Ziarah Rahmat
Ziarah Rahmat adalah pemberontakan rakyat di bawah pimpinan Robert Aske yang meletus di Yorkshire pada bulan Oktober 1536, kemudian merembet ke berbagai daerah di Inggris Utara, antara lain Cumberland, Northumberland, Durham, dan Lancashire. "Pemberontakan yang paling parah dari semua pemberontakan yang meletus pada zaman kulawangsa Tudor" ini merupakan protes terhadap keputusan Raja Henry VIII untuk memisahkan Gereja Inggris dari Gereja Katolik, pembubaran biara-biara kecil, dan kebijakan-kebijakan Perdana Menteri Thomas Cromwell, maupun berbagai macam ketidakpuasan masyarakat di bidang politik, sosial, dan ekonomi.[2] Menyusul penumpasan pemberotakan Lincolnshire tahun 1536 yang berumur pendek itu, pandangan sejarah tradisional mencitrakan Ziarah Rahmat sebagai "protes massal yang spontan dari anasir konservatif sebagai wujud kemarahan masyarakat Inggris Utara terhadap perubahan-perubahan mendadak yang dipicu oleh Raja Henry VIII". Para sejarawan mengendus keberadaan faktor-faktor ekonomi yang turut menjadi pemicu.[3] PendahuluanAbad ke-16Pada zaman kulawangsa Tudor, terjadi peningkatan umum populasi di berbagai pelosok Inggris, yang terkonsentrasi di daerah-daerah sekitar Yorkshire. Peningkatan populasi tersebut mendorong terjadinya serangkaian tindakan pemagaran tanah yang sebelumnya merupakan tanah umum. Meningkatnya kompetisi dalam mendapatkan sumber daya, kurangnya akses kepada tanah-tanah yang sebelumnya merupakan tanah umum, dan kian membludaknya jumlah tenaga kerja mengakibatkan harga barang-barang melonjak dan pengangguran meningkat, sehingga masyarakat pun kian hari kian resah.[4] Gagal panen yang terjadi pada tahun 1535, setahun sebelum pemberontakan Ziarah Rahmat meletus, mendorong timbulnya serangkaian kerusuhan terkait biji gandum di Craven pada bulan Juni 1535 dan di Somerset pada bulan 1536, tempat harga biji gandum melonjak hingga 82% lebih tinggi daripada harga biji gandum pada tahun 1534.[4] Pemberontakan Lincolnshire dan kerusuhan-kerusuhan awalPemberontakan Lincolnshire adalah pemberontakan berumur pendek melawan keputusan Raja Henry VIII untuk mengeluarkan Gereja Inggris dari ruang lingkup kewenangan Sri Paus, dan tindakan Thomas Cromwell membubarkan biara-biara. Kedua kebijakan tersebut dirancang dengan tujuan menegakkan kemandirian negara dalam kehidupan beragama dan supremasi raja dalam urusan agama. Selain itu, pembubaran biara-biara juga menggelembungkan pundi-pundi pribadi raja.[5] Selain tanah milik gereja, para komisaris pemerintah juga merampas peranti logam mulia, batu-batu permata, salib-salib emas, dan lonceng-lonceng gereja. Cawan-cawan perak diganti dengan cawan-cawan timah. Beberapa cawan perak merupakan persembahan syukur atau persembahan untuk mengenang mendiang sanak saudara yang diterima gereja dari keluarga-keluarga setempat. Terdapat pula penentangan terhadap Anggaran Dasar Hak Pakai yang baru saja disahkan demi memulihkan bea raja yang didasarkan atas penguasaan tanah.