Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Nihilisme

Diagram dengan teks "nihilism", "meaning", "morality", dan "knowledge", beserta panah-panah penghubung
Beragam bentuk nihilisme menolak aspek-aspek tertentu dari eksistensi, seperti makna yang lebih tinggi, moralitas, dan pengetahuan.[1]

Nihilisme[a] adalah sebuah rumpun pandangan filsafat yang berpendapat bahwa hidup tak memiliki makna, bahwa nilai-nilai moral tidak berlandasan, atau bahwa pengetahuan mustahil dicapai. Karena itu, pandangan ini menolak dasar dari gagasan-gagasan tertentu. Nihilisme merentang pada berbagai cabang filsafat, termasuk etika, teori nilai, epistemologi, dan metafisika. Ia juga digambarkan sebagai sebuah fenomena kebudayaan yang luas, bahkan sebagai gerakan sejarah yang menandai modernitas di dunia Barat.

Nihilisme eksistensial menyatakan bahwa hidup pada hakikatnya tidak memiliki makna maupun tujuan yang lebih tinggi. Dengan menyiratkan bahwa segala pencapaian individu maupun masyarakat pada akhirnya sia-sia, pandangan ini dapat menjerumuskan seseorang pada ketidakpedulian, hilangnya dorongan hidup, atau krisis eksistensial. Sebagai tanggapan, sebagian filsuf menganjurkan pelepasan dari urusan-urusan duniawi, sementara yang lain berupaya menemukan atau menciptakan nilai-nilai baru. Nihilisme moral, pandangan yang berdekatan, menolak keberadaan objektif dari moralitas dengan menyatakan bahwa penilaian dan praktik moral hanya berakar pada asumsi-asumsi keliru yang tak memiliki pijakan dalam realitas eksternal.

Dalam ranah epistemologi atau teori pengetahuan, nihilisme menggugat hakikat pengetahuan dan kebenaran. Menurut relativisme, pengetahuan, kebenaran, ataupun makna selalu terkait dengan perspektif individu tertentu atau konteks budaya. Hal ini menyiratkan bahwa tidak ada kerangka independen untuk menilai mana pendapat yang sungguh benar. Interpretasi skeptis melangkah lebih jauh dengan menolak keberadaan pengetahuan atau kebenaran sama sekali. Dalam metafisika, salah satu bentuk nihilisme berpendapat bahwa alam semesta mungkin saja kosong, tanpa objek sama sekali. Pandangan ini menyatakan bahwa tak ada alasan mendasar bagi pertanyaan mengapa ada sesuatu alih-alih ketiadaan. Nihilisme mereologis menegaskan bahwa yang ada hanyalah benda-benda sederhana, seperti partikel elementer, dan bukan benda majemuk seperti meja. Nihilisme kosmologis berpandangan bahwa realitas pada hakikatnya tak terpahami dan bersikap acuh terhadap daya pemahaman manusia. Bentuk-bentuk nihilisme lainnya meliputi nihilisme politik, semantik, logis, hingga nihilisme terapeutik.

Akar-akar nihilisme dapat ditelusuri kembali ke filsafat kuno, dalam bentuk tantangan terhadap keyakinan, nilai, dan praktik yang mapan. Namun demikian, nihilisme terutama dikaitkan dengan modernitas, muncul pada abad ke-18 dan ke-19, khususnya di Jerman dan Rusia melalui karya-karya Friedrich Heinrich Jacobi dan Ivan Turgenev. Ia mencapai puncaknya dalam pemikiran Friedrich Nietzsche, yang memahami nihilisme sebagai arus budaya yang merata, di mana manusia kehilangan nilai dan cita-cita yang membimbing hidup mereka akibat sekularisasi. Pada abad ke-20, tema-tema nihilisme dieksplorasi lebih jauh oleh Dadaisme, eksistensialisme, dan filsafat postmodern.

Definisi, istilah terkait, dan etimologi

Nihilisme adalah sebuah rumpun pandangan yang menolak atau menyangkal aspek-aspek tertentu dari eksistensi.[2] Bentuk-bentuk nihilisme yang berbeda menolak ciri-ciri realitas yang berlainan. Sebagai contoh, nihilisme eksistensial menolak bahwa kehidupan memiliki makna yang lebih tinggi, sementara nihilisme moral menolak keberadaan fenomena moral. Demikian pula, nihilisme epistemologis meragukan kemungkinan adanya pengetahuan objektif, sedangkan nihilisme politik mendorong kehancuran institusi politik yang mapan.[1] Definisi nihilisme yang tepat masih diperdebatkan, dan banyak rumusan lain serta ragam nihilisme telah diajukan, mencakup spektrum luas tema-tema yang ditelaah cabang filsafat berbeda, seperti etika, teori nilai, epistemologi, dan metafisika.[3]

Selain teori filosofis, nihilisme juga menunjuk pada fenomena kultural yang lebih luas atau sebuah gerakan historis. Dalam konteks ini, ia terutama dikaitkan dengan modernitas di Dunia Barat, yang ditandai oleh skeptisisme mendalam terhadap norma dan nilai yang mapan, disertai sikap acuh, keputusasaan, dan ketiadaan tujuan.[4] Di luar wacana akademis, istilah nihilisme dipakai secara lebih longgar dalam bahasa sehari-hari untuk menggambarkan sikap negatif, destruktif, atau antisosial, yang menunjukkan ketidakpedulian seseorang terhadap suatu perkara. Misalnya, konservatif dapat dicap nihilistis karena tidak menghargai kemajuan, sementara progresif dapat disebut demikian karena mengabaikan norma-norma mapan.[5]

Potret lukisan minyak seorang pria berjas gelap dengan sulaman emas, bersedekap
Friedrich Heinrich Jacobi menciptakan istilah nihilisme sebagai sebuah konsep filosofis.[6]

Nihilisme erat kaitannya dengan sikap kecewa atau kehilangan ilusi terhadap dunia, seperti pesimisme, absurdime, eksistensialisme, sinisme, dan apati. Meski makna istilah-istilah ini sering bertumpang tindih, masing-masing memiliki nuansa tersendiri dan tidak selalu saling mengandaikan.[7] Pesimisme berlawanan dengan optimisme, berupa pandangan muram yang terpusat pada kemungkinan buruk dan ditandai keputusasaan. Perbedaan utama dengan nihilisme, menurut salah satu tafsir, ialah bahwa kaum pesimis melihat dunia sebagai sesuatu yang secara hakiki buruk, sedangkan kaum nihilistis menolak bahwa dunia memiliki makna positif ataupun negatif.[8] Absurdime berpendapat bahwa dunia bukan sekadar tanpa makna, sebagaimana ditegaskan nihilisme eksistensial, melainkan juga absurd. Ia menelaah absurditas yang muncul dari upaya paradoksal mencari makna dalam semesta yang pada dasarnya tanpa makna.[9] Eksistensialisme adalah tradisi filsafat yang menanggapi pandangan absurdistis dan nihilistis sembari mengupas kondisi manusia melalui tema-tema seperti kecemasan, kematian, kebebasan, dan keaslian.[10] Sinisme adalah sikap curiga terhadap motif orang lain atau masyarakat secara umum.[11] Apati adalah suatu keadaan mental di mana seseorang tidak peduli terhadap hal-hal, ditandai ketidakacuhan serta ketiadaan hasrat dan emosi.[12]

