Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Kesultanan Bima

Kesultanan Bima

كسلطانن بيم  (Melayu)
Kesultanan Bima  (Melayu)
Rasa ro Dana Mbojo (Bima)[a]
1621–1958
Bendera
Bendera
Lambang
Lambang
Istana Sultan Bima
Istana Sultan Bima
Ibu kotaBima
Bahasa yang umum digunakanBima
Agama
Islam
DemonimDou Mbojo/Bimanes
PemerintahanKesultanan
Sultan (Ruma Sangaji) 
Sejarah 
• Kerajaan Bima berkonversi menjadi Kesultanan Bima
1621
• Status kesultanan dihapus oleh Republik Indonesia
1958
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Bima
Hindia Belanda
Sekarang bagian dari Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini
Sultan Muhammad Salahuddin (bertahta 1915-1951)

Kesultanan Bima (كسلطانن بيما) adalah salah satu kerajaan Islam tertua yang ada di Kepulauan Sunda Kecil, tepatnya di bagian Timur Pulau Sumbawa (NTB). Kesultanan Bima didirikan pada abad 17, tanggal 7 Februari 1621 Masehi berdasarkan tanggal masuk Islamnya raja terakhir Bima atau sultan pertama Bima. Sultan pertamanya adalah raja ke-37 [1] dari Kerajaan Mbojo Bima yang bernama La Kai, kemudian setelah masuk Islam berganti nama menjadi Abdul Kahir. Kesultanan ini telah dipimpin oleh 14 sultan, dan Sultan terakhirnya adalah Sultan Muhammad Salahuddin.[2]

Awal Pendirian

Wilayah sebaran utama Suku Mbojo dan wilayah Ncuhi Mbojo (Bima Kuno) dirintis sejak abad 7-8 masehi.

Pada awalnya Kesultanan Bima merupakan sebuah kelompok masyarakat Suku Mbojo yang menganut paham makamba dan makimbi atau dalam bahasa Indonesianya animisme dan dinamisme, oleh masyarakat lokal kepercayaan ini disebut Marapu. Masyarakat ini kemudian disatukan bersama kelompok etnis Mbojo lain di sekitarnya. Penyatuan ini dilakukan oleh Sang Bima yang mengajarkan agama Hindu. Setelah itu, ia menggagas berdirinya Kerajaan Bima.[3]

Sebelum kedatangan Sang Bhima, para Ncuhi (penguasa wilayah) telah membentuk federasi untuk menghindari konflik perebutan wilayah yang berkepanjangan, namun tanpa pemimpin tertinggi seperti raja.

Kerajaan Bima mulai digagas oleh Sang Bhima pada abad ke-8 Masehi, tepatnya tahun 631 Saka atau 709 Masehi, berdasarkan umur situs Wadu Paa yang dipahat oleh Sang Bhima saat pertama datang ke Bima.

Sang Bhima menikah dengan seorang putri Bima yang berasal dari Pulau Satonda di bagian utara Bima bernama Indra Tasi Naga, dari keturunannya inilah yang menjadi raja-raja Bima nantinya. Karena sosoknya yang dinilai cerdas, karismatik dan berwibawa, para Ncuhi memintanya menjadi raja, tetapi Sang Bhima menolak karena harus pergi ke Kerajaan Medang. Ia kemudian berjanji akan mengirim anaknya dari hasil pernikahannya dengan La Indra Tasinaga (Putri Bima) untuk datang memimpin. Sehingga kepemimpinan sementara diberikan ke Ncuhi Dara, penguasa wilayah Tengah atau Kota Bima sekarang.

Dua anak Sang Bhima kemudian datang ke Bima, bernama Indra Jamrud dan Indra Kumala. Keduanya datang dengan membawa La Gunti Rante sebagai identitas yang menandakan mereka anak keturunan Sang Bhima, mereka tiba dan disambut di wilayah Ncuhi Hu'u. Ncuhi Hu'u kemudian melaporkannya ke Ncuhi Parewa mengenai kedatangan keduanya, kemudian Ncuhi Parewa membawanya ke Ncuhi Dara yang saat itu menjadi pusat Dana Mbojo/Bima. Indra Jamrud dibekali kemampuan sebagai pelaut dan nelayan, sedangkan Indra Kumala dibekali kemampuan ahli pertanian. Sebelum salah satunya diangkat sebagai raja Bima, Indra Jamrud diasuh oleh Ncuhi Parewa, penguasa wilayah Selatan. Sementara Indra Kumala diasuh oleh Ncuhi Dorowuni, penguasa wilayah Timur. Namun Indra Jamrud lah yang diangkat menjadi raja dengan gelar Ruma Sangaji (Dalam kitab Bo' Sangaji Kai Bima). Ruma berarti tempat berlindung; yang mulia. Sangaji berasal dari bahasa sangsekerta, yaitu Sang dan Aji, dimana Sang bermakna personalisasi atau identifikasi untuk menyebut manusia, makhluk hidup lain, atau benda mati yang dianggap memiliki martabat tinggi, sementara Aji berarti Yang Mulia atau Yang Agung. Sehingga gelar Sangaji dapat disimpulkan sebagai Baginda Raja Yang Mulia/Yang Agung. Namun dalam tradisi lokal cerita rakyat, gelar Sangaji berasal dari kata Sanga dan Ji, dimana Sanga berarti Cabang, dan Ji berari Jin, sehingga diterjemahkan sebagai anak manusia yang sakti keturunan bangsa jin dan segala dewa-dewa.

Peta sebaran utama Suku Mbojo dan wilayah utama Kerajaan Bima (Era Kerajaan) sebelum dibagi menjadi Bima Timur dan Bima Barat (Dompu) pada abad 13/14 masehi.

Indra Jamrud memberi nama Bima sebagai nama kerajaan untuk menghormati Sang Bhima yang telah merintis berdirinya kerajaan Bima. Ia membangun istana pertamanya bernama Asi Wadu Perpati dengan gotong royong bersama masyarakat di bawah pimpinan Bumi Jero sebagai kepala bagian pembangunan dan pertukangan.

Sedangkan Indra Kumala dikabarkan menghilang di salah satu mata air yang terletak di bagian timur pusat kota Bima, sekarang menjadi situs Oimbo, yang berasal dari kata Oi Mbora (Oi=Air, Mbora=Hilang) yang artinya mata air tempat hilangnya Indra Kumala.

Aksara Bima Kuno, disebut Tunti Mbojo, pengembangan dari Aksara Pallawa-Kawi.
Peta pembagian wilayah utama Kerajaan Bima Timur (Bima) dan Bima Barat (Dompu) pada abad 13/14 masehi.
Huruf Aksara Bima Kuno (Tunti Mbojo) Lengkap Versi Digital

Dalam sejarahnya, wilayah Kerajaan Bima kemudian dibagi menjadi dua (Timur dan Barat). Wilayah barat (meliputi Kencuhian Saneo, Papekat; yang kemudian menjadi Kerajaan Pekat tahun 1675, Kangkelu; yang kemudian menjadi Kerajaan Tambora tahun1626/1675, dan Taloko; yang kemudian menjadi Kerajaan Sanggar tahun 1700) dipisahkan menjadi kerajaan Bima Barat bernama Kerajaan Dompu, dengan raja pertamanya Sangaji Indra Kumala (bukan adik Indra Jamrud; melainkan adik dari Sangaji Mbojo Manggampo Jawa).

