Shinto
![]() Shinto (神道 , Shintō, secara harfiah bermakna "jalan Tuhan") adalah sebuah agama yang berasal dari Jepang.[2] Para cendekiawan keagamaan menggolongkannya sebagai agama Asia Timur; mereka yang menjalankan praktik keagamaannya (praktisi) sering menganggapnya sebagai agama asli Jepang dan agama alam. Para cendekiawan terkadang menyebut para praktisi sebagai "penganut Shinto" walau para penganut sendiri jarang menggunakan istilah tersebut. Shinto tidak dikendalikan oleh suatu otoritas pusat, para praktisi memiliki keyakinan dan praktik keagamaan yang beraneka ragam. Shinto adalah agama politeistik yang mempercayai Kami, entitas supernatural yang diyakini menghuni segala sesuatu, sebagai bagian esensial kepercayaan. Kami dapat ditemukan dalam kekuatan alam dan lokasi-lokasi lanskap yang signifikan. Hubungan antara kami dan alam menyebabkan Shinto dianggap animistik. Penyembahan kami dilakukan di altar rumah tangga kamidana, kuil keluarga, dan kuil umum jinja.Kuil umum dikelola oleh para pendeta, yang dikenal sebagai kannushi. Mereka mengelola persembahan makanan dan minuman untuk kami tertentu yang dipuja di lokasi tersebut. Hal itu dilakukan untuk menumbuhkan keharmonisan antara manusia dan kami serta untuk meminta berkah darinya. Ritual umum lainnya termasuk tari kagura, ritus peralihan, dan festival musiman. Kuil umum menyediakan perlengkapan keagamaan seperti jimat untuk para penganut Shinto dan memfasilitasi berbagai bentuk ramalan. Shinto menempatkan fokus konseptual utama pada pemastian kesucian, sebagian besar dengan praktik pembersihan seperti ritual mandi dan basuh, terutama sebelum ibadah. Sedikit penekanan ditempatkan pada kode moral tertentu atau keyakinan kehidupan setelah kematian tertentu meskipun orang yang meninggal dianggap mampu menjadi kami. Shinto tidak memiliki pencipta tunggal atau teks doktrinal tertentu, agama itu hadir dalam bentuk khas lokal dan regional yang beraneka ragam. Meskipun waktu Shinto menjadi agama tersendiri dalam sejarah masih diperdebatkan, penyembahan kami dapat ditelusuri kembali pada Zaman Yayoi (300 SM-300 M) di Jepang. Ajaran Buddha masuk ke Jepang pada akhir Zaman Kofun (300-538 M) dan menyebar dengan cepat. Sinkretisasi agama membuat penyembahan kami dan ajaran Buddha tidak dapat dipisahkan secara fungsional, proses itu disebut shinbutsu-shūgō. Kami mulai dipandang sebagai bagian dari kosmologi Buddha dan selanjutnya semakin digambarkan dengan antropomorfisme. Tradisi tertulis paling awal mengenai penyembahan kami tercatat dalam Kojiki dan Nihon Shoki dari abad ke-8. Pada abad-abad berikutnya, shinbutsu-shūgō diadopsi oleh keluarga Kekaisaran Jepang. Selama Zaman Meiji (1868-1912), kepemimpinan nasionalis Jepang memisahkan pengaruh penganut Buddha dari penyembahan kami dan membentuk Shinto negara. Ideologi Shinto negara Jepang tersebut dianggap oleh sejumlah sejarawan sebagai asal-usul Shinto sebagai agama tersendiri. Kuil berada di bawah pengaruh pemerintah yang berkembang dan masyarakat didorong untuk menyembah kaisar sebagai kami. Dengan terbentuknya Kekaisaran Jepang pada awal abad ke-20, Shinto disebarkan keluar ke wilayah lain di Asia Timur. Setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, Shinto secara resmi dipisahkan dari negara. Shinto terutama ditemukan di Jepang, wilayah yang menampung sekitar 100.000 kuil umum walau para praktisi juga ditemukan di luar negeri. Secara numerik, agama tersebut merupakan agama terbesar di Jepang, diikuti oleh ajaran Buddha. Sebagian besar penduduk negara tersebut turut berpartisipasi dalam baik kegiatan Shinto maupun Buddha, terutama festival. Fenomena itu mencerminkan pandangan umum dalam budaya Jepang bahwa kepercayaan dan praktik suatu agama tidak harus dilakukan hanya oleh golongan tertentu. Aspek-aspek dari Shinto juga dimasukkan ke berbagai gerakan agama baru di Jepang. Definisi![]() Shinto tidak memiliki definisi yang disepakati secara universal.