Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Protestanisme

Pintu Gereja Semua Orang Kudus di Wittenberg, tempat Martin Luther konon memampang Sembilan Puluh Lima Dalil pada tahun 1517, menjabarkan keprihatinannya atas berbagai perkara yang ia pandang sebagai penyelewengan dan kebobrokan Gereja Katolik. Sembilan Puluh Lima Dalil melahirkan Kristen Protestan sebagai salah satu agama besar dunia, dan menjadikan Wittenberg sebagai "Persemaian Protestanisme".

Protestanisme atau Kristen Protestan adalah cabang Kekristenan[a] yang menitikberatkan pembenaran orang berdosa oleh iman semata-mata, ajaran bahwa keselamatan datang oleh kasih karunia ilahi cuma-cuma, imamat am orang percaya, dan Alkitab sebagai satu-satunya sumber yang mustahil keliru bagi iman dan amalan Kristen.[1][2] Lima solae merupakan ikhtisar akidah-akidah pokok Protestanisme arus utama.

Umat Protestan menganut asas-asas teologis Reformasi Protestan, pergerakan abad ke-16 yang bertujuan mereformasi Gereja Katolik dari hal-hal yang dianggap sebagai kekeliruan, penyelewengan, dan ketidakcocokan.[3][b] Gerakan reformasi ini bermula di Kekaisaran Romawi Suci[c] pada tahun 1517, tatkala Martin Luther menerbitkan Sembilan Puluh Lima Dalil yang ia susun sebagai reaksi terhadap penyelewengan-penyelewengan dalam penjualan indulgensi oleh Gereja Katolik, yang sesungguhnya dimaksudkan sebagai anugerah remisi hukuman temporer atas dosa-dosa kepada pembelinya.[4] Meskipun demikian, istilah protestan dipetik dari surat protes yang dilayangkan pangeran-pangeran Lutheran Jerman pada tahun 1529 untuk menggugat maklumat Musyawarah Negara di Speyer yang membidatkan ajaran-ajaran Martin Luther.[5] Pada abad ke-16, mazhab Lutheran menyebar dari Jerman[d] ke Denmark, Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Islandia.[6] Mazhab Kalvinis disebarluaskan di Jerman,[e] Hongaria, Belanda, Skotlandia, Swiss, dan Prancis oleh para reformator Protestan seperti Yohanes Kalvin, Huldrych Zwingli, dan John Knox.[7] Pemisahan politis gereja Inggris dari Takhta Suci pada masa pemerintahan Raja Henry VIII memunculkan mazhab Anglikan, yang melibatkan Inggris dan Wales ke dalam pergerakan Reformasi Protestan di Eropa Daratan, di bawah kepemimpinan Thomas Cranmer, reformator yang berjasa menempa doktrin dan jati diri mazhab Anglikan.[f]

Alih-alih merupakan suatu struktur tunggal seperti Gereja Katolik, Kristen Ortodoks Timur, maupun Kristen Ortodoks Oriental, Protestanisme merupakan suatu kemajemukan, lantaran terbagi-bagi menjadi banyak denominasi berdasarkan teologi dan eklesiologi,[8] Umat Protestan menganut konsep gereja tak kasatmata, bertolak belakang dengan Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur, Gereja-Gereja Ortodoks Oriental, Gereja Asyuri di Timur, dan Gereja Purba di Timur, yang masing-masing menganggap dirinya sendiri sebagai satu-satunya Gereja sejati, yakni "satu Gereja sejati" yang didirikan Yesus Kristus (kendati denominasi-denominasi Protestan tertentu, termasuk denominasi Lutheran bersejarah, juga menganut pendirian yang sama).[9][10][11] Beberapa denominasi Protestan memiliki ruang lingkup dan keanggotaan yang mendunia, tetapi denominasi-denominasi Protestan selebihnya tersekat di satu negara saja.[8] Mayoritas umat Protestan[g] tergolong di dalam segelintir rumpun denominasi Protestan yang ada, yaitu Advent, Anabaptis, Anglikan atau Episkopal, Baptis, Kalvinis atau Gereformir,[h] Lutheran, Metodis, Moravian, Serikat Persaudaraan Plymouth, Presbiterian, dan Serikat Handai-Tolan.[13] Gereja-gereja nondenominasional, karismatik, dan independen juga sedang tumbuh, lantaran belakangan ini menyebar dengan pesat ke seluruh dunia, dan merupakan bagian penting dari Protestanisme.[14] Berbagai pergerakan ini, yang secara kolektif disebut "Protestanisme populer" [i] oleh para sarjana seperti Peter L. Berger, telah disebut sebagai salah satu dari pergerakan-pergerakan agamawi kontemporer yang paling dinamis.[15]

Dewasa ini, Protestanisme merupakan corak Kekristenan terbesar-kedua, dengan jumlah total pemeluk mencapai 0,8 — 1 miliar jiwa di seluruh dunia, atau kurang lebih 36,7% — 40% dari jumlah keseluruhan umat Kristen.[13][16][j]

Terminologi

Gereja Peringatan di Speyer, Jerman, rampung dibangun dan diresmikan pada tahun 1904 untuk memperingati peristiwa pernyataan protes di Speyer.
Speyer Berkeberatan, bagian dari Monumen Luther di Worms, Jerman

Protestan

Keenam Pangeran-Elektor Kekaisaran Romawi Suci dan kepala-kepala pemerintahan dari empat belas kota kekaisaran merdeka, yang melayangkan protes (atau keberatan) terhadap maklumat Rapat Negara di Speyer tahun 1529, adalah orang-orang pertama yang disebut Protestan.[18] Maklumat tersebut mementahkan konsesi-konsesi bagi umat Lutheran yang sudah ditetapkan atas persetujuan Kaisar Karel V tiga tahun sebelumnya. Meskipun mula-mula murni bersifat politis, istilah protestan (pemrotes) kemudian hari mengalami perluasan makna dan dipakai untuk menyifatkan anggota jemaat Kristen Barat mana pun yang menganut akidah-akidah pokok Protestan.[18] Seorang Protestan adalah pengikut salah satu dari sekian banyak badan Kristen yang terpisahkan dari Gereja Roma pada zaman Reformasi Protestan, atau pengikut salah satu kelompok turunan dari badan-badan tersebut.[19]

