Hidayatullah II dari Banjar
Hidayatullah II (1822 – 24 November 1904) adalah Sultan Banjar yang memerintah antara tahun 1859 sampai 1862 dan tokoh utama yang memimpin faksi oposisi pada Perang Banjar, konflik antara Kesultanan Banjar dan Hindia Belanda yang berawal dari perebutan takhta kesultanan.[2][4] Terlahir sebagai putra dari Pangeran Abdur Rahman, Gusti Andarun merupakan kandidat utama pewaris takhta Kesultanan Banjar untuk menggantikan kakeknya, Adam dari Banjar. Namun, posisi tersebut malah diisi oleh kakak tirinya Tamjidullah II yang mendapat dukungan dari pemerintah Hindia Belanda.[5] Peristiwa ini menimbulkan konflik di lingkungan keluarga kesultanan, di mana terdapat kubu pendukung Tamjidullah yang dekat dengan Belanda dan kubu pendukung Gusti Andarun yang tidak setuju dengan keputusan pemerintah Hindia Belanda tersebut.[2] Untuk meredam ketegangan tersebut, di tahun 1856 pemerintah Hindia Belanda lalu mengangkat Gusti Andarun sebagai mangkubumi dengan gelar Pangeran Hidayatullah.[6][7] Namun hal itu tidak bisa meredakan ketegangan antara keluarga bangsawan, masyarakat, dan pemerintah Hindia Belanda. Ketegangan ini pun menjadi pemicu dimulainya Perang Banjar, di mana pada 18 April 1859, pasukan Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari menyerang tambang Batu Bara Oranje Nassau di Pengaron.[8][9] Pemerintah kolonial lalu memakzulkan Tamjidullah dan mencoba menobatkan Hidayatullah sebagai sultan, tetapi Hidayatullah menolak tawaran tersebut. Ia sendiri dinobatkan oleh para panglima Banjar menjadi sultan pada September 1859.[10][11] Ia memimpin Perang Banjar sampai di tahun 1862, ketika ia dan keluarganya berhasil ditangkap oleh pihak Hindia Belanda.[12] Sultan Hidayatullah beserta keluarga dan sebagian pengikutnya lalu diasingkan ke Cianjur, di mana ia menghabiskan sisa hidupnya disana hingga kematiannya di tahun 1904.[13] Atas sikapnya yang anti-imperialis dan kepemimpinannya dalam melawan pemerintahan Hindia Belanda dalam Perang Banjar, di tahun 1999 pemerintah Republik Indonesia menganugerahkannya Bintang Mahaputera Utama.[14][15][16][17] Kehidupan awalPangeran Hidayatullah terlahir dengan nama Andarun. Anak-anak bangsawan Banjar yang baru lahir dan masih muda dipanggil Antung (terj. har. 'yang beruntung'). Setelah beranjak dewasa akan dipanggil Gusti (terj. har. 'Tuan'). Gusti Andarun lahir di Martapura di tahun 1822, dari pasangan Sultan Muda Abdurrahman, putra Sultan Adam al-Watsiq Billah dan Ratu Siti Maryamah binti, putri Pangeran Mangkubumi Nata, yang juga bangsawan keraton Banjar. Nama kedua Gusti Andarun adalah Pangeran Hidayatullah. Nama Pangeran hanya boleh diberikan oleh Sultan, setelah pernikahan. Pangeran Hidayatullah mewarisi darah biru keraton Banjar (berdarah kasuma alias ningrat murni) dari kedua orangtuanya, di mana Pangeran Hidayatullah merupakan calon utama penerus kepepimpinan Kesultanan Banjar, sesuai dengan surat wasiat dari kakeknya, Sultan Adam.[18] Di masa yang telah lampau terdapat seorang sultan Banjar yang bernama Hidayatullah. Untuk membedakan dengan sultan Hidayatullah yang pertama, maka Pangeran Hidayatullah Andarun ini oleh penulis sejarah Banjar disebut Pangeran Hidayatullah II. Pangeran Hidayatullah juga memiliki kekerabatan dengan keluarga ningrat Sumbawa, di mana bibi buyutnya yang bernama Putri Sarah, putri Sultan Tahmidullah I menikah dengan Dewa Masmawa Sultan Mahmud, sultan Sumbawa kesepuluh dan menurunkan sultan-sultan Sumbawa di generasi selanjutnya.[19] Krisis suksesi BanjarSultan muda Abdurrahman awalnya merupakan putra mahkota Kesultanan Banjar, namun ia meninggal dunia lebih awal dari ayahnya, Sultan Adam di tahun 1852.[20] Peristiwa ini menimbulkan polemik dalam keluarga ningrat Banjar mengenai siapa yang paling berhak menggantikan Sultan Adam. Terdapat tiga kandidat penerus takhta Banjar, yaitu Gusti Andarun, cucu Sultan Adam dari menantu permaisurinya Ratu Siti, Gusti Wayuri atau Tamjidullah II, cucu dari menantu selirnya Nyai Besar Aminah yang merupakan keturunan Dayak—Pacinan. Ia berusia lebih tua 5 tahun dari Gusti Andarun, dan Prabu Anom, anak Sultan Adam juga adik dari Abdurrahman, yang diusulkan oleh Nyai Ratu Kamala Sari, permaisuri dari Sultan Adam.[7][21] Meski Gusti Andarun merupakan keturunan tutus atau ningrat murni, Tamjidullah lebih mendapat dukungan dari pemerintah Hindia Belanda sebagai penerus takhta Banjar dikarenakan kedekatannya dengan kalangan pejabat kolonial selama membantu Pangeran Mangkubumi Nata dalam menjalankan tugas-tugasnya.[21] Campur tangan Belanda dalam pengangkatan Sultan Banjar berawal dari status Kesultanan Banjar sendiri yang menjadi tanah perlindungan (protektorat) dari VOC-Belanda sejak 13 Agustus 1787 di masa pemerintahan sultan Nata Alam. Pemerintah Hindia Belanda lalu menetapkan Tamjidullah sebagai sultan muda baru pada 8 Agustus 1852.[6] Sultan Adam memprotes penetapan tersebut karena Tamjidullah bukan keturunan ningrat murni, tetapi utusan yang dikirim untuk menyampaikan protesnya tersebut tidak diterima secara resmi oleh pusat pemerintahan Hindia Belanda di Batavia. Sultan Adam pun lalu menulis surat wasiat yang menyatakan bahwa Gusti Andarun merupakan pewaris takhta Banjar yang sah dan menginginkan rakyat Banjar untuk mengangkatnya sebagai Sultan.[22] Pada 30 April 1856, setelah mendapatkan tekanan dari pihak Hindia Belanda, Sultan Adam menyetujui pemberian konsesi tambang batu bara kepada pemerintah kolonial. Gusti Andarun sebenarnya sudah memahami bahaya yang dapat ditimbulkan dari pemberian konsesi ini, tetapi ia terpaksa ikut menyetujuinya karena pasukan Belanda sudah ditempatkan di berbagai pusat tambang tersebut.[23] Mangkubumi Banjar (1856–1860)Pangeran Praboe Sultan Anom salah satu kandidat Putra Mahkota pengganti Sultan Adam, namun Saat itu yang terpilih sebagai mangkubumi adalah Pangeran Tamjidillah,[24][25] hingga Sultan Adam pada 10 Juni 1855 menobatkan nya sebagai Putra Mahkota.[24][26][27] Pangeran Praboe Anom pada tahun 1851 Mencalonkan sebagai Pangeran Mangkubumi di Martapura Setelah kematian Abang kandungnya pada 7 September 1851, Pangeran Mangkubumi Ratoe Anom Mangkoe Boemi Kentjana Pihak Kerajaan Menunjuk Mangkubumi sejak 7 September 1851, Pangeran Mangkubumi Praboe yang pendapatannya diambil dari provinsi Kelua, Amuntai, Sei Banar, Alabio, Negara. namun pihak Kolonial Hindia Belanda Menobatkan Pangeran Tamjidillah dilantik menjadi Pangeran Mangkubumi Banjarmasin bergelar Pangeran Mangkubumi Tamjidillah al-Watsiq Billah berdasarkan besluit per tanggal 13 November 1851 No. 2.Sebagai mangkubumi dan Putera Mahkota, Tamjidillah II memperoleh gaji f 12.000 dan hasil peramasan (tambang emas) senilai 40 tahil @75 - 3.000 setahun Pada Tanggal 5 Maret 1852. Sultan Muda Abdurrahman meninggal dunia, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menobatkan Tamjidillah II sebagai Sultan Muda Banjarmasin Pada Tanggal 10 Juni 1852 oleh dengan gelar Pangeran Mangkubumi Sultan Muda Tamjidillah al-Watsiq Billah. Tamjidillah II merupakan putera ke-2 Pangeran ke-2 dari Putra mahkota Pangeran Ratu Sultan Muda Abdul Rachman dengan Nyai Besar Dawang. Pengangkatannya tidak disetujui oleh Sultan Adam karena melangkahi Pangeran Mangkubumi Prabu Citra Pangeran Praboe Anom,adik Kandung almarhum Sultan Muda Abdurrahman, bahkan Sultan Adam meminta Belanda untuk memecat Tamjidillah II sejak 1852 hingga 1855 tetapi tidak mendapatkan hasil. Pangeran Praboe Anom terlibat dalam berbagai peristiwa penting yang mempengaruhi dinamika kekuasaan di Kalimantan Selatan. Ia juga dikenal karena keterlibatannya dalam politik kerajaan, langkah selanjutnya Sultan Adam adalah melantik Prabu Anom sebagai Sultan Muda Martapura Pada Tanggal 10 Juni 1855 menggantikan Putra Mahkota Abdurrahman. Jabatan Pangeran Praboe Anom ini merupakan tandingan jabatan Sultan Muda Banjarmasin yang dijabat oleh Tamjidillah II yang dilantik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Gusti Andarun sebagai mangkubumi yang mengatur pemerintahan dari Martapura dengan gelar Pangeran Hidayatullah pada tanggal 9 Oktober 1856.