Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

GPIB Sion Jakarta

GPIB Jemaat Sion DKI Jakarta
Portugese Buitenkerk, Jassen Kerk, Gereja Sion
Tampak barat Gereja Sion pada tahun 2025
PetaKoordinat: 6°8′17.880″S 106°49′4.080″E / 6.13830000°S 106.81780000°E / -6.13830000; 106.81780000
LokasiJalan Pangeran Jayakarta, Pinangsia, Taman Sari, Jakarta Barat, DKI Jakarta
NegaraIndonesia
DenominasiProtestan
Tanggal konsekrasi23 Oktober 1695
Arsitektur
Status fungsionalAktif
ArsitekEwout Verhagen dari Rotterdam
Tipe arsitekturGereja
GayaKolonial Belanda awal/Hindia lama
Peletakan batu pertama19 Oktober 1693
Selesai1695

Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat Jemaat Sion DKI Jakarta, sering disingkat GPIB Jemaat Sion DKI Jakarta atau Gereja Sion, adalah sebuah gereja Kristen Protestan di Pinangsia, Taman Sari, Jakarta Barat. Bangunan gereja ini telah berdiri sejak abad ke-17 dan merupakan gedung tertua di Jakarta yang masih digunakan sesuai dengan fungsi awalnya. Gereja ini juga diyakini sebagai gereja Protestan tertua di Asia yang masih aktif digunakan hingga kini.[1]

Cikal bakal gereja bermula dari 1676, sebagai gereja sederhana dengan liturgi berbahasa Portugis untuk kaum Mardijker serta Kristen berdarah pribumi dan campuran Batavia. Gereja ini kerap dirujuk sebagai Portugese Buitenkerk "Gereja Portugis Luar Kota". Karena tumbuhnya jumlah jemaat, Buitenkerk kemudian dibangun ulang dengan andil VOC menjadi gedung permanen antara 1693 hingga 1695. Meski telah mengalami sejumlah pemugaran, bentuk keseluruhan gereja relatif tidak banyak berubah hingga kini. Setelah kemerdekaan Indonesia, Buitenkerk resmi berganti nama menjadi GPIB Jemaat Sion atau Gereja Sion pada tahun 1957. Selain bangunan keseluruhan, berbagai peninggalan kolonial masih bisa ditemukan di gereja ini, termasuk mebel, nisan, dan prasasti.

Nama dan jemaat

Gambaran Mardijker dari sekitar 1700-an, salah satu kaum yang menjadi jemaat utama Portugese Buitenkerk.

Gereja yang kini dikenal sebagai Gereja Sion memiliki sejumlah nama dan julukan sepanjang sejarahnya. Sebagian besar catatan sejarah dari masa pra-kemerdekaan mengenal gereja ini dengan nama Belanda Portugese Buitenkerk (Gereja Portugis Luar).[a] Istilah buiten- (luar) dalam nama tersebut merujuk pada lokasinya di luar tembok kota Batavia serta pembeda dari gereja lain bernama Portugese Binnenkerk (Gereja Portugis Dalam). Karena Binnenkerk dibangun lebih dulu, beberapa sumber menyebut Buitenkerk sebagai Nieuwe Portuguese Buitenkerk (Gereja Portugis Baru Luar) untuk memperjelas perbedaannya.[1][2]

Kata Portugese yang disandang gereja Binnenkerk dan Buitenkerk tidak bermaksud harfiah bangsa Portugis melainkan merujuk pada kaum Mardijker serta Kristen bekas budak berdarah pribumi dan campuran di Batavia yang berbahasa Portugis dalam kesehariannya.[3] Karena penggunaan bahasa Portugis yang sudah mengakar,[4][5] administrasi VOC (tepatnya Majelis Gereja atau Kerkenraad)[6] menggangap lebih praktis untuk mengurus gereja terpisah berbahasa Portugis dibanding memaksa jemaat Mardijker menggunakan bahasa Belanda dalam gereja tunggal. Hal ini juga menjadi bentuk pengendalian dan segregasi etnis; jemaat Belanda menggunakan Gereja Belanda,[b] sementara jemaat Mardijker dan pribumi Kristen menggunakan gereja Portugis. Binnenkerk melayani jemaat Mardijker kelas atas dan Buitenkerk melayani jemaat kelas bawah.[1][7][c]

