Cerita rakyat Maluku dan Maluku Utara adalah legenda atau cerita kuno yang dipercayai sakral dan mistis, yang mencerminkan budaya, adat, dan kehidupan masa lampau masyarakat Maluku dan Maluku Utara, Indonesia.[1] Cerita rakyat masih populer di tengah kehidupan masyarakat Maluku dan Maluku Utara hingga saat ini.[1] Cerita rakyat Maluku seperti Nenek Luhu, Batu Badaong, Bulu Pamali, Legenda Tanifai, Buaya Tembaga, Petualangan Empat Kapitan dari Maluku, dan lain sebagainya.[2] Sedangkan cerita rakyat Maluku Utara adalah Asal Mula Telaga Biru, dan Batu Belah.[2]
Nenek Luhu
Nenek Luhu adalah seorang tokoh yang dikisahkan hilang secara misterius menurut kepercayaan masyarakat Ambon, Maluku, Indonesia.[3] Konon katanya pada zaman Belanda, di Negeri Luhu, Pulau Seram, Maluku diperintah oleh seorang raja yang bernama Raja Gimelaha Luhu Tuban yang lebih dikenal dengan nama Raja Luhu.[4] Sang Raja memiliki seorang permaisuri yang bernama Puar Bulan.[2] Sang Raja dan Sang Permaisuri dikaruniai 3 orang anak.[5] Anak sulung adalah perempuan yang bernama Ta Ina (Luhu), dan dua anak yang lain adalah laki-laki yang bernama Sabadin (Luhu) dan Kasim (Luhu).[6] Ta Ina Luhu memiliki perangai yang baik, penurut, rajin beribadah, mandiri, serta sayang kepada keluarga.[5] Suatu ketika kabar tentang kekayaan dan ketentraman Negeri Luhu didengar oleh penjajah Belanda yang berkedudukan di Ambon.[4] Belanda pun menyerang Negeri Luhu dengan persenjataan lengkap.[6] Raja Luhu dan pasukannya berusaha melakukan perlawanan, tetapi belanda berhasilkan menjatuhkan Negeri Luhu dan menguasainya.[6] Raja Luhu dan keluarganya serta seluruh rakyatnya tewas dalam pertempuran tersebut.[2] Satu-satunya orang yang selamat pada saat itu adalah putri raja, Ta Ina Luhu.[6] Namun, ia ditangkap dan dibawa oleh penjajah Belanda ke Ambon, untuk dijadikan istri panglima perang Belanda.[5] Dengan penolakkan untuk dijadikan istri, Ta Ina Luhu diperkosa oleh Panglima Belanda.[2] Karena selalu diperlakukan tidak senonoh oleh panglima tersebut, Ta Ina Luhu berusaha melarikan diri.[2] Suatu malam, Ta Ina Luhu berhasil melarikan diri dari Kota Ambon.[4] Pada malam itu juga Ta Ina Luhu berjalan menuju ke sebuah negeri yang bernama Negeri Soya.[6] Di Negeri Soya Ta Ina Luhu disambut baik oleh Keluarga Raja Soya, bahkan dianggap sebagai keluarga istana Soya.[6] Setelah beberapa bulan tinggal di istana Soya, Ta Ina Luhu hamil dan berniat melarikan diri dari istana Soya.[6] Esoknya, saat suasana istana sedang sepi di malam hari, ia mengendap-endap menuju pintu belakang dan menaiki kuda Sang Raja.[6] Ia sengaja tak memberitahu kepergiannya kepada keluarga Raja Soya, karena pastinya keluarga Raja Soya tidak akan mengizinkannya.[2]
Sesampainya di puncak gunung, Ta Ina Luhu beristirahat di bawah pohon jambu.[4] Ketika hari menjelang siang ia mendengar suara para pasukan Raja Soya memanggilnya dari kejauhan.[5] Ia akhirnya meninggalkan tempat itu. Tak begitu lama seteleh kepergiannya, sebagian rombongan pengawal Raja Soya tiba ditempat itu dan menemukan kulit jambu bekas Ta Ina Luhu.[5] Konon, rombongan itulah yang menamakan gunung tersebut dengan nama Gunung Nona.[5] Sementara itu, Ta Ina Luhu terus memacu kudanya menuruni lereng gunung menuju pantai Amahusu dengan kencang sehingga topinya diterbangkan angin.[5] Ketika sang putri hendak mengambil topi itu, tiba-tiba topinya berubah menjadi batu.[5] Batu itu dinamakan Batu Capeu hingga sekarang.[5] Setelah itu Ta Ina Luhu melanjutkan perjalanannya. Namun, begitu ia hendak memacu kudanya, ia dihadang oleh pengawal Raja Soya.[5] Ta Ina Luhu memohon agar tidak dibawa pulang ke istana Soya, karena ia tak mau merepotkan orang lain.[5]