Pada zaman Reformasi, istilah protestan jarang sekali dipakai di luar gelanggang politik Jerman. Orang-orang yang terlibat di dalam pergerakan agamawi menggunakan istilah injili (bahasa Jerman: evangelisch). Uraian lengkapnya dapat dibaca di bawah. Lambat laun protestan menjadi istilah yang umum, yakni sebutan bagi siapa saja yang menceburi pergerakan Reformasi Protestan di kawasan penutur bahasa Jerman. Istilah protestan pada akhirnya dipakai golongan Lutheran, kendati Martin Luther sendiri bersikeras bahwa hanya istilah Kristen atau injili yang pantas dijadikan sebutan bagi orang-orang yang mengaku beriman kepada Kristus. Umat Protestan Prancis dan Swiss lebih menyukai istilah gereformir (bahasa Prancis: réformé), yang menjadi sebutan alternatif, netral, dan populer bagi golongan Kalvinis.

Injili

Kata injili (bahasa Jerman: evangelisch), yang mengacu kepada injil, secara luas digunakan sebagai sebutan bagi orang-orang yang terlibat di dalam pergerakan agamawi di kawasan penutur bahasa Jerman pada tahun 1517.[20] Injili masih menjadi istilah kesukaan beberapa denominasi bersejarah di dalam mazhab Lutheran, Kalvinis, dan Persatuan (Lutheran dan Kalvinis) di Eropa, maupun pihak-pihak yang erat kaitannya dengan denominasi-denominasi tersebut. Di atas segala-galanya, istilah injili dipakai badan-badan Protestan di kawasan penutur bahasa Jerman, misalnya Gereja Injili di Jerman. Ada dua kata Jerman yang diterjemahkan menjadi "injili" di dalam bahasa Indonesia, yaitu evangelisch dan evangelikal. Di dalam bahasa Jerman, kata evangelisch berarti Protestan, sementara kata evangelikal (dari kata Inggris evangelical) digunakan untuk menyifatkan gereja-gereja yang dijiwai semangat pergerakan Injili. Kata evangelical di dalam bahasa Inggris biasanya dipakai untuk menyifatkan gereja-gereja Protestan Injili, dan oleh karena itu hanya mengacu kepada bagian tertentu dari Protestanisme, alih-alih mengacu kepada Protestanisme secara keseluruhan. Istilah Inggris ini dicetuskan golongan Puritan, cikal bakal pergerakan Injili, dan kemudian hari terbawa sampai ke Amerika Serikat.

Martin Luther tidak pernah menyukai istilah Lutheran. Dia lebih suka memakai istilah evangelisch, dari kata Yunani ewanggelion, yang berarti "kabar baik", yaitu "injil".[21] Para pengikut Yohanes Kalvin, Huldrych Zwingli, dan teolog-teolog lain yang erat kaitannya dengan mazhab Kalvinis pun ikut memakai istilah injili. Untuk membedakan kedua kelompok injili tersebut, pihak-pihak lain mulai menyebut yang satu sebagai Lutheran Injili dan yang lain sebagai Kalvinis Injili. Dengan cara yang sama, istilah ini lekat pula dengan kelompok-kelompok arus utama lainnya, contohnya Metodis Injili. Seiring bergulirnya waktu, kata injili ditinggalkan orang. Golongan Lutheran mulai memakai istilah Lutheran pada pertengahan abad ke-16 untuk membedakan dirinya dari kelompok-kelompok lain, misalnya golongan Filipis dan golongan Kalvinis.

Reformatoris

Istilah reformatoris (bahasa Jerman: reformatorisch), yang berarti "bersifat reformasi" atau "berkenaan dengan reformasi", dipakai sebagai alternatif bagi istilah injili (bahasa Jerman: evangelisch) di Jerman. Reformatoris tidak sama dengan gereformir (bahasa Belanda: gereformeerd, bahasa Jerman: reformiert, bahasa Inggris: reformed), yang berarti "tereformasi" dan mengacu kepada gereja-gereja yang dijiwai gagasan-gagasan Yohanes Kalvin, Huldrych Zwingli, dan teolog-teolog Kalvinis lainnya. Istilah yang diturunkan dari kata "reformasi" ini muncul kira-kira bersamaan dengan istilah injili (tahun 1517) dan protestan (tahun 1529).

Teologi

Akidah pokok

Dua tokoh utama Reformasi Protestan, Martin Luther dan Yohanes Kalvin, terpahat pada mimbar gereja; baik Luther Luther maupun Kalvin mengedepankan khotbah sebagai bagian utama peribadatan.
Alkitab yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa sehari-hari oleh Martin Luther. Di dalam Protestanisme, Alkitab adalah kewibawaan tertinggi kitab suci.