[3] Namun, penulis Joseph Cali dan John Dougill menyatakan bahwa jika terdapat "satu definisi tunggal yang luas mengenai Shinto" yang dapat dikemukakan, "Shinto merupakan kepercayaan pada kami", entitas supernatural yang menjadi inti agama tersebut.[4] Ahli budaya Jepang Helen Hardacre menyatakan bahwa "Shinto meliputi doktrin, institusi, ritual, dan kehidupan kelompok berdasarkan penyembahan kepada kami".[5] Selain itu, cendekiawan keagamaan Inoue Nobutaka mengamati istilah "Shinto" "sering digunakan" dalam "rujukan kepada penyembahan kami serta teologi, ritual, dan praktik yang terkait."[6] Berbagai cendekiawan menyebut praktisi Shinto sebagai penganut Shinto walau istilah ini tidak memiliki terjemahan langsung dalam bahasa Jepang.[7] Para cendekiawan memperdebatkan waktu yang tepat dalam sejarah sebagai titik di mana Shinto dianggap sebagai fenomena tertentu. Cendekiawan keagamaan Ninian Smart berpendapat bahwa seseorang dapat "berdiskusi tentang agama kami di Jepang, agama yang pernah hidup bersimbiosis dengan ajaran Buddha yang terorganisasi, dan baru kemudian telah ditetapkan sebagai Shinto."[8] Meskipun berbagai institusi dan praktik yang sekarang dikaitkan dengan Shinto berada di Jepang pada abad ke-8,[9] berbagai cendekiawan berpendapat bahwa Shinto sebagai agama yang tersendiri pada dasarnya "diciptakan" pada abad ke-19, selama Zaman Meiji di Jepang.[10] Cendekiawan keagamaan Brian Bocking menekankan bahwa, terutama ketika berhadapan dengan periode sebelum Zaman Meiji, istilah "Shinto" harus "diperlakukan dengan hati-hati".[11] Inoue Nobutaka menyatakan bahwa "Shinto tidak dapat dianggap sebagai suatu sistem agama tunggal yang ada dari zaman kuno hingga zaman modern"[12] sedangkan sejarawan Toshio Kuroda berkomentar bahwa "sebelum zaman modern, Shinto tidak dijumpai sebagai agama yang berdiri sendiri".[13] KategorisasiBanyak cendekiawan memaparkan Shinto sebagai agama.[14] Namun, sejumlah praktisi memandang Shinto sebagai "jalan"[15] sehingga mencirikannya cenderung sebagai adat atau tradisi.[16] Hal tersebut juga dilakukan oleh para praktisi sebagai cara untuk menghindari pemisahan modern negara dan agama serta untuk memulihkan hubungan historis Shinto dengan negara Jepang.[17] Terlebih lagi, konsep beragama dan kategori agama dalam budaya Barat "tidak berlaku mutlak" pada Shinto.[18] Berbeda dengan agama-agama yang dikenal di negara-negara Barat, seperti Kristen dan Islam, Shinto tidak memiliki tokoh perintis[19] maupun kitab suci.[20] Agama-agama Barat cenderung menekankan eksklusivitas tetapi praktik lebih dari satu tradisi agama secara bersamaan dapat dilakukan oleh seorang praktisi di Jepang,[21] agama dalam budaya Jepang bersifat sangat pluralistik.[22] Shinto sering disebut bersama Buddhisme sebagai dua agama utama Jepang.[23] Keduanya sering kali berbeda fokus, misalnya Buddhisme menekankan gagasan melampaui kosmos yang dianggap penuh dengan penderitaan sedangkan Shinto berfokus pada adaptasi dengan kebutuhan pragmatis kehidupan.[24] Shinto mengintegrasikan unsur-unsur dari tradisi agama yang diimpor ke Jepang dari daratan Asia, seperti Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme, dan praktik ramalan Tiongkok.[25] Ajaran tersebut memiliki banyak kesamaan dengan agama Asia Timur lainnya, khususnya dalam kepercayaan terhadap banyak dewa.[26]
