Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Fidel Castro

El Comandante
Fidel Castro
Castro ca 1959
Presiden Kuba
Masa jabatan
2 Desember 1976 – 24 Februari 2008
Perdana MenteriDirinya sendiri
Wakil PresidenRaúl Castro
Sekretaris Pertama Komite Pusat Partai Komunis Kuba
Masa jabatan
24 Juni 1961 – 19 April 2011
WakilRaúl Castro
Presiden Dewan Menteri Kuba
Masa jabatan
2 Desember 1976 – 24 Februari 2008
PresidenDirinya sendiri
Sebelum
Pendahulu
Dirinya sendiri (sebagai Perdana Menteri)
Pengganti
Raúl Castro
Sebelum
Perdana Menteri Kuba
Masa jabatan
16 Februari 1959 – 2 Desember 1976
PresidenManuel Urrutia Lleó
Osvaldo Dorticós Torrado
Sebelum
Pengganti
Dirinya sendiri (sebagai Presiden Dewan Menteri)
Sekretaris Jenderal Gerakan Non-Blok
Masa jabatan
16 September 2006 – 24 Februari 2008
Masa jabatan
10 September 1979 – 6 Maret 1983
Informasi pribadi
Lahir
Fidel Alejandro Castro Ruz

(1926-08-13)13 Agustus 1926
Birán, Oriente, Kuba
Meninggal25 November 2016(2016-11-25) (umur 90)
Havana, Kuba
MakamPemakaman Santa Ifigenia, Santiago de Cuba
Partai politikPCC (sejak 1965)
Afiliasi politik
lainnya
Suami/istri
(m. 1948; c. 1955)
Dalia Soto del Valle
(m. 1980)
Anak11, termasuk Alina Fernández
Kerabat
AlmamaterUniversitas Havana
Pekerjaan
  • Pengacara
  • politikus
Tanda tangan
Karier militer
PihakRepublik Kuba
Dinas/cabangAngkatan Bersenjata Revolusioner Kuba
Masa dinas1953–2016
PangkatComandante en Jefe
SatuanGerakan 26 Juli
Pertempuran/perang
IMDB: nm0004242 Allocine: 84154 Rottentomatoes: celebrity/fidel_castro Allmovie: p11761
Spotify: 1jMinhdjeZQjPiTAz6rynF iTunes: 161219691 Last fm: Fidel+Castro Musicbrainz: 8f9f6f48-5a06-4825-8fc2-c82203cf9af7 Discogs: 448393 Find a Grave: 173186052 Modifica els identificadors a Wikidata
  • Kekuasaan sebagai presiden diserahkan kepada Raúl Castro sejak 31 Juli 2006.
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Fidel Alejandro Castro Ruz (bahasa Spanyol: [fiˈðel ˈkastɾo] ( simak); 13 Agustus 1926 – 25 November 2016) adalah seorang pejuang revolusi dan politikus Kuba yang berhaluan komunis. Castro menjabat sebagai Perdana Menteri Kuba dari 1959 hingga 1976 dan sebagai Presiden Kuba sejak 1976 hingga 2008. Selain itu, ia juga mengemban jabatan Sekretaris Pertama Partai Komunis Kuba dari 1965 hingga 2011.

Ia dilahirkan di Birán, Oriente, dengan latar belakang keluarga petani yang kaya. Ia mulai menganut paham anti-imperialisme yang berhaluan kiri saat sedang kuliah hukum di Universitas Havana. Ia pernah ikut serta dalam pemberontakan melawan pemerintahan sayap kanan di Republik Dominika dan Kolombia, dan ia kemudian merencanakan pelengseran Presiden Kuba Fulgencio Batista. Namun, serangannya ke Barak Moncada pada 1953 mengalami kegagalan. Setelah dipenjara selama setahun, Castro pergi ke Meksiko, dan di situ ia membentuk sebuah kelompok revolusioner yang disebut Gerakan 26 Juli bersama dengan adiknya, Raúl Castro, dan juga Che Guevara. Sekembalinya di Kuba, Castro memimpin perang gerilya melawan pasukan Batista di Pegunungan Sierra Maestra. Setelah jatuhnya pemerintahan Batista pada 1959, Castro menjadi Perdana Menteri Kuba dan berkuasa secara militer maupun politik. Amerika Serikat menentang pemerintahan Castro, tetapi segala upaya untuk menumbangkan Castro gagal, termasuk upaya pembunuhan, blokade ekonomi, dan Invasi Teluk Babi tahun 1961. Untuk membalas ancaman-ancaman ini, Castro mendekatkan diri dengan Uni Soviet dan mengizinkan mereka menempatkan senjata nuklir di wilayah Kuba, sehingga terjadilah Krisis Misil Kuba pada 1962.

Dengan berlandaskan pada model pembangunan Marxis-Leninis, Castro mengubah Kuba menjadi negara sosialis satu partai yang dipimpin oleh Partai Komunis. Kebijakan-kebijakannya meliputi perencanaan ekonomi terpusat dan pendanaan yang besar untuk bidang pendidikan dan kesehatan. Kebijakan-kebijakan ini juga diiringi oleh kendali pers oleh pemerintah dan pembungkaman kritik. Di luar negeri, Castro mendukung pemerintahan-pemerintahan yang berhaluan Marxis, seperti pemerintahan Salvador Allende di Chili, Junta Rekonstruksi Nasional di Nikaragua, serta Pemerintahan Revolusioner Rakyat di Grenada. Ia juga mengirim pasukan untuk membantu negara-negara Arab dalam Perang Yom Kippur, Etiopia dalam Perang Ogaden, dan MPLA dalam Perang Saudara Angola. Tindakan-tindakan ini, ditambah dengan posisi Castro sebagai pemimpin Gerakan Non-Blok dari 1979 hingga 1983 dan program internasionalisme medis Kuba, memperkuat martabat Kuba di kancah internasional. Namun, setelah pembubaran Uni Soviet pada 1991, Kuba mengalami kemunduran ekonomi, dan Castro lalu mulai mengemban gagasan-gagasan pro-lingkungan dan anti-globalisasi. Pada era 2000-an, Castro membentuk persekutuan dengan negara-negara Amerika Latin yang dilanda "gelombang merah jambu", khususnya dengan Presiden Hugo Chávez di Venezuela. Menjelang hari ulang tahunnya yang ke-80 pada 2006, Castro menyerahkan tampuk kepemimpinannya kepada adiknya, Raúl. Raúl kemudian secara resmi menggantikannya sebagai presiden pada 2008.

