Aji Raden Padmo Negoro atau biasa disingkat A.R. Padmo, sebelumnya bergelar Aji Bambang Hasan Basri (26 November 1912 – 7 November 1995), adalah Bupati Kutai yang pertama setelah pembubaran Daerah Istimewa Kutai. Ia dilantik oleh Gubernur A.P.T. Pranoto pada tanggal 20 Agustus 1960.[1]
Ia dicopot dari jabatannya pada tahun 1964 dan dipenjara atas perintah Brigjen Soehario karena tuduhan ingin mengembalikan kekuasaan swapraja.[2] Setelah dibebaskan pada awal tahun 1965, Padmo bekerja sebagai residen dan Sekretaris Wilayah Daerah (Sekwilda) Kaltim, sebelum terpilih menjadi anggota MPR pada tahun 1973.
Kehidupan awal
Padmo lahir pada tanggal 26 November 1912 di Tenggarong dengan nama Aji Jalal.[3] Ia kemudian memperoleh gelar Aji Bambang Hasan Basri sebelum mendapat gelar Aji Raden Padmo.[4] Ayahnya bernama Aji Raden Ario Amiseno.[5] Padmo mengawali pendidikannya di HIS Tenggarong. Setelah lulus dari HIS pada tahun 1926, dia melanjutkan studi di OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) di Makassar. Saat masih studi di OSVIA, Padmo bergabung dengan organisasi pemuda Jong Islamieten Bond (JIB). Padmo kemudian lulus dari OSVIA pada tahun 1931.[6][7]
Karir politik
Karir awal
Padmo mengawali karirnya sebagai jaksa muda (adjunct djaksa) di Pengadilan (landraad) Kuala Kapuas sejak diangkat pada tanggal 12 September 1931.[8] Dia kemudian memangku berbagai jabatan administratif sebelum Perang Dunia II, seperti wedana panitera (griffier) di Tenggarong dan Samarinda, wakil kepala subdistrik di Samboja, kepala penjawat di Muara Ancalong, dan terakhir sebagai kepala subdistrik di Muara Pahu merangkap kepala penjawat di Melak.[6][7]
Masa Perang Kemerdekaan
Setelah perang berakhir, Padmo menjabat sebagai kepala penjawat di Samarinda Seberang dan patih di Balikpapan hingga tahun 1948.[6][7][9] Selain itu, dia juga menjabat sebagai wedana di Samarinda hingga tahun 1956.[7] Padmo menjadi anggota delegasi dari Negara Kalimantan Timur yang pergi ke Bandung untuk mengikuti Konferensi Federal yang akhirnya diadakan pada tanggal 25 Agustus 1948.[10][a] Dia terlibat dalam struktur pemerintah federal sebagai Kepala Jawatan Urusan Sosial dan anggota Komisi Kecelakaan Perang Daerah Kutai Timur.[6]
Tak seperti sebagian besar bangsawan Kutai yang tersingkirkan dari dunia politik akibat pendidikan yang kurang mumpuni dan kesetiaan pada Belanda selama perang, Padmo termasuk dalam golongan kecil dari bangsawan Kutai yang mampu bertahan berkat karirnya sebagai seorang birokrat dan pendidikan kepamongprajaan yang ia peroleh dari OSVIA, serta simpati terhadap kemerdekaan Indonesia.[15]
Menjadi Bupati Kutai
Pada tanggal 20 Agustus 1960, Daerah Istimewa Kutai dihapuskan dan dipecah menjadi tiga Daerah Tingkat II, yakni Kotapraja Balikpapan, Kabupaten Kutai, dan Kotapraja Samarinda. Adapun Padmo diangkat oleh Pranoto sebagai Bupati Kutai.[1] Pengangkatan Padmo tidak terlepas dari kebijakan Pranoto untuk memperkuat kedudukan bangsawan di panggung politik provinsi, hal yang tidak disenangi oleh kelompok pejuang yang terpusat di Samarinda dan Balikpapan. Selain itu, keanggotaan Padmo di dalam PIR juga berpengaruh pada pengangkatannya, sebab Pranoto juga bernaung di dalam partai tersebut.[16]
Menguatnya kedudukan bangsawan juga tidak disenangi oleh Pangdam IX/Mulawarman saat itu, Brigjen Soehario Padmodiwirio, yang antifeodal dan merupakan sekutu kelompok pejuang. Untuk melemahkan kedudukan kaum bangsawan, Soehario mengirimkan pasukannya ke Tenggarong pada bulan Agustus 1964 untuk menangkap beberapa tokoh, seperti mantan Sultan Aji Muhammad Parikesit dan Padmo sendiri. Mereka ditangkap atas tuduhan berniat mendirikan kembali daerah swapraja dan ditahan di Balikpapan. Soehario lalu menunjuk Rusdibjono, seorang pamong praja beretnis Jawa, sebagai pengganti Padmo.[2] Padmo ditahan selama enam bulan, sebelum akhirnya dibebaskan pada awal tahun 1965 atas intervensi Menteri Dalam Negeri Soemarno Sosroatmodjo.[7]
Pada tahun 1972, Padmo menjabat sebagai Ketua Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) Provinsi Kalimantan Timur sebelum akhirnya berhenti pada tahun 1973. Dia juga terpilih menjadi anggota MPR dari Fraksi Golkar mewakili Kalimantan Timur di tahun yang sama.[14][18] Padmo kemudian menjabat sebagai direktur Hotel Lamin Indah di Samarinda yang dikelola oleh pemerintah daerah.[7]
Kematian dan kehidupan pribadi
Padmo meninggal di Samarinda pada tanggal 7 November 1995 karena sakit. Adapun istrinya, Hj. Aji Haton, telah mendahuluinya pada tanggal 16 Juli 1994 karena penyebab yang sama. Pernikahan Padmo dengan Aji Haton menghasilkan empat orang anak, antara lain Aji Masdulhak Padmo, Hj. Aji Farida (istri dari Gubernur H.M. Ardans), Hj. Aji Maspulena, dan H. Aji Maspul.[19] Padmo dikenal sebagai seorang pemerhati budaya dan kesenian Kutai. Ia juga diketahui pandai menari secara lemah gemulai.[4]
Catatan
^Konferensi awalnya hendak diselenggarakan pada tanggal 20 September, tetapi kemudian dimajukan ke bulan Agustus. Setelah melalui dua kali penundaan, akhirnya konferensi diadakan pada tanggal 25 Agustus.
Amin, Mohammad Asli (1979). Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai(PDF). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Hassan, A. Moeis (2004). Kalimantan Timur: Apa, Siapa dan Bagaimana. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu. ISBN979-9222-88-5.
H. Awang Dharma Bakti, ST, MT (pjs., 2004–2005) ·Drs. Hadi Sutanto (pjs., 2005) ·Prof. Dr. H. Syaukani Hasan Rais, MM (2005–2006) ·Drs. H. Samsuri Aspar, MM (plt., 2006–2008) ·Drs. H. Sjachruddin MS, MM (pj., 2008–2009) ·H. Sulaiman Gafur, SE (pj., 2009–2010) ·Rita Widyasari, S.Sos, MM (2010–2015) ·H. Chairil Anwar. SH. M.Hum (pj., 2015–2016) ·Rita Widyasari, S.Sos, MM, Ph.D (2016–2017) ·Edi Damansyah (pj., 2017–2019, 2019–sekarang)