Gajah
Gajah (dari Sanskerta: gaja), liman,[1] atau biram[2] adalah mamalia besar dari famili Elephantidae dan ordo Proboscidea. Secara tradisional, terdapat dua spesies yang diakui, yaitu gajah afrika (Loxodonta africana) dan gajah asia (Elephas maximus), walaupun beberapa bukti menunjukkan bahwa gajah semak afrika dan gajah hutan afrika adalah spesies yang berbeda (L. africana dan L. cyclotis). Gajah tersebar di seluruh Afrika sub-Sahara, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Elephantidae adalah satu-satunya famili dari ordo Proboscidea yang masih ada; famili lain yang kini sudah punah termasuk mamut dan mastodon. Gajah afrika jantan merupakan hewan darat terbesar dengan tinggi hingga 4 m dan massa yang juga dapat mencapai 7.000 kg. Gajah memiliki ciri-ciri khusus, dan yang paling mencolok adalah belalai atau proboscis yang digunakan untuk banyak hal, terutama untuk bernapas, mengisap air, dan mengambil benda. Gigi serinya tumbuh menjadi taring yang dapat digunakan sebagai senjata dan alat untuk memindahkan benda atau menggali. Daun telinganya yang besar membantu mengatur suhu tubuh mereka. Gajah afrika memiliki telinga yang lebih besar dan punggung yang cekung, sementara telinga gajah asia lebih kecil dan punggungnya cembung. Gajah merupakan hewan herbivora yang dapat ditemui di berbagai habitat, seperti sabana, hutan, gurun, dan rawa-rawa. Mereka cenderung berada di dekat air. Gajah dianggap sebagai spesies kunci karena dampaknya terhadap lingkungan. Hewan-hewan lain cenderung menjaga jarak dari gajah, dan predator-predator seperti singa, harimau. hyena, dan anjing liar biasanya hanya menyerang gajah muda. Gajah betina cenderung hidup dalam kelompok keluarga, yang terdiri dari satu betina dengan anak-anaknya atau beberapa betina yang berkerabat beserta anak-anak mereka. Kelompok ini dipimpin oleh individu gajah yang disebut matriark, yang biasanya merupakan betina tertua. Gajah memiliki struktur kelompok fisi-fusi, yaitu ketika kelompok-kelompok keluarga bertemu untuk bersosialisasi. Gajah jantan meninggalkan kelompok keluarganya ketika telah mencapai masa pubertas, dan akan tinggal sendiri atau bersama jantan lainnya. Jantan dewasa biasanya berinteraksi dengan kelompok keluarga ketika sedang mencari pasangan dan memasuki tahap peningkatan testosteron dan agresi yang disebut musth, yang membantu mereka mencapai dominasi dan keberhasilan reproduktif. Anak gajah merupakan pusat perhatian kelompok keluarga dan bergantung pada induknya selama kurang lebih tiga tahun. Gajah dapat hidup selama 70 tahun di alam bebas. Mereka berkomunikasi melalui sentuhan, penglihatan, penciuman, dan suara; gajah juga menggunakan infrasonik dan komunikasi seismik untuk jarak jauh. Kecerdasan gajah telah dibandingkan dengan kecerdasan primata dan cetacea. Mereka tampaknya memiliki kesadaran diri dan menunjukkan empati kepada gajah lain yang hampir atau sudah mati. Gajah afrika digolongkan sebagai spesies yang rentan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN), sementara gajah asia diklasifikasikan sebagai spesies terancam. Salah satu ancaman terbesar bagi gajah adalah perdagangan gading yang memicu perburuan liar. Ancaman lain adalah kehancuran habitat dan konflik dengan penduduk setempat. Di sisi lain, gajah digunakan sebagai hewan pekerja di Asia. Dulu mereka pernah digunakan untuk perang; kini, gajah sering kali dipertontonkan di kebun binatang dan sirkus. Gajah dapat dengan mudah dikenali dan telah digambarkan dalam seni, cerita rakyat, agama, sastra, dan budaya populer. EtimologiBahasa IndonesiaDalam bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Minangkabau, dan Aceh, hewan ini disebut "gajah". Kata ini sendiri berasal dari bahasa Sanskerta, "gaja", yang merupakan kata dasar dari kata benda maskulin. Dalam kasus nominativus (sebagai subjek yang berdiri sendiri), "gaja" yang berbentuk tunggal seharusnya mengalami deklinasi menjadi "gajas", tetapi kata ini kemudian terkena hukum bunyi s di akhir kata dan berubah menjadi h, sehingga menjadi "gajah".