Ketika salah seorang pengawal akan menarik tangannya, tiba-tiba Ta Ina Luhu menghilang secara gaib.[2] Para pengawal Raja Soya kaget dan terperangah menyaksikan peristiwa ajaib itu.[2] Sejak peristiwa itu, jika hujan bersamaan dengan cuaca panas, sering ada anak-anak yang hilang.[2] Menurut kepercyaan masyarakat Ambon, makhluk halus yang suka menculik anak-anak adalah jelmaan dari Ta Ina Luhu.[2] Hingga saat ini Ta Ina Luhu dikenal dengan Nenek Luhu.[2]
Si Rusa dan Si Kulomang
Si dan Si Kulomang adalah cerita rakyat yang berasal dari Maluku juga Maluku Utara.[7] Pada zaman dulu di Kepulauan Aru hidup sekelompok Rusa yang sangat berkuasa.[8] Selain mencari rumput untuk hidup sehari-hari, mereka juga sering manantang hewan lain untuk adu lari.[8] Pada suatu hari, pemimpin Rusa mengajak Si Kulomang (siput) adu lari.[8] Taruhan pertandingannya adalah tempat tinggal si siput di laut.[4] Si Kulomang menerima tantangan Si Rusa.[9] Si Rusa pun tertawa senang karena membayangkan harus adu lari dengan seekor siput tua.[8] Si Rusa mengajak teman-temannya untuk menonton pertandingan.[9] Si Kulomang juga mempersiapkan 10 temannya dan menyiapkan masing-masing di setiap ujung tanjung.[7] Saat pertandingan dimulai, Rusa berlari dengan sangat cepat.[7] Dalam waktu singkat ia sudah tiba di ujung tanjung yang pertama.[8] Ia pun tertawa terpingkal-pingkal membayangkan Kulomang yang tertinggal jauh darinya.[8] Tiba-tiba Rusa mendengar suara Kulomang yang mengatakan bahwa ia sedang di belakang Rusa.[7] Rusa sangat kaget mendengar suara Kulomang tersebut, dan Rusa pun segera berlari menuju tanjung kedua.[9] Di ujung tanjung kedua, Rusa berhenti dan beristirahat.[7] Ia yakin Kulomang tak dapat menyusulnya.[7] Namun, tiba-tiba terdengar lagi suara Kulomang mengatakan bahwa ia sedang berada di belakang Rusa.[7] Rusa berlari sekuat tenaga menuju tanjung-tanjung berikutnya.[9] Setiap ia sampai di ujung tanjung, ia selalu mendengar suara Si Kulomang yang lebih dahulu sampai.[9]
Rusa pun panik dan semakin berlari kencang tanpa beristirahat lagi.[8] Ia pun kelelahan, dadanya sesak dan tersungkur kecapaian, dan pada akhirnya tak bernapas lagi.[8] Kawanan rusa yang melihat memimpinnya mati melarikan diri dengan segera.[8] Mereka yakin Kulomang adalah siput yang sakti, karena bisa lari dengan sangat cepat.[7] Mereka tidak mengetahui bahwa yang bersuara di setiap ujung tanjung adalah teman-teman Kulomang.[9]
Asal Mula Telaga Biru
Asal Mula Telaga Biru adalah cerita rakyat atau legenda yang berasal dari Maluku Utara.[8] Di wilayah Gelela, Lisawa, daerah Halmahera Maluku Utara ada sebuah telaga yang dulunya adalah mata air yang berair jernih dan berkilau berwarna biru.[8] Pinggiran telaga itu dikelilingi pohon beringin dan bebatuan.[8] Setiap daun jatuh di sekitar telaga, daun tersebut seperti dihisap oleh bebatuan, sehingga sekitar telaga tetap terlihat bersih.[8]
Konon, kekeringan pernah melanda Galela.[10] Penduduk kesulitan air berbulan-bulan lamanya.[10] Pada suatu hari mereka dikejutkan dengan keluarnya air dari sela bebatuan yang terbentuk dari pembekuan lahar panas.[10] Air itu terus mengalir dan membentuk sebuah telaga.[8] Letak telaga ini tepat di bawah sebuah pohon beringin yang sangat rimbun.[8] Karena peristiwa ini aneh, maka penduduk desa di itu melakukan acara ritula untuk mengetahui jawaban atas kejadian ini.[11] Setelah ritual dilakukan, masyarakat Galela mengetahui bahwa air tersebut timbul dari Sininga irogi de itepi Sidago kongo dalulu de i uhi imadadi ake majobubu.[11] Artinya adalah mata air itu timbul akibat patah hati yang remuk-redam, meneteskan air mata, mengalir dan terus mengalir menjadi sumber mata air.[11]