Castro adalah tokoh yang kontroversial. Para pendukungnya memandangnya sebagai pahlawan sosialisme dan anti-imperialisme yang berhasil memperjuangkan keadilan ekonomi dan sosial serta mempertahankan kemerdekaan Kuba dari imperialisme Amerika. Di sisi lain, ia dicap sebagai seorang diktator yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia, keluaran besar-besaran rakyat Kuba, dan kemiskinan ekonomi di negara tersebut. Walaupun begitu, ia telah memperoleh berbagai penghargaan internasional dan berpengaruh terhadap berbagai individu dan kelompok di berbagai belahan dunia.

Biografi

Masa muda: 1926–1947

Castro lahir di luar nikah di lahan pertanian ayahnya pada 13 Agustus 1926.[1] Ayahnya, Ángel Castro y Argiz, adalah seorang pendatang dari Galisia, Spanyol barat laut.[2] Ia memperoleh keuntungan yang besar dari usaha penanaman tebu miliknya di Las Manacas, Birán, Provinsi Oriente.[3] Setelah pernikahan pertamanya kandas, Ángel Castro y Argiz menjadikan pembantu rumah tangganya yang bernama Lina Ruz González (yang berasal dari Kepulauan Kanari) sebagai gundiknya dan kemudian sebagai istrinya; mereka dikaruniai tujuh orang anak, salah satu di antaranya adalah Fidel.[4] Pada saat masih berumur enam tahun, Fidel Castro dikirim ke Santiago de Cuba untuk tinggal dengan gurunya,[5] dan lalu ia dibaptis menjadi seorang Katolik pada usia delapan tahun.[6] Berkat pembaptisannya, Castro diperbolehkan masuk sekolah asrama La Salle di Santiago; di situ ia sering kali berperilaku nakal, sehingga ia dikirim ke Sekoleh Dolores yang dikelola oleh Yesuit di Santiago.[7] Pada 1945, ia pindah ke El Colegio de Belén di Havana yang juga dikelola oleh Yesuit, tetap lebih bergengsi.[8] Meskipun Castro menyukai sejarah, geografi dan debat di Belén, ia bukanlah murid yang unggul secara akademis, dan ia malahan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berolahraga.[9]

Pada 1945, Castro mengambil jurusan hukum di Universitas Havana.[10] Walaupun ia mengakui bahwa ia "buta politik", ia tetap terlibat dalam aktivisme di kampus[11] dan budaya gangsterismo yang penuh kekerasan di universitas tersebut.[12] Ia memiliki pandangan anti-imperialisme dan menentang intervensi Amerika Serikat di kawasan Karibia.[13] Ia sempat mencoba maju menjadi ketua Federasi Mahasiswa Universitas dengan program "kejujuran, kesusilaan, dan keadilan", tetapi ia tidak berhasil.[14] Castro juga menjadi pengkritik tindakan korupsi dan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Ramón Grau, dan ia menyampaikan pidato di muka umum mengenai permasalahan tersebut pada November 1946 yang membuatnya disorot di halaman depan beberapa surat kabar.[15]

Pada 1947, Castro bergabung dengan Partido Ortodoxo, yang didirikan oleh politikus veteran Eduardo Chibás. Sebagai tokoh yang karismatik, Chibás memperjuangkan keadilan sosial, pemerintahan yang jujur, dan kebebasan politik, dan partainya juga membongkar kasus korupsi dan menuntut reformasi. Saat Chibás mencapai peringkat ketiga dalam pemilihan umum 1948, Castro masih tetap berkomitmen membantunya.[16] Namun, kekerasan semakin parah setelah Grau mempekerjakan para pemimpin geng sebagai perwira polisi, dan Castro lalu mendapatkan ancaman kematian yang menuntut agar ia segera meninggalkan universitas. Walaupun begitu, ia menolak untuk tunduk dan mulai membawa senapan dan ditemani oleh rekan-rekannya yang juga dilengkapi dengan persenjataan.[17] Kelak, saat Castro sudah berkuasa di Kuba, para pembangkang anti-Castro menuduhnya terlibat dalam tindakan-tindakan pembunuhan yang terkait dengan geng pada masa itu, tetapi tuduhan ini masih belum terbukti.[18]

Pemberontakan dan Marxisme: 1947–1950

Aku bergabung dengan rakyat; aku mengambil sebuah senapan di kantor polisi yang hancur akibat kerumunan. Aku menyaksikan revolusi yang terjadi secara spontan... Pengalaman itu membuatku semakin mengaitkan diriku dengan perjuangan demi rakyat. Gagasan Marxis yang baru berkembang di benakku tidak ada hubungannya dengan tindakan kami – ini adalah reaksi spontan sebagai pemuda dengan gagasan Martí, anti-imperialis, anti-kolonialis, dan pro-demokrat.

— Fidel Castro saat sedang membahas peristiwa Bogotazo, 2009[19]

Pada Juni 1947, Castro mendengar kabar mengenai rencana ekspedisi pelengseran junta militer sayap kanan Rafael Trujillo di Republik Dominika.[20] Sebagai Presiden Komite Universitas untuk Demokrasi di Republik Dominika, Castro bergabung dengan ekspedisi tersebut.[21] Pasukannya berjumlah 1.200 orang, kebanyakan adalah orang Kuba dan orang Dominika di pengasingan, dan mereka berencana berlayar dari Kuba pada Juli 1947. Akibat tekanan dari AS, pemerintah Grau berupaya menghentikan ekspedisi tersebut, tetapi Castro dan banyak pengikutnya berhasil lolos dari penangkapan.[22] Sekembalinya di Havana, Castro memimpin demonstrasi mahasiswa yang mengutuk pembunuhan seorang murid SMA oleh petugas keamanan pemerintah.[23] Protes tersebut, yang diiringi dengan tindakan keras yang diambil oleh pemerintah terhadap orang-orang yang dituduh komunis, berujung pada bentrok antara aktivis melawan polisi pada Februari 1948, sehingga Castro mengalami luka berat.[24] Pada masa itu, pidato-pidato publiknya sudah condong ke arah kiri dengan mengutuk kesenjangan ekonomi dan sosial di Kuba. Sebelum itu, ia sering kali mengkritik korupsi dan imperialisme AS.[24]

