Limbo (bahasa Latin: limbus, artinya: tepi atau batas, merujuk pada "tepi" neraka), dalam teologi Gereja Katolik, adalah suatu gagasan spekulatif mengenai kondisi kehidupan setelah kematian bagi mereka yang meninggal karena dosa asalnya tanpa ditetapkan untuk masuk dalam kutukan neraka. Para teolog abad pertengahan dari Eropa barat menjelaskan bahwa "dunia bawah" (neraka, hades, infernum) dibagi menjadi 4 bagian yang berbeda: neraka terkutuk (sebagian menyebutnya Gehenna), purgatorium, Limbo para Bapa (limbus patrum), Limbo para Bayi (limbus infantium). Namun Limbo para Bayi bukanlahdoktrin resmi Gereja Katolik.
Limbo para Bapa
"Limbo para Bapa" (bahasa Inggris: Limbo of the Fathers, bahasa Latin: limbus patrum) dipandang sebagai keadaan sementara bagi mereka, terlepas dari dosa-dosa yang telah mereka lakukan, yang meninggal dunia dalam persahabatan dengan Allah namun belum dapat masuk dalam surga sampai dengan penebusan oleh Yesus Kristus (lihat: Kebangkitan Yesus). Istilah ini merupakan sebuah nama pada abad pertengahan untuk menyebut satu bagian dari dunia bawah (underwold), yaitu hades (bahasa Ibrani: sheol), dimana para bapa atau orang benar dari Perjanjian Lama diyakini berada di sana menantikan turunnya roh Kristus kepada mereka melalui kematian-Nya untuk membebaskan mereka.[2]Katekismus Gereja Katolik (KGK) 632-633 menjelaskan bahwa Kristus turun ke 'neraka' (bedakan dengan "neraka terkutuk") untuk membebaskan orang-orang benar yang meninggal dunia sebelum Dia. Hal ini merupakan arti pertama atas apa yang diberitakan oleh pewartaan para rasul mengenai turunnya Kristus ke tempat penantian orang mati: "Yesus, layaknya semua manusia, mengalami kematian dan jiwa-Nya masuk ke tempat perhentian orang mati. Namun Ia turun ke sana sebagai Juru selamat, memaklumkan Kabar Gembira kepada jiwa-jiwa yang tertahan di sana." KGK tidak menggunakan kata "Limbo".[3]
Doktrin yang dinyatakan dengan istilah "Limbo para Bapa" pernah diajarkan, misalnya oleh Klemens dari Aleksandria, seorang Bapa Gereja Timur, yang menuliskan mengenai hades (The Stromata, Buku VI - Bab VI).[5]
Limbo para Bayi
Limbo para Bayi (bahasa Latin: limbus infantium, limbus puerorum) adalah suatu hipotesis tentang status permanen dari bayi-bayi yang meninggal sebelum dibaptis; mereka terlalu kecil untuk dapat melakukan dosa-dosa pribadi, tetapi belum dibebaskan dari dosa asal. Spekulasi teologis Katolik baru-baru ini cenderung menekankan pada pengharapan, walau tidak secara pasti, bahwa bayi-bayi ini mungkin mencapai surga, bukan keadaan yang semestinya di Limbo.[6] Meskipun Gereja Katolik memiliki satu doktrin yang telah didefinisikan secara dogmatis pada dosa asal, tetapi tidak dijelaskan perihal nasib bayi-bayi yang belum dibaptis; para teolog diberi kebebasan untuk mengusulkan berbagai teori menyangkut hal ini, dimana magisterium Gereja pun bebas untuk menerima atau menolaknya. Limbo adalah salah satu teori ini.[6][7]
Bapa Gereja Latin
Dalam usahanya melawan Pelagius, yang menyangkal adanya dosa asal, SantoAgustinus dari Hippo dibuatnya menyatakan bahwa karena adanya dosa asal, "[jiwa-jiwa] para bayi yang meninggalkan tubuhnya tanpa dibaptis akan mengalami hukuman yang paling ringan di antara semuanya. Orang tersebut, oleh karena itu, sangatlah menipu baik dirinya sendiri dan juga orang lain, dengan mengajarkan bahwa mereka tidak akan menerima hukuman; sedangkan sang rasul mengatakan: 'Penghakiman atas satu pelanggaran itu telah mengakibatkan penghukuman' (Roma 5:16), dan juga sedikit yang berikutnya: 'Oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman' (Roma 5:18)."[6][8]