Setelah mengetahui arti mata air tersebut, Kepala Desa menyuruh warga dusun Lisawa berkumpul.[11] Tetua adat menanyakan kelengkapan setiap anggota keluarga yang hadir.[11] Masing-masing sibuk menghitung anggota keluarganya.[11] Akhirnya diketahui ternyata ada dua keluarga yang belum lengkap.[11] Mereka adalah Majojaru (nona/cewek) dan Magohiduruu (nyong/cowok). Setelah itu, salah seorang warga yang ada di kumpulan tersebut bercerita tentang mereka berdua.[11]
Konon, dahulu ada sepasang kekasih yang berjanji untuk sehidup semati.[11] Mereka bernama Mojojaru dan Magohiduruu.[11] Pada suatu hari Magohiduruu pergi merantau ke negeri seberang.[11] Majojaru menanti dengan setia dan cemas, hampir satu tahun Magohiduruu tidak kembali.[11] Suatu hari Majojaru melihat kapal yang dinaiki Magohiduruu datang.[11] Majojaru bertanya tentang kekasihnya itu kepada awak kapal.[11] Awak kapal mengatakan bahwa ia mendengar kabar Magohiduruu telah meninggal dunia di negeri seberang.[11] Mendengar kabar tersebut, hati Majojaru sangat hancur dan pedih.[8] Dengan sedih, Majojaru berjalan mencari tempat berteduh untuk menenangkan diri.[8] Kemudian ia berteduh di bawah pohon Beringin sambil menangis meratapi kepergian kekasih hatinya.[8]
Air mata Mojojaru mengalir sangat deras hingga menggenang dan menenggelamkan bebatuan yang ada di sekitar pohon Beringin.[8] Pada akhirnya, Mojojaru tenggelam oleh air matanya.[8] Saat itu juga, langsung terbentuk sebuah telaga.[8] Airnya sebening mata wanita-wanita Lisawa.[8]
Batu Badaong
Batu Badaong adalah cerita rakyat yang berasal dari Maluku dan Maluku Utara.[8] Batu Badaong adalah nama dari Maluku, sedangkan di Maluku Utara cerita ini bernama Batu Belah.[8] Di sebelah utara kepulauan Maluku, tepatnya di daerah Tobelo hidup sebuah keluarga nelayan di rumah yang berdinding daun Rumbia.[8]
Ayah keluarga itu adalah seorang nelayan dan ibu adalah ibu rumah tangga.[8] Keluarga itu memiliki dua anak.[8] Yang sulung seorang anak perempuan yang bernama O Bia Moloku dan yang bungsu adalah laki-laki yang bernama O Bia Mokara.[8]
Pada suatu hari ayah mereka pergi melaut, dan ibu mereka pergi berkebun.[12] Sebelum ibu mereka pergi, dia berpesan kepada O Bia Moloku dan O Bia Mokara untuk tidak memakan telur ikan yang ada di dapur, karena akan membahayakan ayah mereka di laut.[12]
Tiga jam berlalu, O Bia Mokara merasa lapar, dan meminta telur ikan yang ada di dapur.[12] O Bia Moloku tak mau memberikan telur ikan kepada adiknya.[12] Namun, O Bia Mokara menangis dan makin lama tangisannya makin membesar.[12] Karena merasa kasihan, O Bia Moloku memberikan telur ikan tersebut kepada adiknya.[12] Tak lama kemudian, ibunya kembali dari kebun dengan membawa hasil kebun.[12] Ibunya menggendong O Bia Mokara, dan menyanyi bersama di pangkuannya.[12] Ibunya terkejut, melihat sisa-sisa telur ikan yang melekat di gigi O Bia Mokara dan memastikan telur ikan di dapur.[12] Ibunya sangat kecewa, pesannya telah dilanggar, telur ikannya nihil.[8] Ibunya merasa telah melanggar aturan, dan pasti suaminya tidak akan selamat di lautan.[12] Itu sudah merupakan adat dan pantangan yang dipercayai oleh seluruh masyarakat.[12] Kemudian dia melarikan diri menyusuri pesisir pantai.[12] Sambil menggendong O Bia Mokara, O Bia Moloku mengejar ibunya, memanggil-manggil ibunya.[12] Ibunya hanya menjawab, menyuruh O Bia Moloku memberikan susu kepada adiknya dari daun Katang-katang.[12] Pada saat itu O Bia Moloku melihat ibunya masuk ke dalam laut.[12] Saat ibunya masuk ke laut, tiba-tiba muncul batu besar di permukaan air laut.[8] Ibunya merayap dan berdiri di atas batu tersebut.[12] Lalu dia berteriak meminta batu tersebut membuka mulutnya.[12] Tiba-tiba batu tersebut mengikuti perintah dan terbuka lebar.[12] Kemudian ibu O Bia Moloku dan O Bia Mokara masuk ke dalam batu.[12] Setelah itu, ibu mereka menyuruh batu itu menutup, dan batu itu pun menutup dan menelan ibu mereka dengan sendirinya.[12]
Referensi