Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Anomi

Anomi adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Émile Durkheim dalam sosiologi untuk menggambarkan keadaan yang kacau, tanpa peraturan. Kata ini berasal dari bahasa Yunani a-: "tanpa", dan nomos: "hukum" atau "peraturan". Anomi adalah "kondisi yang mana masyarakat tidak banyak memberikan petunjuk moral kepada individu".[1] Keadaan ini mungkin muncul berkembang dari konflik sistem kepercayaan[2] dan menyebabkan rusaknya hubungan sosial antara seorang individu dan komunitas (baik sosialisasi primer maupun ekonomi). Untuk individu, ada kemungkinan konflik berlanjut kepada kemampuan yang abnormal untuk menyatu dalam situasi normatif dunia sosial, e.g. skenario personal tanpa aturan yang berakhir pada fragmentasi identitas sosial dan penolakan nilai.[3]

Istilah ini secara umum dipahami sebagai "ketiadaan norma" dan dipercaya dipopulerkan oleh Durkheim dalam bukunya yang berpengaruh, Le Suicide (1897). Namun, Durkheim pertama kali memperkenalkan konsep anomi dalam karyanya pada tahun 1893, De la division du travail social. Durkheim tidak pernah menggunakan istilah "ketiadaan norma"; ia mendeskripsikan anomi sebagai "kekacauan" dan "keinginan yang tak terpuaskan".[4] Durkheim menggunakan istilah "penyakit dari yang tanpa batas" karena hasrat tanpa batas tidak akan pernah terpenuhi, melainkan hanya akan menjadi semakin kuat.[5]

Menurut Durkheim, anomi muncul secara umum dari ketidakcocokan antara standar personal atau kelompok dan standar sosial yang lebih luas; atau ketiadaan etika sosial, yang menghasilkan deregulasi moral dan ketiadaan aspirasi yang logis. Ini adalah kondisi hasil nurtur:

Sebagian besar sosiolog mengasosiasikan istilah ini dengan Durkheim, yang menggunakan konsep ini untuk membicarakan bagaimana tindakan individu sesuai, atau terintegrasi, dengan sistem norma dan praktik sosial... anomi adalah ketidakcocokan, bukan hanya ketiadaan norma. Oleh karena itu, masyarakat dengan kekakuan yang terlalu besar dan keleluasaan individu yang kecil juga dapat menghasilkan suatu anomi...[6]

Pemaknaan

Menurut M. Taufik Rahman, anomi berbeda dengan alienasi (dalam asimilasi). Kedua istilah ini memiliki makna yang hampir sama yaitu kekacauan dalam diri seseorang. Kekacauan ini disebabkan oleh kurangnya kebebasan dalam lingkungan sosial. Perbedaannya ada pada penyebabnya. Anomi lebih terkhusus pada kekurangan norma sosial dan pengendalian sosial dalam kehidupan sosial. Di sisi lain, alienasi disebabkan oleh adanya penguasaan dan tekanan terhadap individu. Anomi menyebabkan seseorang kurang terlibat dalam kegiatan sosial sehingga menimbulkan penderitaan diri. Di sisi lain, alienasi menyebabkan seseorang tidak dapat mengembangkan kebiasaan yang murni dari dirinya sendiri.[7]

Freda Adler menciptakan istilah synnomie sebagai lawan kata anomi.[8][9] Bersangkutan dengan konsep Durkheim tentang kesetiakawanan sosial dan kesadaran kolektif,[8] Adler mengartikan synnomie sebagai "kecocokan norma-norma hingga akomodasi harmonis terjadi".[9] Adler mendeskripsikan masyarakat yang mengalami synnomie ialah "bercirikan konformitas norma, kohesi, kontrol sosial yang utuh, dan integrasi norma." Institusi sosial seperti keluarga, agama, dan komunitas, dengan besar-besaran berperan sebagai sumber norma dan kontrol sosial untuk memelihara masyarakat yang berkeadaan synnomie.