[28] Pengangkatan Hidayatullah sebagai mangkubumi tertuang dalam Akte Van Beeediging Van Den Rijksbestierder Van Bandjarmasin, Pangeran Hidajat Oellah op 9 October 1856. (Besluit 4 Januari 1857 No. 41) Borneo, tertulis dalam bahasa Melayu di bawah:[29] Besluit 4 Januari 1857 No. 41
Berkuasa (1859–1862)
AksesiKetika Sultan Adam al-Watsiq Billah meninggal pada tanggal 1 November 1857 karena sakit,pemerintah Hindia Belanda menobatkan Tamjidullah II sebagai sultan Banjar yang baru di Banjarmasin Pada tahun 1274 Hijriyah, yang bertepatan dengan tanggal 3 November 1857, dipilih sebagai pusat pemerintahannya,di mana penobatan ini ditentang oleh rakyat Banjar Sehari setelah penobatannya, Setelah Pemerintah kolonial Hindia Belanda melantik Pangeran Mangkubumi Sultan Muda Tamjidillah menjadi Sultan Banjar tanggal 3 November 1857,Sultan Tamjidillah II dilantik oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda sebagai Sultan Banjar lahir 1816 berusia 41 tahun sewaktu dilantik Sultan Banjar pada tanggal 3 November 1857. didampingi Pangeran Mangkoe Boemi Wira Kasoema (wirakusuma) Kepala Pemerintah Negri Kesultanan Banjar 1857-1859 Mangkubumi Banjamasin memperoleh gaji bulanan f 1.000 gulden (f 12.000 gulden setahun) Penghasilan sebagai Mangkubumi kerajaan Banjar yang pendapatannya diambil dari hasil pungutan dari Tambang Paramasan 40 tahil intan Berlian, (tambang intan Berlian) senilai 40 tahil @75 - 3.000 setahun lobang intan di Titian Taras, dan Penghasilan kompensasi (f 200 gulden perbulan dari hasil pungutan dari sungai Gatal, Banjarmasin. lahir 1822 berusia 35 tahun sewaktu diumumkan pada 3 November 1857. Sultan Tamjidillah al-Watsiq Billah adalah cucu Sultan Adam al-Watsiq Billah. Tamjidillah II Anak dari Nyai Besar Aminah seorang Putri Dayak Tionghoa ,phan tong fang (petompang),setelah kematian Sultan Adam al-Watsiq Billah meninggal pada tanggal 1 November 1857, Sultan Muda Prabu Citra Pangeran Praboe Anom di Martapura dengan pendampingnya Pangeran Mangkubumi Hidayatulah di Martapura Sebagai Vazal Tandingan di Banjarmasin Sultan Tamjidillah al-Watsiq Billah di Banjarmasin Dan Pangeran Mangkubumi Wira kasoema di Banjarmasin.Setelah Pemerintah kolonial Hindia Belanda melantik Pangeran Mangkubumi Sultan Muda Tamjidillah menjadi Sultan Banjar tanggal 3 November 1857, maka pada tanggal 4 November 1857 Residen mengizinkan dengan bantuan serdadu yang ada di Martapura untuk menangkap Sultan Muda Prabu Citra Pangeran Praboe Anom di Martapura pergi ke Martapura lari dari tahanannya di Banjarmasin (sekarang Kelurahan Melayu) karena mengurusi pemakaman ayahnya Sultan Adam al Watsiq Billah. Alasannya dan tuduhan yang dikenakan pada Sultan Muda Prabu Citra Pangeran Praboe Anom ialah bahwa di Martapura membahayakan tahta, tetapi penangkapan itu tidak berhasil. Rakyat menjadi saksi atas tindakan Sultan Tamjidillah al-Watsiq Billah di Banjarmasin Dan Pangeran Mangkubumi Wira kasoema di Banjarmasin dalam usahanya menangkap Sultan Muda Prabu Citra Pangeran Praboe Anom. Lima hari setelah pemakaman Sultan Adam Al Wasik Billah yang sangat dicintai rakyat, keraton Martapura ditembaki serdadu Belanda untuk menangkap Sultan Muda Prabu Citra Pangeran Praboe Anom.