Konsili para uskup Afrika Utara, termasuk Agustinus dari Hippo, yang diadakan di Kartago pada tahun 418 tidak mengesahkan secara eksplisit semua aspek dari pandangan tegas Agustinus mengenai nasib para bayi yang meninggal tanpa dibaptis, tetapi dikatakan dalam suatu bagian dari satu kanon (tidak ditemukan pada semua naskah) bahwa tidaklah ada "tempat kediaman bahagia di tengah-tengah atau lainnya bagi anak-anak yang telah meninggalkan kehidupan ini tanpa Pembaptisan, yang mana tanpanya mereka tidak dapat masuk dalam kerajaan surga, yaitu kehidupan abadi".[6][9] Pengaruh Agustinus yang besar di dunia Barat, bagaimanapun, membuat beberapa Bapa Gereja Latin dari abad ke-5 dan 6 (seperti St. Hieronimus dan St. Gregorius Agung) mengadopsi opininya.[6]
Teolog abad pertengahan
Pada abad pertengahan, beberapa teolog masih menggunakan pandangan St Agustinus. Kemudian pada abad ke-12, Petrus Abelardus mengatakan bahwa para bayi ini tidak mengalami siksaan fisik atau hukuman positif, hanya siksaan karena tidak dapat mengalami "tatap muka" langsung dengan Allah (visiun beatifika). Dalam perkembangan doktrin pada abad pertengahan, kehilangan visiun beatifika (poena damni) dianggap sebagai hukuman atas dosa asal, sedangkan "siksaan neraka abadi" merupakan hukuman atas dosa berat yang benar-benar dilakukan. Yang lain lagi berpendapat bahwa bayi yang tidak dibaptis tidak mengalami siksaan sama sekali: tiada kesadaran akan hilangnya visiun beatifika, mereka menikmati suatu keadaan kebahagiaan yang alamiah atau natural, bukan supernatural. Istilah "Limbo para Bayi" terbentuk sekitar abad ke-12 dan 13 untuk menamakan "tempat peristirahatan" para bayi.[6]
Jika surga adalah suatu keadaan kebahagiaan supernatural (adikodrati) dan persatuan dengan Tuhan, dan neraka dipahami sebagai suatu keadaan penyiksaan dan keterpisahan dari Tuhan maka — menurut pandangan ini — Limbo para Bayi, meski secara teknis merupakan bagian dari neraka (bagian terluar, "limbo" berarti tepi luar atau pinggir) dianggap semacam keadaan di antara keduanya. Pertanyaan mengenai Limbo tidak termasuk bagian dari Summa Theologica yang ditulis oleh St. Thomas Aquinas sendiri, tetapi dibahas dalam Lampiran I dari Suplemen bagian III yang ditambahkan setelah kematiannya oleh Fra Rainaldo da Piperino, yaitu teman dan pendampingnya, dan kemungkinan diambil dari komentar St. Thomas atas Sentences Buku IV karya Petrus Lombardus.[10] Pada bagian tersebut, Limbo para Bayi digambarkan sebagai suatu keadaan sukacita alami yang abadi, tanpa merasa kehilangan akan betapa besarnya sukacita yang seharusnya mereka rasakan seandainya mereka dibaptis. Dalam penjelasan itu dikaitkan juga dengan perbedaan antara mereka yang diberi kesempatan untuk menggunakan kehendak bebasnya dan mereka yang tidak memiliki kesempatan itu (termasuk para bayi).[11]
Kebahagiaan alamiah yang dialami pada keadaan ini terdiri dalam pandangan akan Allah melalui perantaraan ciptaan-ciptaan-Nya.[12]Komisi Teologi Internasional dalam dokumennya menjelaskan bahwa karena anak-anak di bawah umur, yang belum dapat menggunakan akal budinya, tidak melakukan dosa pribadi atau dosa yang sebenarnya, para teolog (seperti St. Thomas Aquinas dan BeatoDuns Scotus) sampai pada pandangan umum bahwa anak-anak yang belum dibaptis itu tidak merasakan sakit sama sekali atau bahkan mereka menikmati suatu kebahagian sepenuhnya melalui persatuan mereka dengan Allah dalam segala ciptaan alamiah.[6]
Perkembangan selanjutnya
Konsili Ekumenis di Florence pada tahun 1442 berbicara mengenai pentingnya baptisan bahkan untuk anak-anak dan perlunya mereka dibaptis sesegera mungkin setelah lahir.[13] Hal ini sebelumnya telah ditegaskan juga pada konsili lokal di Kartago pada tahun 417. Konsili Florence juga menyatakan bahwa mereka yang meninggal akibat dosa asal saja masuk dalam 'neraka', tetapi dengan penderitaan yang tidak sama dengan mereka yang benar-benar melakukan dosa berat.[13] Penentangan John Wycliffe atas perlunya baptisan bayi dikutuk oleh konsili ekumenis lainnya, yaitu Konsili Konstanz.[14]Konsili Trente tahun 1547 menyatakan secara ekslipisit bahwa baptisan (ataupun baptisan keinginan) adalah sarana dimana seseorang dialihkan dari keadaan dimana ia telah dilahirkan sebagai anak Adam, ke dalam keadaan rahmat melalui Adam kedua, yakni Yesus Kristus.[15]
