Republik Indonesia Surakarta (RRI Surakarta (bahasa Jawa: ꦫꦣꦶꦪꦺꦴꦫꦺꦥꦸꦧ꧀ꦭꦶꦏ꧀ꦆꦤ꧀ꦝꦺꦴꦤꦺꦱꦶꦪꦱꦸꦫꦏꦂꦠ, translit. Radio Républik Indonésia Surakarta), juga dikenal sebagai RRI Solo) adalah stasiun penyiaran radio milik LPP Radio Republik Indonesia di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Berdiri pada tanggal 1 April 1933 sebagai Solosche Radio Vereeniging (SRV), stasiun ini mengoperasikan empat programa radio berfrekuensi FM. RRI Surakarta berlokasi di Jalan Abdulrahman Saleh Nomor 51, Desa Kestalan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta.[1] RRI Surakarta adalah satu dari tiga stasiun RRI yang menjangkau Provinsi Jawa Tengah, bersama-sama dengan RRI Semarang dan RRI Purwokerto, dan ketiganya juga tergabung dalam Koordinator Wilayah (Korwil) Nusantara XI bersama dengan RRI Yogyakarta.[2] SejarahMasa pra-kemerdekaanCikal bakal adanya RRI Surakarta tidak bisa dilepaskan dari berdirinya radio pribumi pertama di Indonesia Solosche Radio Vereeniging (SRV) (Perhimpunan Radio Solo), yang mulai mengudara pada 1 April 1933 oleh KGPAA Mangkunegara VII bersama RM Sarsito Mangunkusumo, dan tanggal berdirinya RRI Surakarta (atau SRV saat itu) ditetapkan sebagai Hari Penyiaran Nasional sejak tahun 2019 melalui Keppres Nomor 9 tahun 2019.[3] Radio tersebut merupakan penerus dari PK2MN (Pemancar Kring Ketimuran Mangkunegaran) yang masih terbatas pada menyiarkan gendhing-gendhing Jawa (klenengan) dari Javansche Kuntskring Mardiraras dan menyiaran wayang orang (wayang wong) dari Kagungan Dalem Balekambang.[4] Setahun kemudian, pada 1 Februari 1934, SRV menyiarkan orkes keroncong yang merupakan sumbangan dari Perhimpunan Musik Keroncong Montecarlo. Kemudian pada 18 Juli tahun yang sama, SRV menyelenggarakan siaran langsung Garebeg Sekaten dengan mengumandangkan kagungan dalem gamelan “Kyai dan Nyai Sekati” dari alun-alun utara Keraton Surakarta.[4] Dalam perkembangannya, berkat suksesnya radio ini "menguasai angkasa" Kota Solo, SRV kemudian memperluas jangkauan siarannya hingga ke beberapa kota di Hindia Belanda, seperti di Batavia (kini Jakarta), Bandoeng, Soerabaja, Semarang, Madiun, Purwokerto, dan Bogor, dimana kesemua cabang SRV berubah menjadi stasiun radio yang bersiaran secara mandiri.[5] Di sisi lain, pada 18 Oktober 1934, berdirilah Siaran Radio Indonesia (SRI) oleh Kasunanan Surakarta yang merupakan radio pertama yang menggunakan kata "Indonesia" namun mendapat subsidi langsung dari NIROM dan tidak tergabung dalam Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK) yang diketuai Sutardjo Kertohadikusumo. Pada tanggal 15 Januari 1935 SRV mengadakan kongres di Solo, yang dimana salah satu keputusan penting dari kongres ini adalah pentingnya gedung studio sendiri untuk keperluan penyelenggaraan siaran. Karena anggaran untuk pembangunan gedung studio ini tidak mencukupi, SRV kemudian meminta bantuan kepada Mangkunegara VII yang kemudian menghibahkan tanah seluas 5.000 meter persegi untuk pembangunan gedung yang berlokasi di kampung Kestalan atau sebelah selatan Stasiun Solo Balapan.[5] Pada tanggal 15 September di tahun yang sama dilakukan peletakkan batu pertama oleh putri Mangkunegara VII Gusti BRA Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Kusumawardhani sebagai tanda dimulainya pembangunan Gedung SRV, yang dibantu oleh arsitek Ir. FCL Van Olden. Setelah pembangunan gedung lebih dari setahun, Gedung SRV diresmikan oleh BRAj Siti Koesoemawardhani dan sejak itulah, siaran SRV mulai berkembang dengan pesat dan berdampak positif terhadap perkembangan seni budaya yang hidup di tengah masyarakat.