[3] Bahasa InggrisSementara itu, gajah dikenal dengan sebutan "elephant" dalam bahasa Inggris. Kata "elephant" berasal dari bahasa Latin elephas (bentuk genitivus elephantis), yang merupakan Latinisasi dari kata ἐλέφας, elephas (bentuk genitivus ἐλέφαντος, elephantos) dalam bahasa Yunani;[4] kata tersebut kemungkinan berasal dari bahasa non-Indo-Eropa, yaitu Fenisia.[5] Kata e-re-pa dan e-re-pa-to digunakan di Yunani Mikenai dalam aksara silabis Linear B.[6][7] Seperti di Yunani Mikenai, Homeros menggunakan kata tersebut untuk menyebut gading, tetapi setelah masa Herodotos istilah tersebut juga merujuk pada hewan gajah.[4] Pendahulu kata "elephant", yaitu olyfaunt, baru muncul dalam bahasa Inggris Pertengahan sekitar tahun 1300, dan kata tersebut dipinjam dari kata dalam bahasa Prancis Kuno, oliphant (abad ke-12).[5] Di sisi lain, Loxodonta, yang merupakan nama genus gajah afrika, berasal dari bahasa Yunani yang berarti "gigi bersisi miring".[8] TaksonomiKlasifikasi, spesies, dan subspesies![]() ![]() Gajah tergolong dalam famili Elephantidae, satu-satunya famili dalam ordo Proboscidea yang masih ada. Kerabat terdekat yang masih ada meliputi sirenia (dugong dan lembu laut) dan hyrax; mereka berada dalam klad yang sama, yaitu klad Paenungulata dalam superordo Afrotheria.[9] Gajah dan sirenia juga dikelompokan dalam klad Tethytheria.[10] Secara tradisional, terdapat dua spesies gajah yang diakui, yaitu gajah afrika (Loxodonta africana) dan gajah asia (Elephas maximus). Gajah afrika memiliki telinga yang besar, punggung yang cekung, kulit yang lebih berkerut, daerah perut yang miring, dan dua perpanjangan yang seperti jari di ujung belalai. Telinga gajah asia lebih kecil, punggungnya cembung, kulitnya lebih halus, daerah perutnya horizontal dan kadang-kadang melengkung di tengah, dan ujung belalainya hanya memiliki satu perpanjangan. Tonjolan (ridge) di gigi geraham gajah asia lebih sempit bila dibandingkan dengan geraham gajah afrika yang berbentuk seperti berlian. Gajah asia juga memiliki benjolan di bagian dorsal (atas) kepalanya dan tanda-tanda depigmentasi di kulitnya.[11] Zoolog Swedia Carl Linnaeus pertama kali mendeskripsikan genus Elephas dan seekor gajah dari Sri Lanka dengan nama binomial Elephas maximus pada tahun 1758. Kemudian, pada tahun 1798, Georges Cuvier mengklasifikasikan gajah india dengan nama binomial Elephas indicus. Zoolog Belanda Coenraad Jacob Temminck mendeskripsikan gajah sumatra pada tahun 1847 dengan nama binomial Elephas sumatranus, sementara zoolog Inggris Frederick Nutter Chasen mengklasifikasikan ketiganya sebagai subspesies gajah asia pada tahun 1940.[12] Subspesies gajah asia memiliki perbedaan warna dan kadar depigmentasi. Gajah sri lanka (Elephas maximus maximus) menghuni Sri Lanka, gajah india (E. m. indicus) berasal dari daratan asia (di anak benua India dan Indochina), dan gajah sumatra (E. m. sumatranus) dapat ditemui di pulau Sumatra.[11] Salah satu subspesies yang diperdebatkan, yaitu gajah borneo, tinggal di Borneo utara dan lebih kecil daripada subspesies-subspesies yang lain. Gajah ini juga memiliki telinga yang lebih besar, ekor yang lebih panjang, dan taring yang lebih lurus daripada gajah biasa. Zoolog Sri Lanka Paules Edward Pieris Deraniyagala pada tahun 1950 mendeskripsikannya dengan nama trinomial Elephas maximus borneensis, dengan menjadikan ilustrasi di National Geographic sebagai spesimen tipenya.