Agama Hindu
![]() Agama Hindu merupakan kepercayaan dominan di Asia Selatan, terutama di India dan Nepal, yang mengandung beraneka ragam tradisi. Kepercayaan ini meliputi berbagai aliran, di antaranya Saiwa, Waisnawa, dan Sakta, serta suatu pandangan luas akan Dharmasastra tentang "moralitas sehari-hari" yang berdasar pada karma, darma, dan norma kemasyarakatan. Hinduisme cenderung seperti himpunan berbagai pandangan filosofis atau intelektual, daripada seperangkat keyakinan yang baku dan seragam seperti pada agama Abrahamik.[1] Hinduisme diklaim sebagian orang sebagai "agama tertua" di dunia yang masih bertahan hingga kini,[a] dan umat Hindu menyebut agamanya sendiri sebagai Sanātana-dharma (Dewanagari: सनातन धर्म),[b] artinya "darma abadi" atau "jalan abadi"[11] yang melampaui asal mula manusia.[12] Agama ini menyediakan kewajiban "kekal" untuk diikuti oleh seluruh umatnya—tanpa memandang strata, kasta, atau sekte—seperti kejujuran, kesucian, dan pengendalian diri. Para ahli dari barat memandang Hinduisme sebagai peleburan atau sintesis dari berbagai tradisi dan kebudayaan di India, dengan pangkal yang beragam dan tanpa tokoh pendiri. Pangkal-pangkalnya meliputi Brahmanisme (agama Weda Kuno), agama-agama masa peradaban lembah Sungai Indus, dan tradisi lokal yang populer. Sintesis tersebut muncul sekitar 500–200 SM, dan tumbuh berdampingan dengan agama Buddha hingga abad ke-8. Dari India Utara, "Sintesis Hindu" tersebar ke selatan, hingga sebagian Asia Tenggara. Hal itu didukung oleh Sanskritisasi. Sejak abad ke-19, di bawah dominansi kolonialisme Barat serta Indologi (saat istilah "Hinduisme" mulai dipakai secara luas[13]), agama Hindu ditegaskan kembali sebagai tempat berhimpunnya aneka tradisi yang koheren dan independen. Pemahaman populer tentang agama Hindu digiatkan oleh gerakan "modernisme Hindu", yang menekankan mistisisme dan persatuan tradisi Hindu. Ideologi Hindutva dan politik Hindu muncul pada abad ke-20 sebagai kekuatan politis dan jati diri bangsa India. Praktik keagamaan Hindu meliputi ritus sehari-hari (contohnya puja [sembahyang] dan pembacaan doa), perayaan suci pada hari-hari tertentu, dan penziarahan. Kaum petapa yang disebut sadu (orang suci) memilih untuk melakukan tindakan yang lebih ekstrem daripada umat Hindu pada umumnya, yaitu melepaskan diri dari kesibukan duniawi dan melaksanakan tapa brata selama sisa hidupnya demi mencapai moksa. Susastra Hindu diklasifikasikan ke dalam dua kelompok: Sruti (apa yang "terdengar") dan Smerti (apa yang "diingat"). Susastra tersebut memuat teologi, filsafat, mitologi, yadnya (kurban), prosesi ritual, dan bahkan kaidah arsitektur Hindu.[14] Kitab-kitab utama di antaranya adalah Weda, Upanishad (keduanya tergolong Sruti), Mahabharata, Ramayana, Bhagawadgita, Purana, Manusmerti, dan Agama (semuanya tergolong Smerti).[14] Dengan penganut sekitar 1 miliar jiwa,[15] agama Hindu merupakan agama terbesar ketiga di dunia, setelah Kristen dan Islam. Etimologi