Kata nihilisme berasal dari gabungan istilah Latin nihil, yang berarti 'tiada', dan sufiks -isme, yang menandai sebuah ideologi. Makna harfiahnya adalah 'ideologi ketiadaan' atau 'ideologi penyangkalan', sebagaimana tercermin dalam kata-kata seperti annihilate dan nihility.[13] Istilah ini muncul di Jerman pada abad ke-18, mula-mula sebagai istilah kesusastraan dan kemudian berkembang menjadi gagasan filosofis yang dikonseptualisasikan oleh Friedrich Heinrich Jacobi untuk mengkritik aliran filsafat yang menolak makna atau eksistensi.[14] Pemakaian pertamanya dalam bahasa Inggris tercatat sejak dekade 1810-an.[15] Istilah ini meraih popularitas di Rusia pada abad ke-19 melalui novel Ivan Turgenev, Fathers and Sons, serta gerakan nihilisme Rusia. Minat terhadapnya meluas pada abad ke-20, terutama sebagai tanggapan atas karya-karya Friedrich Nietzsche, sementara maknanya berkembang untuk mencakup rentang fenomena filosofis dan kultural yang lebih luas.[16]

Etika dan teori nilai

Foto hitam-putih menampilkan seorang pria dengan kumis tebal dari samping, mengenakan jas gelap dan menyandarkan kepala pada tangannya
Friedrich Nietzsche menggambarkan nihilisme sebagai suatu proses di mana "nilai-nilai tertinggi mendevaluasi dirinya sendiri".[17]

Ragam nihilisme yang berhubungan dengan ranah etika dan teori nilai menyoal keberadaan nilai, moralitas, dan makna hidup.[18]

Nihilisme eksistensial

Nihilisme eksistensial berpendapat bahwa hidup tidak memiliki makna. Pandangan ini tidak sekadar menyatakan bahwa sebagian orang gagal menemukan arti dalam hidupnya, melainkan mengajukan klaim yang lebih luas: bahwa eksistensi manusia secara umum—atau dunia secara keseluruhan—tidak memiliki tujuan yang lebih tinggi. Menurut perspektif ini, hidup yang sungguh-sungguh bermakna mustahil adanya; tak ada alasan luhur untuk melanjutkan hidup, dan segala upaya, pencapaian, kebahagiaan, maupun penderitaan pada akhirnya sia-sia.[19]

Nihilisme eksistensial memiliki implikasi praktis yang beragam, sebab manusia umumnya bertindak dengan suatu tujuan, sering kali demi menjadikan hidupnya terasa bermakna. Maka, keyakinan bahwa tidak ada makna atau tujuan yang lebih tinggi dapat menimbulkan ketidakpedulian, hilangnya dorongan, dan kecemasan. Dalam bentuk yang ekstrem, hal ini bisa berujung pada depresi dan keputusasaan, atau memicu suatu krisis eksistensial.[20][b] Sejumlah filsuf, seperti Martin Heidegger, menyoroti keterkaitannya dengan kebosanan, dengan berpendapat bahwa ketiadaan keterlibatan dan tujuan dalam suatu suasana batin menjadikan hidup tampak tak berarti.[22]

Foto hitam-putih seorang pria berkacamata mengenakan jas gelap dengan dasi
Dalam menghadapi persoalan nihilisme eksistensial, Jean Paul Sartre mengajukan bahwa manusia dapat memberi makna pada hidupnya dengan mencipta dirinya sendiri beserta nilai-nilainya.[23]

Beragam tanggapan terhadap nihilisme eksistensial telah diajukan.[24] Terinspirasi oleh filsafat India, Arthur Schopenhauer menawarkan respons pesimistis dan asketis, dengan menganjurkan pelepasan dari dunia melalui penolakan terhadap hasrat dan penghentian afirmasi atas hidup.[25] Friedrich Nietzsche justru berusaha memanfaatkan daya guncang nihilisme untuk menafsirkan ulang atau menilai kembali semua nilai dan ideal yang mapan, demi melampaui nihilisme dan menggantikannya dengan sikap afirmatif terhadap kehidupan.[26][c] Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa manusia dapat mencipta nilainya sendiri melalui pilihan-pilihan bebas, meski alam semesta tidak menyediakan makna apa pun. Sementara itu, setelah mempertimbangkan kemungkinan bunuh diri, Albert Camus justru menegaskan sikap menantang, yakni pemberontakan melawan ketiadaan makna.[28] Respons lain mencakup sikap destruktif yang berusaha meruntuhkan otoritas politik dan institusi sosial, upaya menangkis nihilisme dengan menemukan sumber makna yang sejati, serta sikap penyerahan diri atau penerimaan yang tenang.[29]

Perdebatan mengenai nihilisme eksistensial kerap mengemuka dalam wacana akademis. Dari perspektif kosmologi, ada yang menekankan bahwa eksistensi manusia hanyalah sebutir kecil dan tak berarti dalam keseluruhan alam semesta, yang pada dirinya acuh tak peduli pada kepentingan dan cita-cita manusia. Pandangan ini selaras dengan sikap ateisme, yang menyatakan bahwa tanpa Tuhan, tak ada sumber nilai luhur yang melampaui dunia alamiah. Perspektif lain menyoroti keberlimpahan penderitaan dan kekerasan yang tak masuk akal, seraya menekankan rapuhnya kebahagiaan. Sejumlah pemikir mengaitkan pandangan ini dengan kefanaan manusia, menyatakan bahwa keniscayaan kematian menjadikan segala pencapaian manusia bersifat sementara dan akhirnya sia-sia.[30] Dari sudut pandang biologi, muncul argumen bahwa kehidupan digerakkan oleh seleksi alam buta dalam skala besar dan pemenuhan kebutuhan bawaan dalam skala individu, tanpa mengarah pada tujuan yang lebih tinggi.[31] Sebaliknya, para subjektivis menekankan sifat subjektif dari seluruh pengalaman nilai, dengan menyatakan bahwa pengalaman itu tidak memiliki dasar objektif.[32]

Para penentang nihilisme eksistensial menanggapi pernyataan-pernyataan tersebut dengan kontra-argumen. Misalnya, sebagian menolak pandangan pesimistis yang melihat hidup terutama ditandai penderitaan, kekerasan, dan kematian; mereka menegaskan bahwa fenomena negatif itu diimbangi oleh pengalaman positif seperti kebahagiaan dan cinta.[33] Berbagai teori non-nihilistik mengenai makna hidup turut dibahas dalam diskursus akademis. Pandangan supranaturalistik menempatkan Tuhan atau jiwa sebagai sumber makna. Sebaliknya, pandangan naturalisme menegaskan bahwa nilai, baik yang subjektif maupun objektif, inheren dalam dunia fisik. Pandangan ini mencakup diskusi tentang ranah-ranah di mana manusia secara aktif menemukan makna, seperti menjalankan kebebasan, mengabdikan diri pada suatu tujuan, mengejar altruisme, serta menjalin hubungan sosial yang positif.[34]

