Martin Luther
Martin Luther, O.S.A. (Jerman: [ˈmaɐ̯tiːn ˈlʊtɐ] ⓘ; 10 November 1483 – 18 Februari 1546)[1] adalah seorang profesor teologi, komponis, eks imam Katolik, dan eks biarawan Agustinian[2] berkebangsaan Jerman, serta seorang tokoh berpengaruh dalam Reformasi Protestan. Luther menjadi penentang beberapa ajaran dan praktik dalam Gereja Katolik Roma. Ia sangat membantah pandangan Katolik mengenai indulgensi sebagaimana yang ia pahami, bahwa kebebasan dari hukuman akibat dosa dapat dibeli dengan uang. Luther mengusulkan suatu diskusi akademis seputar praktik dan keefektifan indulgensi dalam 95 Tesis karyanya tahun 1517. Penolakannya untuk menarik kembali semua ajaran dalam tulisan-tulisannya atas permintaan Paus Leo X pada 1520 dan Kaisar Romawi Suci Karl V pada 1521 di Sidang Worms mengakibatkan ekskomunikasinya oleh sang paus serta pemakluman dirinya sebagai seorang pelanggar hukum oleh sang kaisar. Luther mengajarkan bahwa keselamatan dan, konsekuensinya, kehidupan kekal tidak diperoleh dengan perbuatan-perbuatan baik, namun diterima oleh orang percaya semata-mata sebagai anugerah bebas dari rahmat Allah melalui iman dalam Yesus Kristus sebagai penebus dari dosa. Teologinya menantang otoritas dan jabatan kepausan dengan mengajarkan bahwa Alkitab adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang diwahyukan secara ilahiah dari Allah[3] serta menentang sakerdotalisme dengan memandang semua orang Kristen sebagai imam yang kudus.[4] Mereka yang mengidentifikasi diri dengan hal-hal tersebut, dan semua ajaran Luther yang lebih luas, disebut Lutheran, kendati Luther bersikeras dengan Kristen ataupun Injili semata sebagai nama-nama yang dapat diterima untuk menyebut individu yang mengakui Kristus. Penerjemahan Alkitab yang dilakukannya ke dalam bahasa vernakular Jerman (bukan bahasa Latin) menjadikan Alkitab lebih mudah diakses oleh kaum awam, sehingga menghasilkan dampak yang luar biasa pada gereja maupun budaya Jerman. Hal tersebut membantu perkembangan dari versi baku bahasa Jerman, menambahkan sejumlah prinsip bagi seni penerjemahan,[5] dan memengaruhi penulisan dari suatu terjemahan bahasa Inggris, yaitu Alkitab Tyndale.[6] Himne-himne karyanya memengaruhi perkembangan nyanyian dalam gereja-gereja Protestan.[7] Perkawinannya dengan Katharina von Bora, seorang mantan biarawati, menjadi model bagi praktik perkawinan klerikal, yang memungkinkan kaum rohaniwan Protestan untuk menikah.[8] Dalam dua karya tulis terakhirnya, Luther mengekspresikan pandangan-pandangan antagonistis terhadap kaum Yahudi, menulis bahwa rumah-rumah dan sinagoge-sinagoge Yahudi seharusnya dihancurkan, uang mereka disita, dan kebebasan mereka dibatasi. Dikecam oleh hampir semua denominasi Lutheran, pernyataan-pernyataan tersebut dan pengaruhnya terhadap antisemitisme memberikan kontribusi pada status kontroversialnya.[9][10] Masa mudaKelahiran dan pendidikan![]() Martin Luther lahir dari pasangan Hans Luder (atau Ludher, kelak Luther)[11] dan Margarethe (née Lindemann) istrinya pada 10 November 1483 di Eisleben, Sachsen, yang kala itu merupakan bagian dari Kekaisaran Romawi Suci. Ia dibaptis keesokan harinya pada pesta peringatan St. Martinus dari Tours. Keluarganya pindah ke Mansfeld pada 1484, tempat ayahnya menjadi penyewa usaha sejumlah tempat peleburan dan tambang tembaga[12] serta menjabat sebagai salah seorang dari empat perwakilan warga dalam dewan setempat. Hans Luther terpilih sebagai anggota dewan kota pada 1492.[11][13] Martin Marty, seorang akademisi religi, mendeskripsikan ibu Luther sebagai seorang wanita pekerja keras dari kelas menengah dan keturunan peniaga serta berpendapat bahwa para seteru Luther di kemudian hari secara keliru mendeskripsikan ibunya sebagai seorang pelacur dan pelayan tempat pemandian.[11] Ia memiliki sejumlah saudara laki-laki dan perempuan, dan diketahui dekat dengan salah seorang di antaranya, Jacob.[14] Hans Luther memiliki ambisi bagi dirinya sendiri dan keluarganya, serta bertekad untuk menyaksikan Martin, putra tertuanya, menjadi seorang pengacara. Ia mengirim Martin ke sekolah-sekolah Latin di Mansfeld, kemudian Magdeburg pada 1497, tempat ia memasuki satu sekolah yang dikelola oleh sekolompok awam yang disebut Persaudaraan Hidup Bersama, dan Eisenach pada 1498.[15] Ketiga sekolah itu berfokus pada apa yang disebut "trivium": tata bahasa, retorika, dan logika. Luther kemudian membandingkan pendidikannya di sana dengan purgatorium dan neraka.[16] Pada 1501, ketika usianya 17 tahun, ia memasuki Universitas Erfurt, yang kemudian ia deskripsikan sebagai rumah bir dan tempat pelacuran.[17] Ia harus bangun setiap pukul empat pagi untuk apa yang digambarkannya sebagai "hari belajar hafalan dan acap kali latihan-latihan rohani yang melelahkan".[17] Ia mendapatkan gelar magisternya pada 1505.[18] ![]() Selaras dengan keinginan ayahnya, Luther mendaftarkan diri pada sekolah hukum di universitas yang sama tahun itu namun tidak lama kemudian ia putus kuliah, dengan keyakinan bahwa hukum merepresentasikan ketidakpastian.[18] Luther mencari jaminan akan kehidupan serta merasa tertarik dengan teologi dan filsafat, mengekspresikan ketertarikan khusus pada Aristoteles, William dari Ockham, dan Gabriel Biel.[18] Ia mendapat banyak pengaruh dari dua tutornya, Bartholomaeus Arnoldi von Usingen dan Jodocus Trutfetter, yang mengajarinya untuk bersikap curiga, bahkan terhadap para pemikir terbesar,[18] dan untuk menguji sendiri segala sesuatu berdasarkan pengalaman.[19] Filsafat terbukti tidak memuaskan, karena menurutnya menawarkan jaminan seputar penggunaan akal atau daya pikir tanpa menyinggung tentang mencintai Allah, yang bagi Luther adalah lebih penting. Ia merasa bahwa akal tidak dapat menuntun manusia kepada Allah, dan ia kemudian mengembangkan suatu hubungan cinta-benci secara simultan dengan Aristoteles karena penekanannya pada akal.[19] Bagi Luther, akal dapat digunakan untuk mempertanyakan hal-hal terkait manusia dan institusi, tetapi bukan Allah. Ia meyakini bahwa manusia dapat belajar tentang Allah hanya melalui wahyu ilahi, dan karenanya Kitab Suci menjadi semakin penting baginya.[19] Ia kemudian mengaitkan keputusannya dengan suatu peristiwa: pada 2 Juli 1505, ia kembali ke universitas dengan menunggang kuda setelah menempuh perjalanan pulang ke rumah. Ketika terjadi hujan badai, petir menyambar di dekatnya. Ia menjerit, "Tolong! Santa Anna, aku akan menjadi seorang rahib!", lalu ia bercerita kepada ayahnya bahwa ia takut akan kematian dan penghakiman ilahi.[20][21] Ia tersadar kalau jeritannya minta tolong merupakan suatu kaul yang tidak pernah dapat ia langgar. Ia meninggalkan sekolah hukum, menjual buku-bukunya, dan masuk Biara St. Agustinus di Erfurt pada 17 Juli 1505.[22] Seorang teman menghubungkan keputusan itu dengan kesedihan Luther akibat kemangkatan dua orang temannya. Luther sendiri tampak bersedih hati atas keputusannya untuk pergi. Mereka yang menghadiri makan malam perpisahan mengantarnya ke pintu Klausura Hitam tujuannya. "Hari ini kamu melihatku, dan di kemudian hari takkan pernah lagi," katanya.[19] Ayahnya sangat marah atas apa yang dilihatnya sebagai suatu pemborosan telah memberikan Luther pendidikan.