Pada April 1948, Castro mendatangi Bogotá, Colombia, dengan sekelompok pelajar Kuba yang disponsori oleh pemerintahan Juan Perón dari Argentina. Di sana, pembunuhan seorang pemimpin sayap kiri yang bernama Jorge Eliécer Gaitán Ayala berujung pada merebaknya kerusuhan dan bentrok antara kelompok Konservatif yang memegang kekuasaan dan didukung oleh tentara melawan kelompok Liberal yang berhaluan kiri.[25] Castro bergabung dengan kelompok Liberal dan ia mencuri persenjataan dari sebuah kantor polisi, tetapi penyelidikan polisi yang diadakan setelahnya menunjukkan bahwa Castro sama sekali tidak terlibat dalam pembunuhan manapun.[25] Sekembalinya di Kuba, Castro menjadi tokoh penting dalam unjuk rasa menentang rencana kenaikan harga tiket bus.[26] Pada tahun yang sama, ia juga menikahi Mirta Díaz Balart, seorang mahasiswi dari keluarga kaya, dan dari pernikahannya itu ia dapat melihat secara langsung gaya hidup kelompok elit di Kuba. Hubungan tersebut murni atas dasar cinta, meskipun keluarga dari masing-masing pihak sama-sama menentangnya, tetapi pada akhirnya ayah Díaz Balart memberikan mereka sepuluh ribu rolar untuk menjalani bulan madu selama tiga bulan di New York City.[27]

Marxisme mengajarkanku apa itu masyarakat. Aku bagaikan seorang pria yang tertutup matanya di hutan, yang bahkan tidak tahu di mana utara atau selatan. Jika kamu pada akhirnya tidak memahami sejarah perjuangan kelas, atau setidaknya gagasan yang sangat jelas terlihat bahwa masyarakat terbagi menjadi yang kaya dan miskin, dan bahwa beberapa orang menundukkan dan memperalat yang lainnya, [maka] kamu tersesat di hutan, tidak mengetahui apa-apa.

— Fidel Castro mengenai Marxisme, 2009[28]

Pada tahun yang sama, Grau memutuskan untuk tidak lagi ikut pemilu, dan pesta demokrasi tersebut kemudian dimenangkan oleh calon Partido Auténtico yang baru, yaitu Carlos Prío Socarrás.[29] Prío harus menghadapi demonstrasi massal setelah para anggota MSR (yang kini bersekutu dengan polisi) membunuh Justo Fuentes, yang merupakan teman Castro. Alhasil Prío bersedia menumpas geng-geng di Kuba, tetapi ternyata mereka terlalu kuat.[30] Cara pandang politik Castro sendiri semakin bergerak ke arah kiri, dan ia sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Ia menganggap masalah-masalah yang dihadapi oleh Kuba sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat kapitalis, atau "kediktatoran borjuis", dan bukan kegagalan akibat politikus yang korup, sehingga ia mulai menganut paham Marxis bahwa perubahan politik yang berarti hanya dapat diwujudkan lewat revolusi proletariat. Selain itu, ia juga aktif dalam kampanye anti-rasisme yang dilancarkan oleh mahasiswa setelah ia mengunjungi kawasan-kawasan termiskin di Havana.[31]

Pada September 1949, Mirta melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Fidelito, sehingga pasangan tersebut pindah ke sebuah apartemen yang lebih besar di Havana.[32] Castro masih tetap aktif di dunia politik dan bahkan bergabung dengan Gerakan 30 September yang terdiri dari kaum komunis dan anggota Partido Ortodoxo. Tujuan kelompok tersebut adalah untuk melawan geng-geng yang menggunakan kekerasan di universitas; namun, Prío gagal mengendalikan keadaan, dan ia malah menawarkan pekerjaan di kementerian-kementerian negara kepada para anggota senior geng-geng tersebut.[33] Castro secara sukarela menyampaikan pidato atas nama Gerakan 30 September pada tanggal 13 November yang membongkar perjanjian rahasia pemerintah dengan geng-geng. Hal ini menarik perhatian media nasional, tetapi geng-geng tersebut mengamuk dan Castro pun terpaksa bersembunyi, mula-mula di wilayah pedesaan dan kemudian di AS.[34] Sekembalinya di Havana beberapa minggu kemudian, Castro berusaha untuk tidak menarik perhatian orang, dan ia memusatkan perhatiannya pada kuliahnya, hingga akhirnya ia lulus dengan gelar Doktor Hukum pada September 1950.[35]

Karier hukum dan politik: 1950–1952

Castro berencana melengserkan Presiden Fulgencio Batista (kiri, bersama dengan Ketua Staf Angkatan Darat AS Malin Craig). Foto diabadikan pada 1938

Castro menjadi salah satu pendiri kantor hukum yang ingin membantu orang-orang miskin di Kuba, tetapi usaha ini gagal secara finansial.[36] Ia tidak peduli dengan uang atau materi, alhasil ia tidak dapat melunasi tagihannya; perabotannya pun disita dan listriknya diputus, sehingga membuat kesal istrinya.[37] Pada November 1950, Castro turut serta dalam demonstrasi pelajar di Cienfuegos untuk menentang pelarangan perkumpulan mahasiswa oleh Kementerian Pendidikan, tetapi demonstrasi itu berujung pada kekerasan; walaupun Castro sempat ditangkap dan didakwa melakukan tindak kekerasan, pada akhirnya hakim membebaskannya dari segala tuduhan.[38] Castro masih menaruh harapan kepada Chibás dan Partido Ortodoxo, dan ia hadir saat Chibás bunuh diri atas dasar politik pada 1951.[39] Castro lalu menganggap dirinya sebagai pewaris Chibás dan ia mencoba maju menjadi calon anggota Kongres untuk pemilu Juni 1952, tetapi para anggota senior Partido Ortodoxo merasa khawatir dengan reputasi radikalnya dan menolak untuk mengangkatnya sebagai calon.[40] Sebagai gantinya, ia dijadikan calon anggota Dewan Perwakilan di kawasan-kawasan termiskin Havana, dan ia pun mulai berkampanye.[40] Partido Ortodoxo memperoleh banyak dukungan dan diprediksi akan meraih banyak suara.[41]

Pada masa kampanye, Castro sempat bertemu dengan Jenderal Fulgencio Batista, mantan presiden yang kembali terjun ke dunia politik. Walaupun mereka berdua sama-sama menentang pemerintahan Prío, pertemuan mereka tidak lebih dari sekadar basa-basi.[42] Pada Maret 1952, Batista melancarkan kudeta dan berhasil merebut kekuasaan, sementara Prío melarikan diri ke Meksiko. Batista menyatakan dirinya sebagai presiden, dan ia lalu membatalkan pemilu dan mengumandangkan sistem "demokrasi terpimpin"; Castro dan banyak orang lainnya menganggap sistem ini sebagai kediktatoran yang dikuasai oleh satu orang saja.[43] Pandangan politik Batista lalu bergeser ke arah kanan dan ia mempererat hubungan dengan kelompok elit dan Amerika Serikat. Ia juga memutus hubungan dengan Uni Soviet, memberangus serikat pekerja, dan menindas kelompok-kelompok sosialis di Kuba.[44] Castro lalu melayangkan beberapa tuntutan hukum terhadap pemerintahan Batista, tetapi upaya ini sia-sia, sehingga Castro mulai memikirkan cara-acara lain untuk melengserkan rezim tersebut.[45]

Revolusi Kuba

"Pergerakan" dan penyerangan Barak Moncada: 1952–1953

Dalam selang waktu beberapa jam, kamu akan menang atau kalah, tetapi apapun yang akan terjadi – dengar baik-baik, teman-teman – Pergerakan akan menang. Jika kamu menang besok, aspirasi Martí akan terpenuhi dengan segera. Jika kita gagal, tindakan kita akan menjadi contoh bagi rakyat Kuba, dan dari rakyat akan bangkit kembali orang-orang yang bersedia mati demi Kuba. Mereka akan mengambil panji kita dan maju ke depan... Rakyat akan mendukung kita di Oriente dan di seluruh pulau. Seperti pada tahun '68 dan '92, di sini di Oriente kita akan mengeluarkan teriakan pertama Merdeka atau Mati!