[6] Setelah melihat perkembangan siaran ketimuran yang disajikan oleh perkumpulan radio siaran pribumi mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat, NIROM pun menjadi tergoda untuk menggarap siaran ketimuran. Maka pada tahun 1936 NIROM membuka saluran II khusus untuk programa ketimuran yang diproduksi sendiri maupun mengambil dari radio-radio pribumi. Program yang berasal dari radio pribumi yang direlay oleh NIROM adalah program yang berasal dari SRV, VORO, VORL, dan MAVRO dengan membeli hak siar. Oleh karena itu semakin banyak jam relay, semakin tinggi pula hak siar yang harus dibayarkan oleh pihak NIROM kepada radio-radio yang di-relay siarannya. Hal itu akhirnya membuat NIROM tergoda untuk memonopoli siaran. Maka langkah berikutnya yang dilakukan oleh NIROM adalah hendak menguasai seluruh siaran ketimuran mulai tahun 1937, yang membuat banyak radio ketimuran khawatir pemasukan mereka dari iuran anggota berkurang.[4] Di sisi lain, langkah NIROM itu dianggap mengingkari perjanjian yang dibuat sebelumnya bahwa pembayaran hak siar akan ditingkatkan jika jumlah pendengar meningkat, karena selama ini pajak radio (luisbijdrage) hanya dinikmati oleh NIROM sementara peningkatan jumlah pendengar itu sendiri justru lebih banyak didorong oleh siaran dari radio-radio ketimuran.[7] Sebagai dampak dari rencana NIROM itu, pada tanggal 28 Maret 1937, sebagai hasil dari pertemuan yang diprakarsai oleh Sutarjo Kertohadikusumo dan Sarsito Mangunkusumo di Bandung, SRV bersama berbagai radio milik pribumi lainnya bersepakat membentuk Persatoean Perikatan Radio Ketimoeran (PPRK) yang seyogyanya tidak dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda,[8] namun dianggap sebagai wadah perjuangan bagi radio-radio pribumi untuk menghadapi tekanan NIROM.[4] Setelah berdiri lebih dari tiga tahun, maka pada 1 November 1940 NIROM menyerahkan program siaran ketimuran kepada PPRK dan mulai menyiarkan program siaran PPRK dari NIROM. Akan tetapi, jatuhnya Hindia Belanda ke tangan Kekaisaran Jepang pada tahun 1942 membuat NIROM dan PPRK dibubarkan dan diterapkan siaran secara terpusat melalui Hoso Kyoku. Di Solo, SRV berganti nama menjadi Solo Hoso Kyoku.[9] Masa awal kemerdekaan![]() Ketika Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berkumandang pada 17 Agustus 1945, maka para pemimpin radio Hoso Kyoku berusaha keras menghimpun tenaga-tenaga untuk melancarkan jalannya revolusi. Antara Studio Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta sejak tahun 1944 melakukan pertemuan rutin tiap bulan untuk membahas acara-acara siaran. Dengan pertemuan ini, terdapat rasa saling sepenanggungan antara Studio Tri-tunggal untuk melangkah lebih maju lagi. Adanya proklamasi kemerdekaan Indonesia membuat Pemerintah Pendudukan Jepang menyegel semua radio Hoso Kyoku dan mengambil alat-alat yang penting termasuk pemancar agar tidak mengudara karena dapat digunakan oleh para pejuang Indonesia untuk menyiarkan hal yang merugikan Jepang.[10] Sejalan dengan Revolusi Nasional Indonesia, maka dicari jalan untuk merebut serta menguasai radio yang sudah ada. Pada tanggal 11 September 1945 diadakan rapat diantara para perwakilan dari pegawai bekas Hoso Kyoku yang tersebar di delapan kota, yaitu Djakarta, Bandoeng, Poerwokerto, Yogyakarta, Semarang, Solo, Surabaya, dan Malang. Rapat tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa Radio Hoso Kyoku berganti nama menjadi Radio Republik Indonesia (RRI). Berkat ikrar dan keputusan hasil rapat tersebut maka para wakil dari bekas radio Hoso Kyoku meneruskan perjuangan di daerahnya masing-masing atas perintah dari pimpinan RRI yang pertama yaitu Dr. Abdulrachman Saleh.