Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2023 (disingkat KUHP 2023), secara resmi bernama Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, adalah peraturan hukum pidana Indonesia yang baru yang menggantikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana era kolonial Belanda. Undang-undang ini merupakan undang-undang termahal dan terlama yang pernah dibuat di Indonesia, dengan waktu lebih dari 50 tahun sejak perumusannya hingga akhirnya disahkan oleh pemerintah Indonesia.[1]
Menurut ketentuan pasal 624, undang-undang tersebut akan mulai berlaku efektif pada tanggal 2 Januari 2026, 3 tahun setelah diundangkannya undang-undang tersebut.[2]
Sejarah
Sebelum undang-undang tersebut disahkan, KUHP buatan pemerintah kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indië) dijadikan sebagai peraturan hukum pidana Indonesia. Sejak tahun 1968, para anggota DPR, pakar hukum, dan peneliti hukum Indonesia telah mengerjakan rancangan KUHP buatan Indonesia. Berbagai rancangan telah dibuat, tetapi tidak pernah menggantikan peraturan perundang-undangan tersebut.[3]
Pemerintah Indonesia telah mempertimbangkan perubahan terhadap KUHP sejak kemerdekaan, karena KUHP era kolonial dipandang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya saat ini. Pada tahun 2019, rancangan undang-undang baru tentang hukum pidana diumumkan secara publik, namun ketentuan kontroversial yang mengkriminalisasi hubungan seks di luar nikah, aborsi, dan pembatasan lain terhadap kebebasan beragama dan sipil menyebabkan serangkaian unjuk rasa dan kerusuhan sebagai tanggapannya, yang pada akhirnya menyebabkan RUU KUHP tersebut dibatalkan.[4] Namun, pada tahun 2022, rancangan undang-undang yang memperkenalkan kembali usulan tahun 2019 dengan beberapa pasal yang “diperhalus” disahkan oleh DPR dan direncanakan untuk berlaku penuh setelah masa transisi selama tiga tahun, meskipun terdapat kekhawatiran serupa mengenai dampaknya terhadap hak-hak sipil dan hak-hak minoritas agama dan seksual.[5][6]
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru akhirnya disahkan sebagai Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. KUHP ini diperluas menjadi 624 pasal, dibagi menjadi 2 buku: "Ketentuan Umum" dan "Tindak Pidana"; KUHP yang baru tidak lagi membedakan antara kejahatan dan pelanggaran serta memuat ketentuan mengenai pengakuan pemerintah terhadap 'hukum yang hidup' (aturan adat) dalam menghukum tindak pidana. Selain itu, KUHP yang baru juga memperkenalkan konsep "kategori denda" yang mirip dengan yang ada di Belanda.
Undang-Undang yang Dicabut
Staatsblad 1915 Nomor 732 (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indië/WvSNI) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
UU No. 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
UU No. 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 16/Prp/1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP.
Perpu No. 18/Prp/1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda Dalam KUHP Dan Dalam Ketentuan-Ketentuan Pidana Lainnya Yang Dikeluarkan Sebelum Tanggal 17 Agustus 1945.
UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.
UU No. 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan.
UU No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP Yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.
Undang-Undang yang Diubah
UU Darurat No. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil.
UU Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Tajam (Mengubah "Ordonnantie Tijdelijke Bijzondere Strafbepalingen" (Stbl. 1948 No.17) dan Undang-Undang R.I. Dahulu Nr 8 Tahun 1948).
Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 (sejak 1969 juga dikenal sebagai UU No. 1/PNPS Tahun 1965) tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
UU No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
UU No. 15 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan.
UU No. 35 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
UU No. 36 Tahun 2009 tentang Narkotika.
UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
UU No. 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Aturan Pelaksana
Untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam KUHP Baru, disusun 4 aturan pelaksana berbentuk Peraturan Pemerintah (PP):[7]
RPP Tata Cara dan Kriteria Penetapan Hukum yang Hidup di Masyarakat, untuk melaksanakan ketentuan pasal 2 ayat 2 KUHP Baru.
RPP Tata Cara Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup menjadi Pidana Penjara 20 (Dua Puluh) Tahun, untuk melaksanakan ketentuan pasal 69 ayat 2 KUHP Baru.
RPP Tata Cara dan Batas Pengurangan dan Perpanjangan Masa Pidana Pengawasan, untuk melaksanakan ketentuan pasal 76 ayat 7 KUHP Baru.
RPP Tata Cara Pelaksanaan Pidana dan Tindakan, untuk melaksanakan ketentuan pasal 111 dan pasal 124 KUHP Baru.
Per September 2024, belum ada aturan pelaksana yang selesai diundangkan.
