Aditya Anugrah Moha
Aditya Anugrah Moha (lahir 25 Januari 1982) adalah politikus Indonesia dan mantan anggota DPR RI fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) Periode 2009-2014 (Periode Pertama) & Periode 2014-2019 (Periode Kedua). Ia juga sebagai Panglima dan Membentuk Relawan Nasional Bogani (PRABOWO-GIBRAN) Indonesia dan mendukung pasangan Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka dalam Pemilihan Presiden 2024 Kehidupan awalLahir di Kotamobagu, 25 Januari 1983, Pria yang dikenal sebagai Tokoh Politik Muda di Sulawesi Utara dan Bolaang Mongondow Raya dengan sapaan ADM ini memulai kariernya sebagai Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kabupaten Bolaang Mongondow. Saat duduk di bangku kuliah, ayah dari tiga anak ini aktif di organisasi kemahasiswaan, Melalui organisasi kampus tersebut, ADM banyak belajar mengenai dunia politik yang sarat akan negosiasi dan diskusi. Tak hanya melalui HMI Sulawesi Utara, ADM juga pernah berada diposisi sebagai Wakil Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang kemudian menjebloskannya dalam partai politik Golongan Karya (Golkar). Kini, ADM menjabat sebagai Ketua DPD II Partai Golkar Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara serta dalam pekerjaan Sebagai Komisaris Utama PT. Fabulous Agro Mandiri (FARM) sekaligus Direktur PT F Corp. Pendidikan
Karier
Riwayat Organisasi
KasusLatar BelakangPada tahun 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyelidikan terhadap dugaan suap yang dilakukan oleh Aditya Anugrah Moha kepada Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Manado, Sudiwardono.[1] Suap tersebut diberikan dalam rangka mempengaruhi putusan banding atas perkara korupsi Marlina Moha Siahaan, yang sebelumnya telah divonis bersalah oleh pengadilan tingkat pertama.[2] Penangkapan dan Penetapan TersangkaPada tanggal 6 Oktober 2017, KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Aditya Anugrah Moha dan Sudiwardono di sebuah hotel di Jakarta.[3] Dalam penangkapan tersebut, KPK mengamankan uang sebesar 64.000 Dolar Singapura sebagai bagian dari total suap senilai 110.000 Dolar Singapura.[4] Selain uang tunai, KPK juga mencatat adanya pemberian fasilitas hotel dan perjalanan sebagai bentuk lain dari suap. Setelah OTT, keduanya langsung ditetapkan sebagai tersangka.[5] Proses HukumPada bulan Mei 2018, jaksa penuntut KPK menuntut Aditya dengan pidana penjara selama 6 tahun dan denda sebesar Rp200 juta.[6] Ia dinilai terbukti melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah oleh UU No. 20 Tahun 2001.[7] Pada 6 Juni 2018, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis berupa hukuman 4 tahun penjara dan denda sebesar Rp150 juta, dengan subsider 2 bulan kurungan.[8][9] Dampak PolitikSetelah menjalani masa hukumannya, Aditya berupaya kembali ke dunia politik melalui pencalonan dalam pemilihan kepala daerah.[10] Namun, Pasal 7 ayat (2) huruf g UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada melarang mantan terpidana dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun untuk mencalonkan diri, kecuali telah melewati masa tunggu selama 5 tahun setelah bebas murni.[11] Menanggapi hal tersebut, Aditya mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menggugurkan ketentuan masa tunggu tersebut.[12] Pada 20 Agustus 2024, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi tersebut, dan menegaskan bahwa masa tunggu 5 tahun dimaksudkan untuk menjaga integritas dan etika dalam pencalonan pejabat publik.[12] Referensi
Sejarah Elektoral
|