Banyak ahli di bidang ini berusaha menentukan prasyarat yang harus dipenuhi sebuah denominasi Kristen agar dapat disebut sebagai bagian dari Protestanisme. Menurut suatu konsensus umum yang disetujui oleh sebagian besar dari mereka, sebuah denominasi Kristen dapat dianggap Protestan jika mengamini tiga akidah pokok Protestanisme berikut ini.[22]

Alkitab semata-mata

Akidah yang diutamakan oleh Martin Luther ini adalah keimanan kepada Alkitab sebagai sumber kewibawaan tertinggi bagi gereja. Gereja-gereja Reformasi terdahulu mengamalkan cara membaca kitab suci secara kritis tetapi khusyuk, dan menjunjung Alkitab sebagai sumber kewibawaan yang lebih tinggi daripada tradisi gereja. Maraknya penyelewengan di dalam Gereja Barat sebelum Reformasi Protestan mendorong para reformator untuk menolak banyak tradisi Gereja Barat. Pada awal abad ke-20, muncul kebiasan membaca dan memahami Alkitab secara kurang kritis di Amerika serikat, yang melahirkan penafsiran kitab suci "fundamentalis". Golongan fundamentalis Kristen membaca Alkitab sebagai Firman Allah yang "mustahil keliru dan tanpa kekeliruan" sebagaimana yang diimani umat Katolik, Ortodoks Timur, Anglikan, dan Lutheran, tetapi menafsirkannya secara harfiah tanpa menggunakan metode kritis-historis. Sehubungan dengan doktrin ini, golongan Metodis dan Anglikan tidak sehaluan dengan golongan Lutheran dan Kalvinis, karena mereka mengajarkan doktrin prima scriptura, yakni keyakinan bahwa kitab suci adalah sumber utama bagi doktrin Kristen, tetapi "tradisi, pengalaman, dan akal budi" dapat menyuburkan agama Kristen sepanjang masih selaras dengan Alkitab (Alkitab Protestan).[1][23]

"Kekristenan Alkitab", yang berfokus kepada telaah Alkitab secara mendalam, merupakan ciri khas dari sebagian besar golongan Protestan, bertolak belakang dengan "Kekristenan Gereja", yang diwakili tradisi Katolik dan Ortodoks. Meskipun demikian, golongan Handai-Tolan dan Pentakosta menitikberatkan Roh Kudus dan kedekatan pribadi dengan Allah.[24]

Pembenaran oleh iman semata-mata

Akidah ini adalah keyakinan bahwa orang-percaya dibenarkan, atau diampuni dosa-dosanya, semata-mata lantaran beriman kepada Kristus, bukannya lantaran beriman dan beramal baik. Bagi umat Protestan, amal baik merupakan konsekuensi wajib, bukan sebab dari pembenaran.[25] Meskipun berakidah pembenaran oleh iman semata-mata, ada pendirian bahwa iman tersebut bukanlah nuda fides.[26] Yohanes Kalvin menjelaskan bahwa "iman semata yang membenarkan, akan tetapi iman yang membenarkan itu tidaklah berdiri sendiri, sama seperti panas matahari sajalah yang menghangati bumi, akan tetapi di dalam matahari panas itu tidaklah sendirian, lantaran tunak disertai cahaya."[26] Umat Lutheran dan Kalvinis tidak sejalan dengan umat Metodis dalam memahami doktrin ini.[27]

Imamat am orang-percaya

Imamat am orang-percaya mengisyaratkan hak dan kewajiban umat Kristen awam bukan hanya untuk membaca Alkitab di dalam bahasa sehari-hari, melainkan juga untuk mengambil bagian di dalam penyelenggaraan Gereja dan segala urusan publik Gereja. Akidah ini bertolak belakang dengan tatanan hierarkis yang menempatkan intisari dan wewenang Gereja di dalam suatu imamat ekslusif, dan yang menjadikan imam-imam tertahbis sebagai pengantara yang perlu ada di antara Allah dan umat.[25] Imamat am orang-percaya tidak sama dengan konsep imamat segenap umat-beriman, yang tidak memberikan hak kepada orang-orang pribadi untuk menafsirkan Alkitab sendiri-sendiri di luar dari komunitas Kristen secara keseluruhan, karena imamat am orang-percaya justru membuka peluang semacam itu.[28] Ada sarjana-sarjana yang mengatakan bahwa doktrin ini cenderung merangkum semua pembedaan di dalam gereja di bawah satu entitas rohaniah tunggal.[29] Kalvin menyebut imamat am orang-percaya sebagai ungkapan hubungan orang-percaya dengan Allahnya, yang mencakup kemerdekaan bagi seorang Kristen untuk datang kepada Allah melalui Kristus tanpa pengantaraan manusia.[30] Ia juga menandaskan bahwa akidah ini mengakui Kristus sebagai nabi, imam, dan raja, dan bahwasanya imamat Kristus dibagikan kepada umatnya untuk dimiliki bersama-sama dengannya.[30]

Tritunggal

Tritunggal adalah keyakinan bahwa Allah itu esa di dalam tiga pribadi, yaitu Bapa, Anak, dan Roh Kudus

Umat Protestan yang mengamini Syahadat Nikea mengimani tiga pribadi (Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus) sebagai satu Allah.

Gerakan-gerakan yang muncul kira-kira bersamaan dengan Reformasi Protestan, tetapi bukan bagian dari Protestanisme (misalnya Unitarianisme), menolak Tritunggal. Penolakan inilah yang kadang-kadang dijadikan alasan oleh berbagai pengamat untuk mengecualikan golongan Universalisme Unitarian, Pentakosta Keesaan, dan gerakan-gerakan lainnya dari Protestanisme. Unitarianisme terus bertahan sampai sekarang, terutama di Transilvania, Inggris, dan Amerika Serikat.

Lima solae

Lima solae adalah lima frasa (atau semboyan) dalam bahasa Latin yang tercetus pada zaman Reformasi Protestan dan merangkum akidah-akidah pokok para reformator yang berseberangan dengan ajaran Gereja Katolik pada masa itu. Kata Latin sola berarti "semata-mata", "saja", atau "tunggal".

Pemakaian frasa-frasa tersebut sebagai rangkuman ajaran bermula pada zaman Reformasi Protestan, bersendikan asas-induk sola scriptura (oleh kitab suci semata-mata) Lutheran dan Kalvinis.[1] Asas sola scriptura mengandung empat doktrin pokok mengenai Alkitab, yaitu bahwasanya ajaran Alkitab diperlukan demi beroleh kesematan (Alkitab itu diperlukan); bahwasanya semua ajaran yang diperlukan demi beroleh keselamatan semata-mata bersumber dari Alkitab (Alkitab itu sudah memadai); bahwasanya segala sesuatu yang diajarkan di dalam Alkitab itu benar (Alkitab itu tanpa kekeliruan); dan bahwasanya, oleh Roh Kudus yang mengatasi dosa, orang-percaya dapat membaca dan memahami kebenaran dari Alkitab itu sendiri, sekalipun memahami Alkitab itu sukar, sehingga sarana-sarana yang sering kali dipakai untuk menuntun setiap orang-percaya menuju ajaran yang benar adalah saling bertukar pikiran di dalam gereja (Alkitab itu sudah gamblang).