— Pidato Fidel Castro kepada Pergerakan beberapa saat sebelum penyerangan Barak Moncada, 1953[46]

Castro membentuk kelompok "Pergerakan", yaitu sebuah kelompok dengan sistem sel bawah tanah. Kelompok ini menerbitkan surat kabar bawah tanah El Acusador (Sang Penuduh) dan juga mempersenjatai dan melatih pasukan anti-Batista.[47] Mereka melakukan perekrutan semenjak Juli 1952, dan akhirnya berhasil menjaring 1.200 anggota dalam setahun, kebanyakan dari kawasan-kawasan termiskin Havana.[48] Meskipun Castro adalah seorang sosialis revolusioner, ia tidak bersekutu dengan Partido Socialista Popular (PSP) yang berhaluan komunis, karena ia tidak ingin membuat takut kelompok-kelompok moderat, walaupun ia masih berhubungan dengan anggota-anggota PSP, termasuk adiknya Raúl.[49] Castro mengumpulkan senjata untuk melancarkan serangan ke Barak Moncada yang terletak di luar kota Santiago de Cuba, Oriente. Para militan Castro berencana untuk menyamar dengan mengenakan seragam angkatan darat dan lalu datang ke barak tersebut pada 25 Juli untuk mengambil alih kendali dan menjarah gudang persenjataannya sebelum bala bantuan lawan dapat dikerahkan.[50] Apabila misi ini berhasil, maka Castro dapat memulai revolusi di kalangan pemanen tebu yang miskin dan lalu semakin menggalakkan pemberontakan dengan memberikan persenjataan-persenjataan yang baru dirampas dari barak tersebut.[51] Rencana Castro meniru para pejuang kemerdekaan Kuba pada abad ke-19 yang menyerbu barak Spanyol; Castro juga menganggap dirinya sebagai penerus pejuang kemerdekaan Kuba, José Martí.[52]

Fidel Castro saat ditangkap setelah kegagalan penyerangan Moncada, 1953

Castro mengumpulkan 165 orang untuk melancarkan misi tersebut,[53] dan ia memerintahkan pasukannya agar tidak menumpahkan darah kecuali jika mereka menghadapi perlawanan bersenjata.[54] Serangan tersebut dimulai pada 26 Juli 1953, tetapi rencana yang telah disusun tidak semulus kenyataan; 3 dari 16 mobil yang dikerahkan dari Santiago tidak berhasil mencapai Barak Moncada. Setelah mobil-mobil yang lain sampai di tempat tersebut, tanda bahaya dibunyikan, dan sebagian besar pemberontak tertahan di tanah akibat tembakan senapan mesin. Empat orang tewas sebelum Castro memerintahkan untuk mundur.[55] Pada akhirnya di pihak pemberontak terdapat 6 orang yang gugur dan 15 yang terluka, sementara di pihak angkatan darat ada 19 yang tewas dan 27 yang terluka.[56] Sementara itu, beberapa pemberontak mengambil alih sebuah rumah sakit sipil; namun, rumah sakit itu lalu diserbu oleh pasukan pemerintah dan para pemberontak pun ditahan, disiksa, dan 22 orang dihukum mati tanpa melalui proses pengadilan.[57] Dengan ditemani oleh 19 orang, Castro berangkat ke Gran Piedra di pegunungan Sierra Maestra, dan di situ mereka dapat mendirikan sebuah pangkalan gerilya.[58] Sebagai tanggapan terhadap serangan yang telah terjadi, pemerintah Batista menyatakan darurat militer, memerintahkan penumpasan para pemberontak, dan melakukan penyensoran media.[59] Pemerintah menyiarkan informasi palsu tentang peristiwa tersebut, dengan mengklaim bahwa para pemberontak adalah kelompok komunis yang telah membunuh pasien-pasien rumah sakit, tetapi berita-berita dan foto-foto tindakan penyiksaan dan penghukuman mati yang dilakukan oleh para tentara di Oriente kemudian menyebar dan menimbulkan kecaman dari publik dan juga dari beberapa anggota pemerintahan.[59]

Dalam rentang waktu beberapa hari sesudahnya, para pemberontak dikumpulkan; beberapa dihukum mati, sementara yang lainnya (termasuk Castro) dibawa ke penjara di sebelah utara Santiago.[60] Pemerintah berkeyakinan bahwa Castro tidak mungkin merencanakan serangan tersebut sendirian, sehingga mereka menuduh keterlibatan para politikus Ortodoxo dan PSP, dan kemudian terdapat 122 terdakwa yang diadili di Istana Kehakiman di Santiago pada 21 September.[61] Saat menghadapi meja hijau, Castro menjadi pengacara untuk dirinya sendiri. Ia menyebut Martí sebagai dalang intelektual di balik serangan tersebut, dan ia juga berhasil meyakinkan tiga hakim untuk membatalkan keputusan angkatan darat untuk memborgol semua terdakwa di pengadilan. Selain itu, ia menyatakan bahwa tuduhan yang dilayangkan kepada mereka (yaitu "mengadakan pemberontakan bersenjata melawan wewenang konstitusional negara") tidaklah tepat, karena mereka memberontak melawan Batista yang telah merampas kekuasaan secara tidak konstitusional.[62] Pengadilan tersebut mempermalukan angkatan darat karena tindakan penyiksaan yang mereka lakukan terhadap tersangka pun terbongkar, dan kemudian mereka mencoba menghalangi Castro agar tidak lagi bicara dengan mengklaim bahwa ia sedang sakit, tetapi upaya tersebut tidak berhasil.[63] Pengadilan berakhir pada 5 Oktober, dan sebagian besar terdakwa dinyatakan bebas; 55 orang dihukum penjara antara 7 bulan hingga 13 tahun. Castro dijatuhi hukuman pada 16 Oktober, dan selama sidang putusan tersebut ia menyampaikan sebuah pidato yang kemudian akan diterbitkan isinya dengan judul Sejarah Akan Membebaskanku.[64] Castro dihukum 15 tahun penjara di bagian rumah sakit di Penjara Model (Presidio Modelo), sebuah lembaga modern dan relatif nyaman di Isla de Pinos.[65]

Pemenjaraan dan Gerakan 26 Juli: 1953–1955

Castro dengan putranya, Fidelito, pada 1954.

Sejujurnya aku ingin mengobarkan revolusi di negara ini dari satu ujung ke ujung yang lainnya! Saya yakin hal ini akan membawa kebahagiaan bagi rakyat Kuba. Aku tak akan dihentikan oleh kebencian dan rasa sakit hati dari ribuan orang, termasuk beberapa kerabatku, setengah orang yang aku kenal, dua per tiga rekan profesionalku, dan empat per lima bekas teman sekolahku

— Fidel Castro, 1954.[66]

Setelah dijebloskan ke penjara bersama dengan 25 rekannya, Castro mengganti nama kelompoknya menjadi "Gerakan 26 Juli" (MR-26-7) untuk mengenang tanggal serangan Moncada, dan ia juga membentuk sebuah sekolah untuk para tahanan.[67] Ia banyak membaca dan tak hanya menikmati karya-karya Marx, Lenin, dan Martí, tetapi juga membaca buku-buku karya Freud, Kant, Shakespeare, Munthe, Maugham, dan Dostoyevsky, yang ia tilik dari sudut pandang Marxis.[68] Ia masih menjalin hubungan surat-menyurat dengan para pendukungnya, sehingga ia tetap dapat mengendalikan Gerakan 26 Juli dan mengatur proses publikasi Sejarah Akan Membebaskanku.[69] Walaupun awalnya ia diberi beberapa kebebasan, ia diganjar hukuman penahanan sendiri setelah para tahanan menyanyikan lagu-lagu anti-Batista ketika sang presiden berkunjung pada Februari 1954.[70] Sementara itu, istri Castro, Mirta, mendapatkan pekerjaan di Kementerian Dalam Negeri. Castro merasa tercengang setelah mendengar kabar tersebut melalui sebuah pengumuman radio, dan ia menyatakan bahwa ia lebih baik mati "seribu kali" ketimbang "menderita akibat hinaan semacam itu".[71] Fidel dan Mirta memutuskan untuk bercerai, tetapi Mirta-lah yang mendapatkan hak asuh atas putra mereka, Fidelito; hal ini membuat Castro murka, karena ia tak ingin putranya dibesarkan dalam lingkungan borjuis.[71]

Pada 1954, pemerintah Batista mengadakan pemilu presiden, tetapi Batista menjadi calon tunggal, dan pemilu tersebut dianggap penuh kecurangan. Pemerintah Batista sempat mengizinkan kelompok oposisi untuk bersuara, dan para pendukung Castro menuntut pengampunan untuk para pelaku insiden Moncada. Beberapa politikus merasa bahwa tindakan pengampunan akan menghasilkan citra yang baik, sehingga Kongres dan Batista pun setuju. Batista merasa bahwa Castro bukanlah ancaman, terutama mengingat bahwa ia didukung oleh AS dan perusahaan-perusahaan besar. Maka pada 15 Mei 1955 para tahanan pun dibebaskan.[72] Sekembalinya di Havana, Castro diwawancara oleh radio dan mengadakan konferensi pers; pemerintah sangat memantaunya dan membatasi kegiatan-kegiatannya.[73] Castro pada masa itu sudah bercerai, sehingga ia mulai menjalin hubungan intim dengan dua pendukung perempuannya, Naty Revuelta dan Maria Laborde, dan keduanya dihamili olehnya.[74] Sebagai bagian dari rencananya untuk memperkuat MR-26-7, ia mendirikan Direktorat Nasional yang beranggotakan 11 orang, tetapi ia tetap mengendalikan badan tersebut secara otoriter, dan bahkan beberapa pembangkang mencapnya sebagai seorang caudillo (diktator); Castro sendiri berdalih bahwa suatu revolusi hanya akan berhasil jika dijalankan oleh sebuah komite dan seorang pemimpin yang kuat.[75]

Saudara Fidel, Raúl (kiri), dan Che Guevara (kanan)

Pada 1955, pemerintah mulai mengambil tindakan keras terhadap para pembangkang akibat terjadinya pengeboman dan demonstrasi yang menggunakan kekerasan, sehingga Castro dan Raúl melarikan diri dari negara tersebut agar tidak ditangkap.[76] Castro mengirim surat kepada media yang menyatakan bahwa ia "meninggalkan Kuba karena semua pintu perjuangan secara damai telah tertutup untukku ... Sebagai pengikut Martí, aku percaya bahwa telah tiba saatnya untuk merebut hak-hak kami dan bukannya mengemis kepada mereka, untuk berjuang dan bukannya memohon-mohon."[77] Castro bersaudara dan beberapa rekan mereka pergi ke Meksiko,[78] dan di situ Raúl berteman dengan seorang dokter Argentina penganut Marxis-Leninis yang bernama Ernesto "Che" Guevara, yang bekerja sebagai jurnalis dan fotografer untuk "Agencia Latina de Noticias".[79] Fidel menyukainya, dan kelak menggambarkannya sebagai "seorang revolusioner yang lebih maju ketimbang saya".[80] Castro juga berhubungan dengan Alberto Bayo, yang bersedia mengajari orang-orang Castro kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan dalam perang gerilya.[81] Dalam rangka mengumpulkan dana, Castro pergi ke AS untuk mencari simpatisan kaya, tetapi di sana pergerakannya dipantau oleh agen-agen Batista, dan konon agen-agen tersebut pernah mencoba membunuhnya.[82] Castro masih tetap berhubungan dengan MR-26-7 di Kuba, dan kelompok tersebut telah memperoleh basis dukungan yang besar di Oriente.[83] Kelompok-kelompok militan anti-Batista lainnya juga muncul, terutama dari kalangan mahasiswa; yang paling terkenal dari antara kelompok-kelompok tersebut adalah Directorio Revolucionario Estudiantil (DRE), yang didirikan oleh José Antonio Echeverría. Antonio bertemu dengan Castro di Kota Meksiko, tetapi Castro menentang cara pandang kelompok tersebut yang mendukung tindakan pembunuhan tanpa pandang bulu.[84]