Selain "Buitenkerk", beberapa peta Batavia dari akhir 1700-an juga menyebut gereja ini sebagai Jassen Kerk dan Jassenkerkhof ("Gereja Jassen").[d] Nama ini berasal dari sebuah jembatan di dekatnya, Jassenbrug, yang tercantum di sejumlah peta tua Batavia.[e] Lambat laun, jembatan, wilayah di sekitarnya, dan sebuah makam di kuburan gereja Buitenkerk dikaitkan dengan seorang "Kapiten Jass" yang dianggap sebagai sumber nama dari wilayah tersebut. Namun, kemungkinan besar ia hanyalah tokoh rekaan yang muncul dari etimologi keliru [en] karena keberadaan Kapiten Jass tidak memiliki bukti sejarah.[8][f]

Pada tahun 1806, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels memerintahkan tembok dan benteng pertahanan kota Batavia untuk dibongkar,[10] sehingga unsur nama "Buitenkerk" tidak lagi relevan. Dua tahun kemudian pada 1808, Gereja Portugese Binnenkerk ludes terbakar. Sejak saat itu, Buitenkerk menjadi satu-satunya gereja di Batavia yang masih menyandang nama 'Portugese' dan mengadakan kebaktian dalam bahasa Portugis.[g] Namun, kebanyakan jemaat Mardijker pada masa itu sudah terasimilasi dengan masyarakat lokal dan tidak lagi fasih berbahasa Portugis sehingga (sejak sebelum kebakaran Binnenkerk) bahasa liturgi di gereja Portugis Batavia mulai bertransisi ke bahasa Melayu. Pendeta terakhir Buitenkerk yang fasih berbahasa Portugis, Abraham Anthonij Engelbrecht, meninggal pada tahun 1808.[12][13][14] Nama Portugese Buitenkerk menjadi tidak lagi mencerminkan kondisi sebenarnya, baik dari segi bahasa liturgi maupun lokasinya. Namun begitu, gereja tetap umum dikenal sebagai Portugese Buitenkerk hingga kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan, kepengurusan Buitenkerk beralih ke bawah naungan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (disingkat GPIB), dan pada 1957 gereja Buitenkerk resmi berganti nama menjadi GPIB Jemaat Sion atau Gereja Sion.[15]

Pendirian

Salah satu piring perak sumbangan Johannes Camphuys untuk Gereja Sion.[h]

Setidaknya sejak 1655, tapak yang menjadi lokasi Gereja Sion telah berfungsi sebagai wilayah kuburan. Pada tahun 1676, tercatat sebuah gereja sederhana berbahan bambu telah berdiri di tapak tersebut untuk melayani kaum Mardijker serta Kristen pribumi dan campuran yang tinggal di luar tembok kota Batavia.[17][18] Dikarenakan jumlah jemaat yang meningkat, VOC merencanakan perluasan gereja tersebut. Tanggung jawab perancangan gereja baru jatuh pada Ewout Verhagen dari Rotterdam, kepala ambachtskwartier (daerah bengkel dan kriya) Batavia.[i] Rancangannya kemudian disetujui VOC pada 11 Juli 1692, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn (menjabat 1691–1704). Pembangunan gereja sebagian dibiayai oleh dana yang awalnya diperuntukkan untuk Diakonia Belanda di Formosa (Taiwan). Dana tersebut teralihkan ke Batavia semenjak Pengepungan Benteng Zeelandia oleh Koxinga pada 1662 dan pengusiran Belanda dari Taiwan.[12][20] Upaya pembangunan juga didukung sumbangan dari keluarga Mardijker kaya dan tokoh pemerintahan VOC seperti mantan Gubernur Jenderal Johannes Camphuys (menjabat 1684–1691) yang tercatat menyumbangkan sejumlah piring perak untuk perjamuan kudus.[21][16][j] Batu pertama diletakkan pada 19 Oktober 1693 oleh seorang bernama Pieter van Hoorn,[k] kemungkinan kerabat muda Joan van Hoorn (nantinya menjabat sebagai gubernur jenderal pada 1704–1709).[24]

Plakat kayu peresmian Gereja Sion.