Diperlukannya Alkitab dan tidak adanya kekeliruan di dalam Alkitab merupakan gagasan-gagasan yang sudah mapan, sehingga hanya sedikit menuai kritik, kendati kemudian hari dijadikan pokok pedebatan oleh pihak luar pada Abad Pencerahan. Yang paling menghebohkan pada masa itu adalah gagasan bahwa siapa pun boleh begitu saja mengambil dan mempelajari Alkitab secukupnya demi beroleh keselamatan. Meskipun menaruh perhatian besar kepada eklesiologi (doktrin tentang bagaimana gereja bekerja sebagai sebuah badan), para reformator tidak sepaham mengenai proses penerapan kebenaran-kebenaran kitab suci di dalam kehidupan orang-percaya, dibanding gagasan Katolik bahwa orang-orang tertentu di dalam Gereja, atau gagasan-gagasan yang sudah cukup lama bercokol, memiliki status istimewa untuk memberikan pengertian akan isi kitab suci.

Asas pokok yang kedua, sola fide (oleh iman semata-mata), menyatakan bahwa keimanan kepada Kristus saja sudah memadai demi beroleh keselamatan dan pembenaran kekal. Meskipun didalikan dari kitab suci, dan oleh karena itu secara logis merupakan konsekuensi dari asas sola scriptura, asas ini merupakan asas yang menuntun kiprah Luther maupun para reformator terkemudian. Karena sola scriptura menempatkan Alkitab sebagai satu-satunya sumber ajaran, sola fide menyarikan pokok pikiran dari ajaran hendak dikaji kembali oleh para reformator, yaitu hubungan pribadi yang akrab dan bersifat langsung di antara Kristus dan orang-percaya, itulah sebabnya para reformator bersikukuh bahwa kiprah mereka bersifat Kristosentris.

Sebagai bentuk pernyataan, sola-sola selebihnya baru muncul kemudian hari, akan tetapi gagasan yang diwakilinya juga merupakan bagian dari Reformasi Protestan terdahulu.

Dogma tentang Paus selaku kepala Gereja di dunia mewakili Kristus, konsep tentang amal perbuatan yang dijadikan berpahala oleh Kristus, dan gagasan Katolik tentang khazanah pahala Kristus dan orang-orang kudusnya, disifatkan umat Protestan sebagai penyangkalan bahwa Kristus adalah satu-satunya pengantara Allah dengan manusia. Di lain pihak, umat Katolik mempertahankan pemahaman tradisional Yahudi tentang perkara-perkara tersebut, dan membenarkan pendirian mereka dengan merujuk kepada konsensus sedunia tradisi Kristen.[31]
Umat Protestan beranggapan bahwa keselamatan seseorang menurut Gereja Katolik bergantung kepada kasih karunia Allah dan pahala amal perbuatannya. Para reformator berdalil bahwa keselamatan adalah anugerah Allah (yaitu tindakan kasih karunia Allah yang cuma-cuma), yang disalurkan oleh Roh Kudus berkat karya penebusan Yesus Kristus semata-mata. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa seorang pendosa tidak diterima Allah lantaran perubahan yang dikerjakan kasih karunia Allah di dalam diri orang-percaya itu, dan bahwasanya orang-percaya itu diterima Allah tanpa memandang pahala amal perbuatannya, karena tidak seorangpun yang layak beroleh keselamatan.[32]
Segala kemuliaan hanya pantas diberikan kepada Allah, lantaran keselamatan hanya terwujud berkat kehendak dan tindakan-Nya, bukan hanya anugerah karya penebusan-dosa yang sungguh-sungguh memadai oleh Yesus di atas kayu salib, melainkan juga anugerah keimanan akan karya penebusan-dosa itu yang dicetuskan di dalam hati orang-percaya oleh Roh Kudus. Para reformator yakin bahwa umat manusia, bahkan orang-orang kudus yang dikanonisasi Gereja Katolik, paus-paus, dan hierarki gerejawi, tidak layak dipermuliakan.

Kehadiran Kristus di dalam Ekaristi

Lukisan Lucas Cranach Tua yang menggambarkan peristiwa Perjamuan Terakhir, karya seni Lutheran dari tahun 1547,

Pergerakan Protestan mulai terpecah menjadi beberapa cabang berlainan pada pertengahan abad ke-16. Salah satu sebab utamanya adalah perbedaan paham mengenai Perjamuan Kudus. Umat Protestan yang terdahulu menolak dogma transubstansiasi Katolik, yang mengajarkan bahwa roti dan anggur yang digunakan di dalam upacara Misa kehilangan hakikat alamiahnya pada saat diubah menjadi tubuh, darah, jiwa, dan keilahian Kristus. Golongan-golongan Protestan berbeda pandangan satu sama lain mengenai kehadiran Kristus maupun tubuh dan darahnya di dalam Komuni Kudus.

  • Golongan Lutheran berpendirian bahwa di dalam Perjamuan Kudus, tubuh dan darah Kristus hadir "di dalam, bersama-sama, dan di balik rupa" roti dan anggur bagi semua orang yang menyantap dan meminumnya,[33][34] yakni doktrin yang disebut persatuan sakramental di dalam Formula Kesehatian (bahasa Jerman: Konkordienformel).[35] Allah dengan tulus ikhlas menawarkan pengampunan dosa[36][37] dan keselamatan kekal[38] kepada semua orang yang menyambut sakramen itu.[39][40]
  • Golongan Kalvinis menitikberatkan kehadiran rohaniah nyata, atau kehadiran sakramental Kristus, dengan mengatakan bahwa sakramen Perjamuan Kudus adalah kasih karunia yang menguduskan, yang melaluinya orang-percaya yang terpilih tidak betul-betul mengambil bagian dalam menyantap Kristus, akan tetapi Kristus sekadar hadir bersama dengan roti dan anggur, bukan di dalam roti dan anggur. Golongan Kalvinis menyangkal pernyataan golongan Lutheran bahwa semua penyambut komuni, baik orang-percaya maupun orang yang tidak percaya, dengan mulutnya menyambut tubuh dan darah Kristus di dalam roti dan anggur sakramen Perjamuan Kudus, tetapi menegaskan bahwa Kristus dipersatukan dengan orang-percaya melalui iman, yang kepada iman itu Perjamuan Kudus merupakan suatu bantuan yang lahiriah dan kasatmata. Yohanes Kalvin juga menitikberatkan kehadiran nyata Kristus oleh Roh Kudus sepanjang penyelenggaraan Perjamuan Kudus. Pandangan semacam ini kerap disebut kehadiran dinamis.
  • Golongan Anglikan dan golongan Metodis menolak mendefinisikan kehadiran Kristus di dalam Ekaristi, dan lebih suka membiarkannya tetap menjadi suatu misteri.[41] Buku-buku doa menyifatkan roti dan anggur sebagai tanda yang lahiriah dan kasatmata dari kasih karunia yang batiniah dan rohaniah, yaitu tubuh dan darah Kristus. Meskipun demikian, kalimat-kalimat di dalam liturgi-liturgi mereka mengisyaratkan bahwa orang dapat saya menganut keyakinan akan kehadiran nyata sekaligus keyakinan akan kehadiran rohaniah dan sakramental. Sebagai contoh, "... dan Engkau telah memberi kami makan makanan rohani di dalam sakramen tubuh dan darah-Nya;" "...makanan rohani tubuh dan darah termulia Putra-Mu, Juru Selamat kami, Yesus Kristus, dan untuk meneguhkan kami di dalam misteri-misteri kudus ini..." Buku Doa Umum Amerika, 1977, hlmn. 365–366.
  • Golongan Anabaptis, yang menganut suatu simplifikasi populer dari pandangan Zwingli, tanpa menghiraukan segala kerumitan teologis yang diuraikan di atas, dapat saja memandang Perjamuan Kudus sekadar sebagai lambang kebersamaan iman para peserta perjamuan, sebagai peringatan fakta-fakta penyaliban, maupun sebagai pengingat akan kebersamaan mereka sebagai tubuh Kristus (yakni pandangan yang disebut memorialisme).[42]

Lain-lain

Umat Protestan menolak doktrin keutamaan paus yang diajarkan Gereja Katolik, dan memiliki beragam pandangan mengenai jumlah sakramen, kehadiran nyata Kristus di dalam Ekaristi, maupun hal-ihwal tatanan gerejawi dan suksesi rasuli.Kesalahan pengutipan: Tag <ref> harus ditutup oleh </ref>

Sejarah

Prareformasi

Jan Hus dihukum mati pada tahun 1415
Girolamo Savonarola
Wessel Gansfort

Salah seorang tokoh terdahulu yang digadang-gadang sebagai perintis Protestanisme adalah Yovinianus, mantan rahib yang hidup pada abad ke-4 Masehi. Yovinianus mencerca monastisisme dan asketisme, serta meyakini bahwa orang-percaya yang sudah diselamatkan tidak bakal dapat dikalahkan setan.[43]

Pada abad ke-9, teolog Gottschalk dari Orbais dibidatkan Gereja Katolik. Gottschalk meyakini bahwa keselamatan dari Yesus bersifat terbatas, dan penebusan Yesus hanya diperuntukkan bagi orang-terpilih.[44] Teologi Gottschalk merintis jalan bagi Reformasi Protestan.[45][46] Ratramnus juga membela teologi Gottschalk dan menyangkal kehadiran nyata Kristus di dalam Ekaristi. Kemudian hari, karya tulisnya turut memengaruhi Reformasi protestan.[47] Klaudius dari Turin pada abad ke-9 pun sudah menganut gagasan-gagasan khas Protestan, misalnya sola fide dan penolakan terhadap supremasi Petrus.[48]

Pada akhir dasawarsa 1130-an, Arnaldo da Brescia, seorang imam tarekat di Italia, menjadi salah seorang teolog pertama yang berusaha mereformasi Gereja Katolik. Sesudah ia wafat, ajaran-ajarannya mengenai kemiskinan apostolik diamalkan golongan Arnoldis, dan kemudian hari dianut golongan Waldensian dan golongan Fraticelli, kendati tidak ada lagi karya tulis Arnaldo yang tersisa sesudah ajarannya dibidatkankan secara resmi. Pada awal dasawarsa 1170-an, Pierre Vaudès membentuk golongan Waldensian. Ia menganjurkan tafsir Injil yang memicu sengketa dengan Gereja Katolik. Pada tahun 1215, golongan Waldensian dinyatakan sebagai golongan ahli-bidat sehingga terancam dianiaya. Meskipun demikian, golongan Waldensian terus bertahan hidup sampai sekarang di Italia sebagai bagian dari rumpun Kalvinis.

