Lumpia
Lumpia adalah makanan ringan terdiri dari lembaran tipis tepung gandum yang dijadikan sebagai pembungkus isian yang umumnya adalah rebung, telur, sayuran segar, daging, atau makanan laut. Secara aklamasi, makanan ini disepakati berbentuk bulat panjang, kebanyakan digoreng, kulitnya terbuat dari tepung atau kulit tahu, yang berisi campuran sayur. Namun ada lumpia jenis tertentu yang hanya berisikan satu jenis sayuran saja seperti rebung, dan ada juga yang mencampurkannya dengan daging cincang.[1] Di Indonesia, lumpia dikenal sebagai jajanan khas Semarang dan Ujung Pandang dengan tata cara pembuatan dan bahan-bahan yang telah disesuaikan dengan tradisi setempat. Lumpia Semarang merupakan salah satu warisan kuliner dari perpaduan antara budaya Tionghoa dan Jawa. Menurut buku Dari Sam poo Kong Ke Lumpia Semarang (2019), lumpia Semarang telah ada sejak abad ke-19.[2] SejarahSejarah lumpia Semarang berawal ketika seorang lelaki Tionghoa bernama Tjoa Thay Joe datang dan memutuskan untuk tinggal, menetap di Semarang, Jawa Tengah.[2] Di Semarang, ia memutuskan untuk membuka usaha makanan khas Tionghoa, yakni makanan pelengkap berisi daging babi dan rebung. Suatu hari, Tjoa Thay Joe bertemu dengan seorang wanita asli Jawa yakni Wasih. Kebetulan Wasih juga membuka usaha makanan yang mirip dengan milik Tjoa Thay Joe, tetapi bedanya, usaha makanan Wasih berupa hidangan pelengkap berisi kentang dan udang serta bercita rasa manis. Menariknya, bukan bersaing mereka malah saling jatuh cinta dan akhirnya memutuskan untuk menikah. Sejak saat itulah keduanya meleburkan usaha makanannya. Kulit renyah dari lumpia kini diubah menjadi udang atau daging ayam yang dipadukan dengan rebung manis. Jajanan ini akhirnya dijual di Olympia Park, yakni pasar malam Belanda.[3] Tanpa disangka-sangka, lumpia buatan mereka menjadi primadona di kalangan masyarakat pribumi dan keturunan Tionghoa. Usahanya semakin lama semakin besar, hingga diwariskan ke anak-anak mereka yakni, Siem Gwan Sing, Siem Hwa Noi yang membuka cabang di Mataram dan Siem Swie Kiem yang meneruskan usaha lumpia warisan ayahnya di Gang Lombok no.11.[3] PenamaanNama lunpia atau lumpia berasal dari kata Lùn bīng (dibaca lu-en ping) yang dalam dialek Hokkia berbunyi lun pia,[1] yakni "lun" atau "lum" yang berarti lunak dan "pia" yang artinya kue.[4] Pada awalnya, penyajian lumpia tidak digoreng, sehingga sesuai dengan maknanya, lumpia adalah kue yang lunak. Namun, dalam dialek Hokkian berbunyi lun pia yang berarti kue bulat.[1] Di tempat asalnya, makanan ini disebut Chūn juān (baca: ju-en cuen) dengan bunyi vokal 'i' dan 'u' diucapkan dengan bibir sedikit mengerucut. Chun berarti musim semi dan juan berarti menggulung, yang diserap secara harfiah dalam bahasa inggris menjadi spring roll, yang kemudian diakui secara internasional menjadi nama resmi makanan ini. Dalam dialek Hokkian, akan berbunyi jun kin dan ditulis chun kien yang muncul di beberapa menu restoran di Indonesia.[1] Lihat pulaReferensi
Pranala luar
![]() Wikimedia Commons memiliki media mengenai Lumpia. |