[13] Gajah ini kemudian digolongkan sebagai E. m. indicus atau E. m. sumatranus. Analisis genetik pada tahun 2003 menunjukkan bahwa nenek moyang gajah borneo terpisah dari populasi di daratan Asia sekitar 300.000 tahun yang lalu.[14] Namun, penelitian pada tahun 2008 mengindikasikan bahwa gajah borneo tidak berasal dari pulau tersebut, tetapi dibawa oleh Sultan Sulu dari Jawa sebelum tahun 1521.[13] ![]() Gajah afrika pertama kali dinamai oleh naturalis Jerman Johann Friedrich Blumenbach pada tahun 1797 dengan nama binomial Elephas africana.[15] Genus Loxodonta dinamai oleh Georges Cuvier pada tahun 1825. Cuvier mengejanya Loxodonte dan seorang penulis anonim meromanisasi ejaan tersebut menjadi Loxodonta; Peraturan Internasional bagi Tata Nama Zoologi telah mengakui perubahan ini.[16] Pada tahun 1942, 18 subspesies gajah afrika telah diakui oleh Henry Fairfield Osborn, tetapi data morfologis telah mengurangi jumlah subspesies yang terklasifikasi,[17] dan pada tahun 1990-an hanya terdapat dua subspesies yang diakui, yaitu gajah semak afrika (L. a. africana) dan gajah hutan afrika (L. a. cyclotis);[18] gajah hutan afrika memiliki telinga yang lebih kecil dan bundar, sementara taringnya lebih lurus dan kurus, dan habitatnya terbatas pada wilayah berhutan di Afrika Barat dan Tengah.[19] Jurnal yang diterbitkan pada tahun 2000 berpendapat agar kedua subspesies tersebut diangkat menjadi spesies L. africana dan L. cyclotis berdasarkan morfologi tengkorak.[20] Penelitian DNA yang diterbitkan pada tahun 2001 dan 2007 juga menunjukkan bahwa mereka adalah spesies yang berbeda,[21][22] sementara penelitian pada tahun 2002 dan 2005 menyimpulkan bahwa keduanya adalah spesies yang sama.[23][24] Akan tetapi, hasil penelitian yang diterbitkan pada tahun 2010 mendukung pengubahan status menjadi spesies.[25] Hingga tahun 2011, penamaan gajah afrika dalam taksonomi masih diperdebatkan.[26] Edisi ketiga Mammal Species of the World menggolongkan gajah semak afrika dan gajah hutan afrika sebagai spesies yang terpisah,[16] dan tidak memasukkan subspesies manapun ke dalam spesies Loxodonta africana.[16] Pendekatan ini tidak diikuti oleh World Conservation Monitoring Centre atau IUCN, yang menganggap L. cyclotis sebagai sinonim dari L. africana.[27][28] Beberapa bukti menunjukkan bahwa gajah di Afrika Barat adalah spesies yang terpisah,[29] tetapi hal ini masih diperdebatkan.[24][26] Sementara itu, gajah kerdil di Cekungan Kongo yang diduga merupakan spesies terpisah (Loxodonta pumilio) kemungkinan merupakan gajah hutan yang memiliki ukuran kecil dan/atau kematangan awal akibat keadaan lingkungan di sekitar.[30] Evolusi dan kerabat yang sudah punahDiperkirakan terdapat lebih dari 161 anggota ordo Proboscidea dan tiga peristiwa radiasi evolusioner. Kemunculan hewan-hewan Proboscidea pertama, yaitu Eritherium dan Phosphatherium dari Afrika pada kala Paleosen akhir, menjadi tanda terjadinya peristiwa radiasi pertama.[31] Pada kala Eosen, terdapat Anthracobunidae dari anak benua India dan Numidotherium, Moeritherium, dan Barytherium dari Afrika. Hewan-hewan ini relatif kecil dan bersifat akuatik. Nantinya, genera seperti Phiomia dan Palaeomastodon muncul; habitat Palaeomastodon kemungkinan berada di hutan atau daerah berhutan terbuka. Keanekaragaman Proboscidea mulai berkurang pada kala Oligosen.[32] Salah satu spesies penting dari kala ini adalah Eritreum melakeghebrekristosi dari Tanduk Afrika, yang mungkin merupakan nenek moyang gajah.