[10] Penyerahan pemancar radio di Solo dari Jepang ke Indonesia agak mengalami kesulitan. Pada mulanya, alat dan pemancar tidak berani diserahkan oleh Jepang karena mereka akan mendapat hukuman dari pihak sekutu jika Jepang melakukannya demikian.[10] Tetapi pada akhirnya tanggal 1 Oktober 1945, Jepang menyerahkan secara resmi semua peralatan dan pemancar Radio Surakarta kepada Maladi dalam suatu upacara penyerahan kekuasaan. Dengan diserahkan alat pemancar radio dari Jepang ke Indonesia, maka pada tanggal 4 Oktober 1945, RRI Surakarta sudah mulai bersiaran secara rutin.[11] Pada bulan Januari 1946 RRI Surakarta mulai menyelenggarakan siaran dalam bahasa Inggris di Surakarta dengan gelombang 60 meter yang pada saat itu berlokasi di Tawangwangu dengan jumlah karyawan mencapai 25 orang dan dipimpin oleh Surjodipuro.[10] Tahun 1948 menjadi tahun yang sangat menantang bagi RRI Surakarta, karena pada 21 Desember 1948, dua hari pasca pecahnya Agresi Militer II, tentara Belanda yang tergabung dalam KNIL memasuki kota Solo dan berusaha menduduki fasilitas penting seperti pemancar radio.[12] Belanda pun pada 19 Desember 1948 juga menghancurkan pemancar RRI di PTP Goni (kemudian Pabrik Karung Goni) di Delanggu, Kabupaten Klaten.[13] Dikarenakan peristiwa ini, kepala studio RRI Surakarta Maladi memerintahkan alat pemancar radio dan pegawai untuk diungsikan ke luar Solo.[13] Para rombongan yang terdiri dari 10 pejuang penyiaran pun secara diam-diam membawa pemancar tersebut dari Gedung Societeit Sasana Soeka (kini Monumen Pers Nasional) dengan mobil merek deSoto dengan selamat, meskipun tentara Belanda menyerang dan menghancurkan mobil tersebut. Para rombongan kemudian tiba di Desa Balong pada 7 Januari 1949 dan menyembunyikan peralatan siaran radio di kandang kambing.[13] Dari sinilah mengudara stasiun RRI darurat yang diberi nama Radio Kambing selama setahun hingga tahun 1950.[14] StasiunSemenjak ditetapkan menjadi stasiun penyiaran tipe B pada tanggal 31 Agustus 2022, RRI Surakarta saat ini menjalankan empat programa radio, salah satu di antaranya merelai RRI Programa 3 dari kantor pusat RRI di Jakarta. Empat programa radio tersebut secara keseluruhan disiarkan di gelombang FM. Stasiun-stasiun radio tersebut antara lain: Gelombang FM
Jangkauan siaran RRI Surakarta meliputi 7 daerah di wilayah Solo Raya yaitu Kota Solo beserta 6 kabupaten penyangganya seperti Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten.[15] Sebelum tahun 2022, RRI Programa 1 Surakarta tercatat pernah bersiaran di frekuensi AM, yaitu di frekuensi AM 972 KHz.[16] MuseumDisamping memiliki kantor dan studio resmi, di Jalan Abdulrahman Saleh Nomor 51 juga terdapat Museum Penyiaran yang secara resmi dikenal dengan nama Museum RRI Surakarta, yang terletak di lantai dua Auditorium RRI dengan panjang ruangan mencapai 14 meter dan lebar 4,8 meter.[17] Museum ini diresmikan pada Hari Radio dan HUT RRI ke-68 pada 11 September 2013 oleh Kepala Stasiun RRI Surakarta Santoso untuk menghormati pendiri SRV (radio yang menjadi cikal bakal RRI Surakarta) Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VII. Di dalam museum ini terdapat berbagai koleksi sejarah seperti radio receiver merek Philips tahun 1948, alat perekam yang menggunakan pita reel buatan Belanda pada 1948, pemutar piringan hitam buatan Britania Raya pada 1948, alat ukur peralatan studio siaran buatan Jerman pada 1976, dan alat mengukur distorsi peralatan studio siaran buatan Britania Raya pada 1976.[18] Galeri logo
Logo lama programa
Lihat pula
Referensi
Pranala luar
|