— Sarjana agama Brian Bocking[27] Para cendekiawan keagamaan memiliki pendapat yang berbeda dalam mengklasifikasikan Shinto. Inoue menganggapnya sebagai bagian dari "keluarga agama Asia Timur".[28] Filsuf Stuart DB Picken berpendapat bahwa Shinto digolongkan sebagai agama dunia[29] sedangkan sejarawan H. Byron Earhart menyebutnya sebagai "agama asli/pribumi".[30] Pada awal abad ke-21, para praktisi secara umum menyebut Shinto sebagai agama alam.[31] Shinto juga sering dideskripsikan sebagai agama asli[32] meskipun hal itu menimbulkan perdebatan mengenai berbagai definisi yang berbeda mengenai "asli" dalam konteks Jepang.[33] Gagasan Shinto sebagai "agama asli" Jepang berasal dari pertumbuhan nasionalisme modern pada zaman Edo hingga zaman Meiji,[34] pandangan ini mempromosikan gagasan bahwa Shinto berasal dari masa praaksara dan mewakili suatu "kehendak yang mendasari budaya Jepang".[35] Teolog Shinto terkemuka Sokyo Ono, misalnya, mengatakan bahwa penyembahan kami merupakan "ekspresi" dari "keyakinan bangsa asli Jepang yang muncul pada hari-hari mistik zaman kuno yang telah lampau" dan bahwa hal tersebut "seasli orang-orang yang membawa keberadaan bangsa Jepang".[36] Banyak ahli menganggap klasifikasi ini tidak akurat. Earhart mengemukakan bahwa Shinto menyerap banyak pengaruh Tiongkok dan Buddhis sehingga "terlalu rumit jika mau dianggap sebagai 'agama asli' saja".[30] Shinto hadir dengan keragaman yang signifikan di tiap wilayah;[37] antropolog John K. Nelson mengemukakan bahwa Shinto "bukan entitas monolitik terpadu yang memiliki satu pusat dan sistem tersendiri".[33] Berbagai jenis Shinto telah diidentifikasi. "Shinto kuil" mengacu pada praktik yang berpusat pada kuil[38] dan "Shinto domestik" dipraktikkan dengan cara penghormatan kami di rumah.[39] Beberapa cendekiawan menggunakan istilah "Shinto rakyat" untuk menandai praktik Shinto lokal[40] atau praktik di luar lingkungan yang dilembagakan.[33] Dalam berbagai periode di masa lalu, ada juga "Shinto negara", yakni kepercayaan dan praktik Shinto yang terkait erat dengan negara Jepang.[38] Dalam merepresentasikan "istilah lakuran" untuk banyak tradisi yang bervariasi di seluruh Jepang, istilah "Shinto" mirip dengan istilah "Hinduisme" yang digunakan untuk menggambarkan beragam tradisi di seluruh Asia Selatan.[41] Etimologi![]() Istilah Shinto sering diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai "the way of the kami"[42] meskipun maknanya bervariasi sepanjang sejarah Jepang.[43] Istilah lain yang bersinonim dengan "Shinto" terkadang digunakan; termasuk kami no michi (神の道, "jalan kami"), kannagara no michi (神ながらの道, juga ditulis sebagai 随神の道 atau 惟神の道, "jalan kami sejak dahulu kala"), Kodō (古道, "jalan kuno"), Daidō (大道, "jalan besar"), dan Teidō (帝道, "jalan kekaisaran").[44] Istilah Shinto berasal dari kombinasi dua karakter Tionghoa: shen (神), yang berarti "roh," dan dao (道), yang berarti "jalan", "cara", atau "arah".[45] Istilah bahasa Tionghoa Shendao awalnya diadopsi ke dalam bahasa Jepang sebagai Jindō;[46] kemungkinan pertama kali digunakan sebagai istilah Buddhis untuk merujuk pada dewa-dewa non-Buddha.[47] Salah satu kemunculan paling awal istilah Shinto di Jepang yang diketahui terdapat dalam teks abad ke-8, Nihon Shoki.[48] Istilah tersebut mungkin merupakan istilah umum untuk kepercayaan populer[49] atau mungkin merujuk Taoisme karena banyak praktik penganut Tao diimpor dari daratan Asia.[50] Dalam penggunaan bahasa Jepang awal ini, istilah Shinto tidak berlaku untuk tradisi agama khusus atau untuk sesuatu yang unik dari Jepang;[51] Konjaku monogatarishui dari abad ke-11, misalnya, mengacu pada seorang wanita di Tiongkok yang mempraktikkan Shinto dan orang-orang di India yang menyembah kami, menunjukkan bahwa istilah ini digunakan untuk menggambarkan agama-agama di luar Jepang itu sendiri.[52] Pada abad pertengahan Jepang, penyembahan kami umumnya dipandang sebagai bagian dari Buddhisme di Jepang dengan kami itu sendiri sering diinterpretasikan sebagai Buddha.[53] Dalam hal ini, istilah Shinto semakin mengacu pada "otoritas, kekuasaan, atau aktivitas kami; menjadi kami; atau, singkatnya, kedudukan atau atribut kami."[54] Istilah ini muncul dalam pengertian tersebut pada cerita Nakatomi no harai kunge dan Shintōshū.[54] Dalam Japanese Portuguese Dictionary yang diterbitkan pada tahun 1603, Shinto didefinisikan mengacu pada "kami atau hal-hal yang berkaitan dengan kami."[55] Istilah Shinto menjadi umum pada abad ke-15.[56] Selama akhir Zaman Edo, cendekiawan kokugaku mulai menggunakan istilah Shinto untuk menggambarkan apa yang mereka yakini sebagai tradisi Jepang yang telah bertahan lama, tradisi kuno, dan tradisi asli yang mendahului agama Buddha; mereka berpendapat bahwa Shinto harus digunakan untuk membedakan penyembahan kepada kami dari tradisi seperti Buddhisme, Taoisme, dan Konfusianisme.[57] Penggunaan istilah Shinto tersebut menjadi semakin populer sejak abad ke-18.[11] Istilah Shinto menjadi umum digunakan sejak awal abad ke-20, menggantikan istilah taikyō ("agama besar") sebagai nama untuk agama negara di Jepang.[41] SejarahPerkembangan awal![]() Earhart berkomentar bahwa Shinto akhirnya "muncul dari kepercayaan dan praktik Jepang praaksara"[59] walau Kitagawa mengemukakan bahwa penyebutan agama pada masa praaksara Jepang sebagai "Shinto awal" patut dipertanyakan.[60] Masa praaksara Jepang yang dimaksud adalah zaman Yayoi yang pertama kali menyisakan peninggalan awal dari materi dan ikonografi yang kemudian termasuk Shinto.[61] Kami dipuja dalam berbagai bentuk gejala alam selama zaman tersebut; dalam hal itu, sebagian besar ibadah terdiri dari memohon dan meredakan kemarahan mereka. Sedikit bukti ditemukan bahwa mereka dipandang sebagai entitas yang memiliki belas kasihan.[58] Bukti arkeologi menunjukkan bahwa lonceng perunggu dotaku, senjata perunggu, dan cermin logam memainkan peran penting dalam ritual berbasis kami selama zaman Yayoi.[62] Pada periode awal ini, Jepang bukan merupakan sebuah negara kesatuan; Jepang terdiri dari beberapa uji (klan) pada zaman Kofun. Masing-masing uji memiliki kami penjaganya sendiri, yang disebut ujigami.[63] Migrasi Korea selama zaman Kofun membawa Konfusianisme dan Buddhisme ke Jepang.[64] Buddhisme memiliki dampak tersendiri pada aliran-aliran kami.[65] Kelompok migran dan bangsa Jepang yang semakin sejalan dengan pengaruh asing ini membangun kuil Buddha di berbagai wilayah di pulau Jepang.[65] Beberapa klan saingan yang lebih memusuhi pengaruh asing ini mulai mengubah kuil kami mereka agar lebih mirip dengan struktur Buddhis yang baru.[65] Pada akhir abad ke-5, pemimpin klan Yamato Yūryaku menyatakan dirinya daiō ("raja besar") dan membangun struktur hegemoni di sebagian besar wilayah Jepang.[66] Sejak awal abad ke-6 M, gaya ritual pilihan Yamato mulai menyebar ke kuil kami lainnya di seluruh Jepang seiring Yamato memperluas pengaruh teritorial mereka.[67] Buddhisme juga berkembang. Menurut Nihon Shoki, pada tahun 587 Kaisar Yōmei memeluk agama Buddha dan agama Buddha menyebar dengan dukungannya.[68] ![]() Pada pertengahan abad ke-7, sebuah kode hukum yang disebut Ritsuryō diadopsi untuk mendirikan pemerintahan terpusat bergaya Tiongkok.[69] Sebagai bagian dari kode hukum tersebut, Jingikan ("dewan kami") dibentuk untuk melakukan ritual-ritual kenegaraan dan mengoordinasikan ritual provinsi dengan ritual-ritual kenegaraan di ibu kota.[70] Hal itu dilakukan sesuai dengan kode hukum kami yang disebut Jingiryō[70] yang meniru Kitab Ritual dari Tiongkok.[71] Jingikan terletak di kawasan istana dan memelihara daftar kuil dan pendeta.[72] Kalender tahunan ritual-ritual kenegaraan dibuat untuk membantu menyatukan Jepang melalui penyembahan kami.[9] Ritual-ritual yang diamanatkan secara sah tersebut diuraikan dalam Kode Yōrō tahun 718[71] dan diperluas dalam Jogan Gishiki pada sekitar tahun 872 dan Engi Shiki tahun 927.[71] Di bawah Jingikan, beberapa kuil ditetapkan sebagai kansha ("kuil resmi") dan diberi hak dan tanggung jawab khusus.[73] Hardacre memandang Jingikan sebagai "sumber kelembagaan Shinto".[9] Pada awal abad ke-8, Kaisar Tenmu memerintahkan kompilasi legenda dan silsilah klan Jepang, menghasilkan Kojiki yang selesai pada tahun 712. Teks ini dirancang untuk melegitimasi dinasti yang berkuasa dan membentuk sebuah versi yang disetujui dari berbagai cerita yang sebelumnya beredar dalam tradisi lisan.[74] Kojiki menghilangkan segala referensi terhadap Buddhisme,[75] sebagian tujuannya adalah mengabaikan pengaruh asing dan menitikberatkan narasi yang menekankan unsur-unsur asli dari budaya Jepang.[76] Beberapa tahun kemudian, "Nihon shoki" ditulis. Berbeda dengan Kojiki, teks tersebut memiliki berbagai referensi terhadap agama Buddha[75] dan ditujukan untuk pembaca asing.[77] Kedua teks ini berusaha untuk membuktikan silsilah klan kekaisaran yang merupakan keturunan kami matahari Amaterasu[75] meskipun ada banyak perbedaan dalam narasi kosmogonik yang diberikan.[78] Nihon shoki mengalahkan Kojiki dengan cepat dari segi pengaruhnya.[77] Teks-teks lain yang ditulis pada saat itu juga mengacu pada tradisi lisan mengenai kami. Misalnya, Sendari kuji hongi mungkin disusun oleh klan Mononobe dan Kogoshui mungkin disusun untuk klan Imibe; pada kedua kasus tersebut, semua teks dirancang untuk menyoroti asal-usul masing-masing garis keturunan yang terikat dengan para dewa.[79] Pada tahun 713, pemerintah mengatur agar setiap daerah menghasilkan fudoki, yaitu arsip cerita, produk, dan geografi lokal; cerita yang dicatat mengungkapkan lebih banyak tradisi mengenai kami yang hadir saat itu.[80] Sejak abad ke-8, penyembahan kami dan agama Buddha terjalin erat dalam masyarakat Jepang.[81] Di samping kaisar dan istana melakukan ritual Buddhis, mereka juga melakukan ritual lainnya untuk menghormati kami.[82] Tenmu, misalnya, menunjuk seorang putri kekaisaran perawan untuk bertugas sebagai saiō, salah satu jenis pendeta wanita, di Kuil Ise atas namanya; tradisi tersebut dilanjutkan oleh kaisar-kaisar berikutnya.[83] Dari abad ke-8 dan seterusnya hingga zaman Meiji, kami dimasukkan dalam kosmologi Buddhis dengan berbagai cara.[84] Salah satu pandangan yang ada yaitu kami menyadari bahwa mereka terjebak dalam siklus samsara (kelahiran kembali) seperti semua bentuk kehidupan lain dan mereka harus mengikuti ajaran Buddha untuk bebas dari siklus itu.[84] Pendekatan lain memandang kami sebagai entitas baik hati yang melindungi agama Buddha; kami itu sendiri adalah Buddha; atau kami adalah makhluk yang telah mencapai pencerahan. Dalam hal ini, mereka dapat berupa hongaku, roh murni Buddha, atau honji suijaku, transformasi Buddha dalam upaya mereka untuk membantu makhluk hidup.