—Gavin Flood, An Introduction to Hinduism.[16] Kiri: Peta kawasan peradaban Lembah Indus (ditandai dengan warna hijau) beserta kota-kota kuno di sekitar aliran sungai Sindhu. Kanan: Peta aliran sungai Sindhu di negara Pakistan, yang terletak di antara negara Afghanistan dan India. Kata Hindu (melalui bahasa Persia) berasal dari kata Sindhu dalam bahasa Sanskerta, yaitu nama sebuah sungai di sebelah barat daya Subbenua India—sebagian besar alirannya terletak di wilayah negara Pakistan—yang dalam bahasa Inggris disebut Indus.[16][c] Menurut Gavin Flood, pada mulanya istilah 'hindu' muncul sebagai istilah geografis bangsa Persia untuk menyebut suku bangsa yang tinggal di seberang sungai Sindhu.[16] Para sejarawan pun menyebut peradaban suku tersebut sebagai Peradaban Lembah Indus. Maka dari itu, awalnya istilah 'Hindu' merupakan istilah geografis dan tidak mengacu pada suatu agama. Kata Hindu diserap oleh bahasa-bahasa Eropa dari istilah Arab al-Hind, dan mengacu kepada negeri bagi bangsa yang mendiami daerah sekitar Sungai Sindhu.[19] Istilah Arab tersebut berasal istilah Persia Hindū, yang mengacu kepada seluruh suku di India. Pada abad ke-13, Hindustan muncul sebagai nama alternatif India yang acap disebutkan, yang memiliki arti "Negeri para Hindu".[20] Istilah agama Hindu kemudian sering digunakan dalam beberapa teks berbahasa Sanskerta seperti Rajatarangini dari Kashmir (Hinduka, ca 1450) dan beberapa teks mazhab Gaudiya Waisnawa dari abad ke-16 hingga ke-18 yang berbahasa Bengali, seperti Caitanyacaritamerta dan Caitanyabhagawata. Istilah itu digunakan untuk membedakan Hindu dengan Yawana atau Mleccha.[21] Sejak abad ke-18 dan seterusnya, istilah Hindu digunakan oleh para kolonis dan pedagang dari Eropa untuk menyebut para penganut agama tradisional India secara umum. Istilah Hinduism diserap ke dalam bahasa Inggris pada abad ke-19 untuk menyebut tradisi keagamaan, filasat, dan kebudayaan asli India. DefinisiStudi tentang India beserta kebudayaan dan agamanya—demikian pula definisi "Hinduisme"—telah dibentuk oleh minat kolonialisme, serta gagasan orang Barat tentang agama tersebut.[22][23] Sejak 1990-an, pengaruh-pengaruh beserta dampaknya telah menjadi topik perdebatan di kalangan ahli Hindu,[22] dan turut dicampuri oleh kritik-kritik terhadap India menurut pandangan Barat.[24] Karena istilah tersebut melingkupi berbagai tradisi dan gagasan yang luas, maka sulit untuk memperoleh definisi yang komprehensif.[16] Tanpa keseragaman, Hinduisme didefinisikan sebagai agama, tradisi keagamaan, dan seperangkat kepercayaan religius.[25] Pengaruh kolonialGagasan untuk sebuah sebutan umum bagi beberapa aliran kepercayaan dan tradisi di India sudah mendapat perhatian sejak abad ke-12.[26][27] Gagasan "Hinduisme" sebagai "tradisi keagamaan dunia yang tunggal" dipopulerkan pada abad ke-19 oleh Indolog Eropa yang mengacu kepada "kasta-kasta brahmana" sebagai informasi mereka tentang agama-agama di India.[28] Hal ini mengacu pada suatu kecenderungan untuk menegaskan sastra dan keyakinan terhadap Weda sebagai "esensi" bagi praktik keagamaan Hindu pada umumnya, serta bagi hubungan 'doktrin Hindu' masa kini dengan berbagai perguruan Wedanta (khususnya Adwaita Wedanta).[23] Kolonialisme telah menjadi faktor signifikan dalam pengaruh kasta brahmana dan "brahmanisasi" dalam masyarakat Hindu. Adat kaum brahmana juga memengaruhi pengertian Hinduisme di mata orang Eropa. Kaum brahmana melestarikan kitab-kitab Hindu yang kemudian diteliti oleh orang-orang Eropa. Kewenangan kitab-kitab tersebut telah menjadi sasaran penelitian orang Eropa. Penetapan basis-basis tekstual agama Hindu oleh kaum orientalis Eropa didasari oleh kecenderungan untuk mengacu kepada otoritas tertulis daripada otoritas lisan. Kaum Brahmana dan ilmuwan Eropa memiliki persepsi yang sama tentang "suatu deklinasi umum dari sebuah agama yang mulanya murni".