Awal Perang BanjarLangkah Hidayatullah untuk menggantikan Sultan Adam sebagai sultan menjadi lebih terbuka pada pada Februari 1859, ketika Nyai Ratu Kamala Sari beserta puteri-puterinya menyerahkan surat kepada Pangeran Hidayat, bahwa kesultanan Banjar diwariskan kepadanya, sesuai dengan surat wasiat Sultan Adam. Sultan Adam juga mewariskan Keris Abu Gagang sebagai salah-satu regalia Banjar untuk mendukung keabsahan Hidayatullah sebagai penerus takhta Banjar.[22] Hidayatullah lalu mulai menghimpun kekuatan untuk bersiap melakukan serangan terhadap daerah-daerah yang dikuasai pemerintah kolonial seperti tambang batu bara. Pada 18 April 1859 terjadi penyerangan terhadap tambang batu bara Oranje-Nassau milik Hindia Belanda di Pengaron, yang dipimpin oleh Pangeran Antasari, Pembekal Ali Akbar, dan Mantri Temeng Yuda Panakawan atas persetujuan Hidayatulah.[8] Penyerangan ini menandai dimulainya Perang Banjar yang akan berlangsung sampai tahun 1906.[30] Setelah serangan yang dilancarkan terhadap tambang Oranje-Nassau, Hidayatullah lalu menggunakan taktik gerilya untuk menghadapi Belanda yang memiliki persenjataan yang lebih canggih. Di bawah kepemimpinan Antasari, pasukan Banjar mampu menguasai seluruh Martapura pada Mei 1859.[9] Sementara Hidayatullah sendiri memilih Karang Intan sebagai basis pertahanannya dalam menghadapi pasukan Belanda.[9] Pada 25 Juni 1859, Hindia Belanda melalui komando Kolonel A. J. Andresen memakzulkan Tamjidullah sebagai Sultan Banjar karena dianggap tidak bisa mengendalikan keadaan di Banjar. Belanda menilai penyerbuan tambang batubara yang dilakukan rakyat Banjar berkaitan dengan polemik suksesi Kesultanan Banjar. Pemerintah kolonial ingin menempatkan Hidayatullah sebagai sultan Banjar karena Hidayatulllah dinilai sebagai tokoh penting dalam penyerbuan ke tambang Pengaron. Hidayatullah harus bisa dijinakkan oleh Belanda melalui cara menempatkannya sebagai sultan sesuai dengan surat wasiat Sultan Adam. Namun rencana pengangkatan oleh Belanda ini ditolak mentah-mentah oleh Hidayatullah dan seluruh bangsawan maupun rakyat Banjar, karena Belanda dianggap sudah terlalu banyak mencampuri urusan keluarga kesultanan, juga adanya kecurigaan bahwa pemerintah kolonial berencana untuk menangkap Hidayatullah jika ia memenuhi panggilan dari kolonel Andersen untuk datang ke Banjarmasin.[11][21] Pertempuran Gunung Pamaton PertamaMayor Koch pun lalu melakukan penyerangan besar-besaran secara tiba-tiba ke benteng Gunung Pamaton tempat pertahanan Sultan Hidayatullah di tanggal 19 Juni 1861, mendahului rencana serangan umum terhadap Martapura oleh rakyat yang telah bocor ke pihak Belanda.[31] Rakyat seluruh daerah Martapura dan sekitarnya bangkit menahan serangan Belanda sehingga hampir di seluruh pelosok terjadi pertempuran. Pertempuran bahkan terjadi pula di daerah Kuala Tambangan di selatan. Di sekitar daerah Mataraman, panglima Pambakal Mail juga terlibat pertempuran menghadapi serdadu Belanda. Sementara itu di kampung Kiram, tidak jauh dari Gunung Pamaton dan daerah Banyu Irang, Pambakal Intal dan pasukan Tumenggung Gumar telah berhasil menghancurkan kekuatan Kopral Neyeelie.[14] Pasukan Belanda bukan saja menyerang benteng Gunung Pamaton yang belum berhasil dikuasainya, tetapi juga membakar rumah-rumah penduduk warga sipil, membinasakan kebun-kebun dan menangkapi penduduk, sehingga penjara Martapura penuh sesak.[32] Tumenggung Gamar yang lalu membawa pasukannya untuk memasuki kota Martapura ternyata tidak berhasil melakukan serangan, karena Belanda telah mempersiapkan pertahanan yang lebih kuat.[32] Serangan Belanda di tanggal 19 Juni 1861 terhadap benteng Gunung Pamaton akhirnya berhasil digagalkan oleh rakyat Banjar yang memiliki persenjataan yang lebih sederhana. Dalam pertempuran di Gunung Pamaton, banyak sekali jatuh korban di kedua belah pihak. Letnan Ter Dwerde dan Kopral Grimm yang memimpin langsung serangan Belanda tewas terkena tombak dan tusukan keris di perutnya. Sementara mayat-mayat pasukan Belanda yang terbunuh dihanyutkan di sungai Pasiraman, di mana Pambakal Intal dan pasukannya berhasil menguasai senjata para serdadu Belanda. Benteng Gunung Pamaton saat itu dipertahankan oleh banyak pimpinan perang Banjar, selain Sultan Hidayatullah terdapat pula Demang Lehman, Tumenggung Gamar, Raksapati, Kiai Puspa Yuda Negara.[33] Terdapat juga panglima perempuan dalam pertempuran ini yaitu Kiai Cakrawati yang selalu menunggang kuda, di mana ia sebelumnya juga ikut mempertahankan benteng Gunung Madang. Penangkapan dan pengasinganDi bulan Agustus 1861, Mayor Koch sekali lagi mengerahkan pasukannya untuk menyerbu Gunung Pamaton. Sebelum serangan dilakukan. Mayor Koch menghancurkan semua ladang, lumbung padi rakyat, hutan-hutan, dengan harapan menghancurkan persediaan bahan makanan, serta menghancurkan hutan-hutan yang berpotensi dapat dijadikan benteng pertahanan oleh rakyat Banjar.[7] Mayor Koch gagal dalam usahanya untuk menangkap Sultan Hidayatullah dan pimpinan perang lainnya, karena sebelumnya benteng ini telah ditinggalkan, karena Hidayatullah menggunakan siasat gerilya dalam usaha melawan Belanda yang memiliki persenjataan yang lebih unggul.[34] Namun ibu dari Sultan Hidayatullah, Ratu Siti, berhasil ditemukan oleh pasukan Hindia Belanda dan disandera di Martapura.[35] Setelah ditipu dengan terlebih dahulu menyandera ibunya, Sultan Hidayatullah ditangkap oleh pihak Hindia Belanda pada 28 Januari 1862, dikarenakan adanya kabar bahwa ibunya akan dihukum gantung.[36] Hidayatullah menyerahkan diri karena ia mendengar kabar bahwa ada kemungkinan setelah ibunya dihukum gantung, jasadnya akan dimutilasi oleh pihak pemerintahan kolonial.[35] Lalu pada 2 Maret 1862 ia dibawa dari Martapura ke Banjarmasin, lalu menuju Batavia menggunakan kapal uap di tanggal 3 Maret 1862 dan akhirnya diasingkan ke Cianjur.[8][37] Tampuk kepemimpinan Kesultanan Banjar lalu diserahkan kepada Pangeran Antasari, yang dinobatkan pada 14 Maret 1862 dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin.[38] Perang Banjar sendiri baru benar-benar berakhir di tahun 1906.[39] PenghargaanReferensi
Bacaan lanjut
Pranala luar
|