Pada dasawarsa 1370-an, John Wycliffe, imam dan teolog Oxford yang kemudian hari dijuluki "Bintang Timur Reformasi", memulai kiprahnya sebagai tokoh reformator Inggris. Ia menolak kewenangan paus atas pemerintah sekuler, menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Inggris sehari-hari, dan mengotbahkan reformasi yang bersifat antirohaniwan dan bersendikan Alkitab. Penolakannya terhadap ajaran kehadiran nyata ilahi di dalam roti dan anggur Ekaristi merintis jalan bagi gagasan-gagasan serupa yang kelak dicetuskan Huldrych Zwingli pada abad ke-16. Para pengagum Wycliffe kemudian hari disebut golongan "Lollardi".[49]

Pada dasawarsa pertama abad ke-15, Jan Hus, seorang profesor sekaligus imam Katolik di Ceko yang dipengaruhi karya-karya tulis John Wycliffe, membentuk golongan Husite. Ia gencar mengajak orang-orang untuk bergabung dengan denominasi reformatoris Bohemia yang dibentuknya, dan akhirnya diekskomunikasi dan dihukum bakar hidup-hidup di tiang pancang pada tahun 1415 oleh pemerintah sekuler di Konstanz, praja Kepangeranan Keuskupan Konstanz, karena bersikeras menganut bidat dan tidak mau bertobat meninggalkannya. Sesudah Jan Hus dihukum mati, timbul pemberontakan. Golongan Husite mampu mematahkan gempuran lima Perang Salib beruntun yang dilancarkan paus terhadap mereka.

Kemudian hari, golongan Husite mengalami perpecahan akibat sengketa teologis. Muncul golongan Kalisnici yang bersikeras agar baik roti maupun anggur diterimakan kepada umat di dalam perayaan Ekaristi. Pecahan besar lainnya adalah golongan Taborite, yang melawan golongan Kalisnici dalam Pertempuran Lipany pada masa Perang Husite. Ada dua kubu di dalam golongan Husite, yakni kubu moderat dan kubu radikal. Pecahan-pecahan Husite lainnya yang lebih kecil dan bersifat kedaerahan di Bohemia antara lain adalah golongan Adamite, golongan Orebite, golongan Yatim-Piatu, dan golongan Orang-Praha.

Perang Husite berakhir dengan kemenangan di pihak Kaisar Sigismund, sekutu-sekutu Katoliknya, dan golongan Husite moderat, serta kekalahan di pihak golongan Husite radikal. Ketegangan muncul tatkala Perang Tiga Dasawarsa merembet ke Bohemia pada tahun 1620. Baik golongan Husite moderat maupun golongan Husite radikal kian lama kian ditindas oleh angkatan perang Katolik dan angkatan perang Kaisar Romawi Suci.

Pada abad ke-14, sebuah kelompok tasawuf Jerman yang disebut Gottesfreunde mengecam Gereja katolik dan segala kebobrokannya. Banyak pimpinan mereka yang dihukum mati akibat menyerang Gereja Katolik. Mereka percaya bahwa Allah akan segera menghakimi gereja. Gottesfreunde merupakan pergerakan umat awam demokratis dan perintis Reformasi Protestan yang sangat mengutamakan kekudusan dan ketakwaan,[50]

Semenjak tahun 1475, Girolamo Savonarola, seorang padri Dominikan Italia, menyerukan pembaharuan Kristen. Kemudian hari Martin Luther membaca beberapa karya tulisnya serta memujinya sebagai martir dan pelopor yang mencetuskan gagasan-gagasan menyangkut iman dan kasih karunia yang merintis jalan bagi doktrin sola fide Luther.[51]

Beberapa pengikut Jan Hus membentuk Unitas Fratrum (Persatuan Saudara Seiman), yang diperbaharui di bawah kepemimpinan Bupati Nicolaus von Zinzendorf di Herrnhut, Sachsen, pada tahun 1722, sesudah nyaris musnah dalam Perang Tiga Dasawarsa dan Kontrareformasi (Reformasi Katolik). Dewasa ini, Unitas Fratrum lazim disebut gereja Moravian, dan disebut Herrnhuter Brüdergemeine di Jerman.

Pada abad ke-15, muncul tiga orang teolog Jerman perintis Reformasi Protestan, yakni Wessel Gansfort, Johann Ruchrat von Wesel, dan Johannes von Goch. Mereka sudah menganut gagasan-gagasan seperti predestinasi, sola scriptura, dan gereja tak kasatmata, menyangkal pandangan Katolik Roma mengenai pembenaran dan wewenang Sri Paus, serta mempertanyakan monastisisme.[52]

Wessel Gansfort juga menyangkal transubstansiasi dan merintis jalan bagi pandangan Lutheran tentang pembenaran oleh iman semata-mata.[53]

Reformasi

Sebaran Kristen Protestan dan Kristen Katolik di Eropa Tengah jelang meletusnya Perang Tiga Dasawarsa pada tahun 1618
Raja Henry VIII, tokoh yang tersohor karena andilnya dalam pemisahan Gereja Inggris dari Gereja Katolik

Reformasi Protestan dimunculkan sebagai upaya untuk mereformasi Gereja Katolik.

Pada tanggal 31 Oktober 1517, yakni pada hari umat Kristen memperingati Malam Semua Orang Kudus, konon Martin Luther memakukan naskah Sembilan Puluh Lima Dalil atau Gugatan terhadap Kuasa Indulgensi pada daun pintu Gereja Semua Orang Kudus di Wittenberg. Naskah tersebut berisi penjabaran berbagai macam penyelewengan Gereja Katolik, baik yang berkaitan dengan doktrin maupun yang berkaitan dengan amalan, teristimewa penjualan indulgensi. Sembilan Puluh Lima Dalil menggugat dan mengecam banyak aspek dari Gereja maupun lembaga kepausan, antara lain soal purgatorium, penghakiman khusus, dan wewenang paus. Kemudian hari Martin Luther juga menghasilkan karya-karya tulis menentang devosi Katolik kepada Perawan Maria, perantaraan orang-orang kudus, devosi kepada orang-orang kudus, kewajiban selibat bagi kaum rohaniwan, monastisisme, wewenang paus, hukum gerejawi, sensor dan ekskomunikasi, peran para pemimpin sekuler di dalam kehidupan beragama, hubungan Kekristenan dengan hukum, amal baik, dan sakramen-sakramen.[54]

