Muhammad Hasyim Asy'ari
K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari (14 Februari 1871 – 25 Juli 1947) adalah seorang ulama, pahlawan nasional, serta merupakan pendiri sekaligus Rais Akbar (pimpinan tertinggi pertama) organisasi massa Islam, Nahdlatul Ulama. Dikenal juga sebagai Pendiri dan Pengasuh pertama salah satu ponpes tertua di Indonesia, yaitu Pondok Pesantren TebuIreng di Jombang, Jawa Timur. Ia memiliki julukan Hadratussyaikh yang berarti mahaguru dan telah hafal Kutub At-Tis'ah (9 kitab hadis), serta memiliki gelar Syaikhu al-Masyayikh yang berarti Gurunya Para Guru.[1] Ia adalah putra dari pasangan K.H. Asy'ari dengan Ny. H. Halimah, dilahirkan di Desa Tambakrejo, Jombang, Jawa Timur, dan memiliki salah satu anak bernama K.H. A Wahid Hasyim yang juga merupakan pahlawan nasional perumus Piagam Jakarta, serta cucunya yakni K.H. Abdurrahman Wahid, merupakan Presiden RI ke-4. Mendirikan NUNahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi keagamaan Islam terbesar di Indonesia yang didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya. Layaknya organisasi lain di Indonesia pada abad ke-20 awal, Nahdlatul Ulama terbentuk oleh rasa patriotisme dan nasionalisme sebagai bentuk perlawanan secara moderat terhadap kolonialisme [2]. Pendirian organisasi ini juga dipengaruhi oleh dinamika sosial-politik internasional pada awal abad ke-20, termasuk penghapusan sistem kekhalifahan di Turki serta menguatnya gerakan Wahabi di Arab Saudi. Para ulama pendiri, antara lain K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah, dan K.H. Bisri Syansuri, membentuk NU dengan tujuan menjaga tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah dan mengembangkan ajaran Islam sesuai konteks masyarakat Indonesia.[3] [4] Setelah melakukan pertimbangan mengenai ide pendirian organisasi, Kyai Hasyim kemudian pergi menghadap Syaikhona Kholil Bangkalan untuk berkonsultasi. Maka Kyai Hasyim mendapatkan restu mengenai ide pendirian organisasi ini.[5] Kemudian pada tahun 1924, Syaikhona Kholil mengutus Kiai As'ad yang saat itu berumur 27 tahun untuk mengantarkan sebuah tongkat sebagai simbol restu kepada Kiai Hasyim Asy'ari di Tebuireng, Jombang dan memintanya untuk menghafalkan Surat Thaha ayat 17-23 guna dibacakan di hadapan Kyai Hasyim. Kyai As'ad kemudian berangkat dengan sepeda serta uang bekal pemberian Syaikhona Kholil sebagai akomodasi perjalanan. Setibanya di Tebuireng, Kiai As’ad menghadap Kiai Hasyim Asy'ari dan menyerahkan tongkat itu. Kiai Hasyim bertanya “Apakah ada pesan dari Syaikhona?” Lalu Kiai As’ad membaca Surat Thaha ayat 17-23 sesuai dengan arahan Syaikhona Kholil. ![]() Beberapa hari kemudian, Syaikhona Kholil kembali mengutus Kiai As'ad untuk mengantarkan sebuah tasbih kepada Kiai Hasyim sebagai sebuah simbol restu yang kedua. Syaikhona Kholil berpesan agar Kiai As'ad membaca "Yaa Jabbar Yaa Qahhar" hingga sampai Tebuireng dan membacanya di hadapan Kiai Hasyim. K.H. Hasyim Asy'ari dengan dua barang yang telah diterima tersebut, mengartikan bahwa Syaikhona Kholil memang telah merestuinya untuk mendirikan organisasi. Maka, setahun kemudian, pada tanggal 31 Januari 1926 M / 16 Rajab 1344 H di Surabaya berkumpul para ulama se-Jawa-Madura. Mereka bermusyawarah dan sepakat mendirikan organisasi Islam Nahdlatul Ulama[6] . PemikiranPemikiran dari K.H. Hasyim Asy'ari tentang Ahlussunnah wal Jama’ah adalah ulama dalam bidang tafsir Al Qur'an, Sunnah Nabi Muhammad, dan Fiqih yang tunduk pada tradisi Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Selanjutnya beliau menyatakan bahwa sampai sekarang ulama tersebut termasuk "mereka yang mengikuti Mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi'i, dan Imam Hambali". Pemikiran inilah yang diterapkan oleh Jam'iyah Nahdlatul Ulama yang menyatakan sebagai pengikut, penjaga, pelestari, dan penyebar paham Ahlussunnah wal Jama’ah Ahlussunnah wal Jama’ah dalam pandangan K.H. Hasyim Asy'ari tidak memiliki makna tunggal, tergantung perspektif yang digunakan. Paling tidak terdapat dua perspektif yang digunakan untuk mendefinisikan Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu teologi dan fiqih. Namun, jika ditelusuri lebih lanjut melalui karya-karya K.H. Hasyim Asy'ari, maka sebenarnya dapat diambil sebuah kesimpulan yaitu bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah pada dasarnya lebih kepada pola keberagaman bermadzhab kepada generasi muslim masa lalu yang cukup otoritatif secara religius.[7] Resolusi JihadResolusi Jihad adalah suatu hasil dari perenungan dan penghayatan nilai-nilai Islam kebangsaan. Tak lama setelah merdeka, Indonesia kembali mendapat teror Belanda yang ingin kembali masuk menguasa Indonesia dari tangan Jepang. Presiden Soekarno mengutus Bung Tomo untuk menghadap KH Hasyim Asy’ari untuk meminta nasihat dan pendapat bagaimana kiranya hukumnya umat Islam menghadapi ancaman tersebut. Menanggapi hal itulah K.H. Hasyim Asy’ari[8] mengeluarkan fatwa yang kemudian diputuskan dalam rapat para konsul NU se-Jawa Madura. Berikut isi teks asli fatwa tersebut.
Dengan ini,maka sudah jelaslah bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy'ari memiliki peranan yang sangat penting dalam kemerdekaan bangsa Indonesia Karya
KematianKiai Hasyim meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 M atau 7 Ramadan 1366 H, saat itu di Kiai Hasyim menerima kedatangan utusan Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Bung Tomo yang hendak mengabarkan keadaan negara setelah terjadinya Agresi Militer I pada 21 Juli 1947. Kiai Hasyim kaget sebab mendengar cerita dari utusan tersebut bahwa Singosari telah direbut oleh Jenderal Spoor. Mendengar kabar itu, Kiai Hasyim sangat kaget hingga beliau jatuh pingsan, sempat didatangkan dokter namun nyawanya tak bisa diselamatkan lagi, ia dimakamkan di komplek Pondok Pesantren Tebuireng, Diwek, Jombang.[9] Dalam budaya populer
ReferensiCatatan Kaki
Pranala luar
|