[23] Kehidupan awal dan akademis![]() Luther mendedikasikan dirinya pada tarekat Agustinian, mengabdikan diri dalam laku puasa, doa selama berjam-jam, ziarah, dan pengakuan dosa secara berkala.[24] Luther mendeskripsikan periode hidupnya ini sebagai salah satu keputusasaan rohani. Ia berkata, "Aku kehilangan kontak dengan Kristus Sang Juruselamat dan Penghibur, serta menjadikan-Nya sipir dan algojo jiwaku yang malang."[25] Johann von Staupitz, superiornya, berupaya mengalihkan pikiran Luther dari perenungan secara terus-menerus atas dosa-dosanya kepada jasa-jasa Kristus. Ia mengajarkan bahwa pertobatan sejati bukan mengenai hukuman dan penyilihan swakarsa, melainkan suatu perubahan hati.[26] Pada 3 April 1507, Jerome Scultetus, Uskup Brandenburg, menahbiskan Luther di Katedral Erfurt. Pada 1508, von Staupitz, dekan pertama Universitas Wittenberg yang baru didirikan, memanggil Luther untuk mengajar teologi.[27][28] Ia mendapatkan gelar sarjana dalam bidang studi Alkitab pada 9 Maret 1508, dan gelar sarjana lainnya dalam bidang studi Sententiae karya Petrus Lombardus pada 1509.[29] Pada 19 Oktober 1512, ia dianugerahi gelar Doktor Teologi, dan, pada 21 Oktober 1512, ia diterima dalam senat fakultas teologi di Universitas Wittenberg,[30] menggantikan jabatan Staupitz sebagai profesor teologi.[31] Ia menghabiskan sisa kariernya dalam posisi ini di Universitas Wittenberg. Ia ditunjuk menjadi vikaris provinsial Sachsen dan Thüringen oleh tarekat religiusnya pada 1515. Ini berarti ia perlu mengunjungi dan mengawasi kesebelas biara di provinsinya.[32] Permulaan Reformasi Protestan![]() Pada 1516, Johann Tetzel, seorang frater Dominikan dan komisioner kepausan untuk indulgensi, diutus ke Jerman oleh Gereja Katolik Roma untuk menjual indulgensi guna mengumpulkan uang dalam rangka membangun kembali Basilika Santo Petrus di Roma.[33] Pengalaman Tetzel sebagai seorang pengkhotbah indulgensi, terutama antara tahun 1503 dan 1510, menyebabkan penunjukannya sebagai komisioner umum oleh Albrecht von Brandenburg, Uskup Agung Mainz, yang perlu memberikan kontribusi yang cukup besar guna pembangunan kembali Basilika St. Petrus di Roma kendati sangat berkewajiban untuk membayar kembali akumulasi manfaat yang besar yang telah ia terima. Sang uskup mendapat izin dari Paus Leo X untuk mengadakan penjualan suatu indulgensi penuh (yakni penghapusan sepenuhnya hukuman temporal akibat dosa) yang khusus, separuh dari hasil yang didapat Albrecht diklaim untuk membayar biaya-biaya dari manfaat tersebut. Pada 31 Oktober 1517, Luther menulis surat kepada uskupnya, Albrecht von Brandenburg, memprotes penjualan indulgensi. Ia melampirkan dalam suratnya satu salinan Perdebatan Martin Luther tentang Kuasa dan Kefektifan Indulgensi karyanya, yang kemudian dikenal sebagai 95 Tesis. Hans Hillerbrand menuliskan bahwa Luther tidak berniat untuk menentang Gereja, namun memandang perdebatannya sebagai suatu keberatan keilmuan terhadap praktik-praktik Gereja, dan karena itu nada penulisannya bersifat "mencari", bukan dogmatis.[34] Hillerbrand menuliskan bahwa meski demikian terdapat suatu implikasi tantangan dalam sejumlah tesisnya, terutama dalam Tesis 86, yang menanyakan: "Mengapa paus, yang kekayaannya saat ini lebih besar daripada kekayaan Crassus yang terkaya, membangun basilika St. Petrus dengan uang orang-orang percaya yang miskin dan bukan dengan uangnya sendiri?"[34] Luther berkeberatan dengan satu pernyataan yang dikaitkan dengan Johann Tetzel bahwa "Begitu koin dalam peti uang berdenting, jiwa dari purgatorium (juga dinyatakan sebagai 'ke surga') keluar."[35] Ia bersikeras bahwa, karena pengampunan dianugerahkan dari Allah semata, mereka yang mengklaim kalau indulgensi membebaskan para pembeli dari semua hukuman dan menganugerahkan mereka keselamatan adalah keliru. Umat Kristen, menurutnya, tidak boleh kendur dalam mengikuti Kristus lantaran jaminan palsu semacam itu. ![]() Bagaimanapun, ucapan Tetzel yang kerap disitir tersebut dipandang sama sekali tidak merepresentasikan ajaran Katolik kala itu mengenai indulgensi, namun merupakan satu cerminan kapasitas Tetzel yang membesar-besarkannya. Namun, kendati Tetzel melebih-lebihkan hal itu sehubungan dengan indulgensi bagi mereka yang telah meninggal dunia, ajarannya mengenai indulgensi bagi mereka yang masih hidup di dunia ini sejalan dengan dogma Katolik yang telah berlaku pada zamannya.[36] Menurut satu laporan, Luther memakukan 95 Tesis karyanya di pintu Gereja Semua Orang Kudus di Wittenberg pada 31 Oktober 1517. Para akademisi seperti Walter Krämer, Götz Trenkler, Gerhard Ritter, dan Gerhard Prause berpendapat bahwa kisah pemublikasian di pintu itu hanya memiliki sedikit landasan kebenaran, meski telah menetap sebagai salah satu pilar sejarah.[37][38][39] Kisah itu didasarkan pada komentar yang dibuat Philipp Melanchthon, meskipun diperkirakan kalau ia sendiri tidak berada di Wittenberg pada saat tersebut.[40] Tesis berbahasa Latin tersebut dicetak di beberapa lokasi di Jerman pada 1517. Pada Januari 1518, teman-teman Luther menerjemahkan 95 Tesis dari bahasa Latin ke dalam bahasa Jerman.[41] Dikatakan bahwa salinan-salinan 95 Tesis telah menyebar ke seluruh Jerman dalam waktu dua minggu dan penyebarannya telah mencapai seluruh Eropa dalam waktu dua bulan. Tulisan-tulisan Luther beredar luas, bahkan mencapai Prancis, Inggris, dan Italia pada 1519.[butuh klarifikasi] Para mahasiswa dikabarkan memadati Wittenberg untuk mendengar Luther berbicara. Ia memublikasikan suatu ulasan singkat tentang Surat Galatia dan Karya tentang Kitab Mazmur tulisannya. Bagian awal karier Luther ini merupakan salah satu periode yang paling kreatif dan produktif dalam masa hidupnya.[42] Tiga karyanya yang paling dikenal diterbitkan pada 1520: Kepada Bangsawan Kristen dari Negara Jerman, Tentang Pembuangan Gereja ke Babel, dan Tentang Kebebasan Seorang Kristen. Pembenaran hanya oleh iman![]() Dari tahun 1510 sampai 1520, Luther menyajikan kuliah tentang Kitab Mazmur serta Surat Ibrani, Roma, dan Galatia. Ketika mempelajari bagian-bagian Alkitab tersebut, ia mendapat pemahaman atas penggunaan istilah-istilah seperti silih dan kebenaran (righteousness) oleh Gereja Katolik dengan cara-cara yang baru. Ia sampai pada keyakinan bahwa Gereja korup dalam jalannya dan telah hilang penglihatan atas apa yang ia anggap sebagai beberapa kebenaran sentral Kekristenan. Yang terpenting bagi Luther adalah doktrin pembenaran – tindakan Allah menyatakan benar seorang berdosa – oleh iman saja melalui kasih karunia atau rahmat Allah. Ia mulai mengajarkan bahwa keselamatan ataupun penebusan adalah suatu anugerah dari rahmat Allah, yang dapat dicapai melalui iman semata dalam Yesus sebagai Mesias.[43] "Batu karang yang satu dan kukuh ini, yang kita sebut doktrin pembenaran", tulisnya, "adalah pasal utama dari keseluruhan doktrin Kristen, yang mencakup pemahaman dari segala kesalehan."