Setelah membeli kapal yacht Granma, pada 25 November 1956, Castro berlayar dari Tuxpan, Veracruz, menuju Kuba bersama dengan 81 pengobar revolusi bersenjata.[85] Perjalanan sejauh 1.900 km tersebut bukanlah perjalanan yang mudah. Persediaan makanan terus menipis, sementara banyak yang mabuk laut. Bahkan di tengah perjalanan mereka harus mengeluarkan air yang masuk akibat kebocoran, dan salah satu rekan mereka juga pernah ada yang terjatuh dari kapal, sehingga menunda perjalanan mereka.[86] Rencana Castro sebelumnya adalah untuk mencapai Kuba dalam waktu lima hari, dan kemudian saat mereka mendarat anggota MR-26-7 yang dipimpin oleh Frank País akan melancarkan pemberontakan di Santiago dan Manzanillo. Namun, perjalanan Granma berlangsung selama tujuh hari. Akibatnya, País dan pasukannya mengalami kekalahan setelah diserang secara terus menerus oleh pasukan pemerintah selama dua hari.[87]

Perang gerilya: 1956–1959

Pegunungan Sierra Maestra yang dipenuhi hutan lebat. Di sini Castro dan pasukan revolusionernya memimpin serangan gerilya melawan pasukan Batista selama dua tahun. Penulis biografi Castro, Robert E. Quirk, berkomentar bahwa "tidak ada tempat lain yang lebih baik untuk bersembunyi" di Kuba.[88]

Granma karam di daerah rawa bakau di Playa Las Coloradas, yang terletak tidak jauh dari Los Cayuelos, pada 2 Desember 1956. Castro dan rekan-rekannya melarikan diri ke pedalaman menuju kawasan pegunungan Sierra Maestra di Oriente, meskipun selama perjalanannya mereka berulang kali diserang oleh pasukan Batista.[89] Sesampainya di situ, Castro baru sadar bahwa hanya ada 19 orang yang berhasil sampai di tujuan, sisanya dibunuh atau ditangkap.[90] Mereka lalu mendirikan sebuah perkemahan, dan sejauh ini orang-orang yang berhasil selamat meliputi Castro bersaudara, Che Guevara, dan Camilo Cienfuegos.[91] Mereka kemudian mulai melakukan serangan ke pos-pos tentara kecil untuk merampas senjata, dan pada Januari 1957 mereka menyerbu sebuah pos di La Plata; mereka mengobati setiap prajurit yang terluka, tetapi mereka menghukum mati Chicho Osorio, seorang mayoral (mandor perusahaan lahan) yang dibenci oleh para petani setempat.[92] Dengan menghukum mati Osorio, para pemberontak pun mendapatkan kepercayaan dari para penduduk setempat, walaupun Castro dan rekan-rekannya masih dicurigai.[93] Seiring berjalannya waktu, kepercayaan ini turut menguat, sehingga beberapa warga bergabung dengan kelompok pemberontak, tetapi sebagian besar sukarelawan baru berasal dari kawasan perkotaan.[94] Dengan ini jumlah pasukan pemberontak bertambah hingga mencapai 200 orang, dan pada Juli 1957 Castro membagi tentaranya menjadi tiga, masing-masing dipimpin oleh dirinya, saudaranya, dan Guevara.[95] Para anggota MR-26-7 yang beroperasi di kawasan perkotaan melanjutkan perlawanan dan mengirimkan persediaan kepada Castro, dan pada 16 Februari 1957 ia bertemu dengan para anggota senior lainnya untuk membahas taktik; di situ ia bertemu dengan Celia Sánchez, yang kelak akan menjadi teman dekatnya.[96]

Kelompok-kelompok anti-Batista di berbagai wilayah di Kuba melakukan pengeboman dan sabotase; polisi menanggapinya dengan penangkapan massal, penyiksaan, dan pembunuhan di luar hukum.[97] Pada Maret 1957, serangan DRE ke Istana Presiden mengalami kegagalan, dan selama serangan tersebut Antonio mati tertembak.[97] Frank País juga tewas, sehingga Castro menjadi satu-satunya pemimpin MR-26-7 yang tersisa.[98] Meskipun Guevara dan Raúl dikenal akan pandangan Marxis-Leninis mereka, Castro berupaya menyembunyikannya, karena ia menginginkan dukungan dari kelompok-kelompok revolusioner yang tidak terlalu radikal.[99] Pada 1957, ia bertemu dengan para pemimpin Partido Ortodoxo, Raúl Chibás dan Felipe Pazos, dan mereka merumuskan Manifesto Sierra Maestra yang menyerukan pembentukan pemerintahan sementara yang dipimpin untuk memberlakukan reformasi agraria, industrialisasi, dan kampanye melek huruf, serta sebuah pemilu yang diikuti oleh beberapa partai.[99] Pers Kuba pada masa itu disensor, sehingga Castro menghubungi media asing untuk menyebarkan pesannya; ia menjadi terkenal setelah diwawancarai oleh Herbert Matthews, seorang jurnalis dari The New York Times.[100] Para wartawan dari CBS dan Paris Match kemudian juga mewawancarainya.[101]

Castro (kanan) dengan rekannya, Camilo Cienfuegos, sedang memasuki kota Havana pada 8 Januari 1959

Para gerilyawan Castro meningkatkan serangan-serangan mereka ke pos-pos militer, sehingga pasukan pemerintah terpaksa mundur dari kawasan Sierra Maestra, dan pada musim semi 1958, para pemberontak menguasai sebuah rumah sakit, sekolah-sekolah, tempat percetakan, rumah jagal, pabrik ranjau, dan sebuah pabrik rokok.[102] Pada 1958, Batista semakin menghadapi kemelut akibat kegagalan militernya, dan juga akibat kritik-kritik yang terus mengalir dari dalam dan luar negeri yang terkait dengan tindakan penyensoran, penyiksaan, dan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh rezimnya.[103] Pemerintah AS bahkan menghentikan bantuan persenjataan kepadanya.[103] Kelompok oposisi lalu menyerukan mogok kerja, yang kemudian diiringi oleh serangan dari kelompok MR-26-7. Semenjak 9 April, kelompok tersebut mendapatkan dukungan yang besar di Kuba tengah dan timur, tetapi tidak terlalu didukung di wilayah lainnya.[104]