Reformasi Protestan merupakan kemenangan bagi literasi dan mesin cetak yang baru saja diciptakan oleh Johannes Gutenberg.[55][k] Terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Jerman yang dikerjakan Luther merupakan tonggak sejarah penyebarluasan literasi, serta merangsang pencetakan dan distribusi buku-buku maupun selebaran-selebaran agamawi. Sejak tahun 1517, selebaran-selebaran agamawi membanjiri Eropa.[57][l]

Sesudah paus mengekskomunikasi Martin Luther dan mengutuk Reformasi Protestan, kiprah dan karya-karya tulis Yohanes Kalvin berjasa memunculkan suatu konsensus-longgar di antara berbagai kelompok di Swiss, Skotlandia, Hongaria, Jerman, dan lain-lain. Selepas peristiwa pengusiran Pangeran-Uskup Jenewa pada tahun 1526, dan kegagalan yang dialami reformator Guillaume Farel di Bern, Yohanes Kalvin diminta mengerahkan kemahirannya dalam berorganisasi yang ia kuasai semenjak duduk di bangku kuliah ilmu hukum untuk menegakkan ketertiban di kota Jenewa. Ordonansi Tahun 1541 yang dikeluarkannya mencakup suatu kerjasama dalam penyelenggaraan urusan gereja dengan sidang majelis pemerintahan kota dan konsistori demi menegakkan akhlak mulia di dalam segala segi kehidupan masyarakat. Sesudah Akademi Jenewa berdiri pada tahun 1559, Jenewa menjadi ibu kota tidak resmi pergerakan Protestan, kota yang memberikan suaka kepada orang-orang Prostestan dari seluruh Eropa yang terbuang dari negeri asal mereka, dan mendidik mereka menjadi misionaris-misionaris Kalvinis. Akidah Protestan terus menyebar sesudah Yohanes Kalvin wafat pada tahun 1563.

Protestanisme juga menyebar dari daerah-daerah di Jerman ke Prancis, tempat umat Protestan dijuluki golongan Huguenot (suatu istilah yang agak sukar dijelaskan asal usulnya). Yohanes Kalvin masih terus memperhatikan urusan-urusan agamawi Prancis dari markasnya di Jenewa. Ia secara teratur melatih gembala-gembala jemaat untuk memimpin jemaat-jemaat Protestan di Prancis. Meskipun ditindas dan dianiaya, mazhab Kalvinis terus bertumbuh di Prancis, memikat hati orang-orang yang tersingkirkan oleh sikap tegar tengkuk dan berpuas diri Gereja Katolik. Protestanisme di Prancis lambat laun mulai bersifat politis, yang tampak semakin jelas ketika orang-orang dari kalangan bangsawan berpindah keyakinan ke Protestan pada dasawarsa 1550-an. Perkembangan ini pada akhirnya memicu serangkaian konflik yang disebut Perang Agama Prancis. Perang-perang saudara ini semakin berkobar ketika Raja Henri II tiba-tiba mangkat pada tahun 1559. Kekejaman dan kengerian menjadi hal yang lumrah pada masa itu, dan mencapai puncaknya ketika terjadi peristiwa Pembantaian Hari Santo Bartolomeus pada bulan Agustus 1572, tatkala kubu Katolik membantai 30.000 sampai 100.000 orang Huguenots di seluruh Prancis. Perang Agama Prancis baru usai sesudah Raja Henri IV mengeluarkan Maklumat Nantes, yang menjanjikan toleransi resmi terhadap golongan minoritas Protestan, tetapi disertai pembatasan-pembatasan yang sangat ketat. Kristen Katolik tetap menjadi agama resmi negara Prancis, dan nasib umat Protestan Prancis kian lama kian terpuruk selama satu abad berikutnya. Keterpurukan ini mencapai puncaknya ketika Raja Louis XIV mengeluarkan Maklumat Fontainebleau, yang membatalkan Maklumat Nantes dan sekali lagi menetapkan Kristen Katolik sebagai satu-satunya agama yang sah. Sebagai tanggapan terhadap Maklumat Fontainebleau, Pangeran-Elektor Brandenburg, Friedrich Wilhelm I, mengeluarkan Maklumat Potsdam, yang memberikan izin bebas masuk kepada para pengungsi Huguenot. Menjelang akhir abad ke-17, banyak orang Huguenot mengungsi ke Inggris, Belanda, Prusia, Swiss, maupun daerah-daerah koloni Inggris dan Belanda di seberang samudra. Dewasa ini masih ada komunitas Protestan Prancis yang cukup besar di daerah Cévennes.

Sebagaimana di Jerman, di Swiss pun muncul pergerakan reformasi di bawah kepemimpinan Huldrych Zwingli, seorang sarjana dan imam Katolik yang berhijrah ke Zürich pada tahun 1518. Meskipun pergerakan di Jerman dan pergerakan di Swiss sehaluan dalam banyak pokok bahasan teologi, ada beberapa perbedaan yang tak kunjung terjembatani, sehingga kedua pergerakan itu tetap terpisah. Kepahitan yang sudah lama menjadi sekat pemisah di antara praja-praja Jerman dan Konfederasi Swiss memunculkan perdebatan tentang seberapa banyak gagasan Zwingli yang ia petik dari ajaran-ajaran Luther. Pangeran-Elektor Hessen, Philipp I, melihat ada peluang untuk membentuk aliansi Zwingli-Luther, lantas mempertemukan kedua tokoh tersebut di purinya pada tahun 1529. Pertemuan yang sekarang disebut Kolokium Marburg ini justru terkenal karena gagal merukunkan Zwingli dan Luther. Keduanya tidak berhasil mencapai satu pun kata mufakat, lantaran berbeda pendapat mengenai satu doktrin utama.