Sejarah

Pada tahun 1893, Durkheim memperkenalkan konsep anomi untuk mendeskripsikan ketidakcocokan kerja kelompok pekerja kolektif terhadap kebutuhan masyarakat yang kian berkembang ketika kelompok itu homogen dari segi komponennya. Ia menyamakan keahlian homogen (redundan) dengan kesetiakawanan mekanis yang inersianya menghambat adaptasi. Ia membandingkannya dengan perilaku regulasi diri pada pembagian kerja yang berdasarkan perbedaan pada penyusunnya, disamakan dengan kesetiakawanan organik―yang ketiadaan inersianya menghasilkan sensitivitas terhadap perubahan yang diperlukan. Durkheim mengobservasi bahwa konflik antara pembagian kerja organik yang telah berkembang dan tipe mekanis yang homogen adalah sedemikian rupa sehingga hanya akan ada salah satu dari mereka yang bertahan pada suatu komunitas.[10]

Jika kesetiakawanan bersifat organik, anomi tidak mungkin terjadi.[11] Sensitivitas terhadap kebutuhan satu sama lain meningkatkan pengembangan pembagian kerja.[11]

Produsen, dekat dengan konsumen, dapat dengan mudah menghitung jangkauan kebutuhan yang harus dipuaskan. Kesetimbangan terjadi tanpa masalah dan produksi meregulasi dirinya sendiri.

Durkheim membedakan anomi sebagai hasil kegagalan kesetiakawanan organik setelah transisi kepada kesetiakawanan mekanis:

Namun kebalikannya, jika lingkungan opaque diinterposisikan... hubungan bersifat jarang, tidak cukup terulang... terlalu sebentar-sebentar. Kontak tidak lagi cukup. Produsen tidak lagi dapat menangkap pasar secara sekilas, tidak juga melalui pemikiran. Ia tidak lagi dapat melihat batasannya karena, boleh dikatakan, tidak terbatas. Dengan demikian, produksi tidak terkekang dan tidak teregulasi.[11]

Durkheim juga menggunakan anomi dalam pembahasan fenomena industrialisasiregimentasi massa yang tidak dapat beradaptasi karena inersianya sendiri—khususnya, perlawanannya terhadap perubahan, yang menyebabkan siklus disruptif perilaku kolektif, e.g. ekonomi, karena kebutuhan pembangunan panjang atas tenaga atau momentum yang cukup untuk mengatasi inersia.

Kemudian pada tahun 1897, dalam penelitiannya tentang bunuh diri, Durkheim mengasosiasikan anomi dengan pengaruh ketiadaan norma atau norma yang terlalu kaku. Namun, ketiadaan norma atau norma yang terlalu kaku tersebut adalah gejala anomi, yang disebabkan oleh ketiadaan adaptasi diferensial yang memungkinkan norma berkembang secara alami karena regulasi diri, baik sehingga norma terbentuk dari ketiadaan norma maupun norma yang menjadi kaku dan kuno berubah.

Pada tahun 1983, Robert K. Merton menghubungkan anomi dengan deviance dan berargumen bahwa tidak tersambungnya budaya dengan struktur berkonsekuensi disfungsional, menyebabkan deviance dalam masyarakat. Ia mendeskripsikan lima tipe deviance dalam hal penerimaan atau penolakan tujuan sosial dan alat adat dalam menggapainya.[12]

Etimologi

Kata ini, "pemakaian kembali dengan ejaan Prancis 'anomy'",[13] berasal dari bahasa Yunani ἀνομία "tanpa hukum",[14][15] yaitu prefiks privatif alfa (a-"tanpa") dan "nomos" (hukum). Pengguna bahasa Yunani membedakan "nomos" (νόμος, hukum) dan "arché" (ἀρχή; aturan pemula, aksiom, prinsip). Misalnya, penguasa monarki adalah pemerintah tunggal tetapi ia masih merupakan subjek, yaitu tidak bebas dari, hukum yang ada, i.e. nomos. Pada demokrasi negara kota yang asli, aturan mayoritas adalah bagian arché karena berdasar pada kekuasaan, sistem kebiasaan, yang mungkin atau tidak mungkin menciptakan hukum, yaitu nomos. Maka dari itu, maksud awal anomi adalah mendefinisikan apa saja atau siapa saja yang bertentangan atau di luar hukum, atau kondisi yang mana hukum yang berlaku tidak diterapkan, menghasilkan keadaan yang tidak sah atau tanpa hukum.

Pemahaman bahasa Inggris kontemporer terhadap "anomi" dapat mencakup "norma" dengan sangat fleksibel dan sebagian orang menggunakan ketiadaan norma untuk mencerminkan situasi yang mirip dengan anarki. Namun, sesuai penggunaan Durkheim di kemudian hari, anomi adalah reaksi yang bertentangan terhadap atau pengunduran diri dari kontrol sosial masyarakat yang berkaitan dengan pengaturan, dan merupakan konsep yang sepenuhnya terpisah dari anarki, yang tersusun atas ketiadaan peran penguasa dan pengikutnya.

Anomi sebagai kekacauan pada diri individu

Émile Durkheim, sosiolog perintis yang berasal dari Prancis abad ke-19, mengadopsi kata ini dari filsuf Prancis Jean-Marie Guyau dan menggunakannya dalam bukunya Le Suicide (1897) yang menguraikan sebab-sebab sosial (bukan individual) bunuh diri untuk menggambarkan keadaan atau kekacauan dalam diri individu, yang dicirikan oleh perubahan cepat standar atau nilai dalam masyarakat (sering disalahartikan sebagai ketiadaan norma), serta perasaan alienasi dan ketiadaan tujuan yang menyertainya. Anomi sangat umum terjadi apabila masyarakat sekitarnya mengalami perubahan-perubahan yang besar dalam situasi ekonomi, entah semakin baik atau semakin buruk, dan lebih umum lagi ketika ada kesenjangan besar antara teori-teori dan nilai-nilai ideologi yang umumnya diakui dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Ini bertentangan dengan teori bunuh diri sebelumnya yang mempertahankan bahwa bunuh diri ditimbulkan oleh peristiwa negatif dalam kehidupan individu dan depresi yang mengikutinya.

Dalam pandangan Durkheim, agama-agama tradisional sering kali memberikan dasar bagi nilai-nilai bersama yang tidak dimiliki oleh individu yang mengalami anomi. Lebih jauh ia berpendapat bahwa pembagian kerja yang banyak terjadi dalam kehidupan ekonomi modern sejak Revolusi Industri menyebabkan individu mengejar tujuan-tujuan yang egois ketimbang kebaikan komunitas yang lebih luas.

Robert King Merton juga mengadopsi gagasan tentang anomi dalam karyanya. Ia mendefinisikannya sebagai kesenjangan antara tujuan-tujuan sosial bersama dan cara-cara yang sah untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dengan kata lain, individu yang mengalami Anomi akan berusaha mencapai tujuan-tujuan bersama suatu masyarakat tertentu tetapi tidak dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut dengan sah karena berbagai keterbatasan struktural masyarakat. Akibatnya, individu itu akan memperlihatkan perilaku menyimpang untuk memuaskan dirinya sendiri. Friedrich Hayek dikenal menggunakan kata anomi dengan makna ini.

Menurut sebuah survei akademik, uji psikometrik mengonfirmasi hubungan antara anomi dan ketidakjujuran akademik pada mahasiswa universitas, menunjukkan bahwa universitas perlu membantu perkembangan kode etik pada mahasiswa untuk mengekang hal ini.[16] Dalam penelitian lain, anomi dipandang sebagai "faktor pendorong" dalam pariwisata.[17]

Anomi sebagai kekacauan masyarakat

Kata ini (kadang-kadang juga dieja "anomy") digunakan untuk masyarakat atau kelompok manusia di dalam suatu masyarakat, yang mengalami kekacauan karena tidak adanya aturan-aturan yang diakui bersama yang eksplisit ataupun implisit mengenai perilaku yang baik, atau, lebih parah lagi, terhadap aturan-aturan yang berkuasa dalam meningkatkan isolasi atau bahkan saling memangsa dan bukan kerja sama.[butuh rujukan]

Kamus Webster 1913, sebuah versi yang lebih tua, melaporkan penggunaan kata "anomi" dalam pengertian "ketidakpedulian atau pelanggaran terhadap hukum".[18] Anomi sebagai kekacauan sosial tidak boleh disalahartikan sebagai "anarki". Kata "anarki" menunjukkan tidak adanya penguasa, hierarki, dan kepemimpinan. Banyak pendukung anarkisme mengklaim bahwa anarki belum tentu mengakibatkan anomi dan pemerintahan dengan hierarki sesungguhnya meningkatkan ketiadaan hukum, bukan keteraturan (lih. misalnya Law of Eristic Escalation). Sebagian penganut anarko-primitivisme berargumen bahwa masyarakat yang kompleks, khususnya masyarakat industri dan pascaindustri, secara langsung menyebabkan kondisi seperti anomi dengan mencabut determinasi diri dan grup rujukan yang relatif kecil, seperti kelompok, marga, atau suku, dari individu.

