Negara Mahdi adalah sebuah negara yang tak diakui yang berusaha melepaskan diri dari Mesir. Peristiwa di Sudan pada abad ke-19 tak dapat dipahami tanpa melihat posisi Britania di Mesir. Pada tahun 1869, Terusan Suez dibuka dan segera menjadi jalur ekonomi Britania ke India dan Timur Jauh. Untuk melindungi jalur air ini, Britania mencoba memainkan lebih banyak peran dalam urusan-urusan dalam negeri Mesir. Pada tahun 1873, pemerintah Britania mendukung program di mana komisi utang Inggris-Prancis mengambil alih tanggung jawab atas urusan keuangan Mesir. Komisi ini pada akhirnya memaksa khediveIsmail mundur agar anaknya Tawfiq (1877–1892) yang lebih diterima oleh Britania dapat naik ke kekuasaan.
Setelah Ismail turun pada tahun 1877, Charles George Gordon mundur dari jabatannya sebagai gubernur jenderal Sudan pada tahun 1880. Penerusnya tidak mendapat arahan dari Kairo dan merasa takut akan kekacauan politik di Mesir. Akibatnya, mereka gagal melanjutkan kebijakan-kebijakan Gordon. Angkatan bersenjata Sudan tidak memiliki cukup sumber daya, dan tentara-tentara pengangguran dari satuan-satuan yang dibubarkan membuat kekacauan di kota-kota. Sementara itu, pemungut pajak menaikkan pajak secara sembarangan.
Dalam keadaan yang kacau ini, Muhammad Ahmad ibn as Sayyid Abd Allah, seorang fakir atau orang suci, memulai pergerakan yang ingin mengusir orang Turki dan memurnikan ajaran Islam. Ia melancarkan perang suci dan berhasil merebut Khartoum dari Mesir. Setelah kemenangan itu, Muhammad Ahmad menguasai banyak wilayah yang kini menjadi bagian dari Sudan, dan dari situ ia mendirikan sebuah negara Islam yang disebut Mahdiyah. Negara ini menerapkan syariat Islam secara keras, dan dikenal akan penindasannya terhadap orang-orang Kristen, termasuk Kristen Koptik.[4]
Sejarah
Muhammad Ahmad al-Mahdi meminta orang-orang Sudan dalam apa yang dia nyatakan sebagai jihad melawan pemerintahan yang berbasis di Khartoum, yang didominasi oleh orang Mesir dan Turki. Pemerintah Khartoum awalnya membubarkan revolusi Mahdi; dia mengalahkan dua ekspedisi yang dikirim untuk menangkapnya dalam waktu satu tahun. Kekuatan Mahdi meningkat, dan seruannya menyebar ke seluruh Sudan, dengan gerakannya dikenal sebagai Anshar. Selama periode yang sama, Revolusi 'Urabi pecah di Mesir, dengan Inggris menduduki negara itu pada tahun 1882. Inggris menunjuk Charles Gordon sebagai Gubernur Jenderal Sudan. Beberapa bulan setelah kedatangannya di Khartoum dan setelah beberapa pertempuran dengan pemberontak Mahdi, pasukan Mahdi merebut Khartoum, dan Gordon terbunuh di istananya. Sang Mahdi tidak hidup lama setelah kemenangan ini, dan penggantinya Abdullah bin Muhammad mengkonsolidasikan negara baru, dengan sistem administrasi dan peradilan yang didasarkan pada hukum Islam.
Ekonomi Sudan hancur selama Perang Mahdi dan kelaparan; perang dan penyakit mengurangi populasi hingga setengahnya.[5][6][7][8] Inggris menaklukkan kembali Sudan pada tahun 1898, memerintah setelah itu dalam teori sebagai kondominium dengan Mesir tetapi dalam prakteknya sebagai koloni.
^Sidahmed, Abdel Salam; Sidahmed, Alsir (2005). "Khalifa's administration". Sudan. Contemporary Middle East. Routledge. hlm. 17. ISBN978-0-415-27417-3. The Mahdist administration centred around the person of the Khalifa Abdullah, both as the ultimate authority as well as the prime mover of the administrative system and initiator of policy. It has been noted that the Khalifa used to consult with his closest aides (such as his brother Ya'qub, and son 'Uthman Shaykh al-Din), and occasionally call for a meeting of the 'State Council'—apparently an advisory council—to which the Mahdi's surviving companions were invited.