[22] Pendapat orang Hindu![]() Bagi orang Hindu, Hinduisme adalah jalan hidup tradisional.[30] Banyak penganutnya yang menyebut Hinduisme sebagai Sanātana-dharma, artinya "darma yang abadi" atau "jalan yang abadi".[11] Istilah ini mengacu kepada kewajiban "abadi" yang harus dijalankan oleh seluruh umat Hindu—tanpa memandang derajat, kasta, atau sekte/aliran—seperti kejujuran, tidak menyakiti makhluk hidup, menjaga kesucian, berniat baik, pemaaf, bersabar, mengendalikan nafsu, mengendalikan diri sendiri, murah hati, dan bertafakur. Ini berbeda dengan swadarma, artinya "darma seseorang", yaitu kewajiban yang harus dijalankan sesuai aliran yang diikuti dan tingkatan kehidupan.[31] Menurut Kim Knott, perihal darma ini mengacu pada gagasan bahwa sumbernya melampaui sejarah umat manusia, dan kebenarannya disampaikan oleh Tuhan (Sruti) serta diwariskan dari zaman ke zaman, hingga masa kini, dalam suatu kumpulan kitab tertua di dunia, yaitu Weda.[12] Menurut Encyclopædia Britannica:
Sebagai tanggapan atas kolonialisme dan orientalisme Barat, para pemuka dan ahli Hindu menginterpretasikan agamanya dalam suatu upaya yang disebut "modernisme Hindu" oleh orang Barat. Tokoh terkemuka dalam upaya tersebut adalah Swami Vivekananda, Sarvepalli Radhakrishnan, dan Mahatma Gandhi.[32] Menurut Gavin Flood, Vivekanda (1863–1902) adalah tokoh penting dalam pengembangan pemahaman diri umat Hindu masa kini dan telah merumuskan pandangan terhadap Hinduisme bagi orang Barat.[33] Intisari dalam filsafatnya adalah gagasan bahwa "percikan dari Tuhan" berada dalam setiap makhluk hidup, sehingga seluruh umat manusia dapat mencapai persatuan dengan "sifat ilahi bawaan" tersebut, dan dengan memandang bahwa sifat ilahi ini juga terkandung pada setiap orang maka berkembanglah kasih sayang dan harmoni sosial.[34] Menurut Flood, pandangan Vivekananda terhadap Hinduisme adalah yang paling umum diterima oleh kebanyakan umat Hindu golongan menengah berbahasa Inggris (English-speaking middle-class Hindus) pada masa kini.[35] Sarvepalli Radhakrishnan adalah salah satu cendekiawan terpelajar dari India yang bergelut dengan filsafat Barat dan India.[36] Ia mencari keselarasan antara rasionalisme barat dengan Hinduisme, dan memperkenalkan Hinduisme sebagai pengalaman religius yang pada hakikatnya rasional dan humanistis.[37][e] Wawasan Radhakrishnan disebut sangat relevan dan penting dalam membentuk jati diri Hindu kontemporer.[37] Pendapat orang Barat![]() Toleransi agama Hindu terhadap aneka ragam aliran kepercayaan dan tradisi yang berbeda-beda membuatnya sulit untuk didefinisikan sebagai suatu agama menurut pemahaman tradisional orang Barat.[41] Dalam sejumlah kajian didapati bahwa agama Hindu dapat dipandang sebagai suatu kategori dengan "batas-batas yang kabur", daripada suatu lembaga yang tegar dan terdefinisikan dengan baik. Beberapa aktivitas keagamaan Hindu dapat dipandang sebagai hal yang lazim dalam agama tersebut, sementara yang tak lazim pun masih dapat dimasukkan ke dalam kategori agama Hindu. Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut, Ferro-Luzzi menulis suatu 'pendekatan Teori Prototipe' untuk mendefinisikan Hinduisme.