Munir Said Thalib
Munir Said Thalib (8 Desember 1965 – 7 September 2004) adalah seorang aktivis hak asasi manusia Indonesia. Dia merupakan satu dari sekian pendiri lembaga swadaya masyarakat Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Imparsial. Dia merupakan pemenang Right Livelihood Award pada tahun 2000 bersama tiga orang lainnya.[1] Pada tanggal 7 September 2004, dia dibunuh dengan cara diracun menggunakan campuran arsen melalui makanan dan minuman, pada saat mengudara dalam pesawat Garuda Indonesia Penerbangan 974 dari Jakarta, Indonesia menuju Amsterdam, Belanda menggunakan pesawat berjenis 747-400.[2] Kehidupan awalMunir Said Thalib lahir di Batu, Jawa Timur. Ia merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara dari Said Thalib dan Jamilah Umar Thalib, putri dari Umar Muhammad Thalib dan Salmah Said Bajerei yang lahir pada 1926 di Singapura.[3] Buyut Munir, Said Thalib, pernah membintangi film Si Gomar (1941).[4] Ia memiliki garis keturunan Arab Hadhrami dan Jawa.[5] Munir mengambil studi ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya di Malang. Di bangku kuliah, ia aktif di Asosiasi Mahasiswa Hukum Indonesia, Forum Studi Mahasiswa untuk Pengembangan Berpikir, serta Himpunan Mahasiswa Islam; selain menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum. Ia lulus pada tahun 1989.[6][7] Karier aktivismeSelepas dari bangku kuliah, Munir memulai kariernya sebagai relawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) cabang Surabaya selama dua tahun, sebelum pindah kembali ke Malang sebagai kepala pos LBH Surabaya di kota tersebut.[8] dan menjadi Wakil Ketua bidang Operasional YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia). Munir terlibat dalam menangani dan mengadvokasi beberapa kasus pelanggaran HAM di Indonesia pada masa Orde Baru. Ia tercatat pernah menjadi penasihat hukum untuk keluarga tiga orang petani yang dibunuh oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) di proyek Waduk Nipah di Banyuates, Sampang[9] dan keluarga korban penembakan di Lantek Barat, Galis, Bangkalan.[10] KontraSPada tahun 1998, Munir ikut serta mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang hak asasi manusia, terutama penghilangan paksa dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya.[5] Sebagai Koordinator Badan Pekerja KontraS, Munir ikut menangani kasus penghilangan paksa dan penculikan para aktivis HAM pada tahun 1997-1998 dan mahasiswa korban penembakan pada Tragedi Semanggi (1998). Ia juga berperan aktif mengawal dan mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Aceh pada masa Operasi Jaring Merah (1990-1998) dan Operasi Terpadu (2003-2004).[11][12] ImparsialSelepas tidak lagi menjadi pengurus di KontraS, Munir menjadi direktur Imparsial, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengawasi penegakan dan penghormatan atas HAM di Indonesia.[13] KematianMunir diracuni dengan arsenik dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam pada 7 September 2004. Ia bepergian dengan maskapai penerbangan milik negara Garuda Indonesia Boeing 747-400 yang terdaftar dengan kode PK-GSG. Berdasarkan hasil otopsi Munir dan kesaksian saksi mata selama persidangan, disimpulkan bahwa ia telah meninggal dua jam sebelum tiba di Bandar Udara Internasional Schiphol. Ia menelan arsenik selama transit penerbangannya di Singapura, atau sekitar waktu itu. Di Singapura, Pollycarpus Priyanto, seorang pilot Garuda pada saat itu dan tersangka utama dalam persidangan Munir, meninggalkan penerbangan dan kemudian kembali ke Indonesia. Awalnya ia berangkat dari Indonesia dengan menggunakan dokumen palsu yang memungkinkan ia terbang pada penerbangan lain yang bukan penerbangan terjadwalnya. Munir mulai mengalami diare akut dan muntah-muntah tak lama setelah pesawat lepas landas dari Singapura menuju Amsterdam. Awak kabin memberi tahu pilot yang bertugas bahwa ada penumpang yang sakit, dan seorang dokter yang kebetulan berada di pesawat diminta untuk memberikan bantuan medis. Namun, Munir meninggal sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat di Amsterdam.[2] Ketika hasil otopsi diumumkan dua bulan kemudian, pada 12 November, Institut Forensik Belanda mengungkapkan bahwa jenazah Munir mengandung arsenik dalam kadar hampir tiga kali lipat dosis mematikan. Hal ini kemudian dikonfirmasi oleh kepolisian Indonesia. Proses pengadilan bagi pihak terlibatPada 20 Desember 2005, Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi hukuman 14 tahun penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenik dalam makanan Munir karena ingin membungkam pengkritik pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan, Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah nomor yang terdaftar atas nama seorang agen intelijen senior, namun hal ini tidak dijelaskan lebih lanjut. Selain itu, Presiden SBY juga membentuk tim investigasi independen,[14] namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah dipublikasikan. Pada 19 Juni 2008, Mayjen (Purn.) Muchdi Purwoprandjono ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir.[15] Beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah kepadanya.