Nama Dompu sendiri berasal dari kata Dompo/ Padompo yang diartikan sebagai daerah atau wilayah yang dipotong atau dipisahkan. Sementara Kerajaan Bima Timur tetap dengan nama Kerajaan Bima (meliputi Kencuhian Dara, Dorowuni, Banggapupa, Pabolo, dan Parewa). Namun dipersatukan kembali oleh Kerajaan Bima (Timur) saat misi ekspansi wilayah Bima yang terus berlanjut hingga ke Bumi Alor (NTT) dan Tanah Naro (Bobonaro, Timur Leste) di abad 15 oleh Tureli Nggampo Bilmana.

Aksara Bima Baru, yang mendapat pengaruh dari hubungan dagang yang intens dengan Bugis-Makassar sekitar abad 17 masehi, disebut Tunti Bou. Sebelum digantikan dengan Aksara Pegon/Arab Melayu pada 13 Maret 1645 M, lima tahun setelah pengangkatan Sultan Bima Ke-2.

Awal Kesultanan

Mahkota Sultan Bima
Peta sebaran utama Suku Mbojo dan wilayah utama Kerajaan Bima di awal-awal memasuki era kesultanan pada abad 17 masehi.
Lukisan Kediaman Sultan Bima. Dilukis oleh Jannes Theodorus Bik pada 1821.
Peta Sebaran Utama Suku Mbojo dan Wilayah Utama Kerajaan Bima sampai tahun 1947
Peta Sebaran Utama Suku Mbojo dan Wilayah Utama Kerajaan Bima pada tahun 1947. Tahun 1947, Sultan Bima mengembalikan Kejenelian Dompu menjadi Kesultanan Dompu Mandiri, sementara Kejenelian Sanggar memilih tetap berada di bawah kepemimpinan Kesultanan Bima.

Pada tahun 1540 Masehi, para mubalig dan pedagang dari Kesultanan Demak datang ke Kerajaan Bima untuk menyiarkan Islam. Penyebaran Islam dilakukan oleh Sunan Prapen, tetapi tidak dilanjutkan setelah Sultan Trenggono wafat pada tahun yang sama. Pada tahun 1580, penyebaran Islam dilanjutkan oleh para mubalig dan pedagang dari Kesultanan Ternate yang diutus oleh Sultan Baabullah. Selanjutnya, penyebaran Islam di Kerajaan Bima diteruskan oleh Sultan Alauddin pada tahun 1619. Ia mengirim para mubalig dari Kesultanan Gowa dan Kesultanan Tallo dari Makassar. Kerajaan Bima akhirnya menjadi kesultanan setelah rajanya yang bernama La Kai menjadi muslim pada tanggal 15 Rabiul Awal tahun 1030 Hijriyah. Agama Islam kemudian menjadi agama resmi dari para bangsawan dan masyarakat Kerajaan Bima.[4]

Imperium Nusantara Timur Selatan

Wilayah Bima saat pertama kali muncul dalam peta pertama Melayu-Portugis tahun 1563, meliputi seluruh Pulau Sumbawa.
Rombongan Pengawal Sultan Bima, 1924

Puncak kejayaan Kerajaan Bima dimulai pada abad ke-15 ketika berada di bawah kepemimpinan Tureli Nggampo Bilmana (seorang Sangaji Mbojo (Raja Bima) yang dikenal berjiwa petualang, senang berkelahi, dan cenderung tidak suka diatur. Ia secara sukarela turun tahta demi menjelajah dunia di luar istana, lalu menyerahkan kekuasaan kepada adiknya, Tureli Manggampo Donggo). Ia memanfaatkan melemahnya kekuasaan Majapahit di wilayah Nusantara Timur-Selatan dengan melakukan ekspansi wilayah dengan menguasai Pulau Sumbawa, kemudian melebarkan ekspansinya ke luar pulau, ke Pulau Sumba, Manggarai, Sabu/Sawu, Ende, Larantuka, Komodo, kepulauan Alor, hingga ke Tanah Naro (Bobonaro, sebagian Timur Leste sekarang). Catatan tentang masa kejayaan ini terekam dalam naskah-naskah BO Bima, yang memuat kronik aktivitas harian para raja dan pembesar Kerajaan Bima. Hingga wilayah kekuasaan Kerajaan Bima saat itu berbatasan dengan Kerajaan Ternate di sebelah Timur (saat itu Pulau Wetar berada di bawah kekuasaan Kerajaan Ternate) dan berbatasan dengan Kerajaan dari Bali di sebelah Barat (saat itu Pulau Lombok berada di bawah kekuasaan kerajaan dari Bali).

Wilayah Kekuasaan Kerajaan Bima di Puncak Kejayaannya Pada Abad 15 Masehi di Bawah Inisiasi Tureli Manggampo Bilmana.
Prajurit Jena Jara (Kavaleri Berkuda) Kesultanan Bima
Rombongan Kesultanan Bima mengunjungi Manggarai, Flores, tahun 1929. Pada masa itu, Manggarai masih menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Bima.
Sisa Wilayah Kekuasaan Kesultanan Bima pada Abad ke-20 Masehi. Wilayah kekuasan Kesultanan Bima di abad 20 meliputi Pulau Sumbawa bagian timur, Manggarai atau Flores Barat, Sumba dan pulau‑pulau kecil di Selat Alas.

Seiring menguatnya pengaruh Bangsa Barat seperti Portugis-Belanda di Nusantara, wilayah kekuasaan Kerajaan Bima perlahan menyusut. Namun pada abad 16, dalam beberapa sumber lokal Bima menyebutkan adanya aliansi antara Kerajaan Bima-Ternate untuk mengusir Portugis dari kepulauan Nusantara Timur-Selatan, tetapi pada akhirnya hanya mampu membuat Portugis memindahkan pusat komandonya ke Pulau Timor (sekarang sebagian Timur Leste). Hingga dalam perkembangannya, secara perlahan wilayah Kekuasaan Kerajaan Bima pada abad ke-19 M, hanya menyisakan Pulau Sumbawa bagian timur, Manggarai atau Flores Barat, Sumba dan pulau‑pulau kecil di Selat Alas. Di Pulau Sumbawa, wilayah utama Kesultanan Bima dibagi menjadi beberapa distrik, tiap distrik dipimpin oleh seorang pemimpin distrik yang disebut Djeneli. Distrik kemudian dibagi lagi menjadi perkampungan-perkampungan yang dipimpin oleh kepala kampung. Wilayah Kesultanan Bima di Manggarai dibagi menjadi daerah Reo dan daerah Pota. Pemimpin masing-masing distrik bergelar naib yang bertanggung jawab langsung kepada sultan. Para naib ini memimpin para galarang, dan kepala kampung.[5]

Pemerintahan

Bendera Pa-Nggusu Waru (Persegi delapan) Kerajaan Bima era Siwa-Buda (Hindu-Budha)
Bendera Pa-Nggusu Lima (Persegi Lima) Kesultanan Bima era Kesultanan Islam.
Nggusu Waru Lambang Kerajaan Bima
Bumi Bata Mbani pengawal Sultan Bima ca 1924
Struktur Pemerintahan Kerajaan Bima Pada Masa Kesultanan