[33] Pada awal periode Miosen terjadi diversifikasi kedua dengan munculnya Deinotheriidae dan Mammutidae. Deinotheriidae memiliki kekerabatan dengan Barytherium dan hidup di Afrika dan Eurasia,[34] sementara Mammutidae mungkin merupakan keturunan Eritreum[33] dan menyebar ke Amerika Utara.[34] ![]() Peristiwa radiasi evolusioner kedua berlangsung dengan munculnya gomphothere pada kala Miosen,[34] yang kemungkinan berevolusi dari Eritreum;[33] famili ini berasal dari Afrika dan menyebar ke semua benua kecuali Australia dan Antartika. Anggota kelompok ini meliputi Gomphotherium dan Platybelodon.[34] Radiasi evolusioner ketiga terjadi pada akhir Miosen dan mengakibatkan munculnya famili Elephantidae, yang berasal dari gomphothere dan secara perlahan menggantikan mereka.[35] Primelephas gomphotheroides dari Afrika menghasilkan Loxodonta, Mammuthus, dan Elephas. Loxodonta adalah percabangan pertama, yang berlangsung antara kala Miosen dan Pliosen, sementara Mammuthus dan Elephas berpisah pada awal kala Pliosen. Loxodonta tetap menghuni Afrika, sementara Mammuthus dan Elephas menyebar ke Eurasia, dan Mammuthus mencapai Amerika Utara. Pada saat yang sama, Stegodontidae (famili Proboscidea lain yang merupakan keturunan dari gomphothere) menyebar di Asia, termasuk di anak benua India, Tiongkok, Asia Tenggara, dan Jepang. Mammutidae terus berevolusi menjadi spesies baru, seperti mastodon amerika.[36] ![]() Pada awal kala Pleistosen, tingkat spesiasi Elephantidae meninggi. Loxodonta atlantica menjadi spesies yang paling umum di Afrika bagian utara dan selatan, tetapi digantikan oleh Elephas iolensis pada akhir kala Pleistosen. Spesies Loxodonta modern baru menjadi dominan setelah Elephas iolensis mengalami kepunahan. Elephas berdiversifikasi menjadi spesies baru di Asia, seperti E. hysudricus dan E. platycephus;[37] E. platycephus kemungkinan merupakan nenek moyang gajah asia modern.[38] Mammuthus berevolusi menjadi beberapa spesies, termasuk spesies Mammuthus primigenius yang terkenal.[37] Pada kala Pleistosen Akhir, akibat terjadinya glasiasi kuarter, sebagian besar spesies Proboscidea mengalami kepunahan, dan kurang lebih 50% genera dengan massa lebih dari 5 kg musnah.[39] Proboscidea mengalami beberapa tren evolusi, seperti pembesaran ukuran, yang membuat banyak spesies memiliki tinggi hingga mencapai 4 m.[40] Seperti megaherbivora lainnya, termasuk Sauropoda yang telah punah, ukuran gajah mungkin berkembang untuk memungkinkan mereka bertahan dengan memakan tumbuhan bernutrisi rendah.[41] Tungkai mereka tumbuh menjadi lebih panjang dan kakinya menjadi lebih pendek dan luas. Proboscidea awal memiliki tulang rahang yang lebih panjang dan kranium (batok kepala) yang lebih kecil, sementara Proboscidea selanjutnya memiliki tulang rahang yang lebih pendek, yang menggeser pusat gravitasi kepala. Tengkorak menjadi lebih besar, terutama kraniumnya, sementara leher memendek agar lebih dapat menopang tengkorak. Pembesaran ukuran mengakibatkan munculnya belalai yang membantu menjangkau sesuatu. Jumlah gigi geraham kecil, gigi seri, dan gigi taring berkurang. Gigi geraham dan geraham kecil menjadi lebih besar dan terspesialisasi. Gigi seri kedua atas berubah menjadi taring, yang mungkin berbentuk lurus, melengkung (ke atas atau ke bawah), atau berputar (tergantung spesies). Pada beberapa spesies Proboscidea, taringnya berasal dari gigi seri bawahnya.[40] Gajah masih menunjukkan beberapa karakteristik yang merupakan turunan dari nenek moyang mereka yang akuatik, seperti anatomi telinga tengah dan testis internal pada jantan.