Anomi dalam sastra dan film

Dalam novel eksistensialis karya Albert Camus Orang Asing, tokoh protagonisnya, Mersault bergumul untuk membangun suatu sistem nilai individu sementara ia menanggapi hilangnya sistem yang lama. Ia berada dalam keadaan anomi, seperti yang terlihat dalam apatismenya yang tampak dalam kalimat-kalimat pembuka: "Aujourd'hui, maman est morte. Ou peut-être hier, je ne sais pas." ("Hari ini ibunda meninggal. Atau mungkin kemarin, aku tak tahu.”)[19] Camus mengungkapkan konflik Mersault dengan struktur nilai yang diberikan oleh agama tradisional dalam suatu dialog hampir pada bagian penutup buku melalui seorang pastur Katolik yang berseru, “Apakah engkau ingin hidupku tidak bermakna?”[butuh rujukan]

Dostoevsky, yang karyanya sering kali dianggap sebagai pendahulu eksistensialisme, sering kali mengungkapkan keprihatinan yang sama dalam novel-novelnya. Dalam The Brothers Karamazov, tokoh Dimitri Karamazov bertanya kepada sahabatnya yang ateis, Rakitin, "...tanpa Allah dan kehidupan kekal? Jadi segala sesuatunya sah, mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai?’" Raskolnikov, antihero dari novel Dostoevsky Kejahatan dan Hukuman, mengungkapkan filsafatnya ke dalam tindakan ketika ia membunuh seorang juru gadai tua dan saudara perempuannya, dan belakangan merasionalisasikan tindakannya itu kepada dirinya sendiri dengan kata-kata, "... yang kubunuh bukanlah manusia, melainkan sebuah prinsip!" Dalam kata lain, segala bentuk tindakan dapat dinilai masuk akal, tak ada yang dinamakan petunjuk moral jika Tuhan dan kehidupan yang kekal tidak ada; hal ini berujung pada apati dan sikap berlepas diri.[20]

Yang lebih belakangan, protagonis dari film Taxi Driver karya Martin Scorsese dan protagonis dari Fight Club, yang aslinya ditulis oleh Chuck Palahniuk dan belakangan dijadikan film, dapat dikatakan mengalami anomi.

Belahan negara

Indonesia

Dalam perspektif akademis ilmiah medis, anomie dapat diinterpretasikan sebagai kondisi disfungsi sosio-normatif yang menginduksi anomali psikis pada tingkat individu dan patologi sosial pada tingkat komunal. [21]Fenomena ini muncul ketika struktur dan nilai sosial yang koheren mengalami disintegrasi, menyebabkan disorientasi kognitif dan hilangnya pedoman perilaku. Secara historis, Indonesia mengalami manifestasi anomie yang akut pada masa Reformasi 1998, di mana runtuhnya tatanan otoriter secara tiba-tiba meninggalkan kekosongan normatif dan memicu gejala patologis berupa disintegrasi sosial dan konflik kolektif yang merupakan respons terhadap trauma sosio-politiks. Secara kontemporer, etiologi anomie bergeser pada disrupsi teknologi, di mana perkembangan pesat ilmu terapan dan media pergaulan menciptakan ketidakselarasan normatif antara dunia nyata dan maya. Hal ini secara klinis dapat memanifestasi sebagai patologi perilaku baru seperti penyebaran disinformasi dan perundungan siber, serta disfungsi komunal akibat ketegangan antara nilai-nilai tradisional dan individualisme. Dengan demikian, anomie di Indonesia adalah kondisi berulang yang menunjukkan bagaimana kesehatan psiko-sosial suatu populasi sangat rentan terhadap perubahan struktur normatif yang mendasari ekosistem sosialnya.[22]