Kesultanan Bima menggunakan gelar Ruma kepada para raja dan sultannya. Gelar ini melambangkan bahwa raja/sultan adalah tuan kita; pelindung, kemudian di memasuki era kesultanan, gelar ini dialih artikan sebagai khalifah dan wakil Allah di bumi. Sultan diberi wewenang oleh masyarakatnya untuk menjadi pemimpin dan pemerintah. Dalam melaksanakan pemerintahan, sultan mengutamakan kepentingan masyarakat dan tidak mementingkan keperluan pribadinya. Pemerintahan sultan sepenuhnya dilaksanakan sesuai syariat Islam. Nilai-nilai budaya yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dipadukan dan membentuk tradisi pemerintahan.[6]

Mbangga Mbaru (Garuda/Raja Burung dari Utara), Lambang Kesultanan Bima

Pemerintah Hindia Belanda berkuasa di Kesultanan Bima pada tahun 1908 dan menerapkan pemerintahan terpusat. Wilayah Kesultanan Bima dibagi menjadi 5 distrik pemerintahan yaitu Distrik Rasanae, Distrik Donggo, Distrik Sape, Distrik Belo, dan Distrik Bolo. Distrik Rasanae dipimpin oleh Sultan, sedangkan Distrik Donggo dipimpin oleh Sultan Muda. Distrik Sape dipimpin oleh Raja Bicara, Distrik Bolo dipimpin oleh Raja Sakuru. dan Distrik Bolo dipimpin oleh Rato Parado.[7] Pada tahun 1909, Kesultanan Bima digabung ke dalam Keresidenan Timur Hindia Belanda dengan pusat pemerintahan di Makassar. Semua urusan kesultanan harus mendapat persetujuan pemerintah kolonial Belanda.[8]

Sultan Ismail

Sultan Ismail adalah sultan ke-10 Kesultanan Bima. Ia adalah putra dari Sultan Abdul Hamid. Kekuasaannya dimulai sejak pengangkatannya pada tanggal 26 November 1819.[9] Sultan Ismail berkuasa hingga tahun 1854. Selama masa kekuasaannya, Kesultanan Bima membangun banyak musala dan masjid di seluruh wilayahnya. Pada awal pemerintahannya, masyarakat hidup miskin dan menderita kelaparan akibat letusan Gunung Tambora, serangan bajak laut, dan kemarau panjang. Perekonomian Kesultanan Bima kemudian membaik setelah Sultan Ismail beralih patuh kepada Inggris.[10]

Sultan Abdul Kadim

Sultan Abdul Kadim adalah sultan kedelapan dari Kesultanan Bima. Ia berkuasa sejak tanggal 9 Februari

Sultan Abdul Hamid

Sultan Abdul Hamid adalah putra dari Sultan Abdul Kadim. Ia memerintah mulai tahun 1773 M. Pada masa pemerintahannya, perdagangan di wilayah Kesultanan Bima telah menjadi hak monopoli Belanda. Ia kemudian berperan dalam mempermudah izin pelayaran kapal-kapal di wilayah Kesultanan Bima.[11]

Sultan Muhammad Salahuddin

Sultan Muhammad Salahuddin, bersama keluarga utama kerajaan, dan prajurit Barisan Keamanan Rakyat (BKR) Bima yang bertugas menjaga istana. Foto di selasar Istana Asi Mbojo pada era Pergerakan Nasional 1900-an.
Sultan Muhammad Salahuddin 3 November 1950 berpidato di hadapan Bung Karno dan Rakyat Bima di Depan Asi Mbojo Istana Bima Mempertegas Kembali Maklumat 22 November 1945.
Bung Karno dan Sultan Muhammad Salahuddin Bima saat kunjungannya yang kedua ke Bima pada tahun November 1950 pasca pembubaran RIS.
Sultan Ibrahim (Sultan Bima XIII) bersama Jena Teke Muhammad Salahuddin (Sultan Bima Ke XIV saat masih menjadi Sultan Muda/Putra Mahkota) Dan Beberapa Pejabat Kesultanan Bima di Batavia 1911

Sultan Muhammad Salahuddin adalah putra Sultan Ibrahim. Ia berkuasa pada tahun 1915 dan mengubah keadaan politik dan pemerintahan.[7] Selama pemerintahannya, ia mendirikan sekolah Islam di Raba dan Kampo Suntu. Selain itu, masjid-masjid didirikan di tiap desa dalam wilayah Kesultanan Bima. Sultan Muhammad Salahuddin juga mendirikan peradilan urusan agama yang disebut Badan Hukum Syara. Ia juga mulai melepaskan pengaruh Hindia Belanda di kesultanannya dengan melakukan peperangan dan mendirikan berbagai organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.[12] Pada1 Februari 1947, ia mengembalikan Kejenelian Dompu menjadi Kesultanan Dompu sebagai penyeimbang antara Kesultanan Bima dan Kesultanan Sumbawa. Berbeda dengan Dompu, Kejenelian Sanggar lebih memilih untuk tetap menjadi bagian dari pemerintahan Kesultanan Bima. Atas persetujuan Sultan Sumbawa dan Sultan Dompu, Sultan Muhammad Salahuddin diangkat menjadi Pemimpin atau Ketua Dewan Raja Pulau Sumbawa, kemudian secara bersama mendeklarasikan bergabung dengan Republik Indonesia sebagai Federasi Pulau Sumbawa.

Kehidupan Masyarakat

Masyarakatnya memiliki beberapa sifat yang berasal dari masa awal pendirian Kerajaan Bima, yaitu sifat sabar, malu, takut, dan tak ingkar janji. Sifat ini diwariskan oleh Sang Bima kepada kedua anaknya, yaitu Indra Jamrud dan Indra Kumala. Indra Jamrud dibekali ilmu melaut, sedangkan Indra Kumala dibekali ilmu bertani. Pengetahuan ini kemudian diajarkan kepada masyarakat Bima.[13] Setelahnya, Wilayah Kesultanan Bima telah menjadi kawasan perdagangan sejak abad ke-11 M. Perannya adalah sebagai penghubung antara Kerajaan Medang di Pulau Jawa dan Kepulauan Maluku. Kerajaan Bima menjadi tempat perdagangan dan persinggahan. Hasil bumi yang diperdagangkan berupa kuda, soga, sapang dan rotan. Perdagangan dilakukan di pelabuhan Bima Lawa Due dan Nanga Belo. Para pedagang juga singgah untuk mempersiapkan bekal ke Maluku berupa makanan dan air minum.[14]

Struktur Sosial

Lukisan Kuburan Negoro Kesultanan Bima (Dilukis tahun 1852 - 1856)

