Saifuddin Zuhri
K.H. Saifuddin Zuhri (1 Oktober 1919 - 25 Februari 1986)[1] adalah Menteri Agama Republik Indonesia ke-10 yang menjabat pada Kabinet Kerja III, Kabinet Kerja IV, Kabinet Dwikora I, Kabinet Dwikora II, dan Kabinet Ampera I. Pada usia 35 tahun, ia diangkat sebagai Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang merangkap sebagai Pemimpin Redaksi Duta Masyarakat serta anggota Parlemen Sementara. Empat tahun kemudian, Presiden Soekarno menunjuknya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). ![]() Pada 17 Februari 1962, Soekarno memanggilnya ke Istana Merdeka dan menunjuknya sebagai Menteri Agama menggantikan K.H. Wahib Wahab yang sebelumnya mengundurkan diri. Sebelum menerima penugasan tersebut, Saifuddin Zuhri meminta pertimbangan sejumlah tokoh NU, antara lain K.H. Wahab Chasbullah, K.H. Idham Chalid, dan K.H. Wahib Wahab sendiri. Setelah menmperoleh dukungan, ia menerima penunjukan tersebut dan mulai menjalankan tugas sebagai Menteri Agama pada usia 43 tahun.[2] Awal kehidupanAyah Saifuddin Zuhri bernama Haji Muhammad Zuhri, berasal dari keluarga petani yang taat beragama. Ibunya, Siti Saudatun, adalah cucu Kiai Asraruddin, seorang ulama yang memimpin sebuah pesantren di daerah Banyumas dan pernah menjabat sebagai penghulu atas penunjukan Bupati Banyumas. Saifuddin Zuhri menempuh pendidikan di pondok pesantren di tempat kelahirannya. Pada usia 19 tahun ia terpilih menjadi Ketua Gerakan Pemuda Ansor wilayah Jawa Tengah bagian selatan sekaligus menjabat sebagai Konsul Nahdlatul Ulama Daerah eks-Keresidenan Kedu dan merangkap sebagai guru madrasah. Pada periode yang sama, ia juga aktif di bidang kewartawanan sebagai koresponden Kantor Berita Antara serta beberapa majalah.[2] PerjuanganPada masa Revolusi Nasional Indonesia, Saifuddin Zuhri diangkat sebagai Komandan Divisi Hizbullah Jawa Tengah dan anggota Dewan Pertahanan Daerah Kedu. Ia memimpin laskar Hizbullah bersama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di bawah Kolonel Soedirman serta pasukan rakyat lainnya dalam Pertempuran Ambarawa (Palagan Ambarawa). Atas keterlibatannya dalam perang tersebut, ia dianugerahi Tanda Kehormatan Bintang Gerilya berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2/Btk/1965 tanggal 4 Januari 1965. Selain penghargaan dari pemerintah, ia juga banyak menerima hibah tanah dari masyarakat sebagai bentuk terima kasih atas bantuannya pada masa revolusi. Tanah tersebut kemudian ia serahkan kepada kiai setempat untuk dijadikan pondok pesantren atau lembaga pendidikan Islam lainnya. Menurutnya, pondok pesantren merupakan lembaga di mana para pelajar dididik secara holistik, baik secara intelektual maupun secara mental. Lebih lanjut, pondok pesantren merupakan basis dan pondasi untuk memupuk rasa nasionalisme, terutama di kalangan umat Islam. Pondok pesantren yang umumnya didatangi pelajar dari berbagai daerah di Indonesia, berperan sebagai wadah pembentukan karakter dan persaudaraan antarbangsa.[2] Sebagai Menteri Agama, K.H. Saifuddin Zuhri melakukan sejumlah terobosan, di antaranya adalah menginisiasi pendidikan agama bagi kalangan militer, kepolisian, dan lembaga pemasyarakatan. Program tersebut menjadi cikal bakal kegiatan pembinaan keagamaan hingga kini nampaknya masih dijalankan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia.[3] Selain itu, K.H. Saifuddin Zuhri juga berperan dalam pengembangan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Sebelumnya, sejak masa Menteri Agama Wahib Wahab, Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Ciputat telah dilebur menjadi IAIN. Di bawah kepemimpinan Saifuddin, IAIN diperluas dengan pendirian kampus di berbagai provinsi di Indonesia. Dalam memoarnya Berangkat dari Pesantren, ia menegaskan tekad untuk meratakan pendirian IAIN di berbagai daerah serta menjadikannya terdiri atas empat fakultas, yaitu Syariah, Ushuluddin, Tarbiyah, dan Adab. Dalam perkembangan lebih lanjut, IAIN kemudian tersebar di berbagai daerah di Indonesia dan kini banyak yang bertransformasi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).[4] Pendidikan
Karier
Karya
Akhir Hayat![]() K.H. Saifuddin Zuhri merupakan salah satu tokoh penting dalam Nahdlatul Ulama (NU), baik ketika organisasi tersebut berperan sebagai ormas pada masa perjuangan kemerdekaan, sebagai partai politik pada masa Orde Lama, maupun setelah bergabung ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada masa Orde Baru. Ia aktif dalam perjuangan bersenjata maupun politik, sekaligus mengembangkan pandangan Islam Ahlus-Sunnah wal Jama'ah di Indonesia serta mendorong nasionalisme Islam dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada akhir hayatnya, ia menuliskan memoar berjudul Berangkat dari Pesantren yang selesai pada 10 September 1985. Buku tersebut diterbitkan pada 1987, setahun setelah wafatnya, dan pada 3 Oktober 1989 memperoleh penghargaan Buku Utama kategori Bacaan Dewasa bidang Humaniora dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.[6] Bintang Jasa dan KehormatanPada usia 45 tahun K.H. Saifuddin Zuhri diwisuda menjadi Guru Besar Luar Biasa dalam bidang ilmu dakwah dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain itu, ia juga mendapat berbagai bintang jasa dan kehormatan sebagai berikut:
Referensi
|