Gereja selesai dibangun dan dikonsekrasi pada tanggal 23 Oktober 1695. Konsekrasi dilakukan dua kali; pada pagi hari oleh Pendeta Theodorus Zas dengan bahasa Belanda dan pada sore hari oleh Pendeta Jacobus op den Acker dengan bahasa Portugis.[12][20][25] Acara konsekrasi dihadiri oleh Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn,[2] dan diperingati dengan sebuah plakat kayu yang hingga kini masih bergantung di tembok Gereja Sion. Sebagian isinya berbunyi (dengan terjemahan kasar):[24][26]

Struktur dan bangunan

Semenjak didirikan pada tahun 1695, Gereja Sion mengalami renovasi dan pemugaran signifikan pada tahun 1725, 1920, 1976, dan 2002. Namun keseluruhan bangunan relatif tidak banyak berubah dari rupa pertamanya. Gereja memiliki denah mendekati persegi dengan luas 27 × 34 meter. Keseluruhan bangunan didirikan di atas 10.000 tiang pancang [en] dengan dinding bata-plester tipikal Belanda berketebalan 45 cm yang bagian atasnya dihias pelipit/entablatur [en] sederhana. Pintu akses terletak di tengah dinding barat dan utara dengan aksen kolom doria serta pedimen segitiga. Terdapat lima jendela pada masing-masing dinding timur-barat, tiga jendela pada dinding utara, dan dua jendela pada dinding selatan. Jendela yang berada di atas pintu memiliki puncak lengkung busur sementara jendela lain memiliki puncak lengkung yang sedikit melancip. Pada awalnya, hanya bagian lengkung atas jendela yang memiliki kaca, sementara bagian lain jendela ditutup dengan anyaman rotan. Kaca yang kini terlihat di seluruh bagian jendela merupakan tambahan abad ke-19.[27][28] Awalnya, keseluruhan atap gereja terdiri dari gabungan tiga atap pelana bertritis panjang yang dari luar terlihat seperti atap prancis tunggal. Pada pemugaran tahun 1921, struktur ini diganti dengan atap perisai [en] tunggal.[29]

Menara lonceng

Menara lonceng pada tahun 2025.

Terdapat sebuah menara lonceng kecil dari rangka kayu sederhana berdiri di pekarangan sisi utara. Pada sisi lonceng yang digunakan terdapat inskripsi berbahasa Belanda "Godt Allein de Eere" (kemuliaan hanya kepada Tuhan).[9] Lonceng tersebut ditempa di Batavia pada tahun 1675 dan sudah digunakan sebelum gedung permanen gereja dibangun. Menara lonceng ini tergambar pada ilustrasi yang dibuat Johann Wolfgang Heydt pada tahun 1739. Pada awal abad ke-20, menara bel tersebut tampaknya telah rusak dan loncengnya ditempatkan di sisi barat bangunan. Pada restorasi tahun 1921, menara lonceng baru direkonstruksi di tempat aslinya.[29]

Interior dan mebel

Interior Gereja Sion terdiri dari satu ruang panjang dengan tiga lorong panti umat (nave) dengan langit-langit kubah barel berlapis kayu. Karena tinggi langit-langit lorong yang setara, Gereja Sion dapat digolongkan sebagai gereja bangsal [en].[26] Susunan ruang semacam ini juga umum ditemukan di Belanda (misal di Sint-Joriskerk [nl], Amersfoort). Langit-langit disangga enam kolom bergaya doria dalam dua baris. Kolom gaya doria yang kini terlihat kemungkinan awalnya berbahan kayu dan diganti menjadi batu pada renovasi 1725. Lantai dilapisi tegel batu yang kemungkinan didatangkan dari India.[29]