Penduduk asli Bima adalah masyarakat Etnis Donggo yang menghuni wilayah pegunungan. Wilayah pemukimannya berada di Kecamatan Donggo dan Kecamatan Lambitu.[15] Etnis Dou Donggo dalam sejarah Bima merupakan penduduk asli Pulau Sumbawa, khususnya di wilayah bagian timur Pulau Sumbawa. Dou Donggo sering disebut sebagai "Orang Bima Lama" karena keberadaannya yang lebih awal dibandingkan kelompok etnis lainnya. Sebagai bentuk perlindungan terhadap identitas (terutama menyangkut spiritualitas; menjaga kemurnian ajaran Marapu; yaitu kepercayaan orang Bima lama yang mempercayai kekuatan alam dan roh-roh suci waro/leluhur), Dou Donggo memilih menetap di wilayah pegunungan terpencil, menjauh dari pengaruh para pendatang yang juga ikut membawa ajaran/kepercayaan baru seperti Siwa-Buda (Hindu-Budha). Namun, sebagian dari mereka melakukan pernikahan campuran dengan pendatang, juga ada yang menerima dengan tangan terbuka ajaran-ajaran baru dan tidak ikut menepi ke pegunungan, sehingga lambat laun membentuk kelompok baru yang dikenal sebagai Dou Mbojo atau "Orang Bima Baru". Dou Mbojo inilah kemudian nantinya yang membentuk Kerajaan Bima. Nama Mbojo sendiri berasal dari kata Dana Ma Bhuju ('orang dari' Tanah Yang Berbukit) sebagai identitas saat mengenalkan diri kepada orang luar. Suku ini terus mengalami perkembangan dan menjadi suku utama yang membentuk Kerajaan Bima. Dalam sejarahnya terus terjadi perkawinan silang dengan suku-suku pendatang Nusantara yang menghuni wilayah pesisir Bima. Mereka kemudian menikahi penduduk asli dan menetap sebagai penduduk di Bima.[16] Di Kesultanan Bima juga terdapat pemukiman Arab yang terdiri dari para pedagang dan mubalig.[17]

Beberapa julukan yang melekat dan erat kaitannya dengan sejarah serta tradisi tanah dan masyarakat Bima, di antaranya:

  • Tanah Naga Biru (Merujuk pada kisah La Indra Tasi Naga; seorang jelmaan naga berwarna dominan biru dengan kombinasi warna emas dan hijau yang bermukim di Pulau Satonda, yang menjadi ibu dari para raja-raja Bima.)
  • Bumi Ncuhi (Merujuk pada banyaknya para Ncuhi, yaitu penguasa-penguasa wilayah di Bima sebelum era kerajaan, tradisi Ncuhi kemudian dipersatukan oleh tokoh yang bergelar Sang Bhima).
  • Bumi Jara Mbani / Tanah Kuda Pemberani (Merujuk pada kisah ketangguhan kuda-kuda Bima yang berpostur kecil namun tangguh, termasuk pernah digunakan oleh pasukan Ranggalawe menjadi kuda perang saat pendirian Majapahit.
  • Negeri Kulit Kuda (Merupakan nama pemberian dari pelaut/pedagang China saat melakukan aktivitas perdagangan dengan Kerajaan Bima, di mana komoditas paling favorit yang diperdagangkan antara Bima-China saat itu adalah kulit kuda).
  • De Zwarte Slang Van Het Oosten / Ular Hitam Dari Timur (Merupakan julukan yang diberikan oleh Belanda yang menyamakan sifat ular hitam yang dikenal kecepatannya dan cenderung menghindari konflik, namun dapat menggigit jika merasa terancam dan terus diprovokasi secara berlebihan. Hal serupa dengan sifat orang Bima, di mana sejatinya orang Bima itu baik dan menghormati tamu, tetapi jika sudah menyangkut prinsip dan harga diri, mereka akan melawan mati-matian. Hal tersebut dimulai sejak Sultan Abdul Khair Sirajuddin (Sultan Kedua Bima yang paling keras menantang dan melawan Belanda), dan puncaknya terjadi saat Perang Bima di rentang tahun 1908-1911 dikarenakan saat itu Belanda mulai menjajah secara langsung wilayah Bima yang dimulai tahun 1908 dengan menarik berbagai macam pajak yang sangat tinggi, serta menghapus peradilan agama. Rentetan peristiwa tersebut melahirkan salah satu semboyan orang Bima yang paling terkenal hingga saat ini, yaitu "Lebih baik hilang kepala, dari pada hilang nama baik di kepala".
  • Negeri Qori (Merujuk pada banyaknya Qori & Qoriah asal tanah Bima yang berprestasi di tingkat nasional dan internasional).
Lukisan Makam Kuno Raja-Raja Bima (Dilukis tahun 1821)

Keagamaan

Media pengorbanan untuk roh dihari-hari biasa (bukan hari besar) dalam kepercayaan Marapu di Bima.

Sebelum kedatangan Hindu, Budha dan Islam, masyarakat Bima telah memiliki agama lokalnya sendiri bernama Marapu yang mempercayai kekuatan alam (Parafu) dan pemuliaan terhadap roh leluhur (Waro). Lokasi tempat ibadahnya disebut Pamboro, tokoh-tokoh agamanya disebut Sando (orang yang menjaga Pamboro sekaligus yang mampu berbicara dengan roh leluhur, dimana roh leluhur tersebut menjadi perantara bagi dunia manusia dengan roh alam yang menguasai langit dan bumi), dan upacara hari besarnya disebut Toho Dore yang dilakukan satu tahun sekali secara besar-besaran dengan mempersembahkan hasil bumi dan hewan ternak. Kepercayaan ini mempercayai adanya kekuatan alam dan roh leluhur yang melindungi dan bersemayam di gunung, mata air, pohon dan bebatuan besar. Marapu berasal dari bahasa Bima, yaitu: Ma dan Rapu,di mana Ma artinya Yang, dan Rapu artinya Dekat, sehingga dapat diartikan sebagai Yang Dekat.

Patung Dewa Siwa Berkepala Tiga di Bima. Foto tahun 1936, Koleksi Fotografi Oudheidkundige Dienst (sebuah dinas atau jawatan kepurbakalaan) di Nederlandsch-Indië (nama Indonesia sebelum merdeka).

Agama Hindu bercampur dengan Budha (Siwa-Budha) masuk ke Bima bersamaan dengan kedatangan tokoh Sang Bhima, namun dalam implementasinya, kepercayaan ini dicampur dengan kepercayaan lokal, dan menjadi Siwa-Budha khas Bima. Namun sayangnya, menurut Dewi Ratna Muchlisa (Kepala Museum Samparaja Bima), mengatakan bahwa saat Kerajaan Bima bertransformasi menjadi berbentuk Kesultanan Bima, Sultan memerintahkan penghapusan seluruh hal yang berkaitan dengan agama lama beserta simbol-simbolnya, karena dianggap sebagai berhala, sehingga oleh bawahannya sebagian dibuang ke laut, sebagiannya yang kecil-kecil dikubur.

Pada tahun 1938, Arca Siwa dalam tiga wajah dan Mahakala di temukan di pinggir sawah 3 derajat arah timur laut dari pusat Kesultanan Bima. Kemudian tahun 2014, ditemukan arca nandi dan sebuah yoni yang saat ini disimpan di Museum Asi Mbojo. Tahun 2019, pengrajin batu bata di Kecamatan Bolo berhasil menemukan beberapa perhiasan emas dan arca perunggu.