Nihilisme moral

Berbeda dari nihilisme eksistensial, nihilisme moral berfokus secara khusus pada gejala moral, alih-alih pada makna atau tujuan yang lebih tinggi. Dalam pengertian paling luas, ia merupakan pandangan metaetika bahwa tidak ada fakta moral. Kerap disebut pula sebagai amoralisme atau teori kekeliruan, ia menolak keberadaan objektif dari moralitas, dengan dalih bahwa teori-teori maupun praktik yang dikategorikan di bawah nama tersebut berdiri di atas asumsi yang keliru dan tak memiliki kaitan nyata dengan kenyataan itu sendiri.[35]

Dalam ranah praktis, beberapa nihilis moral, seperti Nietzsche, menyatakan bahwa tanpa kewajiban moral, segala sesuatu diperkenankan—seolah manusia bebas bertindak menurut kehendaknya sendiri. Namun, nihilist moral lain menolak kesimpulan ini, dengan berargumen bahwa penyangkalan terhadap moralitas menyentuh bukan hanya kewajiban moral (apa yang mesti dilakukan), melainkan juga izin moral (apa yang boleh dilakukan).[36] Pandangan yang berkaitan dengannya, yakni nihilisme aksiologis, menolak keberadaan objektif nilai pada umumnya. Penolakan ini tidak terbatas pada nilai moral, melainkan juga mencakup nilai estetis maupun religius.[37]

Salah satu argumen bagi nihilisme moral berpijak pada sifat ganjil dari sifat-sifat moral: bukannya mendeskripsikan, melainkan memberi preskripsi tentang apa yang harus dilakukan, berbeda dari fakta-fakta seperti bentuk atau ukuran. Versi yang berlandaskan sains menyatakan bahwa penyelidikan ilmiah tidak mengungkap fakta moral yang objektif, atau bahwa manusia memang kekurangan sumber pengetahuan moral. Argumen lain menitikberatkan pada konvensionalitas penilaian moral serta sulitnya menyelesaikan perbedaan pandangan moral.[38] Jalur pemikiran lain menyoroti asal-usul evolusi dari moralitas, melihatnya sebagai sekadar produk seleksi alam tanpa landasan metafisis yang lebih dalam.[39]

Para realis moral mengajukan sejumlah keberatan terhadap nihilisme moral. Kaum naturalis berpendapat bahwa fakta moral adalah bagian dari dunia alami dan dapat diamati secara empiris. Non-naturalis menyatakan bahwa fenomena moral memang berbeda dari fenomena alamiah, namun tetap sungguh-sungguh nyata.[40] Para filsuf akal sehat menegaskan bahwa keyakinan moral terpatri dalam pengalaman praktis serta nalar sehari-hari, sehingga menyangkal seluruh fakta moral dianggap tidak masuk akal. Keberatan serupa menyatakan bahwa nihilisme moral tak konsisten secara konseptual dan lahir dari salah paham terhadap bahasa moral. Kritikus lain menyoroti konsekuensi praktis negatif alih-alih kebenaran, dengan menyatakan bahwa nihilisme moral merapuhkan kepercayaan sosial serta menuntun pada perilaku antisosial.[41]

Sebagian filsuf menggunakan istilah nihilisme moral dalam arti yang lebih terbatas, tanpa mengimplikasikan penolakan atas segala bentuk moralitas. Dalam arti alternatif ini, nihilisme moral disamakan dengan subjektivisme moral, yang berargumen bahwa penilaian moral sepenuhnya bersifat subjektif dan tak memiliki pembenaran rasional yang objektif. Dengan demikian, penilaian moral dilihat sebagai ungkapan preferensi pribadi yang sewenang-wenang, sehingga perbedaan moral tak dapat diselesaikan secara rasional.[42] Dalam arti lainnya, nihilisme moral merujuk pada egoisme etis, yakni pandangan bahwa moralitas ditentukan oleh kepentingan diri. Menurut pandangan ini, kesejahteraan orang lain tidak memiliki implikasi moral, kecuali jika berpengaruh secara eksternal terhadap kesejahteraan diri sendiri.[43]

Epistemologi

Relativisme

Nihilisme epistemologis, atau nihilisme epistimik, merupakan sekumpulan pandangan yang menggugat keberadaan maupun sifat universal dari pengetahuan. Beberapa variannya berpaut pada relativisme, dengan menolak kemungkinan adanya objektivitas. Sebagai contoh, relativisme kebenaran menyatakan bahwa kebenaran selalu terikat pada perspektif individu, kelompok, zaman sejarah, atau konteks budaya tertentu.[d] Menurut pandangan ini, pernyataan seperti “matahari terbit di timur” atau “membunuh itu salah” dapat benar dalam satu perspektif, namun keliru dalam perspektif lain. Teori ini tidak hanya menegaskan bahwa orang berbeda dalam pendapatnya, tetapi juga bahwa tak ada kerangka acuan yang mandiri untuk menentukan pendapat mana yang pada akhirnya lebih benar. Dengan demikian, tak ada kebenaran absolut yang dapat menjadi titik temu bagi para pengamat dari perspektif yang berbeda.[45]

Bentuk lain dari nihilisme relativistik lebih menitikberatkan pada makna ketimbang kebenaran. Pandangan ini berargumen bahwa manusia bergantung pada skema konseptual yang tak saling cocok[e] untuk memahami dunia. Tanpa kerangka universal, komunikasi yang tulus dan pemahaman bersama dianggap mustahil, sebab tiap sudut pandang membawa tafsirannya sendiri atas kenyataan. Tanpa landasan bersama, sistem kepercayaan yang tak terbandingkan ini hanyalah bangunan sewenang-wenang, yang membatasi nalar hanya dalam kerangka sistem tertentu tanpa kemampuan menjembatani perbedaan di antara mereka.[47]

Foto hitam-putih seorang pria berbaju putih, menatap sedikit ke atas
Dalam menggali antifondasionalisme, Jean-François Lyotard menentang metanarasi yang berupaya menghadirkan kerangka universal bagi rasionalitas.[48]

Para pendukung relativisme menekankan keberagaman sudut pandang manusia dan kerapnya ketidakmampuan untuk menyelesaikan perselisihan maupun mencapai pemahaman bersama.[49] Argumen lain menyatakan bahwa teori-teori pada umumnya kurang ditentukan oleh data yang mendukungnya. Akibatnya, terdapat berbagai tafsir yang sama-sama sahih tanpa adanya standar objektif untuk meredakan perbedaan tersebut.[50] Kritik yang berpengaruh menuduh relativisme meruntuhkan dirinya: bila semua kebenaran relatif terhadap sudut pandang tertentu, maka relativisme itu sendiri pun hanya benar bagi sebagian perspektif dan keliru bagi yang lain.[51] Keberatan lain menyebut bahwa ketiadaan standar epistimik absolut membawa konsekuensi ganjil, misalnya bahwa orang seharusnya tak perlu berdebat jika berbeda pandangan, atau bahwa mereka sebaiknya menangguhkan penghakiman sama sekali.[52]