[42] Menurut Flood, globalisasi kebudayaan Hindu diprakarsai oleh Swami Vivekananda dengan mendirikan Misi Ramakrishna, dan diikuti oleh para pemuka Hindu lainnya, yang membawa ajaran yang menjadi kekuatan kultural penting dalam masyarakat Barat, dan sebagai akibatnya menjadi kekuatan kultural penting di India, tempat ajaran itu bermula.[43] Hinduisme Global tersebut menarik minat di seluruh dunia, melampaui batas-batas nasional, dan telah menjadikannya suatu agama dunia yang berdampingan dengan Kekristenan, Islam, dan Buddhisme, bagi komunitas Hindu seluruh dunia maupun orang-orang Barat yang tertarik dengan kebudayaan dan kepercayaan non-Barat.[44] Agama ini menekankan nilai-nilai spiritual universal seperti keadilan sosial, kedamaian, serta "transformasi spiritual umat manusia."[44] Sebagian perkembangannya disebabkan oleh "re-enkulturasi" atau efek Pizza, yaitu suatu kondisi ketika unsur-unsur kebudayaan Hindu diperkenalkan ke Dunia Barat, lalu mendapatkan popularitas di sana, dan sebagai akibatnya juga mendapatkan popularitas yang lebih besar di India.[45] KarakteristikKeberadaan agama Hindu sebagai agama tersendiri yang berbeda dengan agama Buddha dan Jainisme diperkuat oleh penegasan para penganutnya bahwa agama mereka memang demikian berbeda.[46] Berbeda dengan dua agama tersebut, Hinduisme bersifat lebih teistik. Sebagian besar sekte dan aliran Hinduisme meyakini suatu pengatur alam semesta—dasar bagi segala fenomena di dunia yang memanifestasikan diri dalam berbagai wujud—yang disebut dengan berbagai nama, seperti Iswara, Dewa, Batara, Hyang, dan lain-lain. Sebagian aliran meyakini bahwa berbagai kemajemukan di dunia merupakan bagian dari Brahman. Dalam agama Hindu, seorang umat boleh berkontemplasi tentang misteri Brahman (dalam konteks tertentu, Brahman dapat didefinisikan sebagai Tuhan personal ataupun impersonal) dan mengungkapkannya melalui mitos yang jumlahnya tidak habis-habisnya, serta melalui penyelidikan filosofis. Mereka mencari kemerdekaan atas penderitaan melalui praktik-praktik brata atau meditasi yang mendalam, atau dengan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui cinta kasih (bhakti) dan percaya (sradha). Akar Hinduisme![]() Sejak minat akan Indologi dan studi Hindu bertumbuh, sejarah dan pangkal agama Hindu telah menjadi perdebatan para cendekiawan di Dunia Barat. Sebelumnya, tidak ada istilah 'Hinduisme' atau 'agama Hindu', tetapi keberadaan tradisi Hindu seperti sekarang telah berpangkal sejak purbakala.[47] Selain itu, para ahli sulit mendefinisikan Hinduisme karena ketiadaan seorang tokoh pendiri agama tersebut. Para cendekiawan memandang Hinduisme sebagai gabungan dari berbagai kebudayaan atau tradisi yang ada di India.[48][49][50] Salah satu akarnya adalah Brahmanisme atau agama Weda Kuno dari India pada Zaman Besi,[51][49] yang merupakan hasil peleburan antara bangsa Indo-Arya dengan kebudayaan dan peradaban Harrapa.[52] Selain itu, tradisi yang mendukung perkembangan agama Hindu meliputi Sramana atau "tradisi penolakan" dari India Utara, serta kebudayaan mesolitik dan neolitik di India, seperti agama-agama peradaban lembah sungai Indus,[53][54][55] tradisi bangsa Dravida,[56] serta tradisi dan agama lokal dari suku bangsa di India.[57] Setelah periode Weda (antara 500–200 SM dan ca 300 M,[48] pada permulaan periode "Wiracarita dan Purana" atau "periode Praklasik"), "sintesis Hindu" mulai timbul[48] (masa ketika dimasukkannya pengaruh Sramana dan Buddhisme), diiringi dengan kemunculan tradisi bhakti ke dalam balutan Brahmanisme melalui kitab-kitab Smerti. Sintesis ini muncul di bawah tekanan perkembangan Buddhisme dan Jainisme.