[6] Pada tanggal 30 September 1536, di hadapan sidang rohaniwan, Doktor John Raynes, Kanselir Keuskupan Lincoln sekaligus salah seorang komisaris yang diangkat Thomas Cromwell, memaparkan regulasi-regulasi dan pajak-pajak baru yang berdampak bagi mereka. Salah seorang anak buahnya kian memperkeruh suasana pemaparan syarat-syarat baru terkait standar akademik rohaniwan dengan ucapannya, "bacalah bukumu, kalau tidak mau tanggung konsekuensinya,"[7] sehingga menimbulkan rasa was-was di dalam hati beberapa hadirin yang kurang tinggi pendidikannya. Kalimat-kalimat yang ia utarakan dalam pemaparan tersebut serta desas-desus penyitaan dengan cepat tersiar ke seluruh Lindsey, dan dalam waktu singkat sampai pula ke Louth dan Horncastle. Pemberontakan bermula pada tanggal 1 Oktober 1536[2] di Gereja Santo Yakobus, Louth, seusai sembahyang senja, tidak lama sesudah pemerintah menutup Biara Louth Park. Tujuan yang digembar-gemborkan dalam pemberontakan ini adalah untuk memprotes pembubaran biara-biara, bukan untuk melawan raja.[6] Di bawah pimpinan seorang rahib pengrajin sepatu bernama Nicholas Melton,[8] diperkirakan sekitar 22.000 orang ikut memberontak.[9] Pemberontakan dengan cepat menuai dukungan di Horncastle, Market Rasen, Caistor, dan kota-kota lain di sekitarnya. Doktor John Raynes, Kanselir Keuskupan Lincoln, yang tengah terbaring sakit di Bolingbroke, diseret turun dari ranjangnya di wisma kapelan, lantas dikeroyok massa hingga tewas. Berbagai daftar yang disimpan sang komisaris dirampas dan dibakar.[6] Massa yang marah melihat tindakan-tindakan para komisaris menuntut pengumpulan subsidi dihentikan, Sepuluh Pasal dihapuskan, penutupan rumah-rumah religius diakhiri, pajak-pajak ditiadakan pada masa damai, para ahli bidat dicopot dari jajaran aparat pemerintah, dan Anggaran Dasar Hak Pakai dicabut. Dengan dukungan tuan-tuan tanah setempat, para pengunjuk rasa yang diperkirakan maksimal berjumlah 40.000 orang, berkirab ke Lincoln dan menduduki Gereja Katedral Lincoln. Mereka menuntut kemerdekaan beribadat selaku umat Katolik, dan perlindungan atas harta benda gereja-gereja di Lincolnshire.[9] Protes tersebut secara efektif berakhir pada tanggal 4 Oktober 1536, sesudah raja menurunkan titah kepada massa pengunjuk rasa untuk membubarkan diri kalau tidak mau berhadapan dengan pasukan Charles Brandon, Adipati Suffolk Ke-1, yang sudah dikerahkan. Pada tanggal 14 Oktober, hanya segelintir pengunjuk rasa yang masih bertahan di Lincoln. Menyusul pemberontakan tersebut, Vikaris Louth dan Kapten Cobbler, dua tokoh utama pemberontakan, ditangkap dan dihukum gantung di Tyburn.[5] Kebanyakan tokoh pemberontakan setempat dieksekusi mati sepanjang 12 hari berikutnya, termasuk William Moreland atau Borrowby, salah seorang rahib Biara Louth Park yang sudah dibubarkan pemerintah.[10] Thomas Moigne, pengacara asal Willingham dan salah seorang wakil rakyat Lincoln dihukum gantung, seret, dan potong empat lantaran ikut terlibat.[5] Pemberontakan Lincolnshire turut mengilhami pencetusan Ziarah Rahmat yang lebih luas. Ziarah Rahmat dan awal kemelut kulawangsa Tudor"Ziarah Rahmat adalah pemberontakan besar-besaran melawan kebijakan-kebijakan kepala negara dan orang-orang dekat Thomas Cromwell."[11] Pergerakan tersebut tercetus pada tanggal 13 Oktober 1536, segera sesudah Pemberontakan Lincolnshire berakhir gagal. Baru pada tanggal tersebut istilah 'Ziarah Rahmat' digunakan. Para sejarawan telah mengidentifikasi beberapa tema utama pemberontakan Ziarah Rahmat sebagai berikut: EkonomiAnggaran Dasar Hak Pakai yang baru disahkan pemerintah menimbulkan keprihatikan di kalangan tuan-tuan tanah Inggris Utara. Anjloknya hasil panen pada tahun 1535 juga mengakibatkan harga pangan melonjak, sehingga mungkin saja menjadi salah satu faktor yang turut mencetuskan ketidakpuasan masyarakat. Pembubaran biara-biara juga memengaruhi fakir miskin di daerah itu, lantaran banyak fakir miskin yang