[42] Terdapat perdebatan mengenai hubungan kekerabatan antara Mammuthus dengan Loxodonta atau Elephas. Beberapa penelitian DNA menunjukkan bahwa Mammuthus lebih berhubungan erat dengan Loxodonta,[43][44] sementara penelitian lainnya meyakini kedekatan Mammuthus dengan Elephas.[10] Namun, analisis genom mitokondrial Mammuthus primigenius (diurutkan tahun 2005) membuktikan bahwa Mammuthus lebih dekat dengan Elephas.[21][25][45] Bukti morfologis menunjukkan bahwa Mammuthus dan Elephas adalah takson saudara, sementara hasil perbandingan protein albumin dan kolagen mengindikasikan bahwa hubungan kekerabatan di antara ketiganya kurang lebih sama.[46] Beberapa ilmuwan meyakini bahwa embrio mamut hasil kloning suatu saat dapat dimasukkan ke rahim gajah asia[47] Spesies kerdil![]() Beberapa spesies Proboscidea hidup di pulau dan mengalami dwarfisme. Hal ini berlangsung pada kala Pleistosen, ketika beberapa populasi gajah terisolasi akibat meningkatnya permukaan laut, walaupun gajah kerdil sudah ada pada kala Pliosen awal. Gajah-gajah tersebut kemungkinan menyusut karena ketiadaan populasi predator yang besar dan sumber daya yang terbatas. Sebaliknya, mamalia seperti hewan pengerat mengalami gigantisme dalam keadaan seperti ini. Proboscidea kerdil pernah hidup di Indonesia, Kepulauan Channel California, dan beberapa pulau di Laut Tengah.[48] Elephas celebensis di Sulawesi diyakini merupakan hasil dwarfisme dari Elephas planifrons. Elephas falconeri di Malta dan Sisilia (yang tingginya hanya mencapai 1 m) kemungkinan berevolusi dari Palaeoloxodon antiquus. Keturunan Palaeoloxodon antiquus lainnya pernah ada di Siprus. Gajah kerdil yang tidak diketahui nenek moyangnya juga pernah hidup di Kreta, Kyklades, dan Dodecanese, sementara mamut kerdil pernah ada di Sardinia.[48] Sementara itu, mamut kolumbia memasuki Kepulauan Channel California dan berevolusi menjadi mamut pigmi (Mammuthus exilis). Tinggi spesies ini mencapai 1,2 hingga 1,8 m dan massanya kurang lebih 200 hingga 2.000 kg. Populasi mamut berbulu kecil pernah bertahan hidup di Pulau Wrangel, kini 140 km di sebelah utara pesisir Siberia, hingga 4.000 tahun yang lalu.[48] Setelah ditemukan pada tahun 1993, mereka dianggap sebagai mamut kerdil.[49] Klasifikasi ini telah ditinjau ulang dan semenjak Konferensi Mammoth Internasional Kedua pada tahun 1999, hewan-hewan tersebut tidak lagi dianggap sebagai "mamut kerdil" yang sesungguhnya.[50] Anatomi dan morfologi![]() Gajah adalah hewan darat terbesar di dunia. Tinggi gajah afrika kurang lebih 3 hingga 4 m dan massanya bervariasi antara 4.000 hingga 7.000 kg, sementara tinggi gajah asia adalah 2 hingga 3,5 m dan massanya 3.000 hingga 5.000 kg.[11] Gajah jantan lebih besar dari gajah betina, baik itu pada gajah asia maupun afrika.[12][15] Di antara gajah-gajah afrika, gajah di hutan lebih kecil daripada gajah di sabana.[19] Kerangka gajah terdiri dari 326–351 tulang.[51] Tulang punggungnya terhubung dengan persendian yang erat, sehingga membatasi fleksibilitas tulang tersebut. Gajah afrika memiliki 21 pasang rusuk, sementara gajah asia memiliki 19 atau 20 pasang.[52] Tengkorak gajah dapat menahan gaya yang dihasilkan oleh pengungkitan taring dan tubrukan kepala-ke-kepala. Bagian belakang tengkorak merata dan memiliki lengkungan yang melindungi otak di segala arah.[53] Di tengkorak terdapat rongga-rongga udara yang mengurangi beban tengkorak dan pada saat yang sama juga tetap mempertahankan kekuatan tengkorak tersebut secara keseluruhan. Rongga-rongga ini membuat bagian dalam tengkorak tampak seperti sarang madu. Kranium (batok kepala) gajah sendiri besar dan memiliki ruang untuk otot yang menopang seluruh kepala. Rahang bawahnya padat dan berat.[51] Akibat ukuran kepalanya yang besar, leher gajah relatif pendek agar lebih dapat menopang kepala.[40] Mata gajah bergantung pada kelenjar harderian untuk menjaga kelembapannya karena gajah tidak memiliki aparatus lakrimal. Membran pengelip melindungi bola mata. Ruang pandang gajah sendiri dipersempit oleh lokasi dan keterbatasan pergerakan mata.[54] Gajah merupakan hewan dikromat [55] dan dapat melihat dengan baik dalam cahaya redup, tetapi tidak dalam cahaya terang.[56] Rata-rata suhu tubuh gajah adalah 35,9 °C (97 °F), yang serupa dengan manusia. Seperti unta, gajah dapat meningkatkan atau mengurangi suhunya untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan.[57] Telinga![]() Telinga gajah memiliki landasan yang tebal dan ujung yang tipis. Daun telinga gajah, atau pina, memiliki sejumlah pembuluh darah kapiler. Darah yang hangat mengalir ke pembuluh darah kapiler, sehingga membantu mengeluarkan panas tubuh yang berlebih. Hal ini berlangsung ketika pina berada pada posisi diam, dan gajah dapat mengeluarkan lebih banyak panas dengan mengepakkan daun telinganya. Semakin luas permukaan telinga, semakin banyak jumlah pembuluh darah kapiler, sehingga lebih banyak panas yang dapat dikeluarkan. Di antara semua gajah, gajah semak afrika hidup di iklim terpanas, sehingga memiliki daun telinga terbesar.[58] Telinga gajah juga mampu mendengarkan frekuensi yang rendah dan paling sensitif pada frekuensi 1 kHz.[59] BelalaiBelalai atau proboscis adalah penggabungan hidung dengan bibir atas, walaupun pada tahap fetus bibir atas dan belalai masih terpisah.[40] Belalai gajah panjang dan terspesialisasi agar dapat dengan mudah digerakkan. Belalai memiliki kurang lebih 150.000 fasikulus otot, tanpa tulang dan sedikit lemak. Terdapat dua jenis otot: superfisial (di permukaan) dan internal. Otot superfisial terbagi menjadi otot dorsal, ventral, dan lateral, sementara otot internal terbagi menjadi otot melintang dan menyebar. Otot-otot belalai terhubung dengan bukaan bertulang di tengkorak. Septum nasal terdiri dari satuan-satuan otot kecil yang membentang secara horizontal di antara lubang hidung. Tulang rawan memisahkan lubang hidung di dasarnya.[60] Sebagai bentuk hidrostat otot, belalai digerakkan dengan mengkoordinasi kontraksi otot secara tepat. Otot-otot bekerja bersama dan berlawanan satu sama lain. Saraf proboscis yang unik–yang terbentuk dari saraf maksilaris dan fasialis–menjalar di kedua sisi belalai.[61] ![]() Belalai gajah memiliki beberapa fungsi, seperti bernapas, mencium bau, menyentuh, menggapai, dan menghasilkan suara.[40] Indra penciuman gajah mungkin empat kali lebih sensitif daripada anjing bloodhound.[62] Kemampuan belalai untuk melintir dan melingkar memungkinkan pengambilan makanan, bergelut dengan sesamanya,[63] dan mengangkat beban dengan massa hingga 350 kg.[40] Belalai gajah dapat pula digunakan untuk menyeka mata dan memeriksa lubang pada tubuh,[63] serta untuk membuka kulit kacang tanpa memecahkan isinya.[40] Dengan belalainya, gajah dapat menjangkau ketinggian hingga 7 m dan menggali untuk mencari air di bawah lumpur atau pasir.[63] Individu gajah dapat memiliki kecenderungan tertentu dalam menggerakkan belalainya saat sedang mencoba menggapai sesuatu dengan menggunakan belalai: beberapa cenderung melintirkan belalainya ke arah kiri, sementara yang lain ke arah kanan.[61] Gajah dapat menghisap air untuk diminum atau disiramkan ke tubuh mereka.[40] Gajah asia dewasa dapat menampung 8,5 liter air di belalainya.