Masjid ini dibangun atas prakarsa Ir. Gustaf Abbas pada tahun 1960-an, desain interior dan eksterior masjid ini dipenuhi simbol-simbol fleksibel, tidak kaku dengan simbol Timur Tengah yang kerap menjadi harga mati untuk arsitektur masjid. Abbas adalah arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung, yang mematahkan arsitektur masjid di tanah air pada umumnya. Karyanya juga dapat dirasakan pada Masjid Salman di Jalan Ganesha, Bandung.
Tak seperti masjid kebanyakan, Masjid Agung Sunda Kelapa tak memiliki kubah, bedug, bintang-bulan, dan sederet simbol yang biasa terdapat dalam sebuah masjid. Menara yang ada pun sangat unik. Bentuk bangunannya mirip perahu, sebagai simbol pelabuhan Sunda Kelapa tempat saudagar muslim berdagang dan menyebarkan syariat Islam pada masa lalu.
Selain itu, bentuk perahu adalah makna simbolik kepasrahan seorang muslim. Bagaikan orang duduk bersila dengan tangan menengadah, berdoa mengharap rahmat dan kasih sayang-Nya.
Abbas, tak sendirian. Ia didukung para jenderal di Menteng yang menyumbangkan dana awal pembangunannya. Para jenderal merasa harus meluruskan kekeliruan sejarah atas G30S/PKI, dengan membangun sebuah masjid yang nyaman untuk pelaksanaan ibadah. Karena pembangunan tak kunjung selesai, Pemda DKI Jakarta semasa Ali Sadikin (almarhum), merasa harus turun tangan untuk merampungkan pembangunannya sampai berdiri kokoh pada tahun 1970.[1]
Menempati area 9.920 m², Masjid Agung Sunda Kelapa mampu menampung 4.430 jamaah. Ini ditunjang dengan ruang ibadah utama Masjid Sunda Kelapa, aula Sakinah, dan serambi Jayakarta.
Staf operasional Masjid Agung Sunda Kelapa, Rudi, menutur, “Dengan ruangan kantor lima lantai, Masjid Agung Sunda Kelapa siap melayani umat seminggu penuh pukul 08.00-20.00 WIB. Terdapat BMT yang melaksanakan aktivitas ekonomi dan layanan kesehatan cuma-cuma bagi fakir-miskin yang bekerjasama dengan Dompet Dhuafa Republika.”
Untuk keyamanan ibadah, lanjutnya, dilengkapi dengan penitipan sepatu yang siap digukanakan untuk 300 pasang, keran wudhu berjumlah 72, kakus duduk sebanyak 30, AC, dan kipas angin.
Selain itu disediakan pula layar lebar CCTV bagi yang tidak bisa melihat khatib Jum’at secara langsung, dengan sound system yang terbilang modern. Tempat parkirnya mampu menampung 500 mobil dan atau 600 motor.
Bagian lain Masjid Sunda Kelapa disediakan untuk resepsi pernikahan. Acara akad nikah biasanya di Ruang Ibadah Utama dan jamuan makan di Aula Sakinah dengan fasilitas lengkap untuk 700 orang. Sementara untuk acara rapat, tersedia ruangan yang bisa menampung 60 orang. Dan untuk acara seminar, tersedia ruangan yang bisa menampung 150 orang.
Tampaknya, pengelola Masjid Sunda Kelapa harus menunjang pelayanan umat dengan pengembangan spiritual. Dr. Suwendi, bagian Keagamaan Masjid Agung Sunda Kelapa menegaskan, “Khatib Jum’at di Masjid Agung Sunda Kelapa minimal setingkat magister. Dan materi yang disampaikannya dibagikan secara cuma-cuma sebanyak 1.500 eksemplar pada minggu depannya dalam bentuk Bulletin Masjid Agung Sunda Kelapa.”
“Masjid Agung Sunda Kelapa berusaha mengambil potret pengelolaan masjid semasa rasul. Berfungsi secara sosial dan spiritual bagi umat di sekitarnya,” akunya lagi.
Untuk mematangkan dimensi spiritual, pengelola Masjid Agung Sunda Kelapa menawarkan aneka program. Anda dapat memilih mana yang paling memungkinkan untuk diikuti. Setiap hari terdapat pengajian dengan materi-materi pokok keislaman.
Bagi masyarakat yang biasa melaksanakan puasa Senin-Kamis, Masjid Agung Sunda Kelapa menyediakan buka puasa cuma-cuma dan disusul dengan pelaksanaan pengajian. Yang paling spektakuler adalah program Iktikaf. Program ini, berbentuk aktivitas berdiam diri di masjid dalam waktu yang telah ditentukan. Pada 27 Ramadhan lalu, pesertanya mencapai 4.000 orang. Semua ruangan dijejali jamaah yang duduk khusus melantunkan dzikir dan doa.