[58] Selama pemerintahan Dinasti Gupta, kitab-kitab Purana disusun, digunakan untuk menyebarkan ideologi keagamaan umum di tengah-tengah akulturasi yang dijalani masyarakat tribal dan buta huruf. Hasilnya adalah kemunculan Hinduisme-Puranis (Puranic-Hinduism) yang memiliki perbedaan mencolok jika dibandingkan dengan Brahmanisme sebelumnya (yang berpegang pada Dharmasastra dan Smerti). Selama beberapa abad, Hinduisme dan Buddhisme tumbuh berdampingan,[59] sampai akhirnya memperoleh keunggulan pada abad ke-8 M.[60][61] Dari India Utara, "sintesis Hindu" beserta konsep pembagian masyarakat menyebar ke India Selatan dan sebagian Asia Tenggara.[62] Hal tersebut didukung oleh sejumlah kegiatan: pengadaan permukiman bagi kaum brahmana di kawasan yang diizinkan oleh penguasa lokal;[63][64] dimasukkannya atau diasimilasikannya dewa-dewi non-Weda (tidak disebut dalam Weda) yang populer;[65][66] dan proses Sanskritisasi, yaitu kondisi ketika "orang-orang dari berbagai strata masyarakat India cenderung menyesuaikan kehidupan religius dan sosial mereka dengan norma-norma Brahmanis".[65][67] Proses asimilasi tersebut menjelaskan bahwa keanekaragaman budaya lokal di India diselimuti oleh selubung persamaan konseptual.[68] Keanekaragaman
Agama Hindu dapat dideskripsikan sebagai sebuah wadah tradisi yang memiliki "sifat kompleks, bertumbuh, berhierarki, dan kadangkala inkonsisten secara internal."[69] Agama Hindu tidak mengenal "satu sistem kepercayaan yang disusun demi menyeragamkan keyakinan atau iman",[16] namun menjadi istilah awam yang meliputi kemajemukan tradisi keagamaan di India.[70][71] Menurut Mahkamah Agung India:
Salah satu masalah dalam merumuskan satu definisi tentang istilah "agama Hindu" adalah adanya fakta bahwa agama Hindu tidak didirikan oleh seorang tokoh.[16][74] Agama ini merupakan sintesis dari berbagai tradisi, atau himpunan tradisi keagamaan yang berbeda tetapi memiliki persamaan.[48][50] Konsep ketuhanan dalam tubuh agama Hindu pun tidak seragam. Beberapa aliran bersifat monoteisme—mengagungkan Wisnu, Kresna, atau Siwa—sementara aliran lainnya bersifat monisme, yang memandang bahwa para dewa atau sembahan apa pun merupakan manifestasi beragam dari Yang Maha Esa.[75] Beberapa aliran Hindu bersifat panenteisme—sebagaimana disebutkan dalam kitab Bhagawadgita—yang meyakini bahwa Tuhan meresap ke seluruh alam semesta, tapi alam semesta bukanlah Tuhan.[76] Beberapa filsafat Hindu membuat postulat ontologi teistis (dalil ketuhanan) tentang penciptaan dan peleburan alam semesta, meskipun beberapa umat Hindu merupakan ateis yang memandang Hinduisme tak lebih dari sebuah filsafat, bukan agama. Di samping itu, agama Hindu tidak mengenal satu sistem saja untuk mencari "keselamatan" (salvation),[16] namun mengandung sejumlah aliran dan berbagai bentuk tradisi keagamaan.[77] Beberapa tradisi Hindu mengandalkan ritus tertentu sebagai hal penting demi keselamatan, tapi berbagai pandangan mengenai hal tersebut juga hadir secara berdampingan. Agama Hindu juga dicirikan dengan adanya kepercayaan akan reinkarnasi (samsara, atau siklus lahir-mati) yang ditentukan oleh hukum karma, dan gagasan tentang "keselamatan" adalah kondisi saat individu terbebas dari siklus lahir-mati yang terus berputar. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, agama Hindu dipandang sebagai agama yang paling kompleks dari seluruh agama yang masih bertahan hingga saat ini.[78] PersamaanDi samping berbagai perbedaan yang teramati, ada pula rasa persamaan dalam Hinduisme.[79] Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda, ada kesatuan fundamental dalam tubuh Hinduisme, yang mendasari berbagai perbedaan dalam bentuk-bentuk pelaksanaannya.[34] Pada umumnya, umat Hindu mengenal berbagai nama dan gelar seperti Wisnu, Siwa, Sakti, Hyang, Dewata, dan Batara. Beberapa aliran memandang nama dan gelar tersebut sebagai aneka manifestasi dari Yang Maha Esa atau Yang Mahakuasa, sehingga agama Hindu dapat dikatakan bersifat monisme. Agama Hindu juga dicirikan dengan adanya kepercayaan akan makhluk ilahi/makhluk surgawi, yang dipandang tidak setara dengan Yang Mahakuasa, sedangkan beberapa aliran juga memandangnya sebagai manifestasi dari Yang Mahakuasa.[75] Karakteristik lainnya—yang kerap dijumpai dalam tubuh Hinduisme—adalah iman tentang reinkarnasi dan karma, serta keyakinan akan kewajiban yang harus dipenuhi secara mutlak (darma). Selain itu, banyak aliran Hinduisme mentakzimkan suatu kumpulan kitab suci yang disebut Weda, meskipun ada beberapa aliran yang mengabaikannya.[80] Sekte Hindu seperti Linggayata bahkan tidak mengikuti Weda, tapi masih memiliki kepercayaan akan Siwa.[81] Sebaliknya, sekte Ayyavazhi memiliki kitab suci tersendiri yang disebut Akilattirattu Ammanai,[82] namun masih mengimani Tuhan yang sama dengan Hinduisme—contohnya Narayana dan Laksmi—serta memiliki sejumlah mitos yang mirip dengan mitologi Hindu pada umumnya. Dalam perkembangannya, tradisi Hindu yang cenderung mengagungkan Wisnu—atau Narayana dan Kresna—disebut Waisnawa, sementara yang memuja Siwa disebut Saiwa (Saiwisme). Dilihat dari luar, aliran Saiwa dan Waisnawa memiliki konsep tersendiri tentang Tuhan yang diagungkan. Menurut Halbfass, meskipun aliran Saiwa dan Waisnawa dapat dipandang sebagai aliran keagamaan yang mandiri, ada kadar interaksi dan saling acu antara para teoretikus dan pujangga dari masing-masing tradisi yang mengindikasikan adanya rasa jati diri yang lebih luas, rasa koherensi dalam konteks yang sama, serta inklusi dalam kerangka dan garis besar [kepercayaan] secara umum.[79] Menurut Nicholson, pada masa antara abad ke-12 dan ke-16, para cendekiawan tertentu mulai memandang "benang merah" terhadap kekayaan ajaran filsafat yang berasal dari Upanishad, wiracarita, Purana, dan beberapa mazhab yang dikenal sebagai "enam sistem" (saddarsana) dari filsafat Hindu yang umum."[26] Tendensi dari kekaburan distingsi filosofis juga digarisbawahi oleh Burley.[83] Hacker menyebut perihal tersebut sebagai "inklusivisme",[84] dan Michaels berpendapat tentang "sifat identifikasi diri".[85] Menurut Lorenzen, rasa identitas ke-Hindu-an bermula dari masa interaksi antara kaum Muslim dan Hindu,[86] dan dari sebuah proses penentuan jati diri untuk membedakan kaum Hindu dengan kaum Muslim, yang sudah dimulai sebelum 1800-an.[87] Menurut Michaels:
Inklusivisme ini dikembangkan lebih jauh lagi pada abad ke-19 dan ke-20 oleh gerakan reformasi Hindu dan Neo-Vedanta, serta telah menjadi karakteristik agama Hindu modern. PenggolonganAgama Hindu sebagaimana biasanya dapat digolongkan ke dalam beberapa mazhab atau aliran besar. Dalam suatu kelompok mazhab pada masa lalu—yang digolongkan sebagai "enam darsana"—hanya dua mazhab yang popularitasnya masih bertahan: Wedanta dan Yoga. Golongan-golongan utama Hinduisme pada masa kini disesuaikan dengan aliran-aliran besar yang ada: Waisnawa (Waisnawisme), Saiwa (Saiwisme), Sakta (Saktisme), dan Smarta (Smartisme).[89] Enam tipe umum![]() Menurut J. McDaniel, ada enam tipe umum dalam tubuh agama Hindu, yang disusun dengan maksud menampung berbagai pandangan terhadap suatu subjek yang kompleks. Adapun enam tipe tersebut sebagai berikut:[90]
Religi dan religiositas HinduMenurut Axel Michaels, ada tiga bentuk religi (agama) Hindu dan empat macam religiositas (pengabdian) umat Hindu.[77] Pembagian agama Hindu menjadi tiga bentuk bersuaian dengan metode pembagian dari India yang mengelompokkannya sebagai berikut: praktik ritual menurut Weda (vaidika), agama rakyat dan lokal (gramya), dan sekte keagamaan (agama atau tantra).[91] Menurut Michaels, tiga bentuk agama Hindu yakni:
Menurut Michaels, empat macam religiositas Hindu yakni:
Toleransi![]() Agama Hindu memiliki ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran karena tiadanya skisma meskipun ada kemajemukan tradisi yang bernaung di bawah simbol-simbol agama Hindu.[94][95] Pada awal perkembangannya, saat tiadanya perselisihan antaragama, umat Hindu menganggap setiap orang yang mereka temui sebagai umat Hindu pula.[96][97] Tetapi pada masa kini, umat Hindu menerima pengaruh dari Barat tentang pengadaan konversi agama.[98] Maka, banyak umat Hindu berpendapat bahwa identitas kehinduan diperoleh semenjak lahir,[99] sementara yang lainnya berpendapat bahwa siapa pun yang mengikuti kepercayaan dan praktik agama Hindu merupakan seorang Hindu.[100] Gandhi menyatakan bahwa Hinduisme bebas dari dogma-dogma yang memaksa, serta dapat menampung berbagai bentuk ekspresi diri dalam ruang lingkup yang besar.[101] Dalam tubuh agama Hindu, perbedaan pada setiap tradisi—bahkan pada agama lain—tidak untuk diperkarakan, karena ada keyakinan bahwa setiap orang memuja Tuhan yang sama dengan nama yang berbeda, entah disadari atau tidak oleh umat bersangkutan.[102] Dalam kitab Regweda terdapat suatu bait yang sering dikutip oleh umat Hindu untuk menegaskan hal tersebut, sebagai berikut:
![]() Agama Hindu memandang seluruh dunia sebagai suatu keluarga besar yang mengagungkan satu kebenaran yang sama, sehingga agama tersebut menghargai segala bentuk keyakinan dan tidak mempersoalkan perbedaan agama.[105] Maka dari itu, agama Hindu tidak mengakui konsep murtad, bidah, dan penghujatan.[94][106][107] Agama Hindu bersifat mendukung pluralisme agama dan lebih menekankan harmoni dalam kehidupan antar-umat beragama, dengan tetap mengindahkan bahwa tiap agama memiliki perbedaan mutlak yang tak patut diperselisihkan.[108] Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda, setiap orang tidak hanya patut menghargai agama lain, tapi juga merangkulnya dengan pikiran yang baik, dan kebenaran itulah yang merupakan dasar bagi setiap agama.[109] Dalam agama Hindu, toleransi beragama tidak hanya ditujukan pada umat agama lain, tapi juga pada umat Hindu sendiri. Hal ini terkait dengan keberadaan beragam tradisi dalam tubuh Hinduisme. Agama Hindu memberikan jaminan kebebasan bagi para penganutnya untuk memilih suatu pemahaman dan melakukan tata cara persembahyangan tertentu.[95][110][111] Sebuah sloka dalam Bhagawadgita sering dikutip untuk mendukung pernyataan tersebut:
Dalam Parlemen Agama-Agama Dunia (1893) di Chicago, Vivekananda juga mengutip suatu ayat yang menyatakan bahwa setiap orang menempuh jalan yang berbeda-beda dalam memuja Tuhan, sebagaimana berbagai aliran sungai pada akhirnya menyatu di lautan.[104] Mazhab, aliran, dan gerakan![]() Hinduisme tidak mengandalkan otoritas berdasarkan doktrin sentral seperti kredo, pengakuan iman, rukun iman, atau syahadat.[112] Meskipun tradisi Hindu tidak seragam, banyak umat Hindu yang tidak mau mengakui dirinya sebagai penganut aliran atau sekte Hindu tertentu.[112] Pada umumnya, aliran dibedakan berdasarkan pada dewa yang dipuja sebagai manifestasi Yang Mahakuasa, serta pada tradisi mengenai cara pemujaan dewa tersebut. Ada empat aliran utama yang sering teramati: Waisnawa, Saiwa, Sakta, dan Smarta.[113] Umat Waisnawa memuja Wisnu sebagai manifestasi Yang Mahakuasa; umat Saiwa memuja Siwa sebagai manifestasi Yang Mahakuasa; umat Sakta memuja Sakti (kekuatan) atau Dewi yang dipersonifikasikan sebagai wanita ilahi; sedangkan Smarta meyakini kesatuan mendasar dari lima (Pancadewa) atau enam (Shanmata) dewa sebagai personifikasi dari Yang Mahakuasa. Aliran lainnya seperti Ganapatya (pemujaan terhadap Ganesa) dan Saura (pemujaan terhadap Surya) kurang menyebar secara luas. Sejumlah gerakan keagamaan terkategorikan ke dalam salah satu aliran besar Hinduisme, contohnya Gerakan Hare Krishna terkategorikan ke dalam golongan Waisnawa. Ada pula gerakan keagamaan Hindu yang sukar ditentukan untuk dimasukkan ke dalam golongan yang disebutkan di atas, contohnya Arya Samaj yang diprakarsai Swami Dayananda Saraswati. Gerakan keagamaan ini berbeda dengan tradisi Hindu pada umumnya, yaitu tidak memuja Tuhan dengan sarana arca atau lukisan. Gerakan ini berfokus kepada Weda dan yadnya (yajña; ritus keagamaan berdasarkan Weda). Di samping empat aliran besar dalam agama Hindu, sekte-sekte keagamaan yang ada meliputi Ayyavazhi, Swaminarayana, Ravidassia, Linggayata, dan lain-lain. Beberapa sekte memiliki konsep, mitologi, serta pustaka suci tersendiri yang berbeda dengan tradisi Hindu pada umumnya. Sekte-sekte tertentu pun memiliki aliran di dalamnya, misalnya tradisi Tantra.[114] Enam mazhab filsafat![]() Menurut sistem astika dan nastika, ada sembilan filsafat India klasik. Enam di antaranya merupakan filsafat Hindu klasik (astika) yang mengakui otoritas Weda sebagai kitab suci. Tiga filsafat lainnya merupakan aliran heterodoks (nastika) yang tidak mengakui otoritas Weda, tapi menekankan tradisi perguruan yang berbeda. Adapun enam filsafat Hindu tersebut sebagai berikut:
![]()
Dalam sejarah agama Hindu, keberadaan enam mazhab tersebut di atas mencapai masa gemilang pada masa Dinasti Gupta. Dengan bubarnya Waisesika dan Mimamsa, perguruan filsafat tersebut kehilangan pamornya pada masa-masa berikutnya, sedangkan berbagai aliran-aliran Wedanta mulai naik pamor sebagai cabang-cabang utama dalam filsafat keagamaan. Nyaya bertahan sampai abad ke-17 dan berganti nama menjadi Nawya-nyaya ("Nyaya Baru"), sedangkan Samkhya lenyap perlahan-lahan, tapi ajarannya diserap oleh Yoga dan Wedanta. Empat aliran utama![]() Empat aliran utama yang sering didapati adalah Waisnawa, Saiwa, Sakta, dan Smarta. Dalam masing-masing aliran, ada beberapa perguruan atau aliran lain yang menempuh caranya sendiri.
![]()
|