Deklarasi itu segera diakui oleh berbagai negara,[1] dan pada akhir tahun tersebut negara ini diakui oleh lebih dari 80 negara.[2] Pada bulan Februari 1989, di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, perwakilan PLO mengeklaim pengakuan oleh 94 negara. Sebagai bagian dari upaya untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina sedang berlangsung, Kesepakatan Oslo ditandatangani antara Israel dan PLO pada bulan September 1993 membentuk Otoritas Nasional Palestina (PNA) sebagai sebuah pemerintahan sementara yang mandiri di wilayah Palestina. Israel tidak mengakui Palestina sebagai sebuah negara dan mempertahankan penguasaan militer de facto di seluruh wilayah.
Per tanggal 14 September 2015, 136 (70,5%) dari 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dua negara bukan anggota yang telah mengakui Negara Palestina. Banyak negara yang tidak mengakui Negara Palestina namun mengakui PLO sebagai "wakil dari bangsa Palestina". Pada tanggal 29 November 2012, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan sebuah mosi mengubah status "entitas" Palestina menjadi "negara pengamat bukan anggota" dengan hasil pemungutan suara 138 banding 9, dan 41 abstain.[3][4][5][6]
Israel dan sejumlah negara lain yang tidak mengakui Palestina, mengambil posisi bahwa pembentukan negara ini hanya dapat ditentukan melalui negosiasi langsung antara Israel dan PNA.
Latar belakang
Pada tanggal 22 November 1974, Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 3236 mengakui hak bangsa Palestina untuk menentukan nasib sendiri, kemerdekaan nasional, dan kedaulatan di wilayah Palestina. Resolusi ini juga mengakui PLO sebagai wakil sah satu-satunya rakyat Palestina, dan memberikan Palestina status pengamat di PBB. Penunjukan "Palestina" untuk PLO disetujui oleh PBB pada tahun 1988 dalam pengakuan terhadap deklarasi kemerdekaan Palestina, tetapi negara yang diproklamasikan tersebut masih belum memiliki status formal dalam sistem.
Tidak lama setelah deklarasi 1988, Negara Palestina diakui oleh banyak negara-negara berkembang di Afrika dan Asia, dan dari negara-negara komunis dan Non-Blok.[7][8]
Pada saat itu, bagaimanapun, Amerika Serikat menggunakan Undang-Undang Bantuan Luar Negeri dan tindakan-tindakan lain untuk mencegah negara-negara lain dan organisasi-organisasi internasional dari perluasan pengakuan.[9] Meskipun tindakan ini berhasil dalam banyak kasus,[10]Liga Arab dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) segera menerbitkan pernyataan pengakuan terhadap, dukungan untuk, dan solidaritas dengan Palestina, yang diterima sebagai negara anggota di kedua forum.[11][12][13]
Pada bulan Februari 1989 di Dewan Keamanan PBB, perwakilan PLO mengakui bahwa 94 negara telah mengakui negara Palestina baru.[14][15] Palestina kemudian berusaha untuk mendapatkan keanggotaan sebagai sebuah negara dalam beberapa badan yang terhubung ke PBB, tetapi upayanya digagalkan oleh ancaman AS untuk menahan dana dari setiap organisasi yang mengaku Palestina.[16] Misalnya, pada bulan April tahun yang sama, PLO mengajukan permohonan untuk keanggotaan sebagai sebuah negara di Organisasi Kesehatan Dunia, sebuah aplikasi yang gagal untuk memberikan hasil setelah Amerika Serikat memberitahu organisasi tersebut bahwa mereka akan menarik dana jika Palestina diterima.[17] Pada bulan Mei, sebuah kelompok dari negara-negara OKI mengajukan permohonan keanggotaan kepada UNESCO atas nama Palestina, dan terdaftar total 91 negara yang telah mengakui Negara Palestina.[2]
Posisi Israel
Antara Perang Enam Hari dan Perjanjian Oslo, tidak ada pemerintah Israel yang mengakui kedaulatan Palestina. Dibawah pemerintahan Benjamin Netanyahu pertama (1996-1999), Netanyahu mengecam Yitzhak Rabin dan Shimon Peres karena telah membawa realisasi "bahayanya" sebuah negara Palestina, dan menyatakan bahwa tujuan pemerintahannya adalah untuk tidak membiarkan Otoritas Palestina untuk berevolusi diatas otonomi.[18]
Pada Juni 2003, Ariel Sharon menjadi perdana menteri pertama yang menyatakan bahwa kemungkinan negara Palestina merdeka bisa terwujud dengan perbatasan sementara jika memenuhi syarat dan mengklaim bahwa negara sementara Palestina akan "sepenuhnya didemiliterisasi, dan negara ini akan menjadi rumah bagi diaspora Palestina dan pengungsi Palestina tidak akan diizinkan memasuki wilayah Israel."[19] Perdana Menteri Ehud Olmert juga kembali menegaskan syarat yang sama.
Ketika Benjamin Netanyahu kembali menjadi perdana menteri pada 2009, pemerintah Israel kembali menyatakan bahwa Palestina adalah ancaman nasional Israel.[20] Sikap Israel kemudian melembut setelah ada tekanan dari pemerintahan Barack Obama, dan untuk pertama kalinya pada 14 Juni 2009, Netanyahu menyatakan bahwa ia mendukung negara Palestina yang merdeka dengan wilayah yang lebih kecil daripada yang dijanjikan dan demiliterisasi.[21] Posisi ini menuai kritik karena kurangnya komitmen terkait wilayah yang akan diserahkan kepada negara Palestina di masa mendatang. Pada Februari 2023, Netanyahu mengatakan, "Saya tentu saja bersedia mereka memiliki semua wewenang yang mereka butuhkan untuk memerintah diri sendiri, tetapi tidak ada wewenang yang dapat mengancam kita, dan ini berarti Israel harus memiliki tanggung jawab keamanan yang lebih besar."[22] Namun pada 2025, sembari menghadapi perang Gaza dan serangkaian negara menyatakan akan mengakui kemerdekaan Palestina, Netanyahu memperlunak sikap dan berhasrat untuk menghancurkan impian negara Palestina yang merdeka.[23] Pada 21 September 2025, Netanyahu menegaskan bahwa ia tidak akan mengakui negara Palestina yang berada di sebelah barat Sungai Yordan.[24]
Israel secara konsisten menolak perbatasan yang disepakati pada 1967 dimana pakar militer Israel berpendapat bahwa perbatasan tersebut secara strategis akan memperlemah Israel.[25] Ia juga menentang rencana Palestina untuk mendatangi Majelis Umum PBB terkait masalah kenegaraan, karena menurutnya rencana tersebut tidak menghormati perjanjian Oslo Accords, yang mana kedua belah pihak sepakat untuk tidak melakukan tindakan sepihak.[26]
Daftar pengakuan
Pengakuan diplomatik
Hingga September 2025, 159 dari 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengakui Negara Palestina:
Pada September 2011, Presiden Barack Obama menyatakan penolakan terhadap pengakuan Palestina di pidatonya dalam Sidang Umum PBB, menyatakan bahwa "perdamaian asli hanya bisa direalisasikan antara Israel dan Palestina saja" dan "Pada akhirnya, harusnya Israel dan Palestina - bukan kita - yang harus mencapai kesepakatan dalam beberapa isu yang memecahkan mereka."[50] Obama menyatakan kepada Presiden Mahmoud Abbas bahwa Amerika akan menveto seluruh resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengandung kebijakan pengakuan Palestina.[51] Presiden Donald Trump dan Joe Biden mempertahankan kebijakan tersebut.[52] Wakil Presiden JD Vance pada Agustus 2025 menegaskan kembali bahwa AS tidak akan mengakui Palestina, menyatakan "Saya tidak tahu apa artinya secara sungguh mengakui kemerdekaan Palestina, mengingat kurangnya pemerintahan yang berfungsi di sana".[53]
Pada Juli 2025, Perdana Menteri Giorgia Meloni dan Menteri Luar Negeri Antonio Tajani menyatakan bahwa Italia belum bersedia mengakui kemerdekaan Palestina dan menanggap bahwa langkah tersebut tidak produktif.[54][55] Namun pada September 2025, Meloni mengeluarkan syarat bahwa Palestina akan diakui apabila Hamas membebaskan seluruh sandera mereka dan tidak dimasukan ke dalam pemerintahan Palestina.[56]