Kritik
Di antara pasal-pasal KUHP 2023, terdapat beberapa pasal yang kontroversial, antara lain:
Tindak pidana terhadap harkat dan martabat pribadi presiden dan wakil presiden yang sedang menjabat
Pasal 218 ayat 1 KUHP 2023 menyatakan bahwa setiap orang yang menyerang harkat dan martabat pribadi presiden dan wakil presiden yang sedang menjabat akan dihukum dengan hukuman penjara 3 tahun 6 bulan dan denda kategori IV (200 juta rupiah). Meskipun demikian, ayat 2 Pasal 218 menjamin bahwa serangan pribadi tersebut dapat dibenarkan jika digunakan untuk membela diri atau dilakukan demi kepentingan umum.[8] Meskipun diklaim oleh pihak pro-demokrasi sebagai serangan terhadap hak asasi manusia, undang-undang itu sendiri membatasi bahwa proses laporan kasus tersebut hanya dapat diproses jika presiden atau wakil presiden yang sedang menjabat mengajukan diri secara pribadi.[9]
Sihir dan ilmu hitam (santet)
Pasal 252 KUHP 2023 mengatur tentang sihir dan ilmu hitam/santet. Ayat 1 dari pasal tersebut mengatakan bahwa siapa pun yang menyatakan kemampuan untuk melakukan sihir, mengumumkannya, memberikan harapan kepada orang lain untuk itu, menawarkan dan memberikan bantuan kepada jasa tersebut untuk menimbulkan penderitaan fisik dan mental, penyakit, dan kematian akan dihukum dengan hukuman penjara 1 tahun 6 bulan dan denda kategori IV (200 juta rupiah). Ayat 2 dari pasal tersebut memberikan hukuman tambahan yang diberikan oleh ayat 1 kepada para praktisi sihir dan ilmu hitam yang mencari nafkah darinya.[10] Pasal ini kontroversial, karena sulit untuk dibuktikan.[11]
Penyebaran hoax dan trolling
Penyebaran hoax dan trolling sudah menjadi bagian dari budaya di Indonesia, baik oleh pihak yang pro-pemerintah maupun anti-pemerintah, dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia. "Pabrik" troll dan apa yang disebut sebagai "tentara siber" (cyber army) telah mencari nafkah di Indonesia sejak tahun 2016, mendapatkan penghasilan dari menabur perselisihan dan membanjiri ruang internet dengan penyesatan sosial-politik-agama.[12][13][14] Pasal 263 mengancam para pelaku penyebaran hoax dan trolling dengan hukuman 6 tahun penjara. Para pengunjuk rasa memprotes bahwa peraturan tersebut mengancam apa yang mereka sebut sebagai "demokrasi" dan menyebutnya sebagai "langkah untuk membungkam para pengkritik". Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengutuk para pengunjuk rasa atas pasal tersebut, dan meyakinkan bahwa kritik mereka diperlukan untuk negara, tetapi memberi makan kebohongan dan menyesatkan orang lain tidak. Kementerian meminta masyarakat untuk membaca hukum dengan cermat dan berhenti mengonsumsi pernyataan yang tidak bertanggung jawab.[15][16][17]
Invasi ruang pribadi oleh penegak hukum
Pasal 411 hingga 413 dari KUHP 2023 melarang hubungan serumah di luar nikah, kumpul kebo, dan hubungan sedarah.[18] Bagi para pendukung pro-privasi, peraturan ini dapat diartikan sebagai pelanggaran ruang pribadi oleh penegak hukum, meskipun undang-undang itu sendiri menyatakan bahwa tindakan tersebut hanya dapat diproses apabila ada laporan dari anggota keluarga.[19][20][21] Dengan adanya KUHP baru ini, pemerintah berharap penegakan hukum daerah tidak akan melanggar privasi karena telah dikodifikasi, tidak akan ada lagi peraturan daerah yang bertentangan dengan KUHP baru yang dimana perzinaan hanya bisa diproses anggota keluarga terdekat dan tidak ada lagi perda yang memberikan kewenangan yang luas kepada penegakan hukum daerah.[22] Namun, pasal-pasal ini tidak berlaku untuk Muslim di Provinsi Aceh, yang memiliki sistem penegakan hukum yang berbeda yang diberikan oleh UU No. 11/2006 (tentang Provinsi Aceh), Wilayatul Hisbah, yang tidak terpengaruh oleh KUHP baru ini.[18]
Penolakan terhadap pengesahan RUU KUHP menjadi undang-undang merupakan motif dari pengeboman tersebut, karena sepeda motor yang digunakan oleh pelaku bom bunuh diri untuk mencapai kantor polisi dihiasi oleh selebaran-selebaran yang mengecam KUHP.[26] Salah satu selebaran yang dibawa oleh pelaku bertuliskan "KUHP = Hukum Syirik/Kafir. Perangi para penegak hukum setan." Selebaran yang sama juga merujuk pada ayat 29 Surah At-Taubah, yang menyerukan pemberlakuan jizyah kepada non-Muslim.[27]