Islam pertama kali diperkenalkan ke Bima oleh Sayyid Ali Murtadlo atau Sunan Gisik yang berasal dari Gresik. Ia adalah putra Syekh Maulana Ibrahim Asmaraqandi dan kakak dari Sunan Ampel. Penyebaran Islam dilakukan bersamaan dengan kegiatan perdagangan. Penerimaan Islam hanya oleh kelompok kecil pedagang dan masyarakat Kerajaan Bima yang berada di wilayah pesisir.[18]

Islamisasi di Sulawesi Selatan selama periode tahun 1605 hingga 1611 membuat Kesultanan Gowa memperluas penyebaran Islam ke Kepulauan Nusa Tenggara.[19] Kesultanan Gowa memusatkan penyebaran Islam di Pulau Sumbawa setelah hampir seluruh kerajaan di Sulawesi Selatan diislamkan.[20] Penyebaran Islam dilanjutkan oleh para pedagang dari Kerajaan Gowa, Kerajaan Tallo, Kesultanan Luwu, Kesultanan Bone, dan Kesultanan Ternate. Hubungan politik, budaya dan ekonomi antara Kerajaan Gowa dan Kesultanan Bima akhirnya membuat raja Kerajaan Bima yang bernama La Kai menjadi muslim. Islam yang berkembang di Kesultanan Bima juga dipengaruhi oleh Kesultanan Gowa.[21]

Beberapa kali Kesultanan Gowa melakukan ekspedisi ke Bima, tahun 1608, 1618, 1619, 1626, dan 1632. Tahun 1608, 1618 dan 1619 berhasil ditahan oleh Kerajaan Bima, tetapi di internal Bima terjadi kudeta yang dilakukan oleh La Salisi sepeninggal Sangaji atau Raja Bima yang merupakan kakaknya pada 1619, dengan membunuh putra mahkota. Sementara adik bungsu putra mahkota bernama La Kai lari ke Sape bersama pengikutnya dan di sana bertemu ulama dari Sulawesi, kemudian tahun 1621 La Kai resmi memeluk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Kahir, kemudian oleh para ulama yang saat itu menjadi gurunya, disarankan untuk pergi ke Gowa untuk memperdalam ilmu agama dan meminta bantuan perlindungan ke Kesultanan Gowa.

Abdul Kahir berangkat ke Gowa bersama beberapa pengawal dan pengikut terdekatnya. Tahun 1625, Abdul Kahir menikah dengan Daeng Sikontu yang merupakan ipar dari Sultan Alauddin Kesultanan Gowa saat itu. Tahun 1626 La Kai bersama pengikut dekatnya bersama bantuan pasukan dari Gowa melakukan ekspedisi ke Bima, di Bima ekspedisi Abdul Kahir telah ditunggu oleh pengikutnya yang sudah banyak memeluk Islam. Kemudian melakukan penyerangan merebut Kerajaan Bima dari Sangaji Salisi.

Abdul Kahir berhasil mengambil alih Bima dan menjadi Sultan Bima pertama dan mengganti sistem pemerintahan Kerajaan Bima menjadi Kesultanan Bima. Namun La Salisi kembali melakukan pemberontakan, pada 13 November 1632 berhasil menduduki Istana Bima. Tanggal 25 November Kesultanan Gowa kembali mengirim pasukan untuk membantu Sultan Abdul Kahir yang saat itu mulai terdesak, akhirnya setelah melakukan perlawanan selama sekitar satu tahun, tepatnya 23 Mei 1633, Sultan Abdul Kahir berhasil mengambil alih kembali Istana Bima, sementara La Salisi dan pengikutnya yang tersisa dikerja habis-habisan dan dikabarkan terbunuh.

Kesultanan Bima kemudian menerapkan hukum Islam dan hukum adat secara bersamaan. Pemerintahan Kesultanan Bima kemudian membentuk lembaga eksekutif dan yudikatif.[22] Sejak tanggal 14 Agustus 1788, Kesultanan Bima memiliki lembaga peradilan Islam yang bernama Mahkamah Syar'iyyah. Tugas utamanya adalah mengadili dalam urusan syariat Islam. Setelah Belanda memerintah di Kerajaan Bima, Mahkamah Syar’iyyah digantikan oleh sistem peradilan Hindia Belanda pada tahun 1908.[23]

Daftar penguasa Bima

Raja-raja pra-Kesultanan[24]
Raja ke- Nama Gelar atau Keterangan Periode
Djan Manoedjan Ma Mbora (yang menghilang)
Sangeang Toenggal Ma Mbora (yang menghilang)
Sangeang Woenang Ma Ndadi ..... (yang berubah jadi roh atau mahluk halus; tidak bekonotasi jahat)
Batara Indra Barma Maharadja Loeka Ma Mbora (yang menghilang)
Batara Indra Manies
Maharadja Indra Palasar
Maharadja Toenggal Pandita Batara Indra Ratoe
Poenggawa Bisa Ma Mbora Ta Besuki (yang pergi/menghilang ke/di Besuki 'salah satu wilayah di Jawa kuno')
Radja Pandoe Dewa Nata
Poetri Ganti Radja (Perempuan)
Maharaja Sang Bima Makaboro Ncuhi

(Menikah dengan Putri Mbojo/Bima bernama Indra Tasi Naga, yang melahirkan raja Bima berikutnya, yaitu Indra Jamrud)

Sang Bima disebut sebagai tokoh yang merintis pendirian Kerajaan Bima. Sehingga Sang Bima dikenang sebagai penguasa/ Raja Bima pertama yang diakui oleh 5 dari 9 Ncuhi Na'e atau penguasa wilayah saat pembentukan awal kerajaan Bima.

631 Saka / 709 Masehi
Darmawang Sang Loela of Koela (Cepe Weki/ Pengganti atau mewakili Sang Bima yang pergi ke Jawa)
Sang Radjoena (Cepe Weki/ Pengganti atau mewakili Sang Bima yang pergi ke Jawa)
Sang Dewa (Cepe Weki/ Pengganti atau mewakili Sang Bima yang pergi ke Jawa)
1 Maharaja Indra Jamrut Ruma Sangaji

(Anak keturunan Sang Bima datang mengambil alih kepemimpinan Dana Mbojo. Dalam perkembangan kepemimpinannya berhasil menyatukan 9 Ncuhi; mengubah nama Ncuhi Dana Mbojo menjadi Pancuhi Bima atau Kerajaan Bima. Kemudian menetapkan dan menjadikan Siwa-Buda (Hindu-Budha) sebagai agama resmi kerajaan.

823
Sangaji Indra Kumala
Sangaji Batara Bima
Sangaji Indra Dewa Poetri Rantan Dewa (Perempuan)
Sangaji Batara Sang Loeka
Sangaji Batara Sang Lela
Sangaji Batara Dewa Dewani Raja Bolo
Sangaji Batara Jaohan
Putri Rantan Cahaya (Perempuan)
Sangaji Batara Mera
Sangaji Indra Wata
Sangaji Batara Inderatarati
Sangaji Manggampo Jawa (Manggampo=Menghimpun; Sangaji Manggampo Jawa= Raja Yang Menghimpun Jawa) 12xx
Rani Ratna Lila Tuan Putri Johar Kumala (Perempuan) 13xx
Sangaji Indra Kamala (Sempat menjadi Raja Bima, kemudian memisahkan Bima Barat/ mengganti namanya dengan Kerajaan Dompo dengan dirinya sendiri sebagai Raja)

Membawahi Ncuhi Na'e: Saneo, Papekat, Taloko, Kangkelu.