[84] Zaman NaraZaman ini menjadi tuan rumah bagi banyak perubahan pada negara, pemerintahan, dan agama. Ibu kota dipindahkan kembali ke Heijō-kyō (sekarang Nara) pada tahun 710 M oleh Maharani Genmei karena kematian kaisar. Pemindahan ini diperlukan karena kepercayaan Shinto pada ketidaksucian dalam kematian dan kebutuhan untuk menghindari kotoran tersebut. Namun, praktik pemindahan ibu kota karena "ketidakmurnian dalam kematian" ini kemudian dihapuskan oleh Kode Taihō dan perkembangan pengaruh Buddhis.[85] Pembentukan kota kekaisaran dalam hubungannya dengan Kode Taihō penting bagi Shinto karena kantor ritual Shinto menjadi lebih kuat dalam asimilasi kuil klan lokal ke dalam struktur kekaisaran. Kuil-kuil baru dibangun dan berasimilasi setiap kali kota kekaisaran dipindahkan. Seluruh kuil agung diatur oleh Kode Taihō dan diwajibkan untuk memperhitungkan pendapatan, pendeta, dan praktik karena kontribusi nasional mereka.[85] Zaman Meiji dan Kekaisaran JepangBreen dan Teeuwen mencirikan periode antara tahun 1868 dan 1915 pada zaman Meiji sebagai "tahun-tahun pembentukan" Shinto modern.[10] Berbagai cendekiawan berpendapat bahwa Shinto pada dasarnya "diciptakan" pada zaman tersebut.[10] Fridell berpendapat bahwa para cendekiawan menyebut periode dari tahun 1868 hingga 1945 sebagai "periode Shinto Negara" karena "selama beberapa dekade ini, unsur-unsur Shinto sangat dipengaruhi dan dikontrol oleh negara secara terbuka dengan pemerintah Jepang yang secara sistematis menggunakan pemujaan di kuil sebagai kekuatan utama untuk memobilisasi loyalitas kekaisaran atas nama pembangunan bangsa modern."[86] Namun, pemerintah telah memperlakukan kuil sebagai perpanjangan dari pemerintah sebelum Meiji; misalnya Reformasi Tenpō. Selain itu, menurut cendekiawan Jason Ānanda Josephson, penggambaran kuil-kuil sebagai penyusun "agama negara" atau "teokrasi" selama periode ini bersifat tidak akurat karena mereka tidak memiliki organisasi atau doktrin dan tidak tertarik melakukan konversi.[87] Restorasi Meiji pada tahun 1868 didorong oleh pembaruan etika Konfusianisme dan patriotisme kekaisaran di tengah kelas penguasa Jepang.[88] Di antara para reformis ini, agama Buddha dipandang sebagai pengaruh yang telah merusak apa yang mereka bayangkan sebagai kemurnian dan keagungan asli Jepang.[88] Mereka ingin menempatkan penekanan baru pada pemujaan kami sebagai bentuk ritual adat asli, suatu sikap yang juga didorong oleh kecemasan mengenai ekspansionisme Barat dan ketakutan bahwa Kekristenan akan berkembang di Jepang.[88] Pada tahun 1868, semua pendeta kuil ditempatkan di bawah otoritas Jingikan yang baru (Dewan Urusan Kami).[89] Sebuah proyek pemisahan paksa pemujaan kami dari agama Buddha dilaksanakan dengan pelarangan biksu, dewa, bangunan, dan ritual Buddha dalam kuil kami.[88] Citra Buddhis, kitab suci, dan peralatan ritual dibakar, ditutupi kotoran, atau dihancurkan.[88] Pada tahun 1871, hierarki kuil yang baru dibuat, dengan kuil nasional dan kekaisaran berada di puncak.[90] Kependataan secara turun-temurun dihapuskan dan sistem baru negara untuk mengangkat pendeta yang baru dibuat.[90] Pada tahun 1872, Jingikan ditutup dan diganti dengan Kyobusho (Kementerian Pendidikan).[91] Kyobusho mengoordinasikan kampanye yang mana Kyodoshoku dikirim ke seluruh negeri untuk mempromosikan "ajaran agung" di Jepang. Ajaran ini mencakup penghormatan terhadap kami dan kepatuhan kepada kaisar.[91] Kampanye ini dihentikan pada tahun 1884.[91] Pada tahun 1906, ribuan kuil desa digabungkan sehingga sebagian besar komunitas kecil hanya memiliki satu kuil yang dapat mengadakan ritual untuk menghormati kaisar.