Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Misantropi

Le Misanthrope, edisi tahun 1719.

Misantropi adalah bentuk umum dari kebencian, ketidaksukaan, atau ketidakpercayaan terhadap spesies manusia, tingkah laku manusia, maupun hakikat manusia. Seorang misantrop atau misan­tropis adalah mereka yang memegang pandangan atau merasakan hal itu. Misan­tropi melandaskan dirinya pada sikap evaluatif negatif terhadap umat manusia, suatu penilaian yang lahir dari kecacatan jiwa manusia. Para misantrop beranggapan bahwa cacat-cacat tersebut bukanlah pengecualian melainkan esensi yang mengakar pada sebagian besar, bahkan seluruh, manusia. Menurut mereka, tidak ada jalan pintas untuk memperbaikinya kecuali melalui transformasi mendalam dari gaya hidup yang telah berkuasa.

Dalam ranah akademis, dikenal berbagai jenis misantropi, dibedakan berdasarkan sikap apakah yang terlibat, kepada siapa ia diarahkan, dan bagaimana ia diwujudkan. Dasarnya bisa berupa emosi, atau berupa penilaian teoretis; ia bisa ditujukan kepada seluruh manusia tanpa terkecuali, atau memberi toleransi terhadap beberapa sosok ideal. Dalam hal ini, ada misantrop yang juga mengutuk dirinya sendiri, sementara yang lain memosisikan diri di atas orang lain.

Misantropi kadang terkait erat dengan pandangan destruktif—dorongan untuk melukai sesama atau kecenderungan melarikan diri dari masyarakat. Namun, ada pula bentuk lain: aktivisme yang berupaya memperbaiki umat manusia, quietisme berupa penyerahan diri, atau humor yang menertawakan absurditas kondisi manusia.

Pandangan negatif misantropi berakar pada ragam kelemahan manusia. Cacat moral dan keputusan yang tidak etis sering dijadikan dasar: kekejaman, keegoisan, ketidakadilan, kerakusan, dan ketidakpedulian terhadap penderitaan makhluk lain. Semua itu dapat menimbulkan kerugian bagi manusia dan hewan, mulai dari genosida hingga peternakan massal. Ada pula cacat intelektual seperti dogmatisme dan bias kognitif, serta cacat estetika berupa keburukan dan ketiadaan kepekaan terhadap keindahan.

Dalam kajian akademik, sering diperdebatkan apakah misantropi merupakan pandangan yang sah dan apa konsekuensinya. Pendukungnya menyatakan bahwa cacat manusia serta kerusakan yang ditimbulkannya sudah cukup sebagai alasan mengecam umat manusia. Para penentang menanggap bahwa cacat parah itu hanya muncul dalam kasus ekstrem (misalnya pelaku dengan kondisi gangguan mental) bukan mewakili seluruh kemanusiaan. Kritik lain menyebut bahwa manusia juga memiliki kebajikan, sehingga evaluasi yang seimbang mungkin akan lebih positif. Kritik selanjutnya menolak misantropi karena hubungannya dengan kebencian yang bisa mendorong kekerasan, dan karena ia mungkin membuat seseorang terasing, tanpa teman, dan tidak bahagia. Pembela misantropi pun merespons bahwa kesan itu hanya berlaku pada beberapa ragam misantropi, bukan pada misantropi secara umum.

Faktor psikologis dan sosial yang dapat melahirkan misantropi antara lain ketidaksetaraan sosial-ekonomi, hidup di bawah rezim otoriter, serta kekecewaan pribadi dalam kehidupan. Misan­tropi relevan dalam berbagai disiplin ilmu, dan sepanjang sejarah telah diulas serta diwujudkan oleh para filsuf seperti Herakleitos, Diogenes, Thomas Hobbes, Jean-Jacques Rousseau, Arthur Schopenhauer, dan Friedrich Nietzsche. Pandangan misantropis juga hadir dalam beberapa ajaran agama yang menyingkap kelemahan terdalam manusia, seperti doktrin Kristen tentang dosa asal.

Tokoh dan perspektif misantropis pun mewarnai sastra dan budaya populer: dari gambaran William Shakespeare tentang imon dari Athena, lakon The Misanthrope karya Molière, hingga Gulliver’s Travels karya Jonathan Swift. Misan­tropi sangat berkaitan namun tidak identik dengan pesimisme filosofis. Beberapa misantrop juga menganjurkan antinatalisme, pandangan bahwa manusia sebaiknya menahan diri dari prokreasi.[1][2]

Pemikiran Islam

Para pemikir tertentu seperti Ibnu al-Rawandi, seorang skeptis Islam, dan Muhammad bin Zakariya ar-Razi sering kali mengungkapkan pandangan misantropia.[3]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Benatar 2015, hlm. 34–64.
  2. ^ MacCormack 2020, hlm. 143.
  3. ^ Stroumsa, Sarah (1999). Freethinkers of Medieval Islam: Ibn Al-Rawāndī, Abū Bakr Al-Rāzī and Their Impact on Islamic Thought. Brill Publishers. hlm. 9.
Prefix: a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Portal di Ensiklopedia Dunia

Kembali kehalaman sebelumnya