Pao An Tui (Hanzi tradisional: 保安隊; Hanzi sederhana: 保安队; Pinyin: Bǎo àn duì) atau terkadang disebut sebagai Po An Tui dan Poh An Tui, dulu adalah sebuah pasukan bela diri dari komunitas Tionghoa-Indonesia selama Revolusi Indonesia (1945–1949).[2][1] Pasukan ini kerap dituduh pro-Belanda dalam perjuangan Indonesia untuk merdeka dari penjajahan Belanda.[3]
Sejarah
Pasca berakhirnya Perang Dunia II di Asia pada tahun 1945, beberapa Pao An Tui dibentuk oleh sejumlah kelompok Tionghoa-Indonesia. Sejumlah tokoh revolusioner Indonesia kemudian menuduh bahwa Pao An Tui pro-Belanda.[1] Pao An Tui antara lain dibentuk di Medan, Sumatera Utara pada tahun 1946, dan kemudian di Jawa pada tahun 1947.[2][1]
Untuk mengatasi kekacauan dan kekerasan terhadap dan oleh Tionghoa-Indonesia, "Chung Hua Tsung Hui" kemudian mengadakan konferensi di Jakarta, mulai tanggal 24 hingga 26 Agustus 1947.[4] Pada tanggal 29 Agustus 1947, konferensi tersebut menghasilkan pembentukan Pao An Tui secara resmi, dengan kantor pusat di Jakarta.[4][5] Komite Pusat Pao An Tui terdiri dari Loa Sek Hie (Chairman), Oey Kim Sen (Deputi Chairman), Khouw Joe Tjan (Sekretaris), dan Cong Fai-kim (Bendahara).[5]
Pao An Tui mengklaim bahwa mereka bersikap netral selama revolusi, karena pembentukan mereka mendapat dukungan dari Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia, dan mendapat senjata dari pasukan Sekutu pro-Belanda.[5] Pao An Tui dibubarkan pada tahun 1949 seiring dengan berakhirnya kekerasan dan berakhirnya Revolusi Nasional Indonesia.[1]
Kontroversi dan kritik
Netralitas Pao An Tui dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia telah beberapa kali dipertanyakan.[1][3] pemerintah Indonesia, yang menuduh Pao An Tui pro-Belanda, pun menolak untuk mengakui Pao An Tui hingga tahun 1948.[1] Sebagian kecil Tionghoa-Indonesia sayap kiri saat itu juga sangat menolak Pao An Tui, karena Pao An Tui berhubungan erat dengan Tionghoa-Indonesia sayap kanan dan Kuomintang di Tiongkok.[1]
Pada tahun 2016, terjadi kehebohan di media massa yang disebabkan oleh peresmian monumen yang diduga didedikasikan untuk Pao An Tui oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo di Taman Mini Indonesia Indah.[4] Rizieq Shihab, pemimpin Front Pembela Islam, pun menjadi salah satu tokoh yang sangat mengkritik peresmian monumen tersebut.[6] Padahal, monumen tersebut sebenarnya didedikasikan untuk milisi Tionghoa yang dibentuk pasca Geger Pacinan di Batavia. Bersama orang Jawa, milisi tersebut berperang melawan VOC.[4]
Sejumlah teori konspirasi juga tetap diasosiasikan dengan Pao An Tui.[4][3] Contohnya, dalam sebuah artikel opini pada bulan Mei 2017, penulis dan pengamat politik Batara Hutagalung menuduh keturunan Pao An Tui berkonspirasi dengan pemerintah Belanda, pendukung federalisme Indonesia, dan Partai Komunis Indonesia untuk mengacaukan Indonesia dengan berupaya mengendalikan sumber daya, pasar konsumen, serta posisi geopolitik dan geostrategis Indonesia sebagai bentuk 'balas dendam sejarah'.[7]
Referensi
- ^ a b c d e f g h Willmott, Donald E (2009). The national status of the Chinese in Indonesia 1900–1958 (edisi ke-First Equinox). Jakarta: Equinox Publishing. ISBN 9786028397285. Diakses tanggal 16 December 2016.
- ^ a b Tong, Chee Kiong (2010). Identity and ethnic relations in Southeast Asia racializing Chineseness. Dordrecht: Springer. ISBN 9789048189090. Diakses tanggal 16 December 2016.
- ^ a b c Subarkah, Muhammad (2016-02-28). "Pao An Tui, Sisi Kelam Masyarakat Cina di Indonesia". Republika Online. Diakses tanggal 2023-03-27.
- ^ a b c d e Supriyatna, Agus (2016-03-01). "Berita Po An Tui yang Menyesatkan - Analisis - www.indonesiana.id". Indonesiana (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-03-27.
- ^ a b c Setiono, Benny G. (2003). Tionghoa dalam pusaran politik. Jakarta: Elkasa. ISBN 9799688744. Diakses tanggal 16 December 2016.
- ^ Saleh, Ummi Hadyah (June 1, 2016). "Takut Ada PKI, FPI akan Jihad Segel Patung-patung Bau Komunis". suara.com. Suara.com. Diakses tanggal 28 September 2018.
- ^ Hutagalung, Batara (May 15, 2017). "Pembentukan Citra Negatif Indonesia Di Luar Negeri". rmol.co. Rakyat Merdeka Online. Rakyat Merdeka Online. Diakses tanggal 28 September 2018.