Nietzsche merupakan salah satu pendukung berpengaruh dari nihilisme relativistik. Ia memandang sistem kepercayaan sebagai ekspresi dari kehendak untuk berkuasa, dengan tujuan untuk menegaskan dominasi ketimbang merepresentasikan kenyataan.[53] Dalam filsafat postmodern, nihilisme epistemologis kerap dikaitkan dengan antifondasionalisme, yang menyatakan bahwa tak ada landasan rasional terakhir bagi pengetahuan maupun tindakan. Ia menentang kerangka-kerangka universal—yang disebut metanarasi agung—yang mengklaim mampu menghadirkan fondasi semacam itu.[54]

Skeptisisme

Jika relativisme dalam nihilisme epistemologis masih mengakui bahwa pengetahuan mungkin ada sejauh ia dipandang dari suatu perspektif tertentu, maka bentuk skeptisisme menolak keberadaan pengetahuan secara mutlak.[f] Pandangan ini, yang juga kerap disebut skeptisisme radikal, berpendapat bahwa tidak ada dasar ataupun justifikasi bagi klaim-klaim pengetahuan. Berbeda dari bentuk skeptisisme yang lebih moderat, ia bahkan meragukan klaim pengetahuan yang paling masuk akal sekalipun, termasuk yang berakar pada nalar sehat sehari-hari.[56] Suatu bentuk nihilisme epistemologis yang berdekatan, kadang disebut nihilisme aletik, tidak lagi menyoal pengetahuan melainkan kebenaran itu sendiri, dengan menyatakan bahwa kebenaran tidaklah ada.[57]

Salah satu argumen yang mendukung skeptisisme radikal berangkat dari anggapan bahwa kepastian mutlak adalah syarat bagi pengetahuan. Dari sini ditunjukkan bahwa keraguan tidak pernah dapat sepenuhnya disingkirkan.[58] Sebagai contoh, argumen mimpi yang pernah dikemukakan oleh filsuf seperti René Descartes, menegaskan bahwa ketika seseorang sedang bermimpi, ia tidak dapat membedakan apakah dirinya tengah bermimpi atau berada dalam kenyataan. Dari sini muncul kesimpulan bahwa pengetahuan mustahil, sebab seseorang tidak pernah dapat benar-benar yakin bahwa ia tidak sedang bermimpi.[59] Pendekatan lain, terilhami oleh Roderick Chisholm, berpendapat bahwa diperlukan suatu kriteria atau standar evaluasi untuk menilai apa yang layak disebut pengetahuan. Namun, kriteria ini mustahil dimiliki tanpa pengetahuan terdahulu; sedangkan pengetahuan itu sendiri tidak bisa ditentukan tanpa kriteria. Dengan demikian, keduanya saling menggantungkan diri, menyerupai persoalan mana yang lebih dahulu: ayam atau telur.[60][g]

Namun demikian, skeptisisme radikal merupakan posisi yang jarang dipegang; hanya sedikit filsuf yang menerimanya, sementara kritik terhadapnya sangat banyak. Pengaruh utamanya justru lahir dari upaya para filsuf non-skeptis yang berusaha menunjukkan bahwa teori mereka mampu mengatasi tantangan skeptisisme.[62] Beberapa keberatan menyatakan bahwa skeptisisme radikal tidak koheren atau bahkan meniadakan dirinya sendiri. Misalnya, jika pengetahuan tidak ada, maka para skeptis juga tidak dapat mengetahui bahwa pengetahuan itu tidak ada—sehingga patut dipertanyakan mengapa orang lain harus menerima pandangan mereka.[63] Kontra-argumen lain berpegang pada akal sehat, yang diyakini memberikan dukungan lebih kuat bagi keberadaan pengetahuan dibanding argumen-argumen abstrak yang digunakan untuk membela skeptisisme.[64]

Nihilisme epistemologis juga dapat membuka jalan menuju bentuk-bentuk nihilisme lainnya. Misalnya, ketidakmampuan untuk memahami makna hidup dapat menggiring pada kesimpulan bahwa hidup memang tanpa makna, yang berujung pada nihilisme eksistensial.[65] Skeptisisme moral, yakni pandangan bahwa tidak ada pengetahuan moral, dapat menimbulkan akibat serupa: ketidakmampuan membedakan yang benar dan yang salah dapat berujung pada penolakan atas fakta-fakta moral. Sebagian pemikir bahkan menafsirkan nihilisme epistemologis terutama sebagai bentuk skeptisisme moral.[66]

Metafisika

Nihilisme metafisik

Nihilisme metafisik atau ontologis merangkum pandangan-pandangan tentang hakikat paling mendasar dari realitas. Salah satu variannya menyoroti pertanyaan mendasar: mengapa ada sesuatu, alih-alih ketiadaan sama sekali. Pandangan ini menyatakan bahwa—setidaknya secara prinsip—dunia yang sepenuhnya hampa adalah mungkin. Meskipun mengakui bahwa dunia kita berisi objek konkret, ia berargumen bahwa keberadaan mereka tidaklah niscaya, sebab bisa saja tidak ada apa pun. Dalam skenario demikian, jagat raya akan sepenuhnya kosong: tanpa manusia, tanpa hewan, tanpa planet, bahkan tanpa materi atau energi dalam bentuk apa pun.[67]

Salah satu penalaran yang mendukung gagasan ini dikenal sebagai argumen subtraksi. Ia mengusulkan suatu prosedur yang menunjukkan bahwa keberadaan dunia tidak bergantung pada objek konkret tertentu. Misalnya, dunia tetaplah ada sekalipun sebuah batu tertentu ditiadakan. Dari sini disimpulkan bahwa dunia kosong mungkin saja ada, karena gagasan ini dapat diterapkan berulang kali—menghapus objek satu per satu—hingga tersisa semesta yang sepenuhnya hampa.[68][h]

Namun, para penentang nihilisme metafisik menegaskan bahwa dunia kosong adalah mustahil, dan bahwa sesuatu harus senantiasa ada. Versi yang terinspirasi oleh teologi menyatakan bahwa Tuhan adalah entitas niscaya, yang keberadaannya mutlak meski tidak ada apa pun selain-Nya. Versi lain mengakui bahwa setiap objek konkret dapat ditiadakan secara individual, tetapi menolak bahwa semuanya dapat hilang sekaligus. Menurut pandangan ini, objek-objek abstrak—seperti bilangan-bilangan alami—memiliki keberadaan niscaya, dan keberadaan mereka menuntut adanya paling tidak beberapa objek konkret, meski tidak terkait pada objek tertentu.[70]