Indikator etiologis dari fenomena patologis-perilaku dan disintegrasi normatif di Indonesia. Data dan analisis longitudinal diakronis dari awal peradaban hingga kontemporer, dengan fokus pada interaksi antara kurikulum pendidikan formal dan determinant-lingkungan dalam ekosistem sosio-kultural luas:

Periode Sejarah Indikator Etiologis Patologis-Perilaku & Disintegrasi Normatif Interaksi Kurikulum Pendidikan Formal dengan Determinant Lingkungan Sosio-Kultural Penjelasan dan Analisis Longitudinal
Awal Peradaban hingga Abad 18 - Struktur sosial tradisional yang homogen namun kaku

- Norma adat kuat, sedikit konflik normatif - Pola perilaku terikat pada agama dan adat

- Pendidikan informal berbasis adat dan nilai agama

- Kurikulum tidak terformal, berfokus pada sosialisasi nilai-nilai kebudayaan lokal

Integrasi sosial kuat dengan norma adat sebagai penopang perilaku; reduksi konflik melalui internalisasi nilai budaya dan agama; pendidikan formal belum ada sehingga interaksi dengan determinant lingkungan bersifat kultural dan sosial tradisional saja
Abad 19 hingga Awal Abad 20 - Mulai muncul dinamika sosial akibat kolonialisme, modernisasi

- Muncul pergeseran norma, ketegangan sosial - Perilaku penyimpangan mulai dicatat (kriminalitas, alkoholisme)

- Pendidikan formal mulai diperkenalkan oleh kolonial, kurikulum bersifat asimilasi budaya asing

- Kurikulum belum adaptif terhadap budaya lokal yang berubah cepat

Konflik antara norma tradisional dengan norma baru dari kolonial menimbulkan disintegrasi normatif; pengaruh pendidikan formal kolonial mempercepat perubahan sosial namun kurang responsif terhadap konteks lokal, menimbulkan gap dalam internalisasi norma.
Abad 20 (Pasca Kemerdekaan) - Gejala patologis seperti penyimpangan sosial, kriminalitas, dan konflik kelas meningkat

- Faktor kemiskinan, urbanisasi, perubahan sosial cepat sebagai etiologi

- Kurikulum nasional mulai diintegrasikan dengan nilai Pancasila dan kebudayaan nasional

- Kurikulum mulai memasukkan materi sosial budaya dan pendidikan karakter

Pendidikan formal sebagai alat transformasi sosial mulai dipakai untuk menekan disintegrasi normatif; keberhasilan terbatas karena pengaruh determinant sosial ekonomi dan politik yang kompleks; kurikulum harus dinamis mengikuti perubahan sosial budaya.[23]
Abad 21 Kontemporer - Fenomena patologis lebih kompleks: kemiskinan, stres sosial, perilaku ekstrem, disintegrasi nilai akibat globalisasi dan teknologi

- Tekanan psikologis dan gejala gangguan mental meningkat

- Kurikulum pendidikan semakin mengakomodasi aspek sosial budaya dan IPTEK, perlu fleksibilitas dan relevansi semasa

- Interaksi antara pendidikan formal dan lingkungan sosio-kultural bersifat kompleks dan multidimensi

Kurikulum berupaya mengakomodasi perubahan sosial cepat namun tantangan determinant lingkungan seperti urbanisasi, teknologi, budaya digital memengaruhi pola perilaku; perlunya sinergi antara kurikulum dan lingkungan sosial agar dapat menekan disintegrasi normatif dan perilaku patologis.[24]

Indikator etiologis perilaku patologis dan disintegrasi norma di Indonesia berakar dari dinamika sosial budaya dan ketegangan antara nilai tradisional dengan modern, yang dipengaruhi oleh kolonialisme, kemerdekaan, dan globalisasi. Interaksi dengan kurikulum pendidikan formal juga menunjukkan evolusi dari kurang adaptif menjadi semakin berusaha responsif terhadap konteks sosio-kultural yang dinamis dengan tujuan memperkuat integrasi sosial dan normatif.

Referensi

  1. ^ J., Macionis, John (2011). Sociology (Edisi 7th Canadian ed). Toronto: Pearson Canada. ISBN 9780137001613. OCLC 434559397. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  2. ^ Knutson, Jeanne N. (1972). The human basis of the polity; a psychological study of political men. Chicago,: Aldine-Atherton. ISBN 0-202-24040-1. OCLC 292358. Pemeliharaan CS1: Tanda baca tambahan (link)
  3. ^ Editors, The (2010-05-13). "China's School Killings and Social Despair". Room for Debate (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2018-12-31.
  4. ^ Mestrovic, Stjepan. Emile Durkheim and The Reformation of Sociology.
  5. ^ M.),, Cotterrell, Roger (Roger B. Emile Durkheim : law in a moral domain. Stanford, California. ISBN 0804738084. OCLC 43421884. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) Pemeliharaan CS1: Tanda baca tambahan (link)
  6. ^ Susan Leigh Star, Geoffrey C. Bowker, dan Laura J. Neumann, "Transparency At Different Levels of Scale: Convergence between Information Artifacts and Social Worlds", Library and Information Science, University of Illinois, Urbana-Champaign, Agustus 1997
  7. ^ Rahman, M. T. (2011). Glosari Teori Sosial (PDF). Bandung: Ibnu Sina Press. hlm. 7–8. ISBN 978-602-99802-0-2. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  8. ^ a b Nivette, Amy E. (2011-02). "Old theories and new approaches: Evaluating Freda Adler's theory of low crime and its implications for criminology". Theoretical Criminology (dalam bahasa Inggris). 15 (1): 83–99. doi:10.1177/1362480610380103. ISSN 1362-4806.
  9. ^ a b Adler, Freda (1983). Nations not obsessed with crime. Littleton, Colo.: F.B. Rothman. ISBN 0-8377-0216-X. OCLC 9619453.
  10. ^ The Division of Labor in Society, The MacMillan Co. 1933, Free Press edition, 1964, hal. 182-183
  11. ^ a b c The Division of Labor in Society, The MacMillan Co. 1933, Free Press edition, 1964, hal. 368-369
  12. ^ Merton, Robert K. (1938-10). "Social Structure and Anomie". American Sociological Review. 3 (5): 672. doi:10.2307/2084686. ISSN 0003-1224.
  13. ^ "anomie | Origin and meaning of anomie by Online Etymology Dictionary". www.etymonline.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-01-01.
  14. ^ "anomy | Origin and meaning of anomy by Online Etymology Dictionary". www.etymonline.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-01-01.
  15. ^ "Henry George Liddell, Robert Scott, A Greek-English Lexicon, ἀνομ-ία". www.perseus.tufts.edu. Diakses tanggal 2019-01-01.
  16. ^ "The effect of anomie on academic dishonesty among university students" oleh Albert Caruana, B. Ramaseshan, Michael T. Ewing. International Journal of Educational Management (2000). Volume 14, isu 1. hal. 23–30.
  17. ^ Dann, Graham M. S. "Anomie, ego-enhancement and tourism". Annals of Tourism Research (dalam bahasa Inggris). 4 (4): 184–194. ISSN 0160-7383.
  18. ^ Roberts, A. H.; Rokeach, M. (1956). "Anomie, authoritarianism, and prejudice: A replication". American Journal of Sociology.
  19. ^ White, Robert Winthrop (1963). The study of lives; essays on personality in honor of Henry A. Murray. Internet Archive. New York, Atherton Press.
  20. ^ NW, 1615 L. St; Washington, Suite 800; Inquiries, DC 20036 USA202-419-4300 | Main202-419-4349 | Fax202-419-4372 | Media (2010-10-12). "Can Civilization Survive Without God?". Pew Research Center's Religion & Public Life Project (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2022-01-04. Pemeliharaan CS1: Nama numerik: authors list (link)
  21. ^ "SOSIOLOGI MASALAH SOSIAL".
  22. ^ "Faktor Predisposisi (Predisposing Factor)" (PDF). Universitas Indonesia Library.
  23. ^ "PENDIKDAS: Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar Vol. 04 No".
  24. ^ "PERAN PENDIDIKAN DALAM PROSES PERUBAHAN". E-Journal UNSRAT.

Pranala luar

  • (Inggris) "Anomi" dibahas dalam Arsip Émile Durkheim.
Prefix: a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Portal di Ensiklopedia Dunia

Kembali kehalaman sebelumnya