Sepanjang abad ke-18 dan 19, berbagai teolog (Bianchi pada 1768, H. Klee pada 1835, Caron pada 1855, H. Schell pada 1893) terus melanjutkan usaha untuk merumuskan teori mengenai bagaimana anak-anak yang meninggal tanpa dibaptis mungkin masih bisa diselamatkan. Pada tahun 1952 Ludwig Ott, seorang teolog yang tulisannya telah digunakan secara luas dan cukup dihormati, mengajarkan secara terbuka mengenai kemungkinan bahwa anak-anak yang meninggal tanpa dibaptis mungkin diselamatkan dan masuk surga. Ia juga mengutip pandangan KardinalThomas Cajetan, seorang teolog abad ke-16, bahwa anak tersebut mungkin terselamatkan melalui keinginan ibunya untuk membaptisnya atau melalui doaGereja.[16] Dalam panduan Pastoralis Actio yang dikeluarkan pada 20 Oktober 1980, Kongregasi bagi Doktrin Iman menyatakan bahwa "berkenaan dengan anak-anak yang meninggal tanpa dibaptis, Gereja hanya dapat mempercayakan mereka pada kerahiman Tuhan, sebagaimana yang dilakukan Gereja dalam ritus pemakaman yang disediakan bagi mereka",[17]:13 dan membiarkan semua teori yang ada, termasuk "Limbo", sebagai kemungkinan yang layak.
Ajaran Gereja Katolik diungkapkan pada tahun 1992 melalui Katekismus Gereja Katolik (KGK) #1257-1260 bahwa "Pembaptisan adalah perlu demi keselamatan mereka, kepada siapa Injil telah diwartakan dan yang memiliki kemungkinan untuk memohon sakramen ini". Selanjutnya dikatakan: "Allah telah mengikatkan keselamatan pada Sakramen Baptisan, tetapi Ia sendiri tidaklah terikat pada sakramen-sakramen-Nya". Hal ini mengingatkan bahwa, terlepas dari sakramen tersebut, "baptisan darah" (seperti dalam kasus para martir) dan "baptisan kerinduan" (dalam kasus para katekumen yang meninggal sebelum dibaptis) bersama-sama dengan pertobatan dan kasih, memastikan keselamatan. Dinyatakan juga bahwa karena Kristus telah mati untuk semua orang dan semuanya dipanggil pada tujuan ilahi yang sama, "setiap orang yang tidak mengenal Injil Kristus dan Gereja-Nya, tapi mencari kebenaran dan melakukan kehendak Allah sesuai dengan pemahamannya, dapat diselamatkan", sehingga diandaikan bahwa jika orang-orang tersebut mengetahui perlunya pembaptisan, mereka tentu akan menginginkannya.[18]
Lalu KGK #1261 menyatakan: "Mengenai anak-anak yang meninggal tanpa Baptisan, Gereja hanya dapat mempercayakan mereka pada belas kasihan Allah, seperti yang dilakukan Gereja dalam ritus pemakaman bagi mereka. Belas kasih Allah yang amat besar yang menghendaki semua orang terselamatkan, dan kelembutan hati Yesus pada anak-anak yang menyebabkan-Nya berkata: 'Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka' (Markus 10:14), memungkinkan kita untuk berharap bahwa ada suatu jalan keselamatan bagi anak-anak yang meninggal tanpa Pembaptisan."[18]
Tanggal 20 April 2007 Komisi Teologi Internasional menerbitkan suatu dokumen yang pada awalnya disusun atas permintaan PausYohanes Paulus II, dan telah memperoleh persetujuan untuk diterbitkan oleh Paus Benediktus XVI pada 19 Februari 2007, dengan judul "Harapan atas Keselamatan bagi Bayi-bayi yang Meninggal tanpa Dibaptis".[6][19] Setelah menelusuri sejarah dari berbagai pendapat yang ada perihal nasib para bayi yang tidak dibaptis dalam kehidupan abadi, termasuk yang berhubungan dengan teori Limbo para Bayi dan kajian berbagai argumen teologis, dokumen tersebut menyimpulkan:[6]
"Kesimpulan kami adalah banyak faktor yang telah kami bahas di atas memberikan dasar teologis dan liturgis yang serius bagi harapan bahwa bayi-bayi tak terbaptis yang meninggal akan diselamatkan dan menikmati visiun beatifika. Kami menekankan bahwa ada alasan-alasan untuk berpengharapan dalam doa, daripada mendasarkan pada kepastian pengetahuan. Ada banyak hal yang sama sekali belum terungkap bagi kita (Yohanes 16:12). Kita hidup dengan iman dan pengharapan dalam Allah yang penuh kerahiman dan cinta yang telah terungkap bagi kita dalam Kristus, dan Roh menggerakkan kita untuk berdoa dalam sukacita dan rasa syukur senantiasa (1 Tesalonika 5:18)."