Jepang mendukung solusi dua negara[57] dan realisasi kemerdekaan Palestina.[58] Pada bulan Oktober 2007, seorang pejabat Kementerian Kehakiman Jepang mengatakan, "Mengingat Otoritas Palestina telah berkembang menjadi negara yang hampir sepenuhnya dan menerbitkan paspornya sendiri, kami telah memutuskan untuk menerima kewarganegaraan Palestina".[59] Pemerintah Jepang menyatakan tidak akan mengakui tindakan apa pun yang akan membahayakan negara Palestina dengan perbatasan sebelum tahun 1967 maupun aneksasi Yerusalem Timur oleh Israel.[60][61] Jepang memberikan suara positif terhadap resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memberikan Palestina status Negara Pengamat Non-anggota di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan November 2012, dan sejak itu, menyebut negara itu sebagai "Palestina".[62] Pada bulan Agustus 2024, seorang pejabat Jepang menyatakan bahwa negaranya sedang mempertimbangkan pengakuan.[63] Pada 30 Juli 2025, Menteri Luar Negeri Takeshi Iwaya menyatakan bahwa, berbeda dengan Prancis, Jepang membutuhkan waktu tambahan sebelum mengakui Palestina sebagai negara berdaulat. Namun, beliau menegaskan kembali komitmen Jepang yang berkelanjutan terhadap solusi dua negara.[64] Pada 22 September 2025, Iwaya menyatakan bahwa pengakuan Palestina hanya menunggu "kapan", bukan "jika".[65]
Pada April 2011, Kanselir Angela Merkel melabel pengakuan Palestina sebagai "langkah unilateral"[66] dan dengan tegas menyatakan bahwa Jerman akan menolak untuk mengakui kemerdekaan Palestina tanpa persetujuan dari Israel terlebih dahulu. "Oleh karena itu, pengakuan sepihak jelas tidak berkontribusi pada pencapaian tujuan ini... Ini adalah sikap kami sekarang dan akan menjadi sikap kami pada bulan September. Perlu ada pengakuan bersama, jika tidak, ini bukanlah solusi dua negara."[67] Ia juga menegaskan kembali komitmen pemerintahnya untuk mencapai kesepakatan sesegera mungkin. "Kami menginginkan solusi dua negara. Kami ingin mengakui negara Palestina. Mari kita pastikan negosiasi dimulai. Ini mendesak." Posisi ini kembali ditegaskan oleh Kanselir Friedrich Merz yang menyatakan bahwa Palestina belum memenuhi syarat untuk menjadi negara berdaulat.[68]
Keterangan lanjutan
Jerman Timur mengakui kemerdekaan Palestina pada 18 November 1988,[2] namun pengakuan tersebut dicabut setelah bersatu kembali dengan Jerman Barat yang mendukung Israel hingga kini.
Secara resmi, Kamerun mendukung solusi dua negara.[69] Walaupun Kamerun adalah negara Islam dan anggota OIC, Presiden Paul Biya memiliki hubungan yang kuat dengan Israel sejak 1980an.[70] Kemitraan ini menyebabkan rusaknya hubungan Kamerun dengan negara-negara Islam, banyak diantaranya menarik dana bantuan pembangunan dan menekan Biya untuk mengakui Palestina[71] sementara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu meminta Biya untuk menolak resolusi PBB yang akan mengakui Palestina sebagai anggota PBB.[72]
Dalam pertemuan puncak Forum Kepulauan Pasifik (PIF) pada awal September 2011, menteri luar negeri Kiribati dilaporkan menyatakan ketertarikan untuk memberi dukungan kepada Palestina.[74]
Negara ini secara konsisten mendukung Israel dan menolak mendukung kemerdekaan Palestina,[75] walaupun hal ini disebabkan karena asosiasi mereka dengan Amerika Serikat.[76] Mantan Presiden Manny Mori menyatakan bahwa Mikronesia "berhutang budi" kepada Israel saat Israel memutuskan untuk mendukung keanggotaan Mikronesia di PBB pada tahun 1986.[77] Pada pertemuan puncak Forum Kepulauan Pasifik (PIF) pada bulan September 2011, pemimpin delegasi Mikronesia dilaporkan menyatakan solidaritas negaranya terhadap penderitaan rakyat Palestina dan dukungannya terhadap hak mereka untuk menentukan nasib sendiri. Mengenai upaya PNA untuk mendapatkan keanggotaan di Perserikatan Bangsa-Bangsa, pejabat tersebut menyatakan bahwa perjanjian yang ditandatangani dengan AS mencegah FSM untuk memberikan suara sesuai keinginan pemerintahnya dalam kasus-kasus yang bertentangan dengan keinginan AS.[78] Mengenai bantuan pembangunan berkelanjutan Israel kepada masyarakat Mikronesia, diplomat lain mencatat, "Kami membutuhkan keahlian Israel, jadi saya tidak melihat perubahan dalam kebijakan kami dalam waktu dekat."[79]