13xx
Sangaji Batara Bima Indra Luka (Menjadi Raja Bima Timur/ Tetap mempertahankan nama Kerajaan Bima). Dan membawahi Ncuhi Na'e: Dara, Dorowuni, Bolo, Banggapupa, Parewa. 13xx
Sangaji Bima Indra Sri (Memiliki 30 orang anak) 13xx
Sangaji ......... Ma Wa’a Paju Longge
Sangaji ......... Ma Wa’a Indra Mbojo
Sangaji ......... Ma Wa’a Bilmana

(tokoh yang menginisiasi penyatuan kembali Dana Mbojo yaitu Kerajaan Bima yang sebelumnya berpisah jadi Timur dan Barat. Tokoh yang memulai ekspansi wilayah mulai dari Pulau Sumbawa yang diteruskan oleh generasi berikutnya hingga ke negeri timur. Memilih turun tahta dan menjadi Tureli Nggampo, dan memberikan tahta kepada adiknya Sangaji ....... Manggampo Donggo.

14xx
Sangaji ......... Manggampo Donggo
Sangaji ......... Mambora Ba Pili Tuta
Tureli Nggampo (Dipimpin Perdana Menteri)
Sangaji ......... Ruma Ta Makapiri Solo
Sangaji ......... Ruma Ta Mawa’a Andapa
Sangaji ......... Ruma Ta Mawa’a La Laba
Sangaji ......... Ruma Ta Mawa’a La Sadina I
Sangaji ......... Ruma Ta Mambora Di Sapaga
Sangaji ......... Ruma Ta Mambora Di Bata Lambu
Sangaji ......... Ruma Ta Samara 1540
Sangaji ......... Ruma Ta Mantau Asi Sarise
Sangaji ......... Ruma Ta Mantau La Limandaru
Sangaji ......... Ruma Ta Mantau La Sadina II
Sangaji ......... Ruma Ta Mantau Asi Sawo
Sangaji ......... Ruma Ta Manuru Sarei

(Kakak ke-1 dari La Kai/Sultan Abdul Kahir I)

1618-1619
Tureli Nggampo (Dipimpin Perdana Menteri) 1619
Sangaji ......... Ruma Ta Mabora Di Mpori Wera

(Kakak ke-2 dari La Kai/Sultan Abdul Kahir I)

1619
Sangaji Salisi Ruma Ta Ma Ntau Asi Peka

(La Salisi merupakan paman dari La Kai/Sultan Abdul Kahir I)

1619 – 1626 & 1632-1633
Sultan berdaulat (pra-kemerdekaan)
Sultan ke- Nama Gelar Periode
1 Sangaji Kai Seri Sultan Abdul Kahir I Ruma Ta Mabata Wadu 1626—1632 & 1633—1640
2 Seri Sultan Abdul Khair Sirajuddin Ruma Ta Mantau Uma Jati 1640—1682
3 Seri Sultan Nuruddin Abu Bakar Ali Shah Ruma Ta Mawa’a Paju 1682—1687
4 Seri Sultan Jamaluddin Inayat Shah Ruma Ta Mawa’a Romo 1687—1696
5 Seri Sultan Hasanuddin Muhammad Shah Ruma Ta Mabata Bou 1696—1731
6 Seri Sultan Alauddin Muhammad Shah Ruma Ta Manuru Daha 1731—1748
7 Sultanah Kamalat Shah Rante Patola Sitti Rabi’ah Bumi Partiga 1748—1751
8 Seri Sultan Abdul Kadim Muhammad Shah Zillullahi fi al Alam Ruma Ta Mawa’a Taho 1751—1773
9 Seri Sultan Shafiuddin Abdul Hamid Muhammad Shah Zillullahi fi al Alam Ruma Ta Mantau Asi Saninu 1773—1817
10 Seri Sultan Ismail Muhammad Shah Ruma Ta Mantau Dana Sigi 1817—1854
11 Seri Sultan Abdullah Ruma Ta Mawa’a Adil 1854—1868
12 Seri Sultan Abdul Aziz Ruma Ta Mawa’a Sampela 1868—1881
13 Seri Sultan Ibrahim Ruma Ta Ma Taho Parange 1881—1915
14 Seri Sultan Muhammad Salahuddin Ruma Ta Ma Kakidi Agama 1915—1951
Pasca-kemerdekaan
Sultan ke- Nama Gelar / Keterangan Periode
15 Seri Sultan Abdul Kahir II Gelar: Ruma Ta Ma Wa’a Busi Ro Mawo

Jabatan & Fungsi: Sultan Swapraja Bima.

1951—2001
16 Seri Sultan H. Ferry Zulkarnain, S.T. Gelar: Ruma Ta Ma Busi Ade Ro Saba Nawa

Jabatan & Fungsi: Sultan Adat Bima; sebagai Pembina, Penjaga dan Pelestari Adat, Budaya dan Tradisi Bima)

2001—2013
17 Jena Teke Muhammad Putera Ferryandi, S.I.P., M.I.P. Gelar: (Belum memiliki gelar. Sebab dalam tradisi Bima, gelar hanya diberikan ketika sudah meninggal).

Jabatan & Fungsi: Masih berstatus Jena Teke (Sultan Muda/Putra Mahkota), belum definitif dilantik sebagai Sultan Bima melalui prosesi Tuha Ro Lanti oleh Majelis Hadat Dana Mbojo.

2013—Sekarang

Fase Sejarah Bima

Asi Na'e (Istana Utama/Istana Besar) Sultan Bima

Bima memiliki rentang sejarah yang panjang dan dinamis, mulai dari masyarakat pemburu-pengumpul hingga menjadi bagian integral Republik Indonesia. Setiap fase menunjukkan transformasi sosial, politik, dan keagamaan yang membentuk identitas Mbojo (Bima) hingga kini.

Fase Naka (+ .... SM)

Masyarakat Bima hidup secara nomaden sebagai pemburu-pengumpul dan mengandalkan sumber daya alam sekitar untuk bertahan hidup. Sistem sosial terstruktur dalam klan-klan (Dalam Bahasa Bima disebut: Londo), di mana solidaritas dan hubungan kekerabatan menjadi fondasi kehidupan sehari-hari.

Fase Ncuhi (1000/500 SM - 631 Saka/709 M)

Beberapa klan bersatu membentuk wilayah-wilayah otonom yang disebut Ncuhi, menandai munculnya struktur pemerintahan awal di Bima. Kepercayaan Marapu yang mempercayai kekuatan alam (Parafu) dan pemuliaan roh leluhur (Waro) menjadi agama/kepercayaan lokal sebelum masuknya agama luar. Pemimpin wilayah dikenal dengan gelar Ncuhi (yang berasal dari kata bahasa Bima, yaitu Ncuri yang berarti pucuk), yang juga merangkap sebagai kepala adat dan pemuka agama, serta dibantu oleh para pemimpin agama di bawahnya (disebut Sando) yang menjaga tempat-tempat keramat (Pamboro), serta menjaga stabilitas sosial dan ritus keagamaan.

Kerajaan Bima Awal (631 Saka/709 M - 823 M)

Pada tahun 631 Saka (709 M), seorang tokoh bergelar Sang Bhima tiba di tanah Mbojo (nama kuno Bima). Selama berada di Mbojo/Bima, ia dikenal cerdas dan karismatik. Kemudian ia menikah dengan seorang Putri Bima bernama La Indra Tasinaga. Dalam perkembangannya, Sang Bima berhasil menyatukan lima dari sembilan wilayah Ncuhi utama untuk bersatu di bawah satu federasi Ncuhi (yang selanjutnya berkembang menjadi Pancuhi Dana Mbojo/ Kerajaan Bima). Akulturasi dengan kebudayaan Śiwa-Buda (Hindu-Budha) terjadi melalui kontak perdagangan dan diplomasi, terlihat dari peninggalan arca dan prasasti di Bima.