Batista membalasnya dengan melancarkan serangan besar-besaran yang disebut Operasi Verano. Angkatan darat membombardir wilayah hutan dan pedesaan yang diduga membantu kelompok pemberontak, sementara 10.000 pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Eulogio Cantillo mengepung kawasan Sierra Maestra dan bergerak ke arah utara menuju kamp-kamp pemberontak.[105] Meskipun jumlah pasukan dan teknologi mereka lebih unggul, angkatan darat Batista sama sekali tidak berpengalaman dalam menghadapi perang gerilya, dan Castro mampu menahan serangan-serangan mereka dengan menggunakan ranjau dan melakukan penyergapan.[105] Banyak prajurit Batista yang membelot ke pihak Castro, dan Castro sendiri didukung oleh penduduk setempat.[106] Pada musim panas, MR-26-7 melakukan serangan balasan dan berhasil mengusir angkatan darat Batista dari wilayah pegunungan, dan Castro sendiri memimpin barisannya dan melakukan gerakan menjepit yang mengepung pasukan utama Batista di Santiago. Pada bulan November, pasukan Castro menguasai sebagian besar wilayah Oriente dan Las Villas, dan membagi Kuba menjadi dua dengan menutup jalan-jalan besar dan jalur-jalur rel; hal ini sangat merugikan Batista.[107]

AS merasa takut dengan kemungkinan bahwa Castro adalah seorang sosialis, dan mereka menginstruksikan Cantillo untuk melengserkan Batista.[108] Cantillo secara diam-diam menyepakati gencatan senjata dengan Castro dan ia juga menjanjikan bahwa Batista akan diadili sebagai seorang penjahat perang;[108] namun, ada yang memperingatkan Batista terkait dengan hal ini, sehingga ia melarikan diri dengan membawa uang yang jumlahnya melebihi US$300.000.000 pada 31 Desember 1958.[109] Cantillo memasuki Istana Presiden di Havana dan menyatakan hakim Mahkamah Agung Carlos Piedra sebagai Presiden.[110] Castro pun murka dan memutuskan untuk mengakhiri gencatan senjata.[111] Ia juga memerintahkan kepada prajurit anggota darat yang bersimpati dengan revolusi untuk menangkap Cantillo.[112] Saat mengikuti perayaan pelengseran Batista pada 1 Januari 1959, Castro memerintahkan MR-26-7 untuk mencegah penjarahan dan vandalisme.[113] Cienfuegos dan Guevara lalu memimpin pasukan mereka ke Havana pada 2 Januari, sementara Castro memasuki Santiago dan menyampaikan pidato yang menyebut soal perang kemerdekaan.[114] Saat menuju Havana, ia disambut kerumunan di setiap kota, dan ia juga melakukan konferensi pers dan diwawancara.[115]

Pemerintahan sementara: 1959

Atas perintah dari Castro, pengacara Manuel Urrutia Lleó yang beraliran moderat dinyatakan sebagai presiden sementara, tetapi Castro mengeluarkan sebuah pernyataan yang sebenarnya salah, bahwa Urrutia telah dipilih melalui "pemilihan umum". Kebanyakan anggota kabinet Urrutia merupakan anggota MR-26-7.[116] Saat memasuki kota Havana, Castro menyatakan dirinya sebagai Perwakilan Angkatan Bersenjata Pemberontak di bawah Kepresidenan, dan lalu ia menetap dan berkantor di Havana Hilton Hotel.[117] Castro sangat berpengaruh terhadap pemerintahan Urrutia, yang merupakan sebuah pemerintahan yang berkuasa dengan mengeluarkan dekret-dekret. Ia berupaya memastikan agar pemerintahan yang baru menjalankan kebijakan-kebijakan pemberantasan korupsi dan buta huruf, serta kebijakan yang mengeluarkan para pendukung Batista dari jabatan-jabatan pemerintahan, termasuk pemecatan anggota Kongres dan pelarangan menduduki jabatan untuk semua orang yang "terpilih" dalam pemilu curang tahun 1954 dan 1958. Ia kemudian mendorong Urrutia untuk mengeluarkan larangan sementara terhadap partai-partai politik, walaupun ia berulangkali menegaskan bahwa mereka akan mengadakan pemilu yang dapat diikuti oleh lebih dari satu partai.[118] Meskipun ia menyangkal tuduhan bahwa ia adalah seorang komunis di hadapan media, ia diam-diam bertemu dengan anggota-anggota PSP untuk membahas rencana pembentukan sebuah negara sosialis.[119]

Kami tidak menghukum mati orang-orang tak berdosa atau lawan politik. Kami menghukum mati para pembunuh dan mereka memang pantas menerimanya.

— Tanggapan Castro terhadap kritikan yang terkait dengan pengeksekusian massal, 1959[120]

Pemerintahan Batista telah membunuh ribuan orang Kuba saat mereka berupaya memadamkan revolusi; Castro dan media-media besar memperkirakan jumlah korban tewasnya mencapai 20.000 orang, tetapi daftar korban yang diterbitkan tak lama seusai revolusi hanya berisi 898 nama, dan lebih dari setengahnya adalah kombatan perang.[121] Perkiraan-perkiraan yang lebih terkini mengeluarkan angka yang berkisar antara 1000[122] hingga 4000 korban jiwa.[123] Sebagai tanggapan terhadap seruan agar orang-orang yang bertanggung jawab diseret ke meja hijau, Castro membantu mendirikan beberapa pengadilan, yang berujung pada penghukuman mati ratusan orang. Meskipun kebijakan ini populer di dalam negeri, para kritikus (khususnya pers AS) menyatakan bahwa proses pengadilannya sering kali tidak dilaksanakan secara adil. Castro menanggapinya dengan menyatakan bahwa "Pengadilan revolusioner tidak didasarkan pada aturan-aturan hukum, tetapi pada keyakinan moral".[124] Sementara itu, keberhasilan Castro disambut dengan baik oleh banyak orang di Amerika Latin, dan ia lalu berkunjung ke Venezuela untuk bertemu dengan presiden terpilih Rómulo Betancourt, tetapi ia tidak berhasil memperoleh pinjaman dan juga gagal membuat perjanjian pembelian minyak yang baru.[125] Sekembalinya di tanah air, terjadi adu pendapat antara Castro dengan anggota pemerintahan senior. Ia merasa murka setelah mengetahui bahwa pemerintah telah menyebabkan ribuan orang menganggur akibat penutupan kasino dan rumah bordil. Perdana Menteri José Miró Cardona lalu mengundurkan diri, mengasingkan diri di AS, dan bergabung dengan pergerakan anti-Castro.[126]