Altar dan mimbar terletak pada sisi selatan gereja. Mimbar berbentuk seperti cawan, berbahan kayu, dengan tangga akses di sisi selatan, dan permukaannya dihias dengan ukiran bergaya barok yang rumit dan bersepuh emas. Tercatat bahwa mimbar ini dibuat tukang kayu Hendrik Bruyn pada tahun 1695 dan dibangun dengan biaya 260 rupee. Coen Temminck Groll menduga bahwa Bruyn dibantu tukang-tukang Jawa dalam pembuatan mimbar karena gaya ukiran baroknya tampak memiliki sedikit campuran Jawa,[29] tetapi bantuan mereka mungkin terbatas pada eksekusi pahatan-pahatan tertentu karena tukang kayu lokal dari Jawa cenderung kurang dipercaya sebagai pengrajin mebel oleh masyarakat Eropa di Batavia abad ke-17 dan ke-18. Masyarakat Jawa (dan kebanyakan masyarakat pribumi Indonesia) masa itu tidak menggunakan mebel konstruksional seperti kursi dan meja dalam kehidupan sehari-hari sehingga mebel buatan tukang kayu lokal seringkali dinilai terlalu ringkih oleh klien Eropa.[30] Namun begitu, pengrajin Jawa kadang diperkerjakan untuk tahap mengukir dan finishing mebel mewah dalam bengkel yang dimandori pengrajin Eropa atau Tionghoa.[31]

Keseluruhan altar dan mimbar dinaungi kanopi kayu berbentuk kubah bawang yang disangga dua kolom kayu berulir. Kanopi ini ditambahkan tahun 1808. Namun berdasarkan langgamnya, Groll menduga bahwa kolom ulir kanopi dibuat jauh lebih dulu untuk fungsi yang tidak lagi diketahui, kemudian dialihfungsikan sebagai penyangga kanopi.[29] Menurut Adolf Heuken, kanopi ini berasal dari Gereja Belanda dan dipindahkan ke Buitenkerk ketika Gereja Belanda dibongkar pada tahun 1808.[32]

Sebuah organ pipa atau orgel yang masih berfungsi terpasang di balkon sisi utara gereja. Balkon orgel awalnya melintang dari tembok timur ke barat tetapi kemudian dipangkas hingga menyisakan bagian tengah saja. Sebagaimana mimbar di sisi selatan, orgel Sion dihiasi dengan pahatan barok rumit dengan sedikit campuran gaya Jawa. Pada tahun 1782, tercatat adanya sumbangan orgel dari Johanna Mauritia Mohr, putri pengkhotbah dan astronom Johan Maurits Mohr, tetapi orgel ini belum siap dipakai hingga delapan tahun kemudian dan bisa jadi tidak pernah terpasang. Orgel yang kini terpasang berasal dari Portugese Binnenkerk; ketika Binnenkerk ditutup sementara pada tahun 1804, orgel mereka dipindahkan ke Buitenkerk. Konsol orgel merupakan tambahan abad 19.[33] Terdapat sebuah papan peringatan di gereja yang menyatakan adanya restorasi orgel pada tahun 1860 oleh seorang bernama E.F. Dijkmans.[34] Keseluruhan orgel direstorasi kembali pada tahun 1921 oleh firma Bekker Lefeber bersamaan dengan pemugaran keseluruhan gedung gereja.[33]

Plakat dan nisan

Tapak sekitar Gereja Sion awalnya adalah kuburan luas. Banyak kaum Mardijker dari berbagai kelas sosial dimakamkan di kuburan tersebut, begitu pula pegawai VOC terutama yang berpangkat rendah.[8] Kini hanya tersisa 11 makam tua di pekarangan barat dan sejumlah plakat tameng heraldrik atau wapenbord di bagian interior.[35][34][36]

Salah satu makam yang masih tersisa di pekarangan barat gedung adalah makam Gubernur-Jenderal Hendrick Zwaardecroon, dengan nisan berbahan batu Coromandel dan berplakat tembaga mewah. Secara status sosial, tidak lazim bagi gubernur jenderal untuk dimakamkan di kuburan umum sekelas Buitenkerk, tetapi ini berdasarkan wasiatnya sendiri untuk dimakamkan bersama "rakyat biasa."[24] Makam Zwaardecroon adalah salah satu dari tiga makam gubernur jenderal masa VOC yang tidak pernah dipindahkan dari tempat aslinya.[9] Bertetanggaan dengan makam Zwaardecroon terdapat makam pasangan Mardijker kaya Ragel Titise dan suaminya Titis Anthonijse yang berasal dari Bengal. Menurut Groll, menarik bahwa pasangan tersebut mampu menggunakan nisan dengan ukuran dan kemewahan yang setara dengan nisan Zwaardecroon.[37][38] Terdapat pula makam milik Frederik Ribalt (meninggal 1735), yang pernah menjadi ahli bedah utama di Batavia.[39] Sebuah makam bernisan polos (yang hanya ditandai dengan inskripsi "LANO 56 KK") adalah milik komisaris jenderal Simon Hendrik Frijkenius (meninggal 1797) yang kejujurannya di tengah korupsi VOC dipuji oleh Frederik de Haan.[40][41][42]