Bentuk nihilisme metafisik yang lebih radikal sekaligus kontroversial bahkan menolak keberadaan objek sama sekali. Ia menyatakan bahwa dunia tidaklah nyata, dan bahwa pengalaman akan jagat raya hanyalah ilusi tanpa dasar realitas. Konsekuensinya, tidak ada sesuatu pun yang sungguh-sungguh nyata. Pandangan ini kadang ditafsirkan sebagai bentuk solipsisme, yang menyatakan bahwa hanya diri yang benar-benar ada, sementara dunia luar semata-mata merupakan ide yang ditopang oleh diri, tanpa keberadaan substansial.[71]

Nihilisme Mereologis

Nihilisme mereologis atau nihilisme komposisional adalah pandangan bahwa objek-objek kompleks atau tersusun sejatinya tidak ada. Objek komposit adalah entitas yang terdiri dari berbagai bagian yang tepat. Sebagai contoh, sebuah rumah dianggap sebagai objek komposit yang tersusun dari dinding, jendela, dan pintu. Namun, masing-masing bagian itu sendiri pun merupakan komposit yang terdiri dari bagian-bagian yang lebih kecil, seperti molekul dan atom. Kaum nihilisis mereologis berpendapat bahwa yang sungguh-sungguh ada hanyalah objek-objek sederhana yang tak terbagi lagi, misalnya partikel elementer. Dengan demikian, apa yang kita sebut sebagai objek komposit hanyalah sekadar himpunan dari objek-objek sederhana. Menurut pandangan ini, pada hakikatnya tidak ada rumah atau meja; yang ada hanyalah partikel-partikel elementer yang tersusun dalam pola menyerupai rumah atau meja.[72]

Para pendukung nihilisme mereologis menekankan kesederhanaan dan kelugasan sebuah ontologi minimal yang menyingkirkan segala sesuatu kecuali objek-objek sederhana, seraya merujuk pada prinsip metafisis seperti Pisau Ockham sebagai landasan pembenarannya.[73] Argumen lain yang menguatkan pandangan ini menyatakan bahwa nihilisme mereologis mampu menghindari paradoks-paradoks metafisis tertentu yang muncul dari relasi antara bagian dan keseluruhan, seperti dalam kasus Kapal Theseus.[74][i]

Penentang nihilisme mereologis menyoroti konsekuensi yang tampak berlawanan dengan intuisi sehat dari penolakan atas keberadaan benda-benda sehari-hari, yang secara langsung bertentangan dengan akal sehat.[76] Kritik lainnya menegaskan bahwa nihilisme mereologis gagal menyediakan kerangka yang koheren untuk memahami himpunan partikel-partikel elementer, atau tidak sanggup menjelaskan fenomena seperti sifat-sifat emergen.[77]

Nihilisme kosmik

Nihilisme kosmik atau kosmologis adalah pandangan bahwa realitas pada hakikatnya tidak terpahami dan tidak memiliki makna yang melekat. Berhubungan erat dengan nihilisme epistemologis dan eksistensial, pandangan ini menegaskan bahwa dunia adalah kosong, tanpa ciri, atau kacau, sehingga bersikap acuh tak acuh terhadap upaya manusia untuk memahaminya. Para penganut nihilisme kosmik kerap menekankan keluasan semesta, dengan berargumen bahwa hal itu menunjukkan keterasingan serta ketidakberartian manusia beserta segala upayanya.[78]

Bentuk luas dari nihilisme kosmik menyatakan bahwa realitas secara keseluruhan bersifat tak terpahami. Menurut pandangan ini, sifat dunia yang kacau membuat mustahil untuk memahami jagat raya pada tingkatan apa pun, atau menemukan pola yang bermakna di dalamnya—yang pada akhirnya melahirkan keterasingan, karena akal manusia gagal merengkuh hakikat kenyataan.[79] Sebagai contoh, Max Stirner menggambarkan dunia sebagai sebuah "kekacauan metafisis" tanpa "suatu bangunan menyeluruh yang berisi makna-makna objektif".[80]

Menanggapi argumen yang menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu manusia mampu menangkap pola-pola serta meramalkan hasil, sebagian pemikir nihilisme kosmik mengusulkan bentuk yang lebih terbatas. Salah satu versinya mengakui bahwa manusia dapat memahami sebagian aspek realitas, misalnya melalui telaah ilmiah yang ketat. Namun demikian, pandangan ini tetap berpegang bahwa semesta pada dasarnya tidak tersingkap bagi pemahaman, dan bersikap acuh tak acuh terhadap cita-cita manusia pada tingkatan lain. Ia tidak memiliki struktur yang dapat ditangkap akal yang sejalan dengan nilai objektif, prinsip moral, maupun tujuan yang lebih tinggi.[79]

Bentuk-bentuk lain

Foto hitam-putih sebuah urinal porselen dengan tanda tangan "R. Mutt"
Dadaisme mengekspresikan tema-tema nihilistik dalam seni dengan menantang standar artistik, misalnya dengan menghadirkan Fountain, sebuah urinal siap-pakai, pada pameran seni tahun 1917.[81]
Lukisan minyak tentang sosok yang berteriak dengan latar langit oranye
Lukisan Edvard Munch tahun 1893, The Scream, kerap dikaitkan dengan nihilisme karena temanya tentang teror eksistensial.[82]

Selain teori-teori nihilistik utama yang dibahas dalam etika, teori nilai, epistemologi, dan metafisika, nihilisme juga dikaji dalam bidang lain, seperti sastra, seni, kebudayaan, dan politik.[83] Berbagai karya sastra menggambarkan tokoh atau sikap yang menolak norma yang mapan, menampakkan kekecewaan mendalam terhadap hidup, atau berjuang menghadapi keputusasaan eksistensial. Bazarov, tokoh utama dalam novel Ivan Turgenev Fathers and Sons, merupakan contoh awal yang berpengaruh. Dengan dorongan ketidakpercayaan radikal pada otoritas yang mapan, Bazarov mengikuti rasionalisme ilmiah yang dingin. Ia secara terbuka mengungkapkan kebencian terhadap keyakinan tradisional, norma sosial, dan sentimentalitas, dengan tujuan meruntuhkannya tanpa menawarkan visi pengganti.[84] Menanggapi novel Turgenev, Nikolay Chernyshevsky dalam What Is to Be Done? menafsirkan nihilisme melalui perspektif egoisme rasional.[85] Banyak karya Fyodor Dostoevsky menelaah problem nihilisme, khususnya gagasan bahwa tanpa Tuhan, tidak ada dasar moral bagi yang benar atau yang salah.[86] Misalnya, novel The Brothers Karamazov mengkaji ketegangan antara iman, kehendak bebas, dan nihilisme melalui pandangan tokoh-tokohnya.[87] Kekosongan juga menjadi tema sentral bagi banyak tokoh dalam karya Samuel Beckett, baik sebagai sesuatu yang diinginkan maupun ditakuti.[88] Tema-tema nihilistik juga hadir dalam karya Franz Kafka, Jean-Paul Sartre, dan Albert Camus.[89]

