Peta negara berdasarkan tahun yang ditargetkan untuk mencapai netralitas iklim (emisi nol bersih):
2030
2035
2040
2045
2050
2053
2060
2065
2070
Tidak diketahui atau tidak disebutkan
Sedang didiskusikan Tercapai (diproklamirkan sendiri) Gambar ini menunjukkan tingkat penurunan emisi CO2 global setelah tahun 2024 yang dibutuhkan untuk membatasi peningkatan suhu global hingga 1,5, 1,7, atau 2,0 derajat Celsius tanpa bergantung pada emisi nol bersih.[1]Peta dunia yang menunjukkan realisasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan nomor 13, yaitu indikator 13.A.1: Mobilisasi dana iklim hijau sebesar $100 miliar pada tahun 2018.Pangsa konsumsi energi dari sumber daya terbarukan untuk negara-negara di Uni Eropa dan Wilayah Ekonomi Eropa pada tahun 2020 dan 2021, dengan data tahun 2020 sebagai perbandingan. EU28 (termasuk Britania Raya) telah menjanjikan rerata 20 persen energi terbarukan terealisasi pada tahun 2020, dan EU27 akan mencapai 22 persen.
Target iklim atau ikrar iklim adalah komitmen jangka panjang yang terukur untuk kebijakan iklim dan kebijakan energi dengan tujuan untuk memitigasiperubahan iklim. Para peneliti, terutama yang bekerja di panel iklim PBB, telah mengidentifikasi kemungkinan konsekuensi pemanasan global bagi manusia dan alam pada tingkatan pemanasan yang berbeda. Berdasarkan hal ini, para politikus di berbagai negara telah menyepakati batas target suhu pemanasan global yang bisa dicegah, yang menjadi dasar bagi penyusunan anggaran karbon yang dihitung secara ilmiah serta metode yang dapat diterapkan untuk mencapai target tersebut. Anggaran karbon ini menjadi dasar bagi target emisigas rumah kaca, target untuk produksi energi yang bukan dari bahan bakar fosil dan penggunaan energi yang efisien, serta cakupan langkah-langkah terencana yang dapat diterapkan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Target ini dapat mengikat secara global atau nasional dan diputuskan melalui proses politis.
Setidaknya 164 negara telah menerapkan target iklim dalam legislasi iklim nasional mereka.[2]
Target iklim global
Peta negara-negara berdasarkan target pelarangan penjualan kendaraan baru berbahan bakar fosil:
2020-an
2030-an
2040-an
2050-an
Jumlah pihak yang terhitung di dalam perjanjian lingkungan multilateral.[3]
Target iklim global merupakan target iklim yang disetujui oleh berbagai negara dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB. Terdapat beberapa target iklim yang umumnya dirujuk sebagai patokan target iklim global:
Target untuk tahun 2008 hingga 2012: Dalam Protokol Kyoto pada tahun 1997, 160 negara berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan rata-rata 5,2 persen pada periode 2008 hingga 2012 bila dibandingkan dengan tingkat emisi di tahun 1990.[4]
Target untuk tahun 2013 hingga 2020: Amendemen Protokol Kyoto di Doha menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca setidaknya hingga 18 persen di periode tahun 2013 hingga 2020 bila dibandingkan dengan tingkat emisi di tahun 1990. Berbeda dengan protokol sebelumnya, jumlah negara yang menerapkan amendemen ini lebih sedikit dari sebelumnya.
Dalam konferensi yang sama (dan juga di konferensi setahun setelahnya) 105 negara[6] menandatangani ikrar untuk mengurasi emisi metana sebesar 30 persen pada tahun 2030 bila dibandingkan dengan emisi tahun 2020.[7]
Persetujuan Paris pada tahun 2015 menandatangani ikrar iklim yang tidak mengikat untuk menjaga suhu pemanasan global di bawah 2 derajat Celsius hingga tahun 2100, dan mengupayakan usaha untuk menjaga kenaikan suhu global dibatasi hingga 1,5 derajat saja.