[92] Shinto secara efektif menjadi sistem peribadatan negara, kepercayaan yang dipromosikan dengan semangat yang meningkat menjelang Perang Dunia II.[92] Pada tahun 1882, pemerintah Meiji menetapkan tiga belas gerakan keagamaan yang bukan Buddha maupun Kristen sebagai bentuk "Sekte Shinto".[37] Jumlah dan nama sekte yang ditetapkan secara formal ini bervariasi;[93] sering kali mereka menggabungkan ide-ide dari tradisi Buddhisme, Kristen, Konfusianisme, Taois, dan esoterik Barat dengan Shinto.[94] Pada zaman Meiji, banyak tradisi lokal telah melesap dan digantikan oleh praktik standar nasional yang didorong dari Tokyo.[95] Meskipun dukungan pemerintah terhadap kuil menurun, nasionalisme Jepang tetap terkait erat dengan legenda dari yayasan dan kaisar, seperti yang dikembangkan oleh para cendekiawan kokugaku. Pada tahun 1890, Reskrip Kekaisaran tentang Pendidikan dikeluarkan dan para pelajar diminta untuk mengucapkan sumpahnya untuk "menawarkan dirimu dengan berani kepada Negara" serta untuk melindungi keluarga Kekaisaran dalam ritual. Proses seperti itu terus berlanjut selama awal zaman Shōwa dan berakhir tiba-tiba pada Agustus 1945 ketika Jepang kalah perang di Pasifik. Pada 1 Januari 1946, Kaisar Shōwa mengeluarkan Ningen-sengen, dengan mengutip Sumpah dalam Lima Pasal dari Kaisar Meiji dan menyatakan bahwa ia bukan seorang akitsumikami (dewa dalam bentuk manusia).[96] Pascaperang![]() Selama pendudukan Amerika Serikat, sebuah konstitusi baru disusun. Konstitusi tersebut menjunjung tinggi kebebasan beragama di Jepang dan memprakarsai pemisahan agama dan negara, tindakan yang dirancang untuk menghapus "Shinto negara" (kokka shinto).[97] Sebagai bagian dari itu, Kaisar secara resmi menyatakan bahwa ia bukan seorang kami;[98] setiap ritual Shinto yang dilakukan oleh keluarga kekaisaran menjadi urusan pribadi mereka sendiri.[99] Pembubaran ini mengakhiri subsidi pemerintah untuk kuil dan memberi kebebasan baru kepada tempat-tempat suci dengan untuk mengatur urusan mereka sendiri.[98] Pada tahun 1946, banyak kuil kemudian membentuk organisasi sukarela, Asosiasi Kuil Shinto (Jinja Honchō).[100] Pada tahun 1956, asosiasi tersebut mengeluarkan pernyataan kepercayaan, keishin seikatsu no kōryō ("karakteristik umum dari kehidupan yang dimuliakan dalam penghormatan kepada kami"), untuk merangkum apa yang mereka anggap sebagai prinsip Shinto.[101] Pada akhir tahun 1990-an, sekitar 80% dari kuil Shinto di Jepang merupakan bagian dari asosiasi ini.[102] Puluhan tahun pascaperang, banyak orang Jepang menyalahkan Shinto karena mendorong kebijakan militeristik yang mengakibatkan kekalahan dan pendudukan.[98] Sedangkan yang lain tetap bernostalgia dengan sistem Shinto negara;[103] pendapat bahwa sektor-sektor masyarakat Jepang bersekongkol untuk memulihkannya muncul sebagai hal yang diperhatikan.[104] Pascaperang, berbagai perdebatan hukum membicarakan keterlibatan pejabat publik dalam Shinto.[105] Pada tahun 1965, misalnya, kota Tsu, Prefektur Mie membayar empat pendeta Shinto untuk menyucikan tempat di mana balai atletik kota akan dibangun. Kritikus membawa kasus ini ke pengadilan, mengklaim hal tersebut bertentangan dengan pemisahan konstitusional agama dan negara; pada tahun 1971, pengadilan tinggi memutuskan bahwa tindakan pemerintah kota tersebut merupakan inkonstitusional meskipun hal ini dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada tahun 1977.[106] Pada periode pascaperang, motif Shinto sering dicampur dengan gerakan agama baru di Jepang;[107] dari kelompok Sekte Shinto, Tenrikyo mungkin yang paling sukses dalam dekade pascaperang[103] meskipun mereka menolak identitas Shinto sendiri pada tahun 1970. |