bergantung kepada bantuan pangan dan papan dari biara. Raja Henry VIII juga juga sedang kemaruk mengumpulkan lebih banyak dana bagi kepentingan kepala negara lewat aturan perpajakan, penyitaan tanah, dan depresiasi nilai barang. Banyak pajak yang dikenakan atas kepemilikan harta dan penghasilan, khususnya di daerah-daerah sekitar Cumberland dan Westmoreland, tempat kutip paksa uang sewa dan gressums, yakni uang yang dibayarkan kepada kepala negara pada saat seseorang memperoleh hak sewa tanah lewat warisan, jual-beli, atau baru menjadi penyewa, kian lama kian lumrah terjadi.[12] PolitikBanyak orang di Inggris yang memandang keji cara-cara Raja Henry VIII membuang permaisurinya, Catalina de Aragón.[13] Sekalipun Anne Boleyn, permaisuri yang menggantikan Catalina, tidak disukai rakyat lantaran didesas-desuskan beragama Protestan, eksekusi mati terhadap dirinya pada tahun 1536 atas dakwaan zina dan pengkhianatan semakin meredupkan pamor kepala negara maupun nama baik Raja Henry VIII secara pribadi. Kaum bangsawan pun jengah melihat pencapaian karier Thomas Cromwell yang "terlahir jelata". AgamaBagi banyak orang di Inggris Utara, gereja lokal merupakan pusat kehidupan bermasyarakat. Banyak rakyat tani biasa yang khawatir peranti logam mulia gereja mereka akan disita pemerintah. Tersiar pula desas-desus di tengah masyarakat pada masa itu bahwa upacara pembaptisan pun akan dikenai pajak. Sepuluh Pasal yang baru saja disahkan dan tata ibadat baru yang dikeluarkan pemerintah pada tahun 1535 juga secara resmi membuat doktrin resmi Gereja Inggris lebih bercorak Protestan, sehingga bertentangan dengan akidah Katolik mayoritas rakyat Inggris Utara. Runtut peristiwa![]() Robert Aske dipilih menjadi pemimpin pergerakan. Ia adalah seorang pengacara hukum adat dari London, penghuni Pesanggrahan Mahkamah, dan anak laki-laki paling kecil dari Sir Robert Aske asal Aughton, tidak jauh dari Selby. Keluarganya berasal dari Aske Hall, Richmondshire, dan sudah lama bermukim di Yorkshire. Pada tahun 1536, Robert Aske memimpin 9.000 pengikut, masing-masing sudah mengikrarkan Sumpah Orang Terhormat, memasuki dan menduduki kota York.[14][15] Ia mengupayakan pemulangan para rahib dan rubiah yang terusir ke rumah-rumah mereka yang disita, sekaligus mengusir penghuni baru yang ditempatkan pemerintah, dan memulihkan kehidupan beragama khas Katolik.[16] Ketika mendengar kabar bahwa para rahib sudah memugar Biara Sawley, raja memerintahkan Edward Stanley, Earl Derby Ke-3, untuk "menciduk paksa abas beserta para rahib dan tanpa bertanguh-tangguh lagi langsung menggantung mereka selagi pakaian biara masih melekat di badan mereka".[17] Meskipun demikian, pemberontakan justru semakin menghebat sampai-sampai pimpinan pihak pemerintah, Thomas Howard, Adipati Norfolk Ke-3, dan George Talbot, Earl Shrewsbury Ke-4, harus mengupayakan perundingan dengan pihak pemberontak di Scawsby Leys, tidak jauh dari Doncaster, tempat Robert Aske telah menghimpun 30.000 sampai 40.000 orang.[16] ![]() Pada awal bulan Desember 1536, Ziarah Rahmat menggelar rapat di Puri Pontefract untuk merancang petisi yang akan diajukan kepada Raja Henry VIII bersama sedaftar tuntutan mereka. Dua puluh empat pasal untuk raja, yang disebut pula "Petisi Bersama", diserahkan kepada Adipati Norfolk untuk disampaikan ke hadapan raja. Adipati Norfolk berjanji akan menyampaikannya. Ia juga menjanjikan pengampunan umum dan penyelenggaraan sidang wakil rakyat di York dalam jangka waktu setahun, serta penangguhan penutupan biara sampai dengan penyelenggaraan sidang wakil rakyat. Lantaran termakan janji-janji Adipati Norfolk, Robert Aske pun membubarkan para pengikutnya dan mengakhiri Ziarah Rahmat.[16] Jesse Childs (penulis biografi Earl Surrey, anak Adipati Norfolk) secara khusus menerangkan bahwa Raja Henry VIII tidak memberikan wewenang kepada Thomas Howard, Adipati Norfolk Ke-3, untuk meladeni keluh kesah pemberontak. Para seteru Adipati Norfolk membisiki raja bahwa keluarga Howard mampu menumpas pemberontakan rakyat tani kalau mereka memang mau, sehingga menimbulkan kesan seolah-olah Adipati Norfolk sebenarnya bersimpati kepada pemberontak. Adipati Norfolk dan Earl Shrewsbury kalah jumlah. Anak buah Adipati Norfolk berjumlah 5000 orang dan anak buah Earl Shrewsbury berjumlah 7000 orang, tetapi jumlah peserta Ziarah Rahmat mencapai 40.000 orang. Begitu melihat jumlah peziarah yang sedemikan banyaknya, Adipati Norfolk pun mengupayakan perundingan dan mengumbar janji demi menghidarkan pihaknya dari pembantaian. PenumpasanPada bulan Februari 1537, pecah pemberontakan baru (tanpa seizin Robert Aske) di Cumberland dan Westmorland yang disebut Pemberontakan Bigod, dipimpin oleh Sir Francis Bigod asal Settrington, North Riding of Yorkshire. Lantaran tahu bahwa pihak pemberontak tidak akan termakan janji-janji yang diumbarnya atas nama raja, Adipati Norfolk buru-buru menumpas pemberontakan baru tersebut sesudah para peziarah tidak menepati janji mereka untuk membubarkan diri. Pemberontakan Bigod berakhir gagal. Raja Henry VIII memerintahkan penangkapan Sir Francis Bigod, Robert Aske, dan beberapa pemberontak lain seperti Tuan Besar Thomas Darcy, Tuan Besar John Hussey yang menjabat sebagai Kepala Juru Minuman Inggris, Sir Thomas Percy, dan Sir Robert Constable. Semuanya didakwa berkhianat dan dieksekusi mati. Pada tahun 1537, Sir Francis Bigod dihukum gantung di Tyburn; Thomas Darcy dan Hohn Hussey dihukum pancung; Thomas Moigne, wakil rakyat Lincoln dihukum gantung, seret, dan potong empat; Sir Robert Constable dihukum gantung dalam sangkar besi; dan Robert Aske dihukum gantung dalam sangkar besi di York. Secara keseluruhan ada 216 orang yang dieksekusi mati, ada beberapa orang tuan besar dan kesatria aswasada (termasuk Sir Thomas Percy, Sir Stephen Hamerton, Sir William Lumley, Sir John Constable, dan Sir William Constable), 7 orang abas (Adam Sedbar, Abas Jervaulx, William Trafford, Abas Sawley, John Paslew, Abas Whalley, Matthew Mackarel, Abas Barlings merangkap Uskup Tituler Kalsedon, William Thirsk, Abas Fountains merangkap Prior Bridlington), 38 orang rahib, dan 16 orang pastor paroki. Sir Nicholas Tempest, Jagawana Hutan Bowland, dihukum gantung di Tyburn. Sir John Bulmer dihukum gantung, seret, dan potong empat, sementara istrinya, Margaret Stafford, dihukum bakar hidup-hidup di tiang pancang. Menjelang akhir tahun 1538, Sir Edward Neville, Pengurus Tali Air (penilik pemerintah), dihukum pancung. Kematian tokoh-tokoh pimpinan memudahkan Adipati Norfolk untuk menumpas pemberontakan.[16] Darurat militer pun diberlakukan di daerah-daerah tempat terjadinya pemberontakan. Adipati Norfolk mengeksekusi mati kurang-lebih 216 aktivis (misalnya Tuan Besar Darcy, yang berusaha menimbulkan kesan seolah-olah Adipati Norfolk adalah simpatisan pemberontak) yang terdiri atas rohaniwan, rahib, maupun orang kebanyakan.[18] Jalannya sidang pengadilan dan eksekusi mati terhadap para tokoh utama pemberontakan disajikan oleh penulis Babad Wriothesley sebagai berikutː[9]:63-4[19][2]