[44] Luther sampai pada pemahaman bahwa pembenaran adalah karya Allah sepenuhnya. Ajaran Luther ini diekspresikan secara jelas dalam publikasinya tahun 1525, De Servo Arbitrio (Tentang Keterbelengguan Kehendak), yang ditulis sebagai tanggapan atas De libero arbitrio diatribe sive collatio (Tentang kehendak bebas: Diskursus atau Perbandingan) karya Desiderius Erasmus (1524). Luther mendasarkan posisinya pada doktrin predestinasi dalam Efesus 2:8–10 seturut pemahamannya. Menentang ajaran Katolik yang memandang tindakan-tindakan benar orang percaya dilakukan dalam kerja sama dengan Allah, Luther menuliskan bahwa umat Kristen menerima sepenuhnya kebenaran tersebut dari luar diri mereka. Menurutnya, kebenaran demikian bukan sekadar berasal dari Kristus tetapi sebenarnya adalah kebenaran Kristus, diperhitungkan kepada umat Kristen (bukan ditanamkan ke dalam diri mereka) melalui iman.[45] "Itulah sebabnya mengapa iman semata menjadikan seseorang benar dan memenuhi hukum [Taurat]," tulisnya. "Iman adalah yang membawa Roh Kudus melalui jasa-jasa Kristus."[46] Bagi Luther, iman adalah suatu anugerah atau karunia dari Allah; pengalaman dibenarkan oleh iman adalah "seolah-olah aku telah dilahirkan kembali". Masuknya Ia ke dalam Firdaus tidak lain adalah penemuan tentang "kebenaran Allah" – suatu penemuan bahwa "orang benar" yang dibicarakan dalam Alkitab (seperti dalam Roma 1:17) hidup oleh iman.[47] Ia menjelaskan konsepnya tentang "pembenaran" dalam Pasal-Pasal Schmalkalden:
Penemuan kembali Luther atas "Kristus dan keselamatan-Nya" merupakan yang pertama dari dua poin yang menjadi landasan bagi Reformasi Protestan. Protesnya menentang penjualan indulgensi didasarkan pada hal tersebut.[49] Perpecahan dengan kepausan![]() Albrecht, Uskup Agung Mainz dan Magdeburg, tidak membalas surat Luther yang berisikan 95 Tesis. Ia mengadakan pemeriksaan tesis tersebut untuk melihat kemungkinan adanya penyesatan, dan, pada Desember 1517, meneruskannya ke Roma.[50] Ia dikabarkan membutuhkan pendapatan dari indulgensi untuk memenuhi kewajibannya terkait suatu dispensasi kepausan atas jabatannya yang meliputi lebih dari satu keuskupan. Luther belakangan menulis, "paus juga terlibat, karena separuhnya mengalir ke pembangunan Gereja Santo Petrus di Roma".[51] Paus Leo X terbiasa menghadapi para reformator dan penganut bidat,[52] dan ia menanggapi "dengan sangat hati-hati sebagaimana mestinya".[53] Selama tiga tahun berikutnya, ia mengirim serangkaian representasi dan teolog kepausan dalam rangka menentang Luther, yang hanya semakin memperkeras teologi anti kepausan yang dianut sang reformis. Utusan pertama, seorang teolog Dominikan yang bernama Silvestro Mazzolini, mengkonsep satu kasus bidat terhadap Luther, yang kemudian dipanggil sang paus ke Roma. Friedrich III, Elektor Sachsen, meyakinkan sang paus supaya Luther diperiksa di Augsburg, tempat Sidang Imperial diadakan.[54] Di sana, selama periode tiga hari pada Oktober 1518, Luther melakukan pembelaan diri ketika menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan legatus kepausan, Kardinal Kayetanus. Hak paus untuk mempermaklumkan indulgensi merupakan pokok perdebatan antara kedua orang tersebut.[55][56] Keadaan dalam acara dengar pendapat tersebut berubah menjadi panas. Alih-alih sekadar menulis tesisnya, konfrontasi Luther dengan Gereja menjadikannya sebagai seorang musuh paus.[57] Instruksi awal yang diterima Kayetanus adalah menahan Luther apabila ia tidak mau menarik kembali ajarannya, tetapi sang legatus tidak melakukannya.[58] Luther menyelinap pergi meninggalkan kota pada malam hari, tanpa sepengetahuan Kayetanus.[59] ![]() Pada Januari 1519, di Altenburg, Sachsen, Karl von Miltitz selaku nunsius kepausan mengadopsi suatu pendekatan yang lebih mendamaikan. Luther memberikan sejumlah konsesi kepada sang nunsius, yang adalah kerabat dari Elektor Friedrich III, dan berjanji untuk tetap diam jika para seterunya juga melakukannya.[60] Namun, seorang teolog bernama Johann Eck bertekad untuk mengekspos doktrin Luther dalam suatu forum publik. Pada Juni dan Juli 1519, ia mengadakan suatu acara debat di Leipzig dengan kolega Luther, Andreas Karlstadt, dan mengundang Luther untuk berbicara.[61] Penegasan Luther yang paling berani dalam perdebatan tersebut adalah bahwa Matius 16:18 tidak memberi hak kepada paus untuk secara eksklusif menafsirkan kitab suci, dan karenanya tidak ada paus ataupun konsili Gereja yang tidak dapat salah.[62] Akibatnya, Eck memberi Luther stigma seorang Jan Hus baru, mengacu pada penganut bidat dan reformator Ceko yang dihukum bakar pada 1415. Sejak saat itu, ia mengabdikan diri untuk mengalahkan Luther.[63] EkskomunikasiPada 15 Juni 1520, Paus Leo X memperingatkan Luther dengan bulla kepausan Exsurge Domine bahwa ia akan dikenakan sanksi ekskomunikasi apabila tidak menarik kembali 41 kalimat dari tulisan-tulisannya, termasuk 95 Tesis, dalam waktu 60 hari. Pada musim gugur tahun itu, Johann Eck mempermaklumkan bulla tersebut di Meissen dan kota-kota lainnya. Karl von Miltitz, seorang nunsius kepausan, berupaya menengahi dengan suatu solusi, tetapi Luther, yang telah mengirimkan salinan Tentang Kebebasan Seorang Kristen kepada sang paus pada bulan Oktober, membakar dekretal-dekretal dan bulla tersebut di hadapan publik di Wittenberg pada 10 Desember 1520,[64] suatu tindakan yang ia bela dalam tulisan-tulisannya, Mengapa Paus dan Buku Terbarunya Dibakar dan Penegasan-Penegasan tentang Semua Pasal. Sebagai konsekuensinya, Luther diekskomunikasi oleh Paus Leo X pada 3 Januari 1521, melalui bulla Decet Romanum Pontificem.[65] Sidang Worms![]() Penegakan larangan terhadap 95 Tesis jatuh ke tangan otoritas sekuler. Pada 18 April 1521, Luther tampil sebagaimana diperintahkan kepadanya di hadapan Sidang Worms. Ini merupakan suatu majelis umum para perwakilan wilayah dalam Kekaisaran Romawi Suci yang berlangsung di Worms, suatu kota di tepi barat Sungai Rhein. Sidang Worms diselenggarakan dari 28 Januari sampai dengan 25 Mei 1521, di bawah pimpinan Kaisar Karl V (Charles V). Pangeran Friedrich III, Elektor Sachsen, beroleh suatu pas bagi Luther untuk melintas dengan aman menuju dan meninggalkan pertemuan tersebut. Johann Eck, yang berbicara atas nama Kekaisaran sebagai asisten Uskup Agung Trier, memperlihatkan kepada Luther salinan-salinan dari tulisan-tulisannya yang diletakkan di atas meja dan menanyakan apakah buku-buku tersebut miliknya, dan apakah ia berpegang teguh pada isinya. Luther mengonfirmasikan bahwa ia adalah pengarang kesemuanya, namun ia meminta waktu untuk memikirkan jawaban atas pertanyaan kedua. Ia dilaporkan berdoa, berkonsultasi dengan teman-temannya, dan memberikan tanggapannya esok hari:
Di akhir perkataannya, Luther mengangkat tangannya "dengan salut tradisional seorang kesatria yang memenangkan suatu pertarungan." Michael Mullett menganggap kata-katanya itu sebagai suatu "klasik dunia dari pidato yang impresif".[67] Eck memberi tahu Luther bahwa ia berlaku seperti seorang penganut bidah:
Luther menolak untuk menarik kembali tulisan-tulisannya. Ia kadang-kadang juga disitir mengatakan: "Di sini saya berdiri. Saya tidak dapat berbuat lain". Para akademisi belakangan ini menganggap bahwa bukti untuk kata-kata tersebut tidak dapat dipercaya, karena disisipkan sebelum "Semoga Allah menolong saya" hanya dalam versi-versi pidato di kemudian hari dan tidak tercatat dalam laporan-laporan saksi mata persidangan.[69] Bagaimanapun, Mullet mengemukakan bahwa mengingat sifat Luther, "kita bebas untuk percaya kalau Luther cenderung untuk memilih bentuk kata-kata yang lebih dramatis."[67] Selama lima hari berikutnya, diadakan pertemuan-pertemuan privat untuk menentukan nasib Luther. Sang kaisar menyajikan draf akhir Maklumat Worms pada 25 Mei 1521, yang menyatakan Luther sebagai seorang pelanggar hukum, melarang peredaran karya-karya tulisnya, dan menghendaki penangkapan dirinya: "Kami ingin ia ditangkap dan dihukum sebagai seorang penganut bidah dengan reputasi buruk."[70] Dinyatakan juga bahwa adalah suatu kejahatan bagi siapa saja di Jerman yang memberikan Luther makanan ataupun perlindungan, dan siapa saja dapat membunuh Luther tanpa konsekuensi hukum. Di Kastel Wartburg![]() ![]() Hilangnya Luther saat ia kembali ke Wittenberg telah direncanakan. Friedrich III mengatur skenario pencegatan di hutan dekat Wittenberg dalam perjalanan pulangnya Luther, oleh para penunggang kuda bertopeng yang meniru para perampok jalanan. Mereka membawa Luther masuk ke dalam pengamanan Kastel Wartburg di Eisenach.[71] Selama berada di Wartburg, yang disebutnya sebagai "Patmos saya",[72] Luther menerjemahkan Perjanjian Baru dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Jerman serta menghasilkan tulisan-tulisan doktrinal dan polemik. Di antara karya tulisnya terdapat satu serangan baru terhadap Uskup Agung Albertus dari Mainz, yang ia buat merasa bersalah sehingga menghentikan penjualan indulgensi dalam keuskupan-keuskupannya,[73] dan "Sanggahan atas Argumen Latomus," yang di dalamnya ia memaparkan prinsip pembenaran kepada Jacobus Latomus, seorang teolog ortodoks dari Leuven.[74] Dalam karya tulis tersebut, salah satu pernyataannya yang paling tegas terkait iman, ia berargumen bahwa setiap perbuatan baik yang dimaksudkan untuk menarik hati Allah adalah dosa.[75] Pada hakikatnya semua manusia adalah para pendosa, jelasnya, dan kasih karunia atau rahmat Allah semata dapat membuat mereka benar. Pada 1 Agustus 1521, Luther menulis kepada Melanchthon dengan tema yang sama: "Jadilah seorang berdosa, dan biarlah dosa-dosamu bertambah kuat, namun biarlah kepercayaanmu kepada Kristus bertambah lebih kuat, dan bersukacitalah dalam Kristus yang adalah pemenang atas dosa, kematian, dan dunia. Kita akan berbuat dosa selagi kita berada di sini, karena hidup ini bukanlah suatu tempat keadilan berada."[76] Pada musim panas tahun 1521, Luther memperluas sasarannya dari kesalehan-kesalehan individual, seperti indulgensi dan ziarah, hingga meliputi doktrin-doktrin di jantung praktik Gereja. Dalam Tentang Penghapusan Misa Privat, ia mengecam sebagai penyembahan berhala gagasan bahwa misa merupakan suatu pengurbanan, seraya menyatakan bahwa misa merupakan suatu anugerah atau pemberian, untuk diterima dengan ucapan syukur oleh seluruh jemaat.[77] Esainya yang berjudul Tentang Pengakuan, Apakah Paus Memiliki Kuasa untuk Mensyaratkannya menolak pengakuan wajib serta mendorong dilakukannya pengakuan dan absolusi privat, karena menurutnya "setiap orang Kristen adalah seorang pendengar pengakuan (beichtvater)".[78] Pada bulan November, Luther menulis Penghakiman Martin Luther tentang Kaul-Kaul Monastik. Ia meyakinkan para rahib dan biarawati kalau mereka dapat melanggar kaul-kaul (sumpah religius) mereka tanpa berdosa, karena ia beranggapan bahwa kaul merupakan suatu upaya yang haram dan sia-sia untuk memperoleh keselamatan.[79] ![]() Pada 1521, Luther banyak menyinggung nubuat, yang di dalamnya ia memperluas dasar-dasar Reformasi Protestan, menempatkan dasar-dasar itu pada iman profetik. Minat utamanya berpusat pada nubuat Tanduk Kecil dalam Daniel 8:9–12, 23–25. Antikristus dalam 2 Tesalonika 2 diidentifikasinya sebagai kuasa kepausan. Tanduk Kecil dalam Daniel 7, yang ia tafsirkan timbul dalam wilayah Kekaisaran Romawi yang terbagi-bagi, dilihatnya sebagai Kekaisaran Turki ataupun kepausan.[80][81] Luther membuat pernyataan-pernyataannya dari Wartburg sehubungan dengan perkembangan pesat di Wittenberg, situasi yang tetap ia pantau sepenuhnya. Andreas Karlstadt, yang didukung oleh seorang mantan anggota tarekat Agustinian bernama Gabriel Zwilling, memulai suatu program reformasi radikal di sana pada Juni 1521, melampaui apa yang dapat dibayangkan oleh Luther. Reformasi-reformasi tersebut memicu pergolakan, termasuk suatu pemberontakan oleh para frater Agustinian melawan prior mereka, penghancuran patung-patung dan gambar-gambar di berbagai gereja, serta pengecaman secara terbuka terhadap jabatan pemerintahan (magistrat). Setelah mengunjungi Wittenberg secara diam-diam pada awal Desember 1521, Luther menulis Suatu Peringatan yang Tulus oleh Martin Luther kepada Semua Orang Kristen untuk Waspada terhadap Kerusuhan dan Pemberontakan.[82] Wittenberg menjadi semakin tidak stabil setelah Natal ketika sekolompok orang fanatik dan visioner, yang disebut nabi-nabi Zwickau, tiba untuk mengajarkan doktrin-doktrin revolusioner seperti kesetaraan absolut manusia dalam kepemilikan bersama, baptisan dewasa, dan kedatangan Kristus dalam waktu dekat.[83] Saat dewan kota meminta Luther untuk kembali, ia memutuskan bahwa adalah tugasnya untuk bertindak.[84] Kembali ke Wittenberg dan Perang PetaniLuther kembali secara diam-diam ke Wittenberg pada 6 Maret 1522. Ia menulis kepada sang elektor: "Selama ketidakhadiran saya. Setan telah memasuki kandang domba saya, dan melakukan tindakan-tindakan penghancuran yang tidak dapat saya perbaiki dengan menulis, selain dengan firman hidup dan kehadiran pribadi saya semata."[85] Selama delapan hari dalam masa Prapaskah, dimulai pada Minggu Invocavit tanggal 9 Maret, Luther menyampaikan delapan khotbah, yang kemudian dikenal sebagai "Khotbah-Khotbah Invocavit". Dalam khotbah-khotbah tersebut, ia menekankan yang dipandangnya sebagai keutamaan dari nilai-nilai inti Kristen seperti kasih, kesabaran, karya amal, dan kebebasan, serta mengingatkan warga untuk memercayai firman Allah dan bukan melakukan kekerasan untuk menghasilkan perubahan yang diperlukan.[86]