Kerajaan Bima Klasik (823 M - 1626 M)

Sistem pemerintahan mengadopsi hukum adat terstruktur, dengan istana dan birokrasi istimewa yang mengatur daerah luas di timur Pulau Sumbawa. Di era ini keturunan Sang Bhima bernama Indra Jamrud datang langsung memimpin di Tanah Bima. Sejak era ini, kerajaan Bima banyak melakukan ekspansi wilayah. Perdagangan juga meningkat, pelabuhan-pelabuhan ramai, menjadikan Bima pusat komoditas kuda, sapi, mutiara, teripang, kayu cendana, dan rempah-rempah, bahkan menjadi jembatan (tempat singgah) pelayaran dari Nusantara Barat ke Timur dan sebaliknya.

Kesultanan Bima (1626 M - 1958 M)

Islam resmi diadopsi pada 7 Februari 1621 M, ketika Raja La Kai (Sangaji Mbojo/Raja Bima ke-37) masuk Islam dan bergelar Sultan Abdul Kahir; menandai berdirinya Kesultanan Bima. Kemudian resmi menjadi pemerintahan kesultanan pada tahun 1626 setelah Sultan Abdul Kahir berhasil mengatasi pemberontakan pamannya yang bernama La Salisi. Pada awalnya praktik Islam bersifat konservatif, kemudian berkembang ke Islam moderat yang mengakomodasi adat lokal dalam sistem pemerintahan.

Integrasi Bima ke Republik Indonesia (1958 M - Sekarang)

Tahun 1951, sepeninggalnya Sultan Muhammad Salahuddin (Sultan terakhir Bima), kekuasaan Sultan/Raja mulai berkurang karena bersifat swapraja, kemudian pada 1958, kekuasaan raja sepenuhnya dihapuskan, yang membuat Bima bertransformasi menjadi bagian provinsi Nusa Tenggara Barat, memadukan otonomi daerah dengan kebijakan nasional hingga saat ini.

Peninggalan Sejarah

Istana Asi Mbojo

Istana Asi Mbojo didirikan pada tahun 1888 dalam masa pemerintahan Sultan Ibrahim. Istana ini digunakan hingga masa pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin. Pada tahun 1927, istana Asi Mbojo diperbaiki dan ditempati kembali pada tahun 1929. Arsitekturnya dirancang dengan menggunakan perpaduan arsitektur Bima dan Belanda. Perancangnya adalah Obzicter Rahatta. Istana Asi Mbojo kemudian menjadi Museum Asi Mbojo [25] Pada masa Kesultanan Bima, istana ini digunakan sebagai kediaman sultan bersama keluarganya, serta sebagai pusat pemerintahan dan pusat penyiaran agama.[26]

Istana Asi Bou

Istana Asi Bou dibangun pada tahun 1927 sebagai kediaman sementara untuk sultan dan keluarganya. Kediaman ini digunakan selama pembangunan ulang dari Istana Asi Mbojo. Istana Asi Bou merupakan sebuah rumah panggung tradisional. Bahan bangunannya berupa kayu jati yang berasal dari Tololai, Kecamatan Wera. Pembangunannya menggunakan biaya dari kas keuangaan Kesultanan Bima dan dana pribadi Sultan Muhammad Salahuddin.[27]

Masjid Sultan Muhammad Salahuddin

Masjid Sultan Muhammad Salahuddin mulai dibangun pada tahun 1737 M dalam masa pemerintahan Sultan Abdul Kadim. Pembangunan masjid diteruskan oleh Sultan Abdul Hamid. Ia mengubah model atap masjid menjadi bersusun tiga yang menyerupai Masjid Kudus. Pada tahun 1943, Sultan Muhammad Salahuddin memerintahkan pembangunan ulang masjid yang hancur setelah dibom oleh pesawat pasukan sekutu dalam Perang Dunia II. Masjid ini kembali diperbaiki pada tahun 1990 oleh Siti Maryam yang merupakan putri dari Sultan Muhammad Salahuddin.[27]

Masjid Al-Muwahiddin

Masjid Al-Muwahiddin dibangun pada tahun 1947 dalam masa pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin. Tujuan pembangunannya adalah untuk menggantikan sementar fungsi dari Masjid Muhammad Salahuddin yang telah hancur. Masjid ini difungsikan sebagai tempat kegiatan ibadah, dakwah, dan studi Islam.[28]

Peninggalan Budaya

Compo Sampari

Upacara Compo Sampari di Bima tempo dulu, foto sekitar tahun 1953.

Compo sampari (penyematan keris) adalah tradisi upacara kedewasaan anak laki-laki Bima. Saat Bima memasuki era kesultanan, tradisi ini dikembangkan dalam nuansa islami dan menjadi penanda anak laki-laki yang akan dikhitan. Prosesinya dimulai dengan pembacaan zikir dan salawat, kemudian keris diarahkan mengelilingi anak sebanyak tiga atau tujuh kali yang dilakukan oleh tetua. Setelah itu, keris disematkan di bagian depan dan diapit menggunakan sabuk yang telah dilingkarkan di perut sang anak, dengan ujung keris mengarah ke kiri bawah. Badan sarung keris dipegang dengan tangan kiri, kemudian ganggangnya dipegang dengan tangan kanan sang anak. Kemudian prosesinya ditutup dengan salawat, setelah itu sang anak bergerak menghentakkan kaki ke tanah sambil mengacungkan keris yang dikeluarkan dari sarungnya ke arah atas kanan menggunakan tangan kanan.

Rimpu

Rimpu: pakaian muslimah perempuan Bima yang berkembang di era kesultanan.

Rimpu adalah busana wanita berupa sarung yang digunakan oleh para muslimah di Kesultanan Bima. Kegunaannya adalah sebagai penutup kepala dan bagian tubuh bagian atas. Rimpu terdiri dari dua lembar kain sarung. Sarung pertama digunakan untuk menutupi kepala sehingga yang terliihat hanya bagian muka atau mata saja. Kain kedua diikat di perut dan digunakan sebagai pengganti rok.[29] Muka tertutup untuk yang masih gadis, dan muka terbuka untuk yang sudah menikah. Rimpu diperkenalkan pertama kali di Bima pada abad ke-17 M saat Bima bertransformasi dari pemerintahan berbentuk kerajaan menjadi pemerintahan berbentuk kesultanan.[30]

Songko Lenta

Songko Lenta Bura.
Songko Lenta Me'e

Songko Lenta merupakan penutup kepala pria masyarakat Bima, yang digunakan oleh Nenti Mone atau kasim-kasim Sultan Bima, dengan dua jenis warna, yaitu Me'e (hitam) dan Bura (putih keemasan).

Sambolo

Sambolo merupakan ikat kepala yang terbuat dari kain tenun tradisional Bima, motifnya yang serupa sarung songket (songke), membuat sambolo kerap kali disebut sambolo songke. Cara memakainya yaitu menjalin masing-masing ujung sehingga melingkari kepala dalam keadaan tertutup.