HasilKegagalanPemberontakan Lincolnshire dan Ziarah Rahmat secara historis telah dipandang sebagai usaha pemberontakan yang gagal karena alasan-alasan berikut ini:
KeberhasilanBeberapa keberhasilan yang jarang diketahui orang adalah sebagai berikut:
KepemimpinanKeberadaan beberapa orang bangsawan dan tuan tanah di jajaran kepemimpinan Pemberontakan Lincolnshire maupun Ziarah Rahmat membuat para sejarawan cenderung berpendapat bahwa pemberontakan-pemberontakan tersebut hanya mendapatkan legitimasinya lewat keterlibatan kaum ningrat dan orang baik-baik Inggris Utara, misalnya Tuan Besar Darcy, Tuan Besar Hussey, dan Robert Aske.[24] Meskipun demikian, beberapa sejarawan, antara lain M. E. James, C. S. L. Davies, dan Andy Wood, yakin bahwa seluk-beluk kepemimpinan dalam kedua pemberontakan tersebut sesungguhnya lebih rumit daripada itu. James dan Davies memandang pemberontakan-pemberontakan tahun 1536 itu terlahir dari keluh kesah bersama seluruh lapisan masyarakat. Rakyat jelata meradang lantaran biara-biara ditutup dengan Undang-Undang Pembubaran. Kaum ningrat Inggris Utara merasa hak-hak mereka direnggut dalam Undang-Undang Tahun 1535–1536, yang membuat mereka kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah Kerajaan Inggris. James menganalisis bagaimana rakyat jelata dan kaum ningrat memanfaatkan satu sama lain sebagai kekuatan peligitimasi di dalam suatu masyarakat yang sudah sangat tertata. Kaum ningrat berlindung di balik kekuatan rakyat jelata dengan dalih terancam, mengingat rakyat jelata dianggap tidak dapat dipersalahkan atas tindakan-tindakan mereka lantaran tidak memiliki pilihan politik. Kenyataan ini dimanfaatkan kaum ningrat sebagai ajang untuk meluahkan keluh-kesah, sembari berlagak menjadi korban kekerasan masyarakat. Rakyat jelata memanfaatkan kaum ningrat untuk membungkus luahan keluh-kesah mereka dengan kesan ketaatan, karena "para pemimpin" pemberontakan lebih tinggi kelas sosialnya.[25] Davies menganggap kepemimpinan pemberontakan-pemberontakan tahun 1536 lebih merupakan suatu kohesi. Keluh kesah bersama seputar para penasihat yang jahat dan agama mempersatukan golongan atas dan golongan bawah di dalam perjuangan mereka. Begitu kaum ningrat dihadapkan pada kekuatan tempur Raja dan perang habis-habisan, mereka pun memutuskan untuk menyerah, dan dengan demikian mengakhiri kohesi tersebut.[26] Mewakili para sejarawan sosial akhir abad ke-20 yang telah mendapati lebih banyak kiprah dari golongan bawah, sejarawan Andy Wood mengemukakan bahwa rakyat jelata merupakan kekuatan efektif di balik pemberontakan-pemberontakan tersebut. Ia mengemukakan bahwa kekuatan ini berasal dari golongan yang sangat diketepikan dari sejarah, yakni golongan orang baik-baik dan golongan petani kaya. Ia yakin bahwa golongan-golongan tersebutlah yang memimpin kedua-dua pemberontakan karena memiliki lebih banyak kapasitas politik dan pertimbangan yang matang.[27] Daftar eksekusi matiPascapemberontakan Lincolnshire
Pascaziarah RahmatWakil Prior Biara Cartmel dan beberapa orang kanonik reguler dihukum gantung bersama-sama sepuluh orang warga desa yang mendukung mereka.[28] Para rahib Agustinian dari Biara Hexham yang terlibat dalam Ziarah Rahmat dieksekusi mati.
Pascapemberontakan Bigod
Baca juga
Kutipan
Sumber kutipan dan rujukan umum
Atribusi
Bacaan lanjutanNonfiksi
Fiksi
Pranala luar
|