[60] Mereka juga menyemprotkan debu atau rumput pada diri mereka sendiri.[40] Selain itu, saat berada di bawah air, gajah menggunakan belalainya sebagai snorkel untuk bernapas.[42] Gajah afrika memiliki dua perpanjangan yang berbentuk seperti jari di ujung belalai, yang memungkinkannya untuk menjangkau dan mengangkut makanan ke mulutnya. Gajah asia hanya memiliki satu perpanjangan, dan biasanya membelit makanan dengan belalainya dan kemudian memasukkannya ke mulutnya.[11] Gajah asia lebih dapat melakukan koordinasi otot dan mampu melakukan tugas yang lebih rumit.[60] Tanpa belalai, gajah sulit bertahan hidup,[40] walaupun terdapat beberapa contoh gajah dengan belalai pendek yang berhasil bertahan. Seekor gajah pernah terlihat sedang memakan rumput dengan berlutut di bagian tungkai depan, mengangkat tungkai belakangnya, dan mengambil rumput dengan menggunakan bibir.[60] Gajah semak afrika dapat mengalami "sindrom belalai terkulai" (floppy trunk syndrome), yaitu kelumpuhan belalai yang disebabkan oleh degradasi sistem saraf tepi dan otot.[64] Gigi![]() Pada umumnya gajah memiliki 26 gigi: gigi seri, yang disebut taring, 12 gigi geraham kecil susu, dan 12 gigi geraham. Tidak seperti kebanyakan mamalia yang pada awalnya memiliki gigi susu yang kemudian digantikan oleh gigi dewasa permanen, gajah merupakan hewan polifiodon, atau dalam kata lain memiliki siklus rotasi gigi sepanjang hidupnya. Gigi untuk mengunyah diganti enam kali selama masa hidup gajah. Gigi lama tidak digantikan oleh gigi baru yang tumbuh di rahang (seperti pada kebanyakan mamalia), tetapi gigi baru tumbuh di bagian belakang mulut dan maju ke depan dan mendorong keluar gigi lama. Gigi pengunyah pertama di kedua sisi rahang akan tanggal setelah gajah berumur dua atau tiga tahun. Rangkaian kedua gigi pengunyah tanggal saat gajah berusia enam tahun, dan lalu yang ketiga tanggal pada umur 9–15 tahun. Rangkaian keempat gigi pengunyah akan tetap bertahan hingga usia 18–28 tahun. Rangkaian kelima akan tanggal pada awal umur 40-an, dan yang keenam (biasanya merupakan gigi terakhir) akan tetap ada hingga akhir hayat. Gigi gajah memiliki tonjolan (ridge), dan tonjolan ini lebih tebal dan berbentuk seperti berlian pada gajah afrika.[65] Taring![]() Taring gajah merupakan modifikasi gigi seri kedua di rahang atas. Taring tersebut menggantikan gigi susu ketika gajah berumur 6–12 bulan dan tumbuh sekitar 17 cm per tahun. Taring yang baru tumbuh memiliki lapisan enamel yang nantinya akan luntur. Dentin pada taring disebut gading dan di penampang melintang terdapat pola garis yang berselang-seling, yang menghasilkan area berbentuk berlian. Sebagai jaringan yang hidup, taring sendiri relatif rembut; taring gajah kurang lebih sekeras mineral kalsit. Sebagian besar taring dapat dilihat dari luar, sementara sisanya melekat pada sendi di tengkorak. Paling tidak sepertiga taring merupakan pulpa dan beberapa taring memiliki saraf yang membentang hingga ke ujung. Maka sulit untuk mengambil taring gajah tanpa melukai hewannya. Jika diambil, gading mulai mengering dan akan pecah bila tidak disimpan di tempat yang dingin dan lembap. Taring memiliki beberapa fungsi. Taring dapat digunakan untuk menggali untuk menemukan air, garam, dan akar; menguliti atau menandai pohon; dan menyingkirkan pohon dan cabang yang menghalangi jalan. Saat sedang berkelahi, taring digunakan untuk menyerang dan bertahan, serta untuk melindungi belalai.