Myanmar adalah salah satu dari dua negara Asia di Gerakan Nonblok yang tidak mengakui kemerdekaan Palestina selain Singapura.[80][81] Mantan menteri luar negeri Win Aung menyatakan pada tahun 2000 bahwa Myanmar mendukung solusi dua negara dalam perbatasan yang diakui secara internasional.[82]
Singapura belum mengakui kemerdekaan Palestina[83] karena hubungan yang erat dengan Israel.[84] Namun mereka memiliki kantor perwakilan di Ramallah untuk membangun hubungan dengan otoritas Palestina.[85][86] Pada 2 Juli 2024, Menteri Luar Negeri Vivian Balakrishnan menyatakan bahwa Singapura bersedia untuk mengakui Palestina apabila Palestina mengakui hak kedaulatan Israel.[87] Pada Juli 2025, Singapura mengumumkan bahwa mereka siap untuk mengakui kemerdekaan Palestina "secara prinsip".[88] Pada 22 September 2025, Vivian Balakrishnan mengeluarkan syarat Singapura untuk mengakui kemerdekaan Palestina, yakni "pemerintahan yang kompeten, mengakui hak kedaulatan Israel, dan tidak mendukung terorisme".[89]
Taiwan tidak mengakui kemerdekaan Palestina walaupun pemerintahan Taiwan menyatakan bahwa mereka akan memperhatikan perkembangan di wilayah Timur Tengah secara cermat dan meminta seluruh pihak untuk menahan diri dan melakukan dialog untuk menyelesaikan masalah. Pada 22 September 2025, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) mengkritik peta yang dirilis oleh Misi Pengamat Permanen Palestina yang mewarnai Pulau Taiwan sebagai "diakui", yang menyiratkan bahwa Taiwan adalah bagian dari Tiongkok, dan menyatakan bahwa Taiwan "tidak memiliki rencana langsung untuk mengakui negara Palestina". Kemenlu juga mengutip kemitraan strategis antara Tiongkok dan Palestina, di mana Palestina menegaskan bahwa Taiwan adalah "bagian yang tidak dapat dicabut dari wilayah Tiongkok."[94]
^Tessler, Mark (1994). A History of the Israeli–Palestinian conflict (Edisi 2nd, illustrated). Indiana University Press. hlm. 722. ISBN978-0-253-20873-6. "Within two weeks of the PNC meeting, at least fifty-five nations, including states as diverse as the Soviet Union, China, India, Greece, Yugoslavia, Sri Lanka, Malta, and Zambia, had recognized the Palestinian state."
^Sabasteanski, Anna (2005). Patterns of global terrorism 1985–2005: U.S. Department of State reports with supplementary documents and statistics. Vol. 1. Berkshire. hlm. 47. ISBN0-9743091-3-3. Pemeliharaan CS1: Lokasi tanpa penerbit (link)
^Boyle, Francis A. (1 September 2009). Palestine, Palestinians and International Law. Clarity Press. hlm. 19. ISBN0-932863-37-X. "As I had predicted to the PLO, the creation of [a] Palestinian State was an instantaneous success. Palestine would eventually achieve de jure diplomatic recognition from about 130 states. The only regional hold-out was Europe and this was because of massive political pressure applied by the United States Government."
^Shashaa, Esam. "The state of Palestine". Palestine History. Diarsipkan dari asli tanggal 27 November 2010. Diakses tanggal 2010-12-28.
Organisation of the Islamic Conference (13–16 March 1989). "Resolutions on Political, Legal and Information Affairs". The Eighteenth Islamic Conference of Foreign Ministers (Session of Islamic Fraternity and Solidarity). Diarsipkan dari asli tanggal 2018-12-26. Diakses tanggal 2010-11-29.
Organisation of the Islamic Conference (13–16 March 1989). "Final Communique". The Eighteenth Islamic Conference of Foreign Ministers (Session of Islamic Fraternity and Solidarity). Diarsipkan dari asli tanggal 2009-02-20. Diakses tanggal 2010-11-29.
Organisation of the Islamic Conference (28–30 May 2003). "Resolutions on Palestine Affairs". The Thirtieth Session of the Islamic Conference of Foreign Ministers (Session of Unity and Dignity). United Nations Information System on the Question of Palestine. Diarsipkan dari asli tanggal 28 July 2011. Diakses tanggal 2010-11-29.
^Reut Institute (14 August 2004). "Act of Recognition of Statehood". Structure of the Political Process. Diarsipkan dari asli tanggal 2022-10-01. Diakses tanggal 2010-11-16.
^Shelley, Toby (1988). "Spotlight on Morocco". West Africa (3712–3723: 5–31 December). London: West Africa Publishing Company Ltd: 2282. "...the SADR was one of the first countries to recognise the state of Palestine ... on November 15."
^Government of Paraguay; Ministry of Foreign Affairs (28 January 2011). "Reconocimiento del Estado de Palestina" (Press release) (dalam bahasa Spanyol). Diarsipkan dari asli tanggal 14 March 2012. Diakses tanggal 29 January 2011. "... estableció relaciones diplomáticas con Palestina el 25 de marzo de 2005 mediante el intercambio de Notas Reversales, acto que implicó su reconocimiento. ... Por esta declaración la República del Paraguay reitera expresamente el reconocimiento de ese Estado como libre e independiente con las fronteras del 4 de junio de 1967."
^Government of Ecuador (24 December 2010). "Ecuador Reconoce al Estado Palestino" (dalam bahasa Spanyol). Ministry of Foreign Affairs. Diarsipkan dari asli tanggal 17 January 2013. Diakses tanggal 24 December 2010.
^"Jamaica recognises Palestine as a state". 23 April 2024. Diakses tanggal 23 April 2024. The decision was confirmed by Minister of Foreign Affairs and Foreign Trade, Senator Kamina Johnson Smith, following deliberations of the Cabinet on Monday, April 22.
^"日本はパレスチナを国家として承認する日程を約束しない" [Japan does not commit to a timetable for recognizing Palestine as a state.]. arabnews.jp (dalam bahasa Jepang). Tokyo. 30 July 2025. Diakses tanggal 1 August 2025.
^Erekat, Saeb. The Eminence of September. Group 194. Diarsipkan dari asli tanggal 16 December 2019. Diakses tanggal 6 August 2011.
^Palestinian National Authority (6 September 2011). المالكي يلتقي عددا من وزراء الخارجية على هامش منتدى الباسيفك [Al-Maliki meets a number of foreign ministers on the sidelines of the Pacific Forum] (dalam bahasa Arab). Ministry of Foreign Affairs. Diarsipkan dari asli tanggal 9 December 2012. Diakses tanggal 9 September 2011.
^Usa, Usa Ibp (2009). Micronesia Country Study Guide. International Business Publications. hlm. 38. ISBN978-1-4387-3268-8.
^Watson, G.R. (2000). The Oslo Accords:international law and the Israeli-Palestinian peace agreements. Oxford University Press. hlm. 298. ISBN978-0-19-829891-5.
^Palestinian National Authority (6 September 2011). المالكي يلتقي عددا من وزراء الخارجية على هامش منتدى الباسيفك [Al-Maliki meets a number of foreign ministers on the sidelines of the Pacific Forum] (dalam bahasa Arab). Ministry of Foreign Affairs. Diarsipkan dari asli tanggal 9 December 2012. Diakses tanggal 9 September 2011.
^Usa, Usa Ibp (2009). Micronesia Country Study Guide. International Business Publications. hlm. 38. ISBN978-1-4387-3268-8.
^"Bilateral relations". Sovereign Order of Malta – official site. Diarsipkan dari asli tanggal 18 January 2012. Diakses tanggal 31 January 2012. "The Order of Malta has relations at Ambassador level with: Palestinian Authority".