Juru tulis wahyuJuru tulis wahyu (bahasa Arab: كاتب الوحي, translit: kaatibul wahyi) adalah sekelompok besar sahabat yang dipilih oleh Nabi Islam Muhammad untuk menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an. Ada sebagian dari mereka yang menulis hanya sesekali, sementara sebagiannya secara khusus didedikasikan untuk tugas ini dan selalu siap untuk menuliskan wahyu. Sebagian dari para juru tulis ini dipilih oleh Muhammad di Mekkah sebelum hijrah, sebagian lagi dipilih setelah hijrah di Madinah, dan sebagian lagi dipilih setelah perjanjian Hudaibiyyah. Mereka yang ditunjuk sebagai juru tulis wahyu ini dianggap sebagai suatu rekomendasi dan kepercayaan dari Nabi. Mereka dipilih karena pemahaman mereka yang baik terhadap Al-Qur`an, serta dikenal atas kebagusan agama dan kejujuran mereka. Penulisan wahyu ini memiliki peran penting dalam menjaga keaslian Al-Qur’an dari distorsi,[1] dan menyatukan umat Islam dalam pembacaannya.[2] Kedudukan juru tulis wahyuRekomendasi yang diberikan Nabi Islam Muhammad kepada para penulis wahyu merupakan bentuk penghormatan dan pengakuan atas kedudukan mereka. Pengakuan ini dapat disamakan dengan bentuk ijazah lisan yang dikenal dalam tradisi keilmuan Islam, khususnya di kalangan para ahli qiraat. Meskipun termasuk dalam bentuk rekomendasi (tazkiyah), rekomendasi ini terhitung sebagai ijazah lafziyyah yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada ijazah tertulis. Ia dapat dianggap sebagai ijazah yang berbasis pendengaran langsung (ijazah sam’iyyah), yang nilainya sangat tinggi karena berasal dari individu paling terpercaya dalam Islam, baik dari segi pemberi maupun penerimanya.[3] Definisi juru tulis wahyuDefinisi penulisJuru tulis atau penulis (bahasa Arab: كاتب, translit: kaatibun) adalah bentuk mufrad (tunggal), sedangkan bentuk jamaknya adalah kuttaabun (كُتَّابٌ). Contoh penggunaannya: رجل كاتب (seorang pria adalah penulis). Menurut Ibnul A’rabi, bentuk jamak kuttaab memiliki pola yang sama dengan rummaan (رُمَّانٌ). Bentuk jamak lainnya adalah kaatibuun (كَاتِبُون), sedangkan jamak taksirnya adalah الكتبة (al-katabah). Mashdarnya adalah al-kitaabah (الكِتابة) yang berarti penulisan atau tulisan.[4] Ibnul A’rabi berkata: “Penulis di antara orang-orang Arab adalah seorang alim, dan ia memberikan dalil dengan firman Allah, ( أَمْ عِندَهُمُ ٱلْغَيْبُ فَهُمْيَكْتُبُونَ Definisi wahyuIbnu Taimiyyah berkata, “Wahyu adalah pemberitahuan yang cepat dan tersembunyi, baik dalam keadaan terjaga maupun dalam mimpi.”[5] Pentingnya Pencatatan Wahyu dalam Menjaga Keutuhan Al QuranKomitmen Nabi untuk menghafal Al-Qur'an bersama para sahabatnya tidak ada yang menandinginya, kecuali perhatiannya untuk mendokumentasikan teks Al-Qur'an secara tertulis. Nabi secara langsung mengawasinya sendiri, sementara para sahabat menuliskan di hadapannya apa yang diwahyukan. Utsman berkata, “Ketika ayat-ayat turun kepada Nabi, beliau akan memanggil sebagian sahabat yang biasa menulis untuknya dan berkata kepadanya, ‘Letakkan ayat ini di dalam surah yang disebutkan ini dan itu.’”[6][7] Banyaknya ayat yang turun dalam satu waktu tidak menjadi penghalang atau beban bagi para sahabat dalam mencatatnya. Mereka segera menuliskan Surah Al-An’am saat turun, meskipun termasuk salah satu surah terpanjang dalam Al-Qur`an. Ibnu Abbas berkata, “Surah Al-An’am turun sekaligus, turun pada malam hari, dan mereka menuliskannya pada malam itu juga.[8][9] Nabi sangat memperhatikan apa yang tertulis di hadapannya. Beliau selalu memastikan keakuratan tulisan tersebut. Zaid bin Tsabit berkata, “Aku biasa menulis wahyu di hadapan Rasulullah, dan beliau mendiktekannya kepadaku. Ketika aku selesai, beliau berkata, “Bacalah,” maka aku pun membacanya, dan jika ada yang terlewat, beliau akan memperbaikinya.”[10] Selain itu, untuk menghindari percampuran antara Al-Qur`an dan perkataan lain dari beliau (hadits), beliau memerintahkan, “Janganlah kamu menulis dariku selain Al-Qur`an. Barangsiapa yang menulis dariku selain dari Al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya.” [11] Pentingnya menuliskan Al-Quran Suci terlihat jelas melalui:
Juru tulis wahyu yang terkenalBeberapa sahabat menuliskan wahyu untuk Rasulullah. Beberapa sejarawan mencatat jumlah mereka mencapai 26 orang, sementara yang lain menyebutkan hingga 42 orang. Penulis wahyu di Makkah, antara lain adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Khalid bin Sa’id bin al-‘Ash, ‘Amir bin Fuhairah, Al-Arqam bin Abu al-Arqam, Abu Salamah Abdullah bin Abdul Asad al-Makhzumi, Ja’far bin Abu Thalib, Hathib bin Amr, Az-Zubair bin al-Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Abdullah bin Abu Bakr. Penulis wahyu di Madinah, antara lain adalah Abu Ayyub al-Anshari, Khalid bin Zaid, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah, Mu’adz bin Jabal, Muaiqib bin Abu Fathimah ad-Dausi, Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul, Abdullah bin Zaid, Muhammad bin Maslamah, Buraidah bin al-Hushaib, Tsabit bin Qais bin Syammasy, Hudzaifah Ibnul Yaman, dan Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarh. Setelah perjanjian Hudaibiyyah, antara lain adalah Abu Sufyan Shakhr bin Harb, Yazid bin Abu Sufyan, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Khalid bin Walid, Jahm bin Sa’ad, Juhaim bin ash-Shalt bin Makhramah, Al-Hushain bin Numair, Huwaithib bin Abdul Uzza, Abdullah bin al-Arqam, Abbas bin Abdul Muthalib, Aban bin Sa’id bin al-Ash, Al-Mughirah bin Syu’bah, Amr bin al-Ash, Syurahbil bin Hasanah, dan Al-Ala’ bin al-Hadhrami. Ibnu Katsir mencatat beberapa sahabat yang menjadi penulis wahyu, di antaranya adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Zubair, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Muawiyah bin Abi Sufyan, Muhammad bin Maslamah, Al-Arqam bin Abi Al-Arqam, Aban bin Said bin Al-Ash dan saudaranya Khalid, Tsabit bin Qais, Hanzhalah bin ar-Rabi', Khalid bin Walid, Abdullah bin al-Arqam, Abdullah bin Zaid bin Abdul Rabbih, Al-Ala bin Utbah, Mughirah bin Syubah, dan Syurahbil bin Hasanah. Ibnu Katsir juga mengutip dari Al-Hafizh Abu Al-Qasim, yang mendokumentasikan dengan lebih rinci riwayat dari masing-masing sahabat tersebut, kecuali Syurahbil bin Hasanah. Alat dan sarana yang digunakan dalam penulisan wahyuApabila sesuatu dari Al-Qur’an diwahyukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau memanggil sebagian orang yang akan menuliskannya untuk beliau, maka mereka menuliskannya di: (daun kurma, tulang belikat, sobekan kertas, sobekan kulit, tulang bahu, tulang rusuk, dan punuk-punuk).[18] Al-Usub (العسب): bentuk jamak dari ‘Asib, yaitu pelepah kurma yang telah dikupas daunnya. Mereka biasa menulis di bagian pelepah yang lebar. Al-Likhāf (الِّخاف) dengan kasrah pada lam dan kha’ mu’jamah di akhir, dan diakhiri dengan huruf fa’ adalah bentuk jamak dari lakhfah (لَخفَة) dengan fathah pada lam dan sukun pada kha’, yang berarti batu-batu tipis. Al-Khattabi berkata: lempengan batu. Ar-Riqa (الرِّقاع) adalah bentuk jamak dari ruqaah (رقعة), yang dapat berupa potongan kulit, kertas perkamen, atau bahan lain seperti papirus. Al-Aktaf (الأكتاف) adalah bentuk jamak dari katif (كَتِفٌ), yaitu tulang belikat unta atau kambing yang digunakan sebagai media tulisan setelah kering. Al-Aqtab (الأقتاب) adalah bentuk jamak dari qitab (قِتب), yaitu kayu yang diletakkan di punggung unta sebagai pelana untuk ditunggangi.[18] Keragaman bahan tulisan ini tidak berarti bahwa sebagian besar Al-Qur`an ditulis lada bahan-bahan kasar tersebut. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan bahwa bahan-bahan yang lembut seperti kertas, kulit, bahkan sutra termasuk dalam media-media yang digunakan. Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit bahwa ia berkata, “Kami berada di sisi Rasulullah, menyusun Al-Qur’an dari riqa’ (kulit atau kertas)”.[19][20] Para penulis wahyu dan kesulitan dalam mencatat dan menuliskannyaAlat dan sarana yang tersedia pada masa itu masih sangat sederhana dan membutuhkan banyak usaha dalam penggunaannya. Meskipun demikian, para penulis wahyu tetap menuliskannya di pelepah kurma, batu tipis, potongan kulit, serta tulang rusuk dan bahu hewan. Diriwayatkan bahwa ketika turun firman Allah, “Tidaklah sama antara orang-orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang), kecuali mereka yang memiliki uzur, dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka satu derajat di atas orang-orang yang duduk. Kepada masing-masing Allah telah menjanjikan kebaikan, dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad di atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 95), Ibn Ummi Maktum dan Abdullah bin Jahsy, yang keduanya buta, bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah! Kami adalah orang buta, apakah kami mendapatkan keringanan?” Maka Allah menurunkan firman-Nya, “Kecuali mereka yang memiliki uzur.” Rasulullah kemudian bersabda, “Bawakan aku tulang belikat dan tinta.” Lalu beliau memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk menuliskannya, dan Zaid pun menulisnya. Ia berkata, “Seolah-olah aku masih bisa melihat tempatnya pada celah tulang belikat itu.” Zaid bin Tsabit juga meriwayatkan bahwa mereka dahulu mengumpulkan Al-Qur`an dari potongan-potongan kulit. Selain itu, alat dan bahan yang tersedia pada masa itu tidak mudah digunakan, melainkan memerlukan usaha yang besar untuk menyiapkan dan menggunakannya dalam mencatat wahyu. Lihat jugaReferensi
|