Dampak dari campur tangan Luther segera dirasakan. Setelah khotbah keenam, Jerome Schrurf, yuris Wittenberg, menulis kepada sang elektor: "Oh, sukacita apa yang telah disebarkan Dr. Martin di antara kita! Kata-katanya, melalui belas kasih ilahi, sedang membawa kembali orang-orang yang tersesat setiap hari ke jalan kebenaran."[87] Luther selanjutnya mulai menghapuskan ataupun memodifikasi praktik-praktik jemaatnya yang baru. Dengan bekerja bersama pihak berwenang untuk memulihkan ketertiban umum, ia mengisyaratkan penemuannya kembali sebagai suatu kekuatan konservatif dalam Reformasi Protestan.[88] Setelah menghalau para nabi Zwickau, ia menghadapi suatu pertarungan yang berlangsung tidak hanya dengan Gereja yang resmi, tetapi juga dengan para reformis radikal yang dikatakan mengancam tatanan barunya dengan menggerakkan kekerasan dan kerusuhan sosial.[89] ![]() Terlepas dari keberhasilannya di Wittenberg, Luther tidak berhasil membendung radikalisme yang berkembang luas di daerah sekitarnya. Para pengkhotbah seperti nabi Zwickau Nikolaus Storch dan Thomas Müntzer mendapat dukungan di kalangan para petani dan penduduk-kota yang miskin antara tahun 1521 dan 1525. Sebelumnya, sejak abad ke-15, pernah terjadi beberapa pemberontakan berskala lebih kecil oleh kaum tani.[90] Pamflet-pamflet Luther yang menentang Gereja dan hierarki, yang sering kali diekspresikan dengan fraseologi "liberal", menyebabkan banyak petani percaya bahwa ia akan mendukung serangan terhadap kelas atas pada umumnya.[91] Berbagai pemberontakan pecah di Franken, Schwaben, dan Thüringen pada 1524, bahkan menarik dukungan dari para bangsawan yang tidak puas, banyak dari mereka yang terbelit utang. Karena mendapat momentum dalam kepemimpinan para tokoh radikal seperti Müntzer di Thüringen, serta Hipler dan Lotzer di wilayah barat daya, pemberontakan-pemberontakan tersebut berubah menjadi perang.[92] Luther disebut bersimpati dengan beberapa keluhan kaum tani tersebut, seperti yang ia tunjukkan dalam tanggapannya terhadap Dua Belas Pasal pada Mei 1525, namun ia mengingatkan para pihak yang dirugikan untuk mematuhi otoritas sekuler.[93] Selama suatu kunjungan di Thüringen, ia menjadi sangat marah ketika menyaksikan aksi pembakaran yang meluas atas berbagai biara, kediaman uskup, dan perpustakaan. Dalam Melawan Gerombolan Petani Bernafsu Mencuri dan Membunuh, yang ditulis sekembalinya Luther ke Wittenberg, ia memberikan interpretasinya tentang ajaran Injil terkait kekayaan, mengecam kekerasan tersebut sebagai pekerjaan iblis, dan meminta para bangsawan untuk menundukkan para pemberontak layaknya "seseorang harus membunuh seekor anjing gila":[94]
Luther membela penentangannya terhadap para pemberontak dengan tiga alasan. Pertama, dalam memilih kekerasan daripada ketaatan sesuai hukum pada pemerintah sekuler, mereka mengabaikan nasihat Kristus supaya "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar"; Rasul Paulus menulis dalam Roma 13:1–7 bahwa semua pemerintah ditetapkan oleh Allah dan karena itu tidak semestinya dilawan. Petunjuk dari Alkitab ini membentuk landasan bagi doktrin yang dikenal sebagai hak ilahi raja-raja, atau hak ilahi pangeran-pangeran dalam kasus Jerman. Kedua, tindakan-tindakan kekerasan memberontak, merampok, dan menjarah, menempatkan para petani "di luar hukum Allah dan Kekaisaran", sehingga mereka dianggapnya layak mengalami "kematian dalam tubuh dan jiwa, jika hanya menjadi para penyamun dan pembunuh". Terakhir, Luther menuduh para pemberontak melakukan penghujatan karena mereka menyebut diri "saudara-saudara Kristen" dan melakukan tindakan-tindakan berdosa di bawah panji Injil.[96] Tanpa dukungan Luther dalam melakukan pemberontakan tersebut, banyak pemberontak yang meletakkan senjata mereka; yang lain lagi merasa dikhianati. Kekalahan mereka oleh Liga Schwäbischer di Pertempuran Frankenhausen pada 15 Mei 1525, yang diikuti dengan eksekusi Müntzer, mengantar tahap revolusioner Reformasi Protestan ke suatu akhir.[97] Setelah itu, radikalisme dikatakan menemukan satu tempat perlindungan dalam gerakan Anabaptis dan gerakan-gerakan keagamaan lainnya, sementara Reformasi Luther berkembang di bawah naungan kekuatan sekuler.[98] Pada 1526, Luther menulis: "Saya, Martin Luther, selama pemberontakan telah membunuh semua petani, karena sayalah yang memerintahkan mereka untuk dipukul mati."[99] Perkawinan![]() Martin Luther menikahi Katharina von Bora, salah seorang di antara 12 biarawati yang ia bantu melarikan diri dari biara Sistersien Nimbschen pada bulan April 1523, ketika ia mengatur supaya mereka diselundupkan dengan tong-tong ikan haring.[100] "Tiba-tiba, dan selagi saya disibukkan dengan pikiran-pikiran yang jauh berbeda," tulisnya kepada Wenceslaus Link, "Tuhan menjerumuskan saya ke dalam perkawinan."[101] Pada waktu mereka menikah, Katharina berusia 26 tahun dan Luther berusia 41 tahun. Pada 13 Juni 1525, pasangan tersebut bertunangan dengan Johannes Bugenhagen, Justus Jonas, Johannes Apel, Philipp Melanchthon, serta Lucas Cranach Tua dan istrinya sebagai para saksi.[102] Pada malam hari yang sama, pasangan tersebut dinikahkan oleh Bugenhagen.[102] Iring-iringan seremonial ke gereja dan pesta pernikahan baru dilakukan dua minggu kemudian pada tanggal 27 Juni.[102] Beberapa imam dan mantan anggota tarekat religius telah terlebih dahulu menikah, termasuk Andreas Karlstadt dan Justus Jonas, namun pernikahan Luther menjadi suatu indikasi resmi perkawinan klerikal di kalangan rohaniwan Protestan.[103] Ia telah sejak lama mengecam kaul-kaul selibat dengan landasan biblis, namun keputusannya untuk menikah mengejutkan banyak orang, setidaknya Melanchthon, yang menyebutnya sembrono.[104] Luther pernah menulis surat kepada George Spalatin pada 30 November 1524, "Saya tidak akan pernah mengambil istri, sebagaimana saya rasakan saat ini. Bukan berarti saya tidak sadar akan seks atau kedagingan saya (karena saya bukan kayu ataupun batu); tetapi pikiran saya jelas tidak menyukai ikatan perkawinan karena saya setiap hari mengharapkan kematian seorang penganut bidah."[105] Sebelum menikah, Luther telah hidup dengan makanan yang paling sederhana, dan ia mengaku kalau tempat tidurnya yang berjamur tidak dibuat dengan benar selama berbulan-bulan pada suatu waktu.[106] Luther dan istrinya pindah ke suatu kediaman bekas biara, "Biara Hitam", hadiah pernikahan dari Johann, Elektor Sachsen yang baru (1525–32). Mereka mengawali apa yang tampaknya menjadi suatu pernikahan yang bahagia dan sukses, kendati sering kali kekurangan uang.[107] Katharina melahirkan enam orang anak (3 putra dan 3 putri): Hans – Juni 1526; Elisabeth – 10 Desember 1527, yang meninggal beberapa bulan kemudian; Magdalena – 1529, yang meninggal dalam pelukan Luther pada 1542; Martin – 1531; Paul – Januari 1533; serta Margaretha – 1534; dan ia membantu pasangan tersebut memperoleh nafkah dengan bertani sembari menerima orang-orang memondok.[108] Luther bercerita kepada Michael Stifel pada 11 Agustus 1526: "Katie-ku dalam segala hal begitu ringan tangan dan menyenangkanku sehingga aku tidak akan menukar kemiskinanku dengan kekayaan Croesus."[109]