"Apa yang telah diungkapkan kepada kita adalah bahwa cara normal untuk meraih keselamatan yakni melalui Sakramen Pembaptisan. Seharusnya tidak ada satu pun dari berbagai pertimbangan di atas yang diambil sebagai penilaian akan perlunya baptisan atau membenarkan penundaan penerimaan sakramen tersebut. Sebaliknya, sebagaimana kami ingin tegaskan kembali dalam kesimpulan, mereka memberikan dasar-dasar kuat bagi harapan bahwa Allah akan menyelamatkan bayi-bayi pada saat dimana kita belum dapat melakukan bagi mereka apa yang kita ingin lakukan, yaitu membaptis bayi-bayi itu dalam iman dan kehidupan Gereja."
Berita di media cetak bahwa melalui dokumen tersebut "Paus menutup Limbo"[20] tidaklah berdasar. Pada kenyataannya, pada awal pembukaan paragraf kedua dokumen tersebut dinyatakan secara eksplisit bahwa "Teori limbo, dipahami sebagai suatu keadaan yang meliputi jiwa-jiwa para bayi yang meninggal karena dosa asal dan tanpa baptisan, dan yang oleh karenanya tidak menikmati visiun beatifika dan tidak dikenakan hukuman apapun, karena mereka tidak bersalah atas dosa pribadi apapun. Teori ini, yang diuraikan oleh para teolog pada awal abad pertengahan, tidak pernah dimasukkan dalam pernyataan dogmatisMagisterium. Namun Magisterium yang sama berkali-kali menyebutkan teori tersebut dalam pengajaran umum sampai dengan Konsili Vatikan II. Oleh sebab itu teori ini tetap merupakan sebuah hipotesis teologis yang memungkinkan."; dan dalam paragraf 41 diulang kembali bahwa teori Limbo "tetap sebuah opini teologis yang memungkinkan".[6] Dokumen tersebut dengan demikian memungkinkan hipotesis "Limbo para Bayi" dipertahankan sebagai salah satu teori yang ada mengenai nasib anak-anak yang meninggal tanpa dibaptis, sebuah pertanyaan yang mana "tidak ada jawaban eksplisit" dari Kitab Suci ataupun Tradisi Suci.[19]
^(Inggris) St. Thomas Aquinas, "Question 52. Christ's descent into hell", Summa Theologica, Literally translated by Fathers of the English Dominican Province (edisi ke-1920, Second and Revised Edition), New AdventPemeliharaan CS1: Teks tambahan (link)
^(Inggris) St. Augustine, "On Merit and the Forgiveness of Sins, and the Baptism of Infants (Book I)", dalam Philip Schaff, Nicene and Post-Nicene Fathers, First Series, Vol. 5, Translated by Peter Holmes and Robert Ernest Wallis, and revised by Benjamin B. Warfield (edisi ke-1887), Buffalo, NY: Christian Literature Publishing Co. (retrieved from New Advent)
^(Inggris) Philip Schaff and Henry Wace (ed.), "Council of Carthage (A.D. 419)", Nicene and Post-Nicene Fathers, Second Series, Vol. 14, Translated by Henry Percival (edisi ke-1900), Buffalo, NY: Christian Literature Publishing Co. (retrieved from New Advent)
^(Inggris) "Supplement to the Third Part (Supplementum Tertiæ Partis)", The Summa Theologica of St. Thomas Aquinas, Literally translated by Fathers of the English Dominican Province (edisi ke-1920, Second and Revised Edition), New Advent (Online Edition)Pemeliharaan CS1: Teks tambahan (link)
^(Inggris) "Question 1. The Quality of Those Souls Who Depart This Life With Original Sin Only", The Summa Theologica of St. Thomas Aquinas - Supplement (Appendix I), Literally translated by Fathers of the English Dominican Province (edisi ke-1920, Second and Revised Edition), New Advent (Online Edition)Pemeliharaan CS1: Teks tambahan (link)
^(Inggris) Lawrence Feingold (2010), The Natural Desire to See God According to St. Thomas and His Interpreters (edisi ke-2nd), Sapientia Press of Ave Maria University
^ abNorman P. Tanner (ed.), "Session 11—4 February 1442", Ecumenical Council of Florence (1438-1445), Introduction and translation taken from Decrees of the Ecumenical Councils, Eternal Word Television Network, diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-04-25, diakses tanggal 2015-06-27