Perdana Menteri

Mengukuhkan kekuasaan: 1959–1960

Castro memandang Monumen Lincoln saat ia berkunjung ke Amerika Serikat pada 1959

Pada 16 Februari 1959, Castro disumpah menjadi Perdana Menteri Kuba.[127] Pada bulan April, ia mengunjungi AS, tetapi Presiden Eisenhower tidak mau menemuinya dan malah mengutus Wakil Presiden Richard Nixon untuk menggantikannya; Castro langsung tidak menyukai Nixon setelah mereka bertemu.[128] Castro lalu melanjutkan kunjungannya ke Kanada, Trinidad, Brasil, dan Uruguay. Ia juga menghadiri sebuah konferensi ekonomi di Buenos Aires, Argentina, dan di situ ia mengajukan usulan agar AS menggelontorkan "Rencana Marshall" senilai $30 miliar untuk Amerika Latin, tetapi usulan tersebut ditolak.[129] Pada Mei 1959, Castro menandatangani hukum Reformasi Agraria Pertama, yang menetapkan batas maksimal luas kepemilikan lahan sebesar 993 ekar (402 hektare) per pemilik, dan melarang orang asing memperoleh kepemilikan lahan di Kuba. Sekitar 200.000 petani mendapatkan surat kepemilikan lahan setelah lahan-lahan besar diredistribusikan; kebijakan ini didukung oleh para buruh, tetapi dibenci oleh golongan pemilik lahan,[130] termasuk ibunya sendiri.[131] Pada masa ini, Castro juga mengangkat dirinya sebagai presiden Industri Pariwisata Nasional. Ia mencoba menarik wisatawan Afrika-Amerika dengan mengiklankan Kuba sebagai tempat wisata tropis yang terbebas dari segala bentuk diskriminasi ras, tetapi upaya tersebut tidak berhasil.[132] Sementara itu, gaji para hakim dan politikus diturunkan, dan gaji PNS rendahan dinaikkan.[133] Pada Maret 1959, ia juga menyatakan bahwa biaya sewa untuk orang-orang yang membayar lebih sedikit dari $100 sebulan akan dikurangi setengah.[134]

Meskipun ia menolak menggolongkan rezimnya sebagai rezim sosialis dan berulangkali menyangkal tuduhan komunis, Castro memberikan jabatan senior pemerintahan dan militer kepada orang-orang yang berhaluan Marxis. Salah satu contohnya adalah Che Guevara yang menjadi Gubernur Bank Sentral dan kemudian juga diangkat sebagai Menteri Perindustrian. Komandan Angkatan Udara Pedro Luis Díaz Lanz sangat tercengang sampai-sampai ia membelot ke AS.[135] Meskipun Presiden Urrutia mengutuk pengkhianatan tersebut, ia mengungkapkan kekhawatirannya terkait dengan kebangkitan Marxisme. Castro pun murka dan lalu mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan Perdana Menteri, dan ia menuduh Urrutia telah mempersulit pemerintahannya dengan pandangan "anti-komunisme yang menggebu-gebu". Lebih dari 500.000 pendukung Castro lalu mengepung Istana Presiden dan menuntut pengunduran diri Urrutia. Urrutia memenuhi tuntutan tersebut, dan Castro pada 23 Juli meneruskan jabatannya sebagai Perdana Menteri dan mengangkat Osvaldo Dorticós yang berhaluan Marxis sebagai Presiden.[136]

Castro bersama dengan Presiden Indonesia Soekarno di Havana, 1960

Pemerintah Castro mengutamakan kebijakan-kebijakan sosial untuk meningkatkan standar hidup rakyat Kuba, walaupun kebijakan itu sering kali mengorbankan pertumbuhan ekonomi.[137] Pemerintahannya sangat mementingkan pendidikan, dan selama 30 bulan pertama pemerintahan Castro, banyak sekolah-sekolah baru yang dibuka. Sistem pendidikan dasar Kuba mulai menawarkan program studi-kerja: separuh waktu dijalani di ruang kelas, dan separuh waktu lainnya dihabiskan untuk melakukan aktivitas produktif.[138] Penyediaan layanan kesehatan juga dinasionalisasi dan diperluas jangkauannya; pusat-pusat kesehatan di pedesaan dan poliklinik di perkotaan dibuka di berbagai wilayah Kuba dan digratiskan. Selain itu, pemerintah Castro menggalakkan vaksinasi untuk mencegah penyakit-penyakit masa kecil, dan tingkat kematian bayi pun berkurang secara drastis.[137] Bagian ketiga dari program sosial Castro adalah pembangunan infrastruktur. Selama enam bulan pertama pemerintahan Castro, 600 mil jalan dibangun di seluruh Kuba, sementara $300 juta digelontorkan untuk proyek penyediaan air dan sanitasi.[137] Lebih dari 800 rumah dibangun setiap bulannya pada tahun-tahun awal pemerintahan Castro dalam upaya untuk memerangi ketunawismaan, sementara tempat penitipan anak dan perawatan penyandang disabilitas dan lansia juga didirikan.[137]

Castro (paling kiri), Che Guevara (tengah), dan anggota kelompok revolusioner lainnya berpawai di jalanan pada 5 Maret 1960 selama upacara pemakaman korban-korban ledakan La Coubre

Castro menggunakan radio dan televisi untuk melakukan "dialog dengan rakyat", mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan membuat pernyataan-pernyataan provokatif.[139] Rezimnya masih tetap populer di kalangan buruh, petani, dan mahasiswa, dan ketiganya jika digabung merupakan kelompok mayoritas di Kuba.[140] Di sisi lain, perlawanan biasanya muncul dari kelas menengah; ribuan dokter, insinyur, dan kaum profesional lainnya pindah ke Florida, sehingga terjadilah pelarian sumber daya manusia.[141] Produktivitas pun menurun dan cadangan keuangan negara tersebut terkuras dalam waktu dua tahun.[134] Setelah pers yang berhaluan konservatif bermusuhan dengan pemerintah, serikat percetakan yang pro-Castro mengganggu staf-staf editorialnya, dan pada Januari 1960 pemerintah memerintahkan mereka untuk menerbitkan sebuah "klarifikasi" yang ditulis oleh serikat percetakan di bagian akhir artikel yang mengkritik pemerintah.[142] Pemerintah Castro menangkap ratusan orang yang dituduh kontra-revolusi,[143] dan banyak dari antara mereka yang menjadi ditahan, diperlakukan secara kasar, atau diancam.[144] Kelompok militan anti-Castro (yang didanai oleh orang-orang Kuba di pengasingan, Central Intelligence Agency (CIA), dan pemerintah Dominika) melakukan serangan dan mendirikan pangkalan-pangkalan gerilya di kawasan pegunungan Kuba, sehingga meletuslah Pemberontakan Escambray yang berlangsung selama enam tahun.[145]

Pada 1960, Perang Dingin terus memanas di antara dua negara adidaya: Amerika Serikat, sebuah negara demokrasi liberal kapitalis, melawan Uni Soviet, sebuah negara sosialis Marxis-Leninis yang diperintah oleh Partai Komunis. Castro menyatakan ketidaksukaannya terhadap AS dan memiliki pandangan-pandangan ideologi yang ser