Bedasarkan status sosial pamakaiannya, maka cara memakai (memasang) sambolo ada dua bentuk, yaitu:

- Toho Leme (yang dipasang dalam bentuk kerucut di samping kepala). Sambolo Toho Leme; ikat kepala lelaki Bima untuk golongan bangsawan.

- Toho Sungge (yang dipasang dalam bentuk biasa), tidak bentuk berkerucut, tetapi dipasang dalam keadaan biasa saja, untuk rakyat biasa.

Ndiha Rasa

Ndiha Rasa atau dalam Bahasa Indonesia berarti Kampung Ramai; Pesta Rakyat, merupakan salah satu tradisi masyarakat Bima yang berkembang sejak era kerajaan dan terus dirawat hingga era kesultanan dengan beberapa penyesuaian. Tradisi pesta rakyat ini dilakukan setiap satu tahun sekali, biasanya dilakukan setelah musim panen sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh. Masyarakat di masing-masing wilayah biasanya membuat acara besar dengan prosesi utamanya berupa do'a-do'a syukuran, yang berlanjut dengan berbagai acara hiburan dengan ciri dan karakter masing-masing wilayah yang dilakukan selama kurang lebih satu sampai dua minggu. Misalnya yang paling khas dan unik: Taji Tuta (Adu kepala) di Wawo, Ndempa Ndiha (Tarung bebas tangan kosong berkelompok yang dibagi ke dalam beberapa tingkatan umur) di Belo, Kabanca (Saling mengejek dan memperlihatkan kemampuan beratraksi di atas kuda, kemudian saling berusaha menjatuhkan lawan dari kudanya) di Lambu, Taji Sampa (Adu kecepatan perahu kecil berlayar) di Wera, dll.

Tradisi MAKA

Seorang Pria Sedang Memperagakan Tradisi Maka di Bima, NTB

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks sumpah prajurit Bima:

"Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara."

"Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)."

Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen:

1. Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, tetapi tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan sekarang berbeda; sehingga di era sekarang diwakili oleh orang tua/wali sambil menggendong si anak.

2. Ketika seseorang diangkat menjadi prajurit Kerajaan/Kesultanan Bima, sebagai bentuk sumpah setia bahwa ia siap untuk mempertahankan kedaulatan dan kehormatan kerajaan di jalur militer. Biasanya dilakukan/diwakili oleh petinggi-petinggi militernya saat pelantikan.

Dalam perkembangannya, sebagai bentuk pelestarian budaya, tradisi MAKA mulai ditampilkan sebagai bagian dari penyambutan tamu kehormatan dalam beberapa acara budaya.

Referensi

  1. ^ Haris 2006, hlm. 19.
  2. ^ Mawaddah 2017, hlm. 141.
  3. ^ Saputri 2016, hlm. 633.
  4. ^ Saputri 2016, hlm. 634.
  5. ^ Haris 2006, hlm. 18.
  6. ^ Effendy 2017, hlm. 185.
  7. ^ a b Sumiyati 2020, hlm. 22.
  8. ^ Sumiyati 2020, hlm. 23.
  9. ^ Mandyara 2017, hlm. 47.
  10. ^ Mandyara 2017, hlm. 48.
  11. ^ Mawaddah 2017, hlm. 142.
  12. ^ Sumiyati 2020, hlm. 25.
  13. ^ Sulistyo 2014, hlm. 160.
  14. ^ Sulistyo 2014, hlm. 159.
  15. ^ Aulia 2013, hlm. 2.
  16. ^ Aulia 2013, hlm. 3.
  17. ^ Aulia 2013, hlm. 4.
  18. ^ Salahuddin 2005, hlm. 194.
  19. ^ Effendy 2017, hlm. 188.
  20. ^ Effendy 2017, hlm. 189.
  21. ^ Salahuddin 2005, hlm. 195.
  22. ^ Salahuddin 2005, hlm. 195–196.
  23. ^ Salahuddin 2005, hlm. 196.
  24. ^ Van Braam Morris 1890.
  25. ^ Akbar, Antariksa, dan Meidiana 2017, hlm. 13.
  26. ^ Akbar, Antariksa, dan Meidiana 2017, hlm. 13–14.
  27. ^ a b Akbar, Antariksa, dan Meidiana 2017, hlm. 14.
  28. ^ Akbar, Antariksa, dan Meidiana 2017, hlm. 15.
  29. ^ Aksa 2018, hlm. 84.
  30. ^ Aksa 2018, hlm. 85.

Daftar Pustaka

  • Akbar, H., Antariksa, dan Meidiana, C. (2017). "Memori Kolektif Kota Bima Dalam Bangunan Kuno Pada Masa Kesultanan Bima". The Indonesian Green Technology Journal. 6 (1): 8–18. ISSN 2338-1787. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  • Aksa (2018). "Rimpu: Tradisi dan Ekspresi Islam di Bima". Mimikri. 4 (1): 83–91. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  • Aulia, Rihla Nur (2013). "Rimpu: Budaya Dalam Dimensi Busana Bercadar Perempuan Bima". Studi Al-Qur'an. 9 (2): 1–11. ISSN 2339-2614. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  • Effendy, Muslimin AR. (Desember 2017). "Diskursus Islam dan Karakter Politik Negara di Kesultanan Bima". Al-Qalam. 23 (2): 184–197. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  • Haris, Tawalinuddin (2006). "Kesultanan Bima di Pulau Sumbawa". Wacana. 8 (1): 17–31. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 2019-03-21. Diakses tanggal 2020-08-31. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link)
  • Mandyara, Dewi Ratna Muchlisa (2017). "Peran Kesultanan Bima pada Masa Sultan Ismail Tahun 1819-1854". Jurnal Pendidikan IPS. 7 (1): 44–48. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  • Mawaddah, Kartini (2017). "Diplomatik Sultan Abdul Hamid di Kerajaan Bima Tahun 1773-1817 M". Juspi. 1 (1): 139–153. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  • Salahuddin, Muhammad (2005). "Mahkamah Syar'iyyah di Kesultanan Bima: Wujud Dialektika Hukum antara Islam dan Adat". Ulumuna. 9 (1): 189–201. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  • Saputri, Reni (Oktober 2016). "Kesulttanan Bima di Bawah Pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin Tahun 1917-1942". Avatara. 4 (3): 630–643. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  • Sulistyo, Bambang (Juli 2014). "Multikulturalisme di Bima pada Abad X - XVII". Paramita. 24 (2): 155–172. doi:10.15294/paramita.v24i2.3120. ISSN 0854-0039. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  • Sumiyati (2020). "Kondisi Politik di Kesultanan Bima (1915-1950)". Diakronika. 20 (1): –. doi:10.24036/diakronika/vol20-iss1/128. ISSN 2620-9446. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  • Van Braam Morris, D. F. (1890). "Nota Van Toelichting Behoorende Bij Het Contract Gesloten Met Het Landschap Bima En Op Den 20 October 1886: Submitted To The Government By The Governor Of Celebes And Its Dependencies". Batavia: Albrecht & Rusche: 50–51. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)


Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="lower-alpha"/> yang berkaitan

Prefix: a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Portal di Ensiklopedia Dunia

Kembali kehalaman sebelumnya