[66] Seperti manusia yang memiliki preferensi menggunakan tangan kanan atau kiri, gajah juga memiliki preferensi dalam menggunakan taring kiri atau kanannya. Taring yang dominan biasanya tampak sudah sering digunakan karena biasanya lebih pendek dan memiliki ujung yang lebih tumpul. Pada gajah afrika, baik jantan maupun betina sama-sama memiliki taring, dan panjangnya kurang lebih sama (yaitu mencapai 3 m),[66] tetapi taring jantan cenderung lebih tebal.[67] Sementara itu, pada gajah asia, hanya jantan yang memiliki taring besar. Gajah asia betina memiliki taring yang sangat kecil, atau bahkan tidak ada sama sekali.[66] Terdapat pula gajah jantan yang tak bertaring dan biasanya dapat ditemui di Sri Lanka.[68] Panjang taring gajah asia jantan dapat menyamai taring gajah afrika, tetapi taring gajah asia biasanya lebih tipis dan ringan; taring gajah asia terbesar yang pernah diketahui memiliki panjang 3,02 m dan massa 39 kg. Namun, akibat perburuan gading di Afrika,[69] and Asia[70] terjadi proses seleksi alam yang menghasilkan taring yang lebih pendek.[71] Kulit![]() Kulit gajah pada umumnya sangat keras, dengan ketebalan 2,5 cm di punggung dan sebagian kepalanya. Kulit di sekitar mulut, anus, dan di dalam telinga jauh lebih tipis. Warna kulit gajah pada umumnya abu-abu, tetapi gajah afrika tampak berwarna kecoklatan atau kemerahan setelah berkubang di lumpur yang berwarna. Gajah asia mungkin menunjukkan tanda-tanda depigmentasi, terutama di dahi, telinga, dan kulit di sekitarnya. Anak gajah memiliki rambut yang berwarna kecoklatan atau kemerahan, terutama di kepala dan punggungnya. Begitu gajah menjadi dewasa, rambut mereka menjadi lebih gelap dan jarang, tetapi konsentrasi rambut dan rambut kejur (bristle) yang padat masih dapat ditemui di ujung ekor, dagu, alat kelamin, dan di sekitar mata dan bukaan mata. Gajah asia umumnya memiliki lebih banyak rambut daripada gajah afrika.[72] Gajah menggunakan lumpur untuk melindungi kulitnya dari sinar ultraviolet, walaupun kulit gajah sebenarnya sangat sensitif. Bila gajah tidak secara rutin berkubang dalam lumpur, kulitnya akan mengalami kerusakan akibat sinar matahari, gigitan serangga, dan hilangnya kelembapan. Setelah berkubang, gajah biasanya menggunakan belalainya untuk menyemburkan debu ke tubuhnya, dan debu ini akan mengering menjadi kerak pelindung. Gajah mengalami kesulitan dalam mengeluarkan panas dari kulitnya karena rasio luas permukaan terhadap volumenya yang jauh lebih rendah dari manusia. Beberapa gajah bahkan didapati sedang mengangkat tungkai mereka, kemungkinan untuk memaparkan tapak kakinya ke udara.[72] Tungkai, pergerakan, dan postur![]() Posisi tungkai gajah lebih vertikal daripada mamalia lain untuk menopang beban gajah. Tulang-tulang yang panjang di tungkai mereka memiliki tulang spongiosa sebagai pengganti rongga meduler, sehingga memperkuat tulang dan pada saat yang sama masih memungkinkan hemopoesis.[73] Baik tungkai depan maupun belakang dapat menopang beban gajah, walaupun 60% beban ditopang oleh tungkai depan.[74] Karena tulang-tulang tungkai berada di bagian bawah tubuh, gajah dapat berdiam diri dalam waktu yang lama tanpa perlu menghabiskan banyak energi. Gajah tidak dapat memutar tungkai depannya karena tulang hasta dan pengumpilnya berada pada posisi pronasi (penelungkupan) yang tetap; "telapak" manusnya selalu menghadap ke belakang.[73] Otot pronator kuadratus dan pronator teres biasanya mengalami reduksi atau tidak ada sama sekali.[75] Kaki gajah yang bundar memiliki jaringan lunak di bawah manus atau pes, yang mendistribusikan beban gajah.[74] Mereka tampaknya memiliki tulang sesamoid, yang merupakan “jari kaki” tambahan yang serupa dengan “ibu jari” tambahan pada panda raksasa, yang turut membantu mendistribusikan beban.[76] Paling tidak terdapat lima jari kaki di kaki depan dan be |