RRI Bukittinggi
Radio Republik Indonesia Bukittinggi (RRI Bukittinggi) adalah stasiun penyiaran radio milik LPP Radio Republik Indonesia di Bukittinggi, Sumatera Barat. Stasiun ini mengoperasikan tiga programa lokal berfrekuensi FM serta satu programa nasional yang dipancarluaskan dari Jakarta. Mulai mengudara pada tanggal 14 Januari 1946,[1] RRI Bukittinggi berlokasi di Jalan Prof. Muhammad Yamin SH Nomor 199, Aur Kuning, Kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh, Bukittinggi, Sumatera Barat.[2] Bersama dengan RRI Padang, RRI Bukittinggi adalah satu dari dua stasiun RRI yang menjangkau wilayah Sumatera Barat.[3] SejarahEra pra-kemerdekaanSebelum pecahnya Perang Dunia II, di pulau Sumatera hanya terdapat sebuah pemancar radio yaitu pemancar radio milik Belanda di Medan. Setelah Perang Dunia II meletus dan tentara Kekaisaran Jepang menduduki wilayah Hindia-Belanda (kini Indonesia) pada Maret 1942, maka beberapa bulan kemudian tentara Jepang mendirikan beberapa studio dan pemancar radio di beberapa kota di wilayah Sumatera, yaitu Bukittinggi, Kotaraja (kini Banda Aceh), dan Palembang.[1] Ketika situasi pertempuran yang dihadapi Jepang bertambah hebat dengan terjadinya peperangan di darat, laut, dan udara Jepang menambah pemancar-pemancar radio baru ditempat yang dianggap strategis dalam melancarkan propagandanya, yaitu di Jambi, Teluk Betung (kini bagian dari Bandar Lampung), Tarutung, dan Pekanbaru. Sedangkan Bukittinggi dijadikan studio pusat untuk wilayah Sumatera yang dalam bahasa Jepang disebut Sumataro Tyuo Hoso Kyoku dan siarannya sendiri tunduk pada kantor propaganda (Sendenbu) serta teknik siarannya dipakai dalam Bahasa Jepang dan Bahasa Indonesia. Pada bulan September 1944 pemancar pusat Bukittinggi yang baru berkekuatan 1,5 kilowatt diresmikan.[1] Era awal kemerdekaan (1945–1950)![]() Setelah Jepang kalah pada Perang Dunia II, sejumlah pemuda yang bekerja di Bukittinggi Tyuo Hoso Kyoku dan Sumataro Tyuo Hoso Kyoku, seperti Adnan Burhani, Mangkuto Ameh Koesuma, Sjahbuddin, dan Arsul Basjari Latif menyusun rencana untuk merebut pemancar dan peralatan siaran di Parik Natuang, akan tetapi gagal dilakukan mengingat ketatnya penjagaan oleh tentara Jepang yang bersenjata lengkap. Kemudian Adinegoro dan Djuhir Muhammad berunding dengan tentara sekutu yang menerima pemancar radio tersebut hingga disepakati penyerahan pemancar radio dari tentara sekutu kepada pihak Pemerintah Republik Indonesia di Bukittinggi.[1] Setelah penyerahan pemancar itu, pada 14 Januari 1946, RRI Bukittinggi resmi mengudara dengan kalimat:
Kalimat tersebut menandakan kembalinya pemancar radio tersebut berfungsi di Bukittinggi setelah disegel oleh pihak Jepang pada akhir Perang Dunia II.[4] Pidato pembukaan dan sambutan diucapkan oleh Adinegoro wakil Pemerintah RI di Sumatera, Aziz perwakilan dari PTT, dan beberapa pemimpin lainnya. Sedangkan doa penutup diucapkan oleh Muhammad Djamil Djambek. Sejak saat itulah radio kembali mengudara pada gelombang 40,2 dan 210 meter dengan kekuatan 1,5 dan 0,3 kilowatt. Setelah setahun berlokasi di bekas gedung Bukittinggi Tyuo Hoso Kyoku, kemudian pada 14 Januari 1947 RRI Bukittinggi dibawah pimpinan Muchtar Djafar memindahkan pusat siarannya ke Jalan Dr. Abdul Rivai yang dahulunya merupakan hotel milik Pemerintah Hindia-Belanda bernama Wilhemina.[5] Kemudian pada 1 September 1947 dibentuklah badan koordinasi penyiaran yang bernama Koordinasi Penerangan Sumatera (Kopensum) dibawah Parada Harahap, sedangkan RRI Bukittinggi dijadikan pusat jawatan RRI untuk wilayah Sumatera dengan Kamarsyah sebagai pimpinan jawatan.