[16] Namun, pada 31 Desember 2008, Muchdi divonis bebas. Putusan ini sangat kontroversial, dan kasus ini ditinjau ulang, serta tiga hakim yang memvonisnya bebas kini tengah diperiksa.[12][17] Pembocoran data kematian oleh peretas 2022Pada September 2022, kasus pembunuhan berencana yang dilakukan terhadap Munir kembali ramai diperbincangkan di media sosial pasca munculnya sosok anonim yang bekerja sebagai peretas (hacker) bernama Bjorka[18] yang membongkar sejumlah data negara, termasuk di dalamnya data pribadi para pejabat negara mulai dari Menteri BUMN Erick Thohir hingga Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate,[19] melalui akun Telegram.[20] Tepat sebelum akun Twitter dan Telegramnya ditutup oleh pihak platform, Bjorka menyampaikan kronologi atas dalang di balik pembunuhan Munir. Bjorka menjelaskan bahwa dalang dari pembunuhan Munir adalah Muchdi Purwoprandjono.[21] Muchdi memang sempat ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian pada 19 Juni 2008.[22] Pada saat dirinya ditetapkan sebagai tersangka, ia juga dicurigai memiliki motif sakit hati terhadap Munir. Keberanian Munir untuk menyuarakan permasalahan keterlibatan Tim Mawar dalam penculikan sejumlah aktivis berdampak pada karier Muchdi yang kala itu menjabat sebagai Kopassus Tim Mawar. Akhirnya, karier Muchdi pun sempat diberhentikan karena masalah tersebut.[23] Alasan tersebut pun disampaikan dan ditegaskan kembali oleh Bjorka. Muchdi pertama kali diperiksa pada 16 Mei 2005. Hasil serangkaian pemeriksaan menunjukkan Pollycarpus Budihari Priyanto dan Muchdi aktif melakukan komunikasi pada periode September hingga Oktober 2004. Namun, dalam kesaksiannya di pengadilan pada 17 November 2005, ia menyangkal punya hubungan khusus dengan Pollycarpus.[22] Bjorka menjelaskan bahwa Muchdi menggunakan Pollycarpus, yang saat itu juga merupakan jaringan non-organik BIN, untuk membunuh Munir. Saat itu, Pollycarpus bekerja sebagai pilot di Garuda Indonesia. Pasalnya, saat itu, mereka mengetahui bahwa Munir akan terbang ke Belanda menggunakan Garuda Indonesia. Selepas itu, Pollycarpus mulai bergerak untuk ditetapkan sebagai keamanan penerbangan agar dirinya bisa masuk ke pesawat mana pun, termasuk pesawat yang nantinya akan digunakan oleh Munir. Pollycarpus pun membuat surat rekomendasi kepada PT Garuda Indonesia untuk menetapannya sebagai pihak keamanan menggunakan komputer yang terletak di ruang staf di Deputi V BIN. Dalam proses pembuatan surat tersebut, Budi Santoso dari BIN pun mengetahuinya. Budi Santoso sendiri memang sempat hadir sebagai saksi dalam proses persidangan tersebut.[24] Budi Santoso menjadi salah satu pihak yang akhirnya turut membongkar bahwa Pollycarpus dan Muchdi saling mengenal—pasca sebelumnya keduanya menyangkal bahwa mereka saling mengenal.[25] Selepas itu, jelas Bjorka, Pollycarpus pun menyerahkan surat dari BIN yang telah ditandatangani—berisikan informasi bahwa dirinya ditugaskan untuk membunuh Munir—kepada Direktur Presiden PT Garuda Indonesia Indra Setiawan. Surat tersebut bernomorkan R-451/VII/2004. Pasca itu, Pollycarpus pun ditempatkan di bagian keamanan. Kemudian Pollycarpus menelepon ke nomor Munir—yang saat itu diangkat oleh Suciwati—terkait dengan jadwal keberangkatan Munir. Pollycarpus pun mendapatkan informasi bahwa Munir akan terbang pada 6 September 2004 menggunakan Garuda Boeing 747-400 dengan nomor penerbangan GA-974.[24] Pollycarpus yang seharusnya menjadi pilot utama untuk penerbangan ke Peking, Cina, pada 5-9 September tersebut pun akhirnya bergabung dengan penerbangan Munir. Dalam budaya populerFilm dokumenter![]() Untuk memperingati satu tahun meninggalnya Munir, diluncurkan film dokumenter karya Ratrikala Bhre Aditya dengan judul Bunga Dibakar di Goethe-Institut, Jakarta Pusat, 8 September 2005. Film ini menceritakan perjalanan hidup Munir sebagai seorang suami, ayah, dan teman. Munir digambarkan sosok yang suka bercanda dan sangat mencintai istri dan kedua anaknya. Masa kecil Munir yang suka berkelahi layaknya anak-anak lain dan tidak pernah menjadi juara kelas juga ditampilkan. Munir dibunuh pada era demokrasi dan keterbukaan serta harapan akan hadirnya sebuah Indonesia yang dia cita-citakan mulai berkembang. Semangat inilah yang ingin diungkapkan lewat film ini.[12] Sebuah film dokumenter lain juga telah dibuat, berjudul Garuda's Deadly Upgrade hasil kerja sama antara Dateline (SBS TV Australia) dan Off Stream Productions. Pada peringatan tahun kedua, 7 September 2006, di Tugu Proklamasi diluncurkan film dokumenter berjudul "His Story". Film ini bercerita tentang proses persidangan Pollycarpus dan fakta-fakta yang terungkap di pengadilan. PenghargaanPada tahun 1998, majalah Ummat menobatkan Munir sebagai Man of the Year.[26] Pada tahun 2000, Munir dianugerahi Right Livelihood Award bersama-sama Tewolde Berhan Gebre Egziabher, Birsel Lemke, dan Wes Jackson.[27] Pada tahun yang sama, majalah Asiaweek juga menobatkannya sebagai satu dari "20 Pemimpin Politik Muda Asia pada Milenium Baru".[28] Terakhir, ia memenangkan honourable mention pada Penghargaan Madanjeet Singh untuk Pemajuan Toleransi dan Nirkekerasan dari UNESCO.[29] Referensi
Pranala luar
|