Dalam ranah seni, Dadaisme lahir pada masa Perang Dunia I sebagai bentuk penolakan nihilistik terhadap standar moral, sosial, dan artistik yang mapan. Para dadais merayakan kekacauan, spontanitas, dan irasionalitas, menyuntikkan sikap tidak hormat, absurditas, dan humor dalam karya mereka untuk mengguncang dan menantang konsepsi seni tradisional. Misalnya, Marcel Duchamp menampilkan Fountain, sebuah urinal siap-pakai, dalam sebuah pameran seni, yang kemudian menjadi salah satu karya paling ikonik dari gerakan ini.[81] Dalam sinema, film Citizen Kane menyiratkan bentuk nihilisme epistemik dengan menampilkan ambiguitas moral dan ketidakmungkinan mencapai penilaian objektif atas watak tokoh utamanya.[90] Unsur-unsur nihilisme juga ditemukan dalam film-film seperti Taxi Driver,[91] A Clockwork Orange,[92] Fight Club,[93] The Big Lebowski,[94] dan American Psycho.[95]

Dalam ranah hukum, para nihilis hukum berpendapat bahwa hukum tidak memiliki makna inheren maupun fondasi moral, melainkan hanya konstruksi sewenang-wenang yang digunakan untuk menjaga kendali dan menegakkan kekuasaan.[96] Nihilisme religius atau teologis kerap dikaitkan dengan ateisme dan menyangkal eksistensi Tuhan. Beberapa pemikir melihat pandangan ini sebagai akar dari bentuk nihilisme lain, seperti nihilisme eksistensial dan nihilisme moral.[97]

Dalam filsafat bahasa, nihilisme semantik menyangkal kemungkinan makna linguistik, berpendapat bahwa komunikasi sejati mustahil karena bahasa gagal menggambarkan realitas.[98] Nihilisme logis adalah teori mengenai hubungan antara logika formal dan inferensi dalam bahasa alami. Teori ini menegaskan bahwa relasi konsekuensi logis yang dipelajari para ahli logika tidak mampu merefleksikan secara akurat praktik inferensial dalam bahasa alami.[99] Dalam filsafat Africana, nihilisme hitam memandang secara pesimistis diskriminasi dan kemungkinan reformasi sistem politik maupun sosial untuk menghapus rasisme anti-Hitam.[100]

Nihilisme terapeutik atau nihilisme medis berpandangan bahwa intervensi medis sebagian besar tidak efektif. Menentang klaim kemajuan kedokteran modern, posisi ini berargumen bahwa metodologi penelitian medis secara fundamental cacat dan semakin terdistorsi oleh insentif finansial, sehingga menghasilkan estimasi berlebihan atas manfaat berbagai pengobatan.[101]

Nihilisme politik

Nihilisme politik merupakan suatu pandangan negatif terhadap struktur politik dan sosial yang telah mapan, serupa dengan anarkisme. Ia berupaya menegakkan kebebasan individu dari belenggu kendali negara yang menindas maupun norma-norma sosial yang mengikat. Wataknya yang radikal dan nihilistik terwujud dalam tujuan revolusioner untuk meruntuhkan tatanan yang telah mapan itu. Sasaran utamanya ialah institusi politik, beserta keyakinan tradisional dan praktik sosial yang menopangnya, tanpa menghadirkan rancangan sistem baru sebagai pengganti.[102][j]

Nihilisme politik terutama berkaitan dengan gerakan nihilisme Rusia pada akhir abad ke-19. Ia lahir sebagai reaksi terhadap kekakuan struktur sosial serta pemerintahan otoritarian Tsaris di Rusia. Dalam penolakannya terhadap institusi dan norma yang mapan, para nihilisis Rusia menempuh jalan-jalan ekstrem demi mendorong revolusi sosial radikal, yang menjelma dalam bentuk kekerasan dan terorisme, termasuk pembunuhan politik maupun pembakaran. Sebagian dari para revolusioner itu menjadikan tokoh Bazarov dalam karya Turgenev sebagai sumber inspirasi dan teladan hidup mereka.[105]

Sejarah

Walaupun nihilisme umumnya dikaitkan dengan modernitas, sebagian akarnya dapat ditelusuri hingga filsafat kuno.[106] Beberapa Sofis, seperti Protagoras (ca 490–420 SM), meragukan keberadaan kebenaran objektif, dan justru mengajukan suatu nihilisme relatifistik dengan semboyan bahwa "manusia adalah ukuran segala sesuatu".[107] Metode Socrates (ca 470–399 SM) berupa pertanyaan radikal kerap dianggap sebagai pendahulu nihilisme, karena menggugat keyakinan, nilai, dan praktik yang mapan, dengan tujuan memperlihatkan kerapuhan dasarnya.[108][k] Pyrrho (ca 360–270 SM) merumuskan bentuk luas nihilisme epistemologis dengan mencoba menunjukkan bahwa pengetahuan mustahil diraih.[110]

Sikap negatif terhadap pengetahuan objektif dan dunia juga ditemukan dalam filsafat India kuno. Namun, sejauh mana hal itu dapat disebut nihilisme dalam pengertian ketat masih menjadi perdebatan; sebagian penafsir membatasi istilah nihilisme hanya pada tradisi Barat.[111] Pada abad ke-6 SM, aliran Ajñana mengembangkan skeptisisme radikal yang mempertanyakan kemungkinan sekaligus kegunaan pengetahuan.[112] Pemikiran Buddha, sejak abad ke-6–5 SM, berpusat pada keberlangsungan penderitaan sebagai hakikat dasar eksistensi. Ajarannya menekankan pelepasan dari hasrat duniawi demi mencapai kebebasan dari penderitaan, yakni nirwana.[113] Menurut tafsir yang cukup berpengaruh, aliran Mādhyamaka yang muncul pada abad ke-2 M membela nihilisme metafisik dengan menolak adanya landasan tertinggi atau realitas mutlak di balik keragaman fenomena.[114]

Pada zaman modern awal, proses sekularisasi dan Revolusi Ilmiah mengguncang keyakinan serta nilai religius yang dominan di Eropa Abad Pertengahan, sehingga membuka jalan bagi lahirnya nihilisme.[115] René Descartes (1596–1650) mempertimbangkan bentuk ekstrem nihilisme epistemologis dalam pencariannya akan kepastian mutlak. Ia bahkan mengusulkan kemungkinan bahwa manusia tak dapat mempercayai keyakinan dasarnya sendiri, kecuali bila ia bisa menyingkirkan hipotesis tentang suatu makhluk ilahi yang jahat senantiasa menipunya.[116] Immanuel Kant (1724–1804) kemudian membedakan secara tajam antara fenomena dan hal pada dirinya sendiri. Dengan membatasi pengetahuan pada ranah fenomena, ia meletakkan dasar bagi nihilisme eksistensial, sebab makna terdalam dari realitas pada dirinya sendiri menjadi tak tersentuh.[117] Dalam kritiknya terhadap rasionalisme filsuf Kantian Johann Gottlieb Fichte (1762–1814), Friedrich Jacobi (1743–1819) memperkenalkan istilah filsafat "nihilisme" untuk menyebut alur pemikiran yang berakhir pada penyangkalan akan makna dan keberadaan.[118]