Pengorganisasian gereja![]() Pada 1526, Luther mendapati dirinya semakin sibuk dalam mengorganisasi suatu gereja yang baru. Model jemaat-jemaat yang dibayangkannya berdasarkan Alkitab dengan cara memilih pastor atau pendeta mereka masing-masing telah terbukti tidak dapat dijalankan.[110] Menurut Bainton, "Dilema Luther adalah bahwa ia menginginkan suatu gereja konfesional berdasarkan pengalaman dan iman personal serta suatu gereja teritorial yang mencakup semua dalam suatu wilayah tertentu. Jika ia terpaksa memilih, ia akan berdiri tegak dengan orang banyak, dan ke arah inilah ia melangkah."[111] Dari tahun 1525 sampai 1529, ia mendirikan suatu badan pengawas gereja, meletakkan satu bentuk baru dari pelayanan ibadah, dan menulis suatu ringkasan jelas keimanan barunya dalam bentuk dua katekismus. Pemikiran Luther dipandang revolusioner karena merupakan suatu teologi salib, negasi dari setiap afirmasi: selama salib berada di tengah, kenderungan pembangunan sistem daya pikir berada dalam pengawasan, dan pembangunan sistem tidak mengalami degenerasi menjadi Sistem.[112] Untuk mencegah kebingungan dan kekecewaan orang-orang, Luther menghindari perubahan yang ekstrem. Ia juga tidak menghendaki penggantian satu sistem pengawasan dengan yang lain. Luther berkonsentrasi pada gereja di Elektorat Sachsen, hanya bertindak sebagai penasihat pada gereja-gereja di wilayah-wilayah baru, yang banyak di antaranya mengikuti model gerejanya di Sachsen. Ia bekerja sama dengan elektor barunya, Johann, kepada siapa ia berpaling demi kepemimpinan sekuler dan sokongan finansial atas nama suatu gereja yang pada dasarnya terputus aset dan pemasukannya setelah perpecahan dengan Roma.[113] Bagi Martin Brecht, biograf Luther, kemitraan tersebut "adalah permulaan dari suatu perkembangan yang dipertanyakan dan tidak direncanakan pada awalnya menuju suatu pemerintahan gereja di bawah penguasa sekuler".[114] Sang elektor mengesahkan visitasi gereja, suatu kuasa yang sebelumnya dilaksanakan oleh para uskup.[115] Terkadang reformasi-reformasi praktis Luther tidak sesuai dengan pemakluman-pemakluman radikalnya yang terdahulu. Sebagai contoh, Instruksi-Instruksi untuk Para Visitor Pastor-Pastor Paroki di Elektorat Sachsen, yang dirancang oleh Melanchthon dengan persetujuan Luther, menekankan peranan pertobatan dalam pengampunan dosa, terlepas dari posisi Luther bahwa iman semata memastikan pembenaran.[116] Seorang reformator Eisleben bernama Johannes Agricola menantang kompromi tersebut, dan Luther mengecamnya karena ia mengajarkan bahwa iman terpisah dari perbuatan.[117] Instruksi dipandang sebagai satu dokumen problematik bagi mereka yang mencari suatu evolusi konsisten dalam pemikiran Luther dan praktiknya.[118] ![]() Sebagai tanggapan atas adanya kebutuhan akan liturgi berbahasa Jerman, Luther menulis Deutsche Messe (Misa Jerman), yang ia publikasikan pada awal tahun 1526.[119] Ia tidak bermaksud menjadikannya sebagai pengganti dari adaptasi Misa Latin karyanya tahun 1523, tetapi sebagai satu alternatif bagi "orang-orang sederhana", suatu "stimulasi publik bagi orang-orang untuk percaya dan menjadi penganut Kristen."[120] Luther mendasarkan aturannya pada ibadah Katolik, namun menghilangkan "segala sesuatu yang berbau pengurbanan", dan Misa menjadi suatu perayaan yang di dalamnya setiap orang menerima roti maupun anggur.[121] Ia mempertahankan pengangkatan hosti (roti perjamuan) dan cawan, sementara perlengkapan seperti vestimentum, altar, dan lilin dijadikan opsional, memungkinkan kebebasan pelaksanaan upacara.[122] Beberapa reformator, termasuk para pengikut Ulrich Zwingli, menganggap peribadahan Luther terlalu bersifat papistik, dan para akademisi modern melihat adanya konservatisme dalam alternatif misa Katolik susunannya.[123] Bagaimanapun, tata ibadah yang disusunnya mencakupi bernyanyi himne dan mazmur jemaat dalam bahasa Jerman, juga menyanyikan bagian-bagian dari liturgi, seperti komposisi Kredo secara unisono gubahan Luther.[124] Untuk menjangkau orang-orang sederhana dan kaum muda, Luther mengintegrasikan ajaran agama ke dalam ibadah-ibadah harian pada hari kerja dalam bentuk katekismus.[125] Ia juga menyediakan versi-versi yang disederhanakan dari layanan baptisan dan pernikahan.[126] Luther dan rekan-rekannya memperkenalkan tata ibadah baru tersebut selama visitasi (kunjungan) mereka di Elektorat Sachsen, yang bermula pada tahun 1527.[127] Mereka juga melakukan penilaian standar pelayanan pastoral dan pendidikan Kristen di wilayah itu. "Allah yang penuh belah kasih, derita apa yang telah kulihat," tulis Luther, "orang-orang biasa tidak tahu doktrin Kristen sama sekali ... dan sayangnya banyak pastor yang hampir-hampir tidak terampil dan tidak mampu mengajar."[128] Katekismus-katekismus![]() Luther merancang katekismus sebagai suatu metode untuk menyampaikan dasar-dasar Kekristenan kepada jemaat-jemaat. Pada 1529, ia menulis Katekismus Besar, satu manual bagi para pastor (pendeta) dan pengajar, serta Katekismus Kecil sebagai satu sinopsis untuk diingat oleh mereka.[129] Katekismus-katekismusnya menyajikan materi instruksional dan devosional tentang Sepuluh Perintah Allah, Kredo Para Rasul, Doa Bapa Kami, baptisan, dan Perjamuan Tuhan.[130] Luther menyertakan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban di dalam katekismusnya sehingga dasar-dasar iman Kristen tidak menjadi sekadar hafalan, "cara monyet melakukannya", namun dipahami.[131] Katekismusnya merupakan salah satu karya Luther yang paling personal. "Mengenai rencana untuk mengumpulkan tulisan-tulisan saya dalam rangkaian buku," tulisnya, "Saya cukup tidak antusias dan sama sekali tidak bersemangat atasnya karena, terinspirasi oleh nafsu makan Saturnian, saya lebih suka melihat semuanya itu dilahap. Sebab saya tidak mengakui satupun dari semuanya itu sebagai buku saya yang sesungguhnya, kecuali mungkin Keterbelengguan Kehendak dan Katekismus."[132] Katekismus Kecil telah mendapatkan reputasi sebagai suatu model pengajaran agama yang jelas.[133] Katekismus tersebut tetap digunakan hingga sekarang, bersama-sama dengan himne-himne dan terjemahan Alkitab karyanya. Katekismus Kecil Luther dikatakan sangat efektif dalam membantu orang tua mengajar anak-anak mereka; seperti halnya Katekismus Besar efektif bagi para pendeta.[134] Dengan menggunakan bahasa vernakular Jerman, mereka mengekspresikan Kredo Para Rasul (Pengakuan Iman Rasuli) dalam bahasa Trinitarian yang lebih sederhana dan personal. Ia menulis ulang setiap pasal Kredo untuk mengekspresikan karakter Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Tujuan Luther adalah untuk memungkinkan para katekumen melihat diri mereka sendiri sebagai suatu objek personal dari karya tiga pribadi Tritunggal (Trinitas), yang masing-masingnya berkarya dalam kehidupan setiap katekumen.[135] Dalam apa yang dilakukannya tersebut, Luther memerikan Tritunggal bukan sebagai suatu doktrin untuk dipelajari, namun sebagai pribadi-pribadi untuk dikenal. Bapa mencipta, Putra menebus, dan Roh menguduskan, satu kesatuan ilahi dengan pribadi-pribadi yang khas. Keselamatan berasal dari Bapa dan menarik orang untuk percaya kepada Bapa. Perlakuan Luther pada Kredo Para Rasul perlu dipahami dalam konteks Dekalog (Sepuluh Perintah Allah) dan Doa Bapa Kami, yang juga merupakan bagian dari ajaran kateketik Lutheran.[135] Penerjemahan Alkitab![]() Luther telah memublikasikan terjemahan Perjanjian Baru berbahasa Jerman karyanya pada tahun 1522, sementara ia dan para kolaboratornya menyelesaikan terjemahan Perjanjian Lama berbahasa Jerman pada tahun 1534, ketika keseluruhan Alkitab karyanya dipublikasikan. Ia senantiasa berupaya untuk memperbaiki terjemahan tersebut sampai akhir hayatnya.[136] Telah ada orang-orang lain yang menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jerman, namun Luther menyesuaikan terjemahannya dengan doktrinnya sendiri.