Keadilan puitisKeadilan puitis, juga disebut ironi puitis, merupakan perangkat sastra yang pada akhirnya memberikan ganjaran bagi kebajikan dan hukuman bagi perbuatan jahat. Dalam literatur modern,[1] ironi ini sering disertai dengan ironi nasib yang berkaitan dengan tindakan tokoh itu sendiri, oleh karena itu disebut "ironi puitis".[2] EtimologiKritikus drama Inggris Thomas Rymer menciptakan frasa tersebut dalam The Tragedies of the Last Age Consider'd (1678) untuk menggambarkan bagaimana sebuah karya harus menginspirasi perilaku moral yang tepat pada penontonnya dengan menggambarkan kemenangan kebaikan atas kejahatan. Tuntutan akan keadilan puitis konsisten dalam otoritas Klasik dan muncul dalam Horace, Plutarch, dan Quintillian, sehingga ungkapan Rymer merupakan refleksi dari hal yang umum. Philip Sidney, dalam The Defence of Poesy (1595), berpendapat bahwa keadilan puitis, pada kenyataannya, adalah alasan mengapa fiksi harus diizinkan di negara beradab. SejarahKhususnya, keadilan puitis tidak hanya mengharuskan kejahatan dihukum dan kebaikan diberi pahala, tetapi juga mengharuskan logika menang. Misalnya, jika suatu tokoh didominasi oleh keserakahan dalam sebagian besar kisah percintaan atau drama, ia tidak dapat menjadi murah hati. Tindakan dalam suatu drama, puisi, atau fiksi harus mematuhi kaidah logika dan moralitas. Pada akhir abad ke-17, kritikus yang mengikuti standar neo-klasik mengkritik William Shakespeare dan mendukung Ben Jonson karena karakter-karakter Shakespeare berubah selama jalannya drama.[3] Ketika komedi Restorasi, khususnya, mengabaikan keadilan puitis dengan memberi penghargaan kepada kaum libertin dan menghukum kaum moralis yang bodoh, muncul reaksi keras terhadap drama, khususnya, yang memiliki korespondensi moral yang lebih ketat. Lihat jugaReferensi
Pranala luar
|