Lukisan minyak seorang pria berjanggut berambut putih duduk di kursi dengan mantel gelap
Di Rusia abad ke-19, Ivan Turgenev berperan penting dalam memopulerkan istilah nihilisme.[119]

Di Rusia, istilah nihilisme meraih popularitas berkat penggambaran tokoh Bazarov—seorang nihilis—dalam novel Fathers and Sons karya Ivan Turgenev (1818–1883).[119] Sejak paruh kedua abad ke-19, gerakan nihilisme Rusia berkembang sebagai bentuk nihilisme politik, ditandai dengan penolakan radikal terhadap norma sosial, politik, dan estetika tradisional.[120] Sementara itu di Eropa Barat, egoisme nihilistis Max Stirner (1806–1856) mereduksi orang lain hanya sebagai sarana kegunaan, tanpa penghormatan pada pribadi mereka. Ia juga merumuskan nihilisme kosmik yang memandang alam semesta sebagai kekacauan metafisis yang tak terpahami.[121] Søren Kierkegaard (1813–1855) mengeksplorasi ragam gaya hidup atau "lingkup eksistensi" yang ditempuh manusia untuk mencari makna hidup. Ia memperingatkan bahwa gaya hidup estetis, yang hanya mengejar kenikmatan indrawi tanpa tujuan lebih tinggi, akan berakhir pada pandangan nihilistis yang diliputi kehampaan. Sebagai gantinya, ia menganjurkan sebuah lompatan iman yang bersandar pada Tuhan sebagai sumber makna transenden.[122]

Arthur Schopenhauer (1788–1860) mengembangkan filsafat pesimisme filosofis, memandang dunia sebagai ladang penderitaan yang dimunculkan oleh suatu kehendak buta dan irasional.[123] Dipengaruhi Schopenhauer, Friedrich Nietzsche (1844–1900) menjadikan persoalan nihilisme pusat perhatiannya. Ia memahami nihilisme sebagai gejala kultural luas ketika manusia kehilangan nilai dan cita-cita yang menopang hidupnya. Nietzsche menelaah sebab-musabab serta konsekuensi dari pergeseran ini, sambil menyelidiki bagaimana manusia menanggapi dan berupaya mengatasinya.[124] Menurutnya, nihilisme kerap muncul dalam bentuk terdistorsi, yakni nihilisme pasif, yang menyamarkan watak penyangkalan hidupnya di balik dogma agama, moralitas konvensional, dan norma sosial. Sebagai tandingan, Nietzsche menganjurkan nihilisme aktif: suatu pengakuan terang-terangan atas ketiadaan makna, yang memanfaatkan daya negasinya untuk meruntuhkan nilai-nilai mapan.[l] Bagi Nietzsche, nihilisme ini hanyalah fase peralihan menuju suatu penegasan hidup yang vital melalui penilaian kembali semua nilai.[126]

Foto hitam-putih seorang pria tua berjas gelap duduk.
Martin Heidegger memandang nihilisme sebagai arus sejarah fundamental dalam pemikiran Barat.[127]

Banyak perkembangan berikutnya dalam sejarah nihilisme abad ke-20 merupakan tanggapan atas filsafat Nietzsche.[128] Martin Heidegger (1889–1976) sependapat dengan Nietzsche tentang sifat nihilisme yang meresap dan mengikis, melihatnya sebagai gerakan sejarah fundamental dalam tradisi pemikiran Barat sejak zaman kuno. Menafsirkan gagasan Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa serta perkembangan teknologi modern, Heidegger sampai pada kesimpulan bahwa usaha Nietzsche mengatasi nihilisme justru gagal dan malah berujung pada nihilisme yang lebih sempurna. Sebagai alternatif, ia menoleh kembali pada filsafat Presokratik untuk memulihkan pemahaman tentang ada yang bebas dari nihilisme.[127]

Bertrand Russell (1872–1970) mengajukan pandangan yang selaras dengan nihilisme kosmik: ia menggambarkan umat manusia sebagai hasil sampingan yang kebetulan dan tak berarti dari kekuatan kosmis yang asing sekaligus acuh pada kepentingan manusia.[129] Dalam bayang-bayang Perang Dunia I, para seniman Dadais mengekspresikan aspek-aspek nihilisme melalui seni, dengan tujuan meruntuhkan norma dan nilai yang mapan, sembari merayakan nonsens dan absurditas.[130] Persoalan nihilisme dan penyangkalan atas makna hidup menjadi tema utama bagi para filsuf eksistensialis.[131] Jean-Paul Sartre (1905–1980) menegaskan bahwa manusia tidak memiliki esensi bawaan yang menentukan siapa dirinya atau tujuan hidupnya. Ia berpendapat bahwa kekosongan makna ini dapat diatasi melalui kebebasan, dengan cara manusia menciptakan dirinya sendiri dan menegakkan nilai-nilainya.[23] Dalam filsafat absurd-nya, Albert Camus (1913–1960) menyelidiki paradoks psikologis yang timbul dari dorongan manusia mencari makna dalam dunia yang secara objektif tanpa makna. Ia menamai keadaan ini sebagai "yang absurd" dan menyerukan sikap menantang—sebuah pemberontakan terhadap ketiadaan makna.[132]

Pada paruh kedua abad ke-20, berbagai aspek nihilisme tampil dalam filsafat postmodern, seringkali sebagai respons terhadap Nietzsche dan Heidegger.[133] Filsafat dekonstruksi Jacques Derrida (1930–2004) menantang keberadaan kebenaran mutlak dan makna yang stabil, dengan tujuan menyingkap asumsi dan bias tersembunyi yang menopang pandangan tersebut.[134] Jean-François Lyotard (1924–1998) mengeksplorasi antifondasionalisme, menolak keberadaan kerangka universal pemahaman—atau metanarasi. Ia berusaha meruntuhkan validitas metanarasi sebagai tolok ukur kebenaran, dan mengusulkan bahwa kerangka-kerangka itu hanyalah beragam permainan bahasa tanpa hierarki yang mutlak.[135] Sejalan dengan itu, Richard Rorty (1931–2007) menolak gagasan tentang kebenaran objektif, dan menyarankan agar manusia lebih bertumpu pada penilaian serta kreativitas mereka sendiri ketimbang mengistimewakan perspektif mapan seperti pandangan ilmiah.[136] Bertolak belakang dengan upaya Nietzsche dan Heidegger untuk mengatasi nihilisme, Gianni Vattimo (1936–2023) justru merangkulnya, dengan pandangan bahwa nihilisme merupakan satu-satunya jalan yang layak di era postmodern.[137]