Pada tahun 1534, Raja Henry VIII meniadakan semua yurisdiksi paus di Inggris karena Sri Paus tidak bersedia menganulir perkawinannya dengan Catalina de Aragón (lantaran pertimbangan politik yang melibatkan Kaisar Romawi Suci).[59] Keputusan sang raja membuka pintu bagi masuknya gagasan-gagasan pembaharuan gereja. Pendirian para reformator di Gereja Inggris, yang kadang-kadang condong kepada tradisi purba Katolik dan kadang-kadang pula condong kepada akidah-akidah Kalvinis, sedikit demi sedikit berkembang menjadi suatu mazhab yang dianggap sebagai jalan tengah (bahasa Latin: via media) di antara mazhab Katolik dan mazhab Potestan. Reformasi Inggris menempuh jalan tersendiri. Ciri khusus Reformasi Inggris bersumber dari kenyataan bahwa pemicunya adalah kepentingan politik Raja Henry VIII. Raja Henrylah yang memutuskan untuk mengeluarkan Gereja Inggris dari lingkup kewenangan Roma. Pada tahun 1534, terbit Undang-Undang Supremasi yang mendapuk sang raja sebagai satu-satunya Pemimpin Tertinggi Gereja Inggris di muka bumi. Antara tahun 1535 sampai 1540, di bawah kepemimpinan Thomas Cromwell, dilaksanakanlah kebijakan pemerintah yang disebut Penutupan Biara. Selepas pemulihan kedudukan agama Katolik yang berlangsung singkat pada masa pemerintahan Ratu Mary I, dimunculkanlah suatu konsensus longgar pada masa pemerintahan Ratu Elizabeth I. Penuntasan Masalah Agama Rezim Elizabeth sangat memengaruhi pembentukan Anglikanisme menjadi suatu mazhab tersendiri. Kompromi yang dibuat terasa janggal dan bersikap mendua di antara ajaran Kalvinis ekstrem di satu pihak dan ajaran Katolik di lain pihak, tetapi relatif sukses sampai dengan timbulnya Revolusi Puritan atau Perang Saudara Inggris pada abad ke-17.

Keberhasilan Kontra Reformasi (Reformasi Katolik) di Eropa Daratan dan pertumbuhan golongan Puritan yang berusaha memajukan langkah-langkah pembaharuan Protestan mewarnai masa pemerintahan Ratu Elizabeth I. Pergerakan Puritan perdana adalah pergerakan yang memperjuangkan pembaharuan di dalam Gereja Inggris. Para penganjurnya ingin agar Gereja Inggris lebih serupa dengan gereja-gereja Protestan di Eropa, teristimewa gereja Protestan di Jenewa. Pergerakan Puritan terkemudian, yang kerap disebut kaum pembantah dan kaum Nonkonformis, pada akhirnya memunculkan berbagai denominasi Kalvinis.

Reformasi Skotlandia tahun 1560 benar-benar mengubah bentuk Gereja Skotlandia.[60] Reformasi Protestan di Skotlandia mencapai puncaknya di bidang gerejawi dengan dibentuknya sebuah gereja yang selaras dengan akidah-akidah Kalvinis, maupun di bidang politik dengan menangnya pengaruh Inggris atas pengaruh Prancis. John Knox dipandang sebagai pemimpin Reformasi Skotlandia. Parlemen Reformasi Skotlandia tahun 1560 mengingkari kewenangan paus dengan mengesahkan Undang-Undang Yurisdiksi Paus tahun 1560, melarang perayaan Misa, dan menyetujui suatu rumusan Pengakuan Iman Protestan. Reformasi Skotlandia dimungkinkan oleh revolusi melawan hegemoni Prancis di bawah rezim pemangku Marie de Guise, yang memerintah Skotlandia atas nama putrinya.

Aktivis-aktivis utama Reformasi Protestan lainnya adalah Jacobus Arminius, Théodore de Bèze, Martin Bucer, Andreas Karlstadt, Heinrich Bullinger, Balthasar Hubmaier, Thomas Cranmer, Guillaume Farel, Thomas Müntzer, Laurentius Petri, Olaus Petri, Philipp Melanchthon, Menno Simons, Louis de Berquin, Primož Trubar, dan John Smyth.

Di tengah-tengah gelora pergerakan agamawi ini, timbul Perang Kaum Tani Jerman tahun 1524–1525 yang menyapu praja-praja kepangeranan Bayern, Thuringen, dan Schwaben. Seusai Perang Delapan Dasawarsa di Negeri-Negeri Hilir dan Perang Agama Prancis, perpecahan akibat perbedaan akidah di antara negara-negara bagian Kekaisaran Romawi Suci pada akhirnya menimbulkan Perang Tiga Dasawarsa antara tahun 1618 sampai 1648. Perang ini meluluhlantakkan hampir seluruh Jerman, menewaskan 25 sampai 40 persen populasinya.[61] Pokok-pokok penting Perjanjian Damai Westfalen, yang mengakhiri Perang Tiga Dasawarsa, adalah sebagai berikut:

  • Semua pihak harus menerima Perjanjian Damai Augsburg tahun 1555, yang memberikan hak kepada tiap-tiap pangeran untuk menentukan agama prajanya masing-masing, yaitu Katolik, Lutheran, atau Kalvinis (asas cuius regio, eius religio).
  • Umat Kristen yang bertempat tinggal di praja-praja kepangeranan, yang denominasinya bukan gereja resmi praja, dijamin haknya untuk mengamalkan agamanya secara terbuka pada jam-jam tertentu dan secara tertutup sekehendak hatinya.
  • Perjanjian ini juga secara efektif mengakhiri kuasa politik pan-Eropa paus. Di dalam bula Zelo Domus Dei, Paus Inosensius X menyatakan perjanjian ini "kosong, hampa, cacat, fasik, tidak adil, terkutuk, bejat, sia-sia, tidak bermakna, dan tidak berfaedah sepanjang segala masa." Para penguasa Eropa, baik Katolik maupun Protestan, tidak mengindahkan pernyataan tersebut.[62]