Ziarah kubro![]() Ziarah kubro adalah tradisi tahunan masyarakat Palembang yang dilaksanakan menjelang bulan Ramadan. Tradisi ini melibatkan perjalanan ziarah ke makam-makam tokoh agama atau wali yang dianggap berjasa dalam penyebaran agama Islam di Palembang. IkhtisarSecara harfiah, istilah "ziarah kubro" berarti "ziarah kubur".[1] Sementara kata "ziarah" yang dimaksud berasal dari bahasa Arab yang bermakna berkunjung secara etimologis.[2][3] Tradisi ini biasa dilakukan pada akhir bulan Syakban atau satu minggu sebelum bulan Ramadan. Kegiatan ini juga dinