Giorgio Napolitano (Italia: [ˈdʒordʒo napoliˈtaːno]; 29 Juni 1925 – 22 September 2023) adalah politikus dan senator seumur hidup Italia serta Presiden Republik Italia sejak 15 Mei 2006 hingga 14 Januari 2015. Ia terpilih lewat pemilu yang dilaksanakan pada 10 Mei 2006 dan memulai jabatannya sejak dilantik pada 15 Mei. Pada 31 Januari 2015, ia digantikan oleh Sergio Mattarella sebagai Presiden Italia yang ke-12[1]
Biografi
Pada 1942, dalam usia 17 tahun, Napolitano masik ke Universitas Napoli Federico II. Ia menjadi anggota organisasi GUF (Gruppo Universitario Fascista, Kelompok Fasis Universitas) setempat, organisasi mahasiswa Fasis. Di sana ia menemukan sejumlah mahasiswa lain yang sama-sama menganut pandangannya yang negatif terhadap rezim yang berkuasa. Seperti yang ditulisnya, kelompok ini, "pada kenyataannya adalah sebuah ladang persemaian sejati dari energi intelektual anti fasis yang menyamar dan agak ditoleransi".[2] Ia belakangan mendirikan sebuah kelompok komunis yang anti fasis, yang, setelah gencatan senjata, ikut serta dalam beberapa gerakan perlawanan terhadap Nazi dan pasukan-pasukan pro Mussolini.[3]
Pada 1945, setelah berakhirnya Perang Dunia II, Napolitano bergabung dengan Partai Komunis Italia (Partito Comunista Italiano, atau PCI). Pada 1947 ia lulus dari sekolah hukum. Ia pertama-tama terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan pada 1953. Setelah itu, ia terpilih ke dalam Komite Nasional partai, dan memikul tanggung jawab untuk Komisi untuk Italia Selatan pada 1956.
Pada tahun itu, terjadilah Revolusi Hungaria yang kemudian ditindas oleh Uni Soviet. Pimpinan Partai Komunis Italia menganggap pemberontakan itu kontra-revolusi (l'Unità, koran resmi PCI, menyebut mereka sebagai "bajingan-bajingan" dan "Agen-agen provokasi") dan Napolitano mengikuti garis partai. Bertahun-tahun kemudian, ia berulang kali menyatakan telah meninggalkan sikapnya, dan hal itu sebagian disebabkan oleh keprihatinan tentang kesatuan partai dan terutama terhadap "konsep bahwa peranan dan aksi PCI tidak terpisahkan dari 'lapangan sosialis' yang dipimpin oleh Uni Soviet, lapangan yang dengan sendirinya harus dibiarkan tidak tesentuh oleh front 'imperialis'". Dalam otobiografi politiknya Dal PCI al socialismo europeo ("Dari Partai Komunis Italia menuju Sosialisme Eropa"),[2] Napolitano mengingat pembenarannya atas campur tangan Soviet sebagai "siksaan otokritis yang mendukakannya."
Keputusan pada 1956 menciptakan perpecahan dalam PCI. CGIL, serikat perdagangan Italia yang paling penting, yang saat itu didominiasi oleh kaum komunis, menolak pandangan pimpinan dan mengklaim bahwa revolusi Hungaria dapat dibenarkan. Banyak orang di serikat datang yang berpendapat bahwa "Jalan Italia menuju sosialisme" harus didasarkan pada demokrasi. Pandangan-pandagan mereka di partai didukung oleh Giorgio Amendola.
Dekat dengan sayap partai yang dipimpin oleh Amendola, pelan-pelan Napolitano menjadi salah satu pemimpin yang paling berpengaruh dari PCI. Karena sering terlihat bersama-sama, Giorgio Amendola dan Giorgio Napolitano sering dengan bercanda disebut Giorgio ’o chiatto and Giorgio ’o sicco (bahasa Napoli masing-masing untuk "Giorgio si gemuk" dan "Giorgio si kurus"), oleh teman-teman mereka. Napolitano kemudian menjadi sekretaris federasi di Napoli dan Caserta dan belakangan, antara 1966 dan 1969, ia menjadi koordinator kantor sekretaris dan kantor politik. Pada 1970-an dan 1980-an ia bertanggung jawab mula-mula untuk bidang kebudayaan dan belakangan untuk kebijakan ekonomi serta hubungan internasional partai.
Gagasan-gagasan politiknya agak moderat dalam konteks PCI: malah ia menjadi pemimpin dari apa yang disebut "sayap melioris" (corrente migliorista) dari partai itu, yang anggota-anggotanya antara lain adalah Gerardo Chiaromonte dan Emanuele Macaluso. Istilah migliorista (dari migliore, bahasa Italia untuk "lebih baik") diciptakan dengan maksud sedikit mengejek.