Target emisi atau target pengurangan emisi gas rumah kaca merupakan instrumen kebijakan utama yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca internasional sekaligus menjadi penyangga dari kebijakan iklim.[8][9][10][11][12][13]Target ini mencakup pertimbangan yang mendalam terhadap anggaran emisi dan dihitung menggunakan tingkat pemanasan per emisi standar karbon dioksida, suhu dasar historis, tingkat kepercayaan, dan target suhu rerata global.[14]
"Target emisi" ini dapat dibedakan dari anggaran emisi, karena target emisi dapat ditetapkan secara internasional atau nasional sesuai dengan tujuan lain selain suhu global tertentu. Hal ini mencakup target yang dibuat berdasarkan pertimbangan politis, alih-alih anggaran emisi yang ditentukan secara ilmiah untuk mencapai target suhu tertentu.[15][16]
Penentuan target emisi suatu negara didasarkan pada pertimbangan cermat terhadap kontribusi yang diikrarkan, kelayakan negara secara ekonomi dan sosial, serta kelayakan politik.[17] Anggaran karbon dapat memberikan informasi pada entitas politik suatu negara mengenai berapa banyak karbon yang telah dilepaskan ke udara sebelum mencapai ambang batas suhu tertentu, sementara target emisi secara spesifik memperhitungkan lebih banyak faktor. Cara penentuan target secara pasti berbeda-beda di setiap negara. Variasi target emisi dan waktu pencapaiannya bergantung pada faktor-faktor seperti penghitungan emisi penggunaan lahan, kapasitas penghijauan, dan emisi transportasi di negara tersebut.[18]
Banyaknya cara, anggaran, dan target emisi juga tergantung pada penerapan teknologi untuk mengurangi emisi.[19] Teknologi jenis ini mampu menurunkan emisi bersih negara, meskipun emisi sumber tidak berkurang.
Keefektifan
Banyak negara menerapkan target emisi di atas target ambang emisi yang dihitung secara ilmiah agar tetap berada di bawah ambang batas suhu.[20][21] Pada tahun 2015, banyak negara menjanjikan kontribusi mereka untuk membatasi peningkatan suhu rata-rata global hingga jauh di bawah 2 °C dibandingkan dengan masa sebelum revolusi industri.[22] Meski demikian, banyak penghasil emisi gas rumah kaca terbesar (terutama yang sudah berkomitmen) terus mendorong suhu rata-rata global hingga 4 °C.[20] Beberapa proyeksi ini bertentangan dengan kesepakatan yang dibuat dalam Perjanjian Paris 2015, yang berarti banyak negara tidak menepati kontribusi yang dijanjikan.
Selain itu, efektivitas target emisi dan kebijakan yang menyertainya tidak dapat ditentukan secara pasti.[23] Sebagai contoh, pada negara-negara yang memiliki emisi karbon berbasis konsumsi tinggi, efektivitas target bergantung pada bagaimana kebijakan internasional itu ditegakkan secara ketat, selaras, dan terkoordinasi. Selain itu, banyak kebijakan ambisius yang diusulkan dan disahkan tetapi tidak ditegakkan atau diatur secara praktis, atau memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan. Hal ini dapat dilihat pada skema perdagangan karbon Tiongkok, meskipun tampaknya berpengaruh pada pengurangan emisi berbasis produksi, namun hal ini mendorong alih daya emisi, sehingga menyebabkan adanya ketidakseimbangan transfer karbon antar provinsi di Tiongkok.[24] Evaluasi ETS juga tidak memperhitungkan emisi berbasis konsumsi yang diekspor dari negara tersebut.
Banyak negara bertujuan mencapai emisi nol bersih dalam beberapa dekade mendatang,[18] namun untuk mencapai tujuan ini, perlu ada perubahan radikal dalam infrastruktur energi.[25] Misalnya, di Amerika Serikat, entitas politik berupaya beralih dari pembangkit listrik tenaga berbasis batu bara dan minyak dengan pembangkit listrikberbasis gas alam.[26] Negara lain seperti Belanda diwajibkan oleh Pengadilan Distrik Den Haag untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 25% pada tahun 2020. Pengadilan telah meloloskan inovasi lain untuk mengurangi emisi dioksida sebesar 45% pada tahun 2030.[27] Meski demikian, banyak yang menganggap transisi ini tidak cukup signifikan untuk mencapai emisi nol bersih.[26][28] Perubahan yang lebih signifikan, misalnya penggunaan energi biomassa dengan penangkapan dan penyimpanan karbon disarankan sebagai opsi yang layak untuk transisi emisi nol bersih di berbagai negara.[29][30]
^harrisson, thomas (2017-05-11). "Mapped: Climate change laws around the world". The database, produced by the Grantham Research Institute on Climate Change and the Environment and the Sabin Center on Climate Change Law, includes more than 1,200 relevant policies across 164 countries (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-08-14.