Di dalam gedung, terdapat nisan Gubernur Jenderal Carel Reyniersz dan istrinya Judith Barra van Amstel. Mereka berdua menyumbangkan tanah yang menjadi cikal bakal Binnenkerk tetapi meninggal sebelum gereja tersebut selesai dibangun. Meski mereka tidak dimakamkan di Buitenkerk, nisan mereka dipindahkan ke gereja ini setelah ditemukan kembali di Surabaya pada tahun 1922.[34] Di dinding, tergantung sejumlah plakat tameng heraldrik berbahan kayu. Plakat ini berfungsi seperti nisan, sebagai peringatan dari individu yang dikubur di Buitenkerk. Salah satu contohnya adalah plakat milik Barent Ketel tot Hacfort, komandan VOC yang pernah ditugaskan di kawasan Coromandel.[35][34]

Trivia

  • Sepanjang abad ke-18, komunitas Kristen di Depok yang belum memiliki gereja sendiri beribadah di Gereja Sion. Saat itu, liturgi di Gereja Sion masih menggunakan bahasa Portugis, sementara jemaat dari Depok tidak memahami bahasa tersebut.[43]
  • Salah satu tokoh yang dibaptis di Gereja Sion adalah penginjil Sadrach (nama lahir Radin), pada 14 April 1867.[44]
  • Pada tahun 1943, tentara Jepang berwacana mengubah gedung Gereja Sion menjadi tempat penyimpanan abu jenazah serdadu, tetapi hal ini dibatalkan.[23]
  • Pada tahun 1953, sinode hampir menjual gedung Gereja Sion untuk dijadikan pabrik karena krisis keuangan, namun hal ini dicegah Mohammad Yamin selaku Menteri Pendidikan dan Budaya waktu itu.[23]

Catatan

  1. ^ Dengan berbagai ejaan seperti Portugese/Portugeesche/Portugeeſche, Buitenkerk/Buiten Kerk/Buytenkerk/Buÿtenkerk.
  2. ^ Tapaknya kini ditempati Museum Wayang.
  3. ^ Satu lagi gereja di sekitar Batavia yang melayani jemaat berbahasa Portugis adalah gereja Kampung Tugu yang sekarang menjadi GPIB Tugu Jakarta.[6]
  4. ^ Misal van Krevelt, Abraham (1780) Plan Der Stad En ’t Kasteel Batavia dan Tency, P.J. (1797) Plattegrond van het kasteel en de stad Batavia
  5. ^ Misal van Krevelt, Abraham (1780) Plan Der Stad En ’t Kasteel Batavia
  6. ^ Ketika sebagian besar makam di kuburan gereja dipindahkan ke Tanah Abang pada 1800an, makam yang konon merupakan milik Kapiten Jass juga dipindahkan.[9]
  7. ^ Gereja di Kampung Tugu sebenarnya masih menggunakan liturgi berbahasa Portugis Kreol hingga 1816,[11] tetapi Kampung Tugu pada masa itu tidak termasuk dalam wilayah kota Batavia.
  8. ^ Piring ini di kemudian hari dipindahkan ke Willemskerk yang sekarang menjadi GPIB Immanuel Jakarta. Peruntukkan awal piring ini untuk Gereja Sion tersurat pada inskripsinya (tanggal kematian Camphuys kemungkinan ditambah belakangan):[16]
  9. ^ Pada sekitar masa yang sama, Ewout Verhagen juga tercatat bekerja sebagai juru ukur tanah di College van Heemraden.[19]
  10. ^ Karena banyaknya sumbangan barang berharga yang disimpan di gereja Buitenkerk dan lokasinya yang berada di luar tembok pertahanan kota, pos jaga pernah perlu ditempatkan di depan gereja untuk keamanan terutama saat malam hari.[22] Namun menurut Adolf Heuken tidak ada lagi dari khazanah tersebut yang masih disimpan di Gereja Sion.[23]
  11. ^ Pieter ini disebut pada plakat pendirian gereja namun besar kemungkinan bukan bermaksud Pieter van Hoorn [nl] (1619–1682), ayah dari Joan van Hoorn, yang sudah meninggal saat gereja mulai dibangun.
  12. ^ Pada konsekrasi kedua yang berbahasa Portugis, Pendeta Acker membacakan Kitab Mazmur 84:2–4.[25]

Rujukan

  1. ^ a b c Groll 1993, hlm. 51.
  2. ^ a b Kwisthout 2018, hlm. 31.
  3. ^ Heuken 2003, hlm. 55–56.
  4. ^ Bosma, Raben, & Wendie 2008, hlm. 46–47.
  5. ^ Spicer 2016, hlm. 325–326.
  6. ^ a b Kortlang, D. Diederick J. (2007). Arsip-arsip Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) Dan Lembaga-lembaga Pemerintahan Kota Batavia (Jakarta). Brill. hlm. 76. ISBN 9789004163652.
  7. ^ Taylor 2009, hlm. 18, 47–48.
  8. ^ a b Groll 1993, hlm. 57.
  9. ^ a b c Heuken 2003, hlm. 64.
  10. ^ Perdana, Abdulhadi, & Simatupang 2023, hlm. 306.
  11. ^ Tan, Raan-Hann (2016). Por-Tugu-Ese? The Protestant Tugu Community of Jakarta, Indonesia. Thesis (Doktor Antropologi thesis). Instituto Universitário de Lisboa. hlm. 84. ISBN 978-989-732-887-9.
  12. ^ a b c Groll 1993, hlm. 52–53.
  13. ^ Heuken 2003, hlm. 55.
  14. ^ Oktorino 2015, hlm. 47.
  15. ^ Oktorino 2015, hlm. 51.
  16. ^ a b Haan 1923, hlm. D 15.
  17. ^ Groll 1993, hlm. 52.
  18. ^ Spicer 2016, hlm. 336.
  19. ^ Xu, Guanmian (2022). "The "Perfect Map" of Widow Hiamtse: A Micro-Spatial History of Sugar Plantations in Early Modern Southeast Asia, 1685–1710" (PDF). International Review of Social History. 67 (1): 109. doi:10.1017/S002085902100050X.
  20. ^ a b Heuken 2003, hlm. 57.
  21. ^ Kwisthout 2018, hlm. 30–31.
  22. ^ Spicer 2016, hlm. 338.
  23. ^ a b c Heuken 2003, hlm. 62.
  24. ^ a b c Groll 1993, hlm. 53.
  25. ^ a b Spicer 2016, hlm. 321.
  26. ^ a b Heuken 2003, hlm. 58.
  27. ^ Groll 1993, hlm. 54–55.
  28. ^ Heuken 2003, hlm. 57–59.
  29. ^ a b c d e Groll 1993, hlm. 55.
  30. ^ Perdana, Abdulhadi, & Simatupang 2023, hlm. 311.
  31. ^ van Gompel, Hoving, & Klusener 2013, hlm. 63.
  32. ^ Heuken 2003, hlm. 59.
  33. ^ a b Groll 1993, hlm. 55–56.
  34. ^ a b c d Heuken 2003, hlm. 61.
  35. ^ a b Groll 1993, hlm. 56.
  36. ^ Oktorino 2015, hlm. 78.
  37. ^ Groll 1993, hlm. 57–58.
  38. ^ Kwisthout 2018, hlm. 32.
  39. ^ Heuken 2003, hlm. 65.
  40. ^ Heuken 2003, hlm. 66.
  41. ^ Haan 1922, hlm. 309.
  42. ^ Blok, P.J.; Molhuysen, P.C. (1930). Nieuw Nederlandsch biografisch woordenboek. Vol. 8. Batavia: G. Kolff. hlm. 575–577.
  43. ^ Kwisthout 2018, hlm. 75, 77, 85.
  44. ^ Singgih, Emanuel Gerrit (2015). "A Postcolonial Biography of Sadrach: the Tragic Story of an Indigenous Missionary". Al-Jāmi‘ah: Journal of Islamic Studies. 53 (2): 371. doi:10.14421/ajis.2015.532.367-386.

Daftar pustaka

Lihat pula

Pranala luar

Prefix: a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Portal di Ensiklopedia Dunia

Kembali kehalaman sebelumnya