[137] Saat ia dikritik karena menyisipkan kata "saja" setelah kata "iman" dalam Roma 3:28,[138] ia berargumen di antaranya: "Teks itu sendiri dan signifikansi St. Paulus begitu memerlukan dan menuntutnya. Sebab dalam bagian itu secara khusus ia menyinggung pokok utama doktrin Kristen, yaitu, bahwa kita dibenarkan karena iman dalam Kristus tanpa perbuatan apa saja dari Hukum [Taurat]. ... Namun ketika perbuatan-perbuatan ditiadakan sama sekali – dan itu berarti bahwa iman saja membenarkan – siapa pun yang akan berbicara secara langsung dan jelas tentang peniadaan perbuatan-perbuatan ini akan harus mengatakan, 'Iman saja membenarkan kita, dan bukan perbuatan'."[139] Hasil penerjemahan Luther menggunakan varian bahasa Jerman yang dituturkan di tempat kedudukan kanselir Sachsen, yang dapat dimengerti oleh orang-orang Jerman utara maupun selatan.[140] Ia bermaksud agar bahasa langsungnya yang kuat menjadikan Alkitab dapat diakses oleh orang Jerman pada umumnya, "karena kita sedang menghilangkan halangan-halangan dan kesulitan-kesulitan sehingga orang lain dapat membacanya tanpa hambatan."[141] Diterbitkan pada saat meningkatnya permintaan akan publikasi-publikasi berbahasa Jerman, versi Luther dengan cepat menjadi suatu terjemahan Alkitab yang populer dan berpengaruh. Dengan demikian, karya tersebut memberi suatu kontribusi yang signifikan pada evolusi dari bahasa dan sastra Jerman.[142] Dilengkapi dengan berbagai catatan dan kata pengantar oleh Luther, serta dengan beragam cukil kayu oleh Lucas Cranach yang berisi citra anti kepausan, karyanya memainkan suatu peranan penting dalam penyebaran doktrin Luther di seluruh Jerman.[143] Alkitab Luther memengaruhi timbulnya terjemahan-terjemahan vernakular yang lain, seperti Alkitab berbahasa Inggris karya William Tyndale (1525 dan seterusnya), suatu pelopor dari Alkitab Versi Raja James (KJV).[144] Penggubah himne![]() Luther adalah seorang himnodis yang produktif, yang menulis himne-himne seperti "Ein feste Burg ist unser Gott" ("Allahmu Benteng Yang Teguh"), berdasarkan Mazmur 46, dan "Vom Himmel hoch, da komm ich her" ("Jauh dari Sorga datangKu"), berdasarkan Lukas 2:11–12.[145] Luther mempertalikan seni tinggi dan musik rakyat, juga segenap kelas, rohaniwan dan awam, pria, wanita, dan anak-anak. Sarana pilihannya untuk pertalian ini adalah nyanyian himne-himne Jerman dalam kaitannya dengan ibadah, sekolah, rumah, dan bidang publik.[146] Ia sering kali mengiringi himne-himne yang dinyanyikan dengan sebuah kecapi, kelak diciptakan kembali sebagai waldzither yang menjadi suatu alat musik nasional Jerman pada abad ke-20.[147] Himne-himne Luther kerap distimulasi oleh peristiwa-peristiwa tertentu dalam hidupnya dan Reformasi Protestan yang tengah berlangsung. Hal itu bermula sejak ia mendengar eksekusi Johann Esch dan Heinrich Voes, orang-orang pertama yang dieksekusi oleh Dewan Brabant karena menganut pandangan Lutheran, menggerakkan Luther untuk menulis himne "Ein neues Lied wir heben an", yang umumnya dikenal dalam bahasa Inggris melalui terjemahan John C. Messenger dengan judul dan baris pertamanya yang berbunyi "Flung to the Heedless Winds" serta dinyanyikan untuk lagu populer Ibstone yang digubah pada 1875 oleh Maria C. Tiddeman.[148] Himne Luther tahun 1524, "Wir glauben all an einen Gott" ("Kita Semua Percaya pada Satu Allah Benar"), merupakan suatu pengakuan iman dalam tiga-stanza yang adalah versi awal penjelasan Kredo Para Rasul dalam tiga-bagian oleh Luther pada 1529 di dalam Katekismus Kecil. Himne Luther, yang diadaptasi dan diperluas dari suatu himne Jerman terdahulu yang bertemakan pengakuan iman, mulai digunakan secara luas dalam liturgi-liturgi vernakular Lutheran pada awal tahun 1525. Himnal-himnal (buku kumpulan himne) Lutheran abad ke-16 juga mencakup "Wir glauben all" di antara himne-himne kateketik, kendati himnal-himnal abad ke-18 lebih cenderung melabelkan himne tersebut Trinitarian daripadan kateketik, dan kalangan Lutheran abad ke-20 jarang menggunakan himne tersebut karena melodinya dianggap sulit.[146] Himne Luther tahun 1538 yang bertema Doa Bapa Kami, "Vater unser im Himmelreich", bersesuaian secara tepat dengan penjelasan Luther tentang doa ini dalam Katekismus Kecil, dengan satu stanza untuk masing-masing dari ketujuh permohonan doa, ditambah stanza-stanza pembuka dan penutup. Himne tersebut berfungsi sebagai suatu komposisi liturgis Doa Bapa Kami dan sebagai suatu sarana untuk mengkaji kemungkinan-kemungkinan seputar pertanyaan-pertanyaan katekismus tertentu. Manuskrip yang masih terlestarikan menunjukkan adanya beberapa revisi, memperlihatkan perhatian Luther untuk mengklarifikasi serta memperkuat teks tersebut dan untuk menyediakan suatu lagu populer yang sesuai untuk berdoa. Gubahan-gubahan lain Doa Bapa Kami dari abad ke-16 dan ke-20 telah mengadopsi lagu Luther tersebut, kendati teks-teks modern jauh lebih pendek.[149] Luther menulis "Aus tiefer Not schrei ich zu dir" ("Dari jurang yang dalam aku berseru kepada-Mu") pada tahun 1523 sebagai versi himne dari Mazmur 130 dan mengirimkannya sebagai satu contoh guna mendorong rekan-rekannya untuk menulis himne-mazmur demi penggunaan dalam ibadah Jerman. Dalam suatu kolaborasi dengan Paul Speratus, himne tersebut dan tujuh himne lainnya diterbitkan dalam Achtliederbuch, himnal Lutheran pertama. Pada 1524, Luther mengembangkan mazmur aslinya yang terdiri dari empat stanza, yang diparafrasakan ke dalam suatu himne Reformasi Protestan yang terdiri dari lima stanza dengan pengembangan tema "kasih karunia saja" secara lebih lengkap. Karena mengekspresikan doktrin penting Reformasi Protestan, versi "Aus tiefer Not" yang diperluas ini ditetapkan sebagai satu komponen reguler dari beberapa liturgi Lutheran regional dan banyak digunakan saat pemakaman, termasuk pemakaman Luther sendiri. Bersama dengan versi himne Erhart Hegenwalt dari Mazmur 51, himne Luther yang diperluas juga diadopsi untuk penggunaan dengan bagian kelima katekismus Luther, mengenai pengakuan dosa.[150] Luther menulis"Ach Gott, vom Himmel sieh darein" ("Ya Allah, pandanglah dari langit"). "Nun komm, der Heiden Heiland", yang didasarkan pada Veni redemptor gentium karya St. Ambrosius, menjadi himne utama (Hauptlied) untuk Adven. Ia mengubah A solus ortus cardine menjadi "Christum wir sollen loben schon" dan Veni Creator Spiritus menjadi "Komm, Gott Schöpfer, Heiliger Geist".[151] Ia menulis dua himne tentang Sepuluh Perintah Allah, "Dies sind die heilgen zehn Gebot" dan "Mensch, willst du leben seliglich". "Gelobet seist du, Jesu Christ" karyanya ("Puji bagi-Mu, Yesus Kristus") menjadi himne utama untuk Natal. Ia menulis "Nun bitten wir den Heiligen Geist" untuk Pentakosta, dan mengadopsi "Christ ist erstanden" (Kristus bangkit) untuk Paskah, berdasarkan Victimae paschali laudes. "Mit Fried und Freud ich fahr dahin", suatu parafrasa dari Nunc dimittis, dimaksudkan untuk Purifikasi, namun menjadi satu himne pemakaman juga. Ia memparafrasakan Te Deum sebagai "Herr Gott, dich loben wir" dengan suatu bentuk melodi yang disederhanakan dan menjadi dikenal sebagai Te Deum Jerman. Himne Luther tahun 1541, "Christ unser Herr zum Jordan kam", merefleksikan struktur dan substansi dari kumpulan pertanyaan dan jawaban Luther mengenai baptisan di dalam Katekismus Kecil. Luther mengadopsi satu lagu populer karya Johann Walter yang telah ada sebelumnya yang dikaitkan dengan suatu komposisi himne dari Mazmur 67; komposisi himne tersebut oleh Wolf Heintz yang terdiri dari empat bagian digunakan untuk mengenalkan Reformasi Lutheran di Halle pada 1541. Para pengkhotbah dan komponis abad ke-18, termasuk J. S. Bach, menggunakan himne ini sebagai satu subjek untuk karya mereka sendiri, walaupun secara objektif teologi baptisan yang terkandung di dalamnya digantikan dengan himne-himne yang lebih subjektif di bawah pengaruh pietisme Lutheran abad ke-19 akhir.