Lihat pula

Referensi

Catatan

  1. ^ Pelafalan: /ˈn(h)ɪlɪzəm, ˈn-/
  2. ^ Krisis eksistensial adalah pergulatan batin ketika individu berusaha menemukan makna dalam hidupnya. Sebagian penulis berpendapat bahwa keyakinan nihilistik dapat memicu krisis semacam ini. Sementara yang lain mengusulkan nihilisme justru sebagai salah satu cara untuk mengatasinya—dengan belajar menerima ketiadaan makna, alih-alih mencari sumber makna baru.[21]
  3. ^ Dalam konteks ini, Nietzsche membedakan nihilisme pasif dari nihilisme aktif. Nihilisme pasif adalah bentuk penyerahan diri yang ditandai pesimisme, keputusasaan, dan pelepasan, sembari menolak mengakui ketiadaan makna. Nihilisme aktif, sebaliknya, secara terbuka menerima ketiadaan makna dan memanfaatkan daya negatifnya untuk menghancurkan nilai dan ideologi yang mapan.[27]
  4. ^ Bentuk-bentuk relativisme epistemologis yang berdekatan juga mengincar standar pengetahuan, pembenaran, atau rasionalitas.[44]
  5. ^ Skema konseptual adalah suatu sistem kategori, konsep, atau keyakinan yang dipakai manusia untuk mengatur gagasan, memahami pengalaman, dan menafsirkan realitas.[46]
  6. ^ Beberapa filsuf, seperti Karen L. Carr, membedakan nihilisme epistemologis dari skeptisisme dan relativisme. Menurut tafsir ini, skeptisisme dan relativisme lebih menekankan pada ketidakpastian mengenai keberadaan pengetahuan dan objektivitas, sehingga menganjurkan penangguhan penilaian. Sebaliknya, nihilisme epistemologis dengan tegas menyatakan bahwa pengetahuan maupun objektivitas sama sekali tidak ada.[55]
  7. ^ Trilema Agrippa menampilkan paradoks serupa dalam mempertanyakan keberadaan pengetahuan.[61]
  8. ^ Beberapa bentuk argumen subtraksi mengandaikan bahwa dunia ini terbatas, agar proses penghapusan itu benar-benar mencapai titik akhir.[69]
  9. ^ Kapal Theseus adalah sebuah eksperimen pemikiran di mana bagian-bagian sebuah kapal diganti satu per satu hingga tidak ada lagi bagian asli yang tersisa. Paradoks metafisisnya terletak pada pertanyaan: apakah kapal yang dihasilkan masih sama dengan kapal semula? Persoalan ini tidak muncul dalam nihilisme mereologis, sebab ia menolak keberadaan objek-objek komposit.[75]
  10. ^ Nihilisme nasional, yang berkaitan erat, ialah sikap penolakan terhadap negara sendiri.[103] Di Tiongkok, istilah nihilisme historis dipakai oleh Partai Komunis Tiongkok untuk menandai pandangan sejarah yang menantang narasi resmi partai tentang masa lalu.[104]
  11. ^ Sebagai contoh, dalam alegori gua Plato ia mengusulkan bahwa keyakinan umum tentang realitas hanyalah bayangan dari suatu kenyataan lebih tinggi yang tak terindra.[109]
  12. ^ Hal ini mencakup pernyataannya yang terkenal bahwa "Tuhan telah mati".[125]

Kutipan

  1. ^ a b
  2. ^
  3. ^
  4. ^
  5. ^
  6. ^
  7. ^
  8. ^
  9. ^
  10. ^
  11. ^
  12. ^
  13. ^
  14. ^
  15. ^ OED staff 2025
  16. ^
  17. ^ Slocombe 2006, hlm. 1
  18. ^
  19. ^
  20. ^
  21. ^
  22. ^
  23. ^ a b
  24. ^
  25. ^
  26. ^
    • Pratt, Lead section, § 2. Friedrich Nietzsche and Nihilism
    • Diken 2008, hlm. 5, 31
  27. ^
  28. ^
  29. ^
  30. ^
  31. ^
  32. ^
  33. ^ Crosby 1988, hlm. 352–357
  34. ^
  35. ^
  36. ^
  37. ^
  38. ^
  39. ^ Krellenstein 2017, hlm. 76–80
  40. ^
  41. ^
  42. ^
  43. ^
  44. ^
  45. ^
  46. ^ Blackburn 2008
  47. ^
  48. ^
    • Gratton 2018, Lead section, § 3.2 Justice in light of the Postmodern Condition
    • Woodward, § 4b. The Postmodern Condition
    • Gertz 2019, hlm. 88–90, 92–93
  49. ^ Baghramian & Carter 2025, § 2. Why Relativism?
  50. ^
  51. ^
  52. ^ Moruzzi 2008, hlm. 211–212, 221–222
  53. ^
  54. ^ Pratt, § 2. Friedrich Nietzsche and Nihilism, § 4. Antifoundationalism and Nihilism
  55. ^
  56. ^
  57. ^
  58. ^
  59. ^
  60. ^
  61. ^ Klein 2011, hlm. 484–485
  62. ^
  63. ^
  64. ^
  65. ^ Pratt, § 4. Antifoundationalism and Nihilism
  66. ^
  67. ^
  68. ^
  69. ^ Coggins 2010, hlm. 11–12
  70. ^
  71. ^
  72. ^
  73. ^ Brenner 2015, hlm. 318–319
  74. ^ Rettler 2018, hlm. 842–843
  75. ^ Rettler 2018, hlm. 842–843, 854–855
  76. ^
  77. ^
  78. ^
  79. ^ a b
  80. ^ Crosby 1988, hlm. 27
  81. ^ a b
  82. ^
  83. ^
  84. ^
  85. ^ Dowdall 2024, hlm. 141
  86. ^ Stewart 2023, hlm. ix, 195
  87. ^ Stepenberg 2019, hlm. xi–xv, 115–116
  88. ^ Weller 2008, hlm. 321–322
  89. ^
  90. ^ Stoehr 2015, hlm. 1, 67–68
  91. ^ Smith 2002, hlm. 350
  92. ^ Abrams 2007, hlm. 6
  93. ^
  94. ^ Gaughran 2009, hlm. 231
  95. ^ Yeo 2017, hlm. 53
  96. ^
  97. ^
  98. ^
  99. ^
  100. ^
  101. ^
  102. ^
  103. ^
  104. ^
  105. ^
  106. ^
  107. ^ Iannone 2013, hlm. 235
  108. ^ Gertz 2019, hlm. 13–17
  109. ^ Gertz 2019, hlm. 14–15
  110. ^
  111. ^
  112. ^
  113. ^
  114. ^
    • Frazier 2024, § 3. The Critique of 'Things': Madhyamaka Metaphysical Nihilism
    • Westerhoff 2016, hlm. 337–338
    • Arnold, § 1. Nāgārjuna and the Paradoxical “Perfection of Wisdom” Literature, § 2c. Ethics and the Charge of Nihilism
  115. ^
  116. ^
  117. ^
  118. ^
  119. ^ a b
  120. ^
  121. ^
  122. ^
  123. ^
  124. ^
  125. ^
  126. ^
  127. ^ a b
  128. ^
  129. ^
  130. ^
  131. ^ Gertz 2019, hlm. 81–85
  132. ^
  133. ^
  134. ^
  135. ^
  136. ^
  137. ^

Sumber

Pranala luar

Prefix: a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Portal di Ensiklopedia Dunia

Kembali kehalaman sebelumnya