Pada pertengahan tahun 1970-an, Napolitano diundang oleh Institut Teknologi Massachusetts untuk memberikan kuliah, tetapi duta besar Amerika Serikat untuk Italia, John A. Volpe, menolak untuk memberikan kepadanya visa dengan alasan ia anggota Partai Komunis. Antara 1977 dan 1981 Napolitano melakukan sejumlah pertemuan rahasia dengan duta besar AS Richard Gardner, ketika PCI sedang berusaha berhubungan dengan pemerintah AS, dalam rangka memutuskan hubungannya dengan Partai Komunis Uni Soviet dan permulaan erokomunisme, berupaya mengembangkan teori dan praktik yang lebih cocok untuk negara-negara demokratis di Eropa Barat. Pada 2006, ketika Napolitano terpilih menjadi Presiden Republik Italia, Gardner menyatakan kepada Berita TV AP bahwa ia menganggap Napolitano "seorang negarawan yang sejati", "orang yang sungguh-sungguh percaya akan demokrasi" dan "seorang sahabat Amerika Serikat [yang] akan menjalankan tugasnya dengan adil dan tidak memihak".[4] Berkat peranan ini dan sebagian karena jasa baik Giulio Andreotti, pada tahun 1980-an Napolitano dapat berkunjung ke Amerika Serikat dan menyampaikan kuliah di Aspen, Colorado dan di Universitas Harvard. Sejak itu ia sudah berkunjung dan memberikan kuliah beberapa kali di AS.
Setelah Partai Komunis Italia dibubarkan pada 1991, Napolitano bergabung dengan Partai Demokratis Kiri, belakangan Demokrat Kiri (Democratici di Sinistra, atau DS). Berturut-turut ia menjabat sebagai Presiden Dewan Perwakilan (1992–1994) dan antara 1996 dan 1998 ia menjabat sebagai bekas Komunis pertama yang menjadi Menteri Dalam Negeri, peranan yang biasanya dipegang oleh Kristen Demokrat. Ia juga menjabat sebagai Anggota Parlemen Eropa dari 1999 hingga 2004. Pada Oktober 2005, ia diangkat menjadi senator seumur hidup, dan karenanya menjadi orang terakhir yang diangkat oleh Presiden Italia Carlo Azeglio Ciampi.
Presiden Italia (2006-2015)
Pemilihan presiden 2006
Pada 2006, namanya sering disebut-sebut untuk jabatan Presiden Republik Italia. Napolitano adalah usul kedua dari koalisi mayoritas kiri-tengah, Uni, sebagai ganti Massimo D'Alema, setelah kemungkinan suara bersama untuk D'Alema ditolak oleh para pemimpin koalisi kanan-tengah Wisma Kemerdekaan. Meskipun Napolitano mula-mula kelihatan sebagai calon yang dapat disetujui oleh Wisma Kemerdekaan, usul ini ditolak sama seperti usul untuk D'Alema.
Koalisi mayoritas kiri-tengah, pada 7 Mei 2006, secara resmi mendukung Giorgio Napolitano sebagai kandidtat mereka dalam pemilihan khusus yang dimulai pada 8 Mei. Vatikan mendukungnya sebagai Presiden melalui surat kabar resminya, L'Osservatore Romano, persis setelah Uni mengumumkan namanya sebagai calon mereka. Demikian pula Marco Follini, bekas sekretaris UDC, partai Kristen yang cenderung kanan, anggota Wisma Kemerdekaan.
Napolitano terpilih pada 10 Mei 2006 pada putaran pemilihan keempat—putaran pertama yang membutuhkan mayoritas mutlak saja, berbeda dengan tiga putaran sebelumnya yang membutuhkan dua pertiga suara—dengan 543 suara (dari kemungkinan 1009). Ia adalah orang pertama bekas komunis yang menjadi Presiden Italia. Sebagai calon Presiden Republik Italia ia digambarkan oleh para anggota Uni dan Wisma Kemerdekaan (yang memberikan suara kosong) setelah pemilihannya. Namun sejumlah surat kabar sayap kanan Italia, seperti misalnya il Giornale, mengungkapkan keprihatinan terhadap masa lalunya sebagai seorang komunis.[5]
Akhir hayat & kematian
Napolitano mengundurkan diri sebagai presiden Italia dengan alasan kesehatan yang memburuk pada 2015, meski masa jabatannya sebenarnya baru habis pada 2020.[6] Pada April 2018, ia menjalani operasi jantung terbuka karena pecahnya aorta. Pada 2022 ia juga menjalani operasi abdomen di Rumah Sakit Spallanzani, Roma.[7] Ia wafat pada Jumat, 22 September 2023 pada usia 98 tahun. Napolitano akan mendapat penghormatan dengan pemakaman kenegaraan, meski belum diumumkan kapan pemakaman dilaksanakan. Gedung-gedung publik dan perwakilan diplomatik Italia diwajibkan mengibarkan bendera setengah tiang sebagai bentuk penghormatan.[8]
Aneka rupa
- Pada masa mudanya, Napolitano pernah menjadi aktor teater. Ia bermain dalam sebuah komedi karya Salvatore Di Giacomo dan sebagai aktor utama dalam Viaggio a Cardiff karya William Butler Yeats. Keduanya dipentaskan di Teatro Mercadante di Napoli. Ia belakangan membandingkan dirinya dengan Joyce dan Eliot.
- Ia telah sering dikutip sebagai pengarang sebuah kumpulan soneta dalam bahasa Napoli, yang diterbitkan dengan nama samaran Tommaso Pignatelli. Ia menyangkal hal ini pada 1997 dan, sekali lagi, pada kesempatan pemilihan kepresidenannya, ketika stafnya mendefinisikan gelarnya sebagai seorang "legenda jurnalistik".[9]
- Ia dijuluki "Re Umberto" (artinya, "Raja Umberto") karena tubuhnya mirip dengan Umberto II dari Italia dan karena gayanya yang hati-hati. Julukannya yang lain adalah "Il principe rosso" ("Pangeran merah"), dan "merah" di sini merujuk kepada komunisme.
- Ia adalah sahabat matematikawan dari Napoli, Renato Caccioppoli.
Catatan
Pranala luar