[146] Himne-himne Luther dimasukkan dalam himnal-himnal Lutheran awal dan menyebarkan gagasan-gagasan Reformasi Protestan. Ia menyuplai 4 dari 8 lagu himne Lutheran pertama (Achtliederbuch), 18 dari 26 lagu Erfurt Enchiridion, dan 24 dari 32 lagu dalam himnal pertama untuk paduan suara dengan komposisi-komposisi oleh Johann Walter, Eyn geystlich Gesangk Buchleyn, semuanya terbit tahun 1524. Himne-himne Luther mengilhami para komponis untuk menulis musik. Johann Sebastian Bach memasukkan beberapa bait sebagai koral dalam kantata-kantatanya dan mendasarkan sepenuhnya kantata-kantata koral karyanya pada bait-bait tersebut, yaitu Christ lag in Todes Banden, BWV 4, kemungkinan tahun 1707, dalam siklus tahunan keduanya (1724 sampai 1725) Ach Gott, vom Himmel sieh darein, BWV 2, Christ unser Herr zum Jordan kam, BWV 7, Nun komm, der Heiden Heiland, BWV 62, Gelobet seist du, Jesu Christ, BWV 91, dan Aus tiefer Not schrei ich zu dir, BWV 38, kemudian Ein feste Burg ist unser Gott, BWV 80, dan pada 1735 Wär Gott nicht mit uns diese Zeit, BWV 14. Tentang jiwa setelah kematian![]() Berbeda dengan pandangan-pandangan dari Yohanes Calvin[152] dan Philipp Melanchthon,[153] sepanjang hidupnya Luther menyatakan bahwa adalah bukan doktrin keliru untuk meyakini kalau jiwa seorang Kristen tertidur setelah terpisahkan dari tubuhnya dalam kematian badani.[154] Karenanya ia membantah penafsiran-penafsiran sejumlah bagian Alkitab menurut tradisi, seperti penafsiran atas perumpamaan tentang orang kaya dan Lazarus.[155] Hal ini juga menyebabkan Luther menolak gagasan terkait siksaan-siksaan bagi jiwa orang percaya yang telah meninggal dunia: "Adalah cukup bagi kita untuk mengetahui bahwa jiwa tidak meninggalkan tubuhnya untuk diancam dengan siksaan dan hukuman neraka, namun memasuki suatu kamar tidur yang telah dipersiapkan agar mereka tidur dalam damai."[156] Ia juga menolak keberadaan purgatorium, yang dalam pandangan Gereja Katolik perlu dialami jiwa-jiwa Kristen yang membutuhkan penderitaan penyilihan setelah kematian badani.[157] Luther menegaskan kesinambungan identitas personal seseorang di luar kematian badani. Dalam Pasal-Pasal Schmalkalden karyanya, ia mendeskripsikan kalau orang-orang kudus yang telah meninggal dunia saat ini tinggal "dalam kuburan-kuburan mereka dan dalam surga."[158] Seorang teolog Lutheran bernama Franz Pieper mengamati bahwa ajaran Luther tentang keadaan dari jiwa orang Kristen setelah kematian badani berbeda dengan teolog-teolog Lutheran setelahnya seperti Johann Gerhard.[159] Gotthold Ephraim Lessing (1755) sebelumnya telah sampai pada kesimpulan yang sama dalam analisisnya tentang ortodoksi Lutheran terkait isu ini.[160] Tafsir Kitab Kejadian yang ditulis Luther berisi satu bagian yang menyimpulkan bahwa "jiwa tidak tertidur (anima non sic dormit), tetapi terjaga (sed vigilat) dan mengalami penglihatan-penglihatan".[161] Francis Blackburne pada tahun 1765 berpendapat bahwa John Jortin salah membaca ini dan bagian-bagian lain dari tulisan Luther,[162] sementara Gottfried Fritschel pada tahun 1867 menunjukkan bahwa bagian itu sebenarnya mengacu pada jiwa seseorang "dalam kehidupan ini" (homo enim in hac vita) yang lelah akibat kerja hariannya (defatigus diurno labore), yang pada malam hari memasuki kamar tidurnya (sub noctem intrat in cubiculum suum) dan terganggu oleh mimpi-mimpi dalam tidurnya.[163] Terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh Henry Eyster Jacobs pada tahun 1898 berbunyi:
Kontroversi sakramentarian dan Musyawarah Marburg![]() Pada bulan Oktober 1529, Philipp I, Landgraf Hessen, mengadakan suatu pertemuan majelis teolog-teolog Jerman dan Swiss pada Musyawarah Marburg, untuk membentuk kesatuan doktrin dalam negara-negara Protestan yang baru timbul.[165] Kesepakatan dicapai dalam empat belas dari lima belas pokok, pengecualiannya adalah hakikat dari Perjamuan Kudus (Ekaristi) – sakramen Perjamuan Tuhan—suatu isu penting bagi Luther.[166] Para teolog, termasuk Ulrich Zwingli, Philipp Melanchthon, Martin Bucer, dan Yohanes Oecolampadius, berbeda pendapat dalam hal signifikansi kata-kata yang diucapkan oleh Yesus dalam Perjamuan Malam Terakhir: "Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu" dan "Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku" (1 Korintus 11:23–26).[167] Luther bersikeras pada Kehadiran Nyata tubuh dan darah Kristus dalam roti dan anggur yang dikuduskan, yang disebutnya persatuan sakramental,[168] sementara para seterunya meyakini bahwa Allah sekadar hadir secara rohaniah ataupun simbolis.[169] Zwingli, sebagai contoh, menyangkal kemampuan Yesus untuk berada di lebih dari satu tempat pada satu waktu bersamaan. Sedangkan Luther menekankan omnipresensi (kehadiran di mana-mana pada saat bersamaan) kodrat manusia Yesus.[170] Menurut transkrip-transkrip, perdebatan tersebut sesekali berubah menjadi konfrontatif. Mengutip perkataan Yesus bahwa "daging sama sekali tidak berguna" (Yohanes 6:63), Zwingli berkata, "Bagian ini mematahkan lehermu". "Jangan terlalu bangga," balas Luther, "Leher-leher Jerman tidak semudah itu patah. Ini Hessen, bukan Swiss."[169] Di atas mejanya Luther menulis kata-kata "Hoc est corpus meum" ("Inilah tubuh-Ku") dengan kapur tulis, untuk tetap menunjukkan pendiriannya yang kukuh dalam hal ini.[171] Meskipun terdapat ketidaksepakatan dalam hal Perjamuan Kudus, Musyawarah Marburg membuka jalan bagi penandatanganan Pengakuan Iman Augsburg, dan bagi pembentukan Liga Schmalkalden pada tahun berikutnya oleh para bangsawan Protestan terkemuka seperti Johann dari Sachsen, Philipp dari Hessen, dan Georg, Markgraf Brandenburg-Ansbach. Bagaimanapun, kota-kota Swiss tidak menandatangani kesepakatan-kesepakatan tersebut.[172] EpistemologiBeberapa akademisi menyatakan kalau Luther mengajarkan bahwa iman dan akal (daya pikir, nalar) bersifat antitesis dalam pengertian bahwa pertanyaan-pertanyaan seputar iman tidak dapat diklarifikasi oleh akal. Ia menulis, "Semua pasal dari iman Kristen kita, yang telah Allah wahyukan kepada kita di dalam Firman-Nya, adalah benar-benar mustahil, absurd, dan keliru di hadapan akal."[173] dan "Akal sama sekali memberikan kontribusi pada iman. [...] Karena akal adalah musuh terbesar iman; akal tidak pernah sampai pada bantuan akan hal-hal rohani."[174] Namun, meski tampaknya kontradiktif, ia juga menulis dalam karyanya di kemudian hari bahwa akal manusia "berusaha untuk tidak melawan iman, ketika dicerahkan, bahkan lebih menggiatkan dan memajukannya",[175] sehingga klaim-klaim bahwa ia seorang fideis menjadi bahan perdebatan. Bagaimanapun, keilmuan Lutheran kontemporer menemukan suatu realitas yang berbeda dalam pandangan Luther. Luther dikatakan cenderung berupaya untuk memisahkan |