[4] Pada tahun 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II, yang membuat ibukota RI di Yogyakarta berhasil direbut oleh Belanda. Akan tetapi NKRI tetap hidup sebagai bagian dari Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang didirikan di Bukittinggi oleh Sjafruddin Prawiranegara. Berkat peran besar dari dua stasiun radio perhubngan milik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AURI, kini TNI) yang kemudian menjadi cikal bakal RRI Bukittinggi, dunia tahu bahwa Indonesia masih ada. Meskipun demikian, stasiun radio tersebut terpaksa pindah tugas ke Parit Natuang dekat Bukit Balairung Sari Pulai Anak Air. Pada 23 Desember 1948 stasiun radio PDRI di Halaban untuk pertama kali dapat berhubungan dengan stasiun radio AURI yang lain, baik yang berada di Jawa maupun di Sumatera. Stasiun tersebut berhasil mengumumkan keberadan PDRI ke seluruh stasiun radio yang dapat mereka hubungi tanggal 17 Januari 1949, termasuk diantara radio PTT India di New Delhi.[4] Setelah berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949, semua stasiun RRI di daerah diserahkan kepada Departemen Perhubungan RIS, yang kemudian berganti nama menjadi Radio Republik Indonesia Serikat (RRIS).[6] Akan tetapi penyerahan tersebut baru dilakukan stasiun RRI di Bukittinggi pada tanggal 1 Mei 1950, tiga bulan sebelum RIS dibubarkan dan kembali menjadi Republik Indonesia dalam bentuk NKRI.[4] Era masa kiniPada 7 September 2013, empat hari sebelum peringatan Hari Radio ke-68, Direktur Utama RRI Rosarita Niken Widiastuti mengunjungi Bukittinggi dan meresmikan RRI Bukittinggi sebagai "Radio Bela Negara" berkat jasanya dalam memperjuangkan kedaulatan dan mempertahankan NKRI di masa Agresi Militer II. Pengukuhan ini juga dihadiri langsung oleh Wali Kota Bukittinggi Ismet Amzis dan Bupati Lima Puluh Kota Alis Marajo.[7] Pada 24 September 2019, Direktur SDM dan Umum LPP RRI Nurhanuddin meresmikan penamaan Auditorium dan Gedung Multipurpose RRI Bukittinggi, yang namanya diambil dari Loetan Soetan Toenaro sebagai nama untuk auditorium, dan Djamaluddin Adinegoro sebagai nama untuk gedung multipurpose. Kedua nama ini memiliki jasa besar dalam sejarah RRI, terutama Soetan Toenaro yang pernah menjabat sebagai Kepala Studio RRI Bukittinggi.[8] Pada 11 September 2023, bertepatan dengan peringatan Hari Radio ke-78 dan peluncuran logo baru RRI, RRI Bukittinggi resmi meluncurkan Programa 4 di frekuensi FM 88.9 MHz sebagai persiapan menyongsong perubahan status RRI Bukittinggi dari satuan kerja (Satker) Tipe C menjadi Satker Tipe B. Programa ini menyasar pendengar berusia 23 hingga 40 tahun dan fokus menyajikan kebudayaan masyarakat Sumatera Barat seperti halnya RRI Pro 4 Padang yang terlebih dahulu ada.[9] Peluncuran ini dihadiri langsung oleh Wali Kota Bukittinggi Erman Safar.[10] StasiunSebagai satuan kerja Tipe B, RRI Bukittinggi memiliki empat programa yang secara keseluruhan berfrekuensi FM, dimana salah satu di antaranya merelai RRI Programa 3 yang dipancarluaskan secara nasional dari Stasiun Pusat di Jakarta. Salah satu yang membedakan dengan Satker RRI Tipe C lainnya yang biasanya hanya menyediakan maksimal tiga programa, adalah RRI Bukittinggi (bersama dengan RRI Malang) adalah dua satker RRI yang menyediakan RRI Programa 4 khusus budaya. Kanal programa radio yang dimiliki oleh RRI Bukittinggi antara lain:
Jangkauan siaran RRI Bukittinggi meliputi delapan Kabupaten/Kota di Sumatera Barat yang menjangkau 35% wilayah kerja provinsi tersebut, meliputi Bukittinggi, Agam, Padang Panjang, Kabupaten Lima Puluh Kota, Payakumbuh, Pasaman, Tanah Datar, dan Pasaman Barat. Sebelum tahun 2023, baik Pro 1, Pro 2, maupun Pro 3 Bukittinggi mengudara di frekuensi FM 94.8, 97.2, dan 95.1 MHz, serta frekuensi AM 1512 KHz untuk Pro 1 Bukittinggi.[11] Museum![]() Disamping memiliki kantor resmi yang berlokasi di Jalan Prof. Muhammad Yamin SH Nomor 199, RRI Bukittinggi juga memiliki sebuah Museum yang terletak di bekas Kantor RRI Bukittinggi di Jalan Abdul Rivai Nomor 22, Kayu Kubu, Kecamatan Guguk Panjang, Kota Bukittinggi. Museum ini merekam jejak perkembangan RRI Bukittinggi sejak masa kemerdekaan.[12] Museum ini masuk dalam daftar Barang Milik Negara (BMN) di Kantor Pelayanan Kekayaan negara dan Lelang (KPKNL) Bukittinggi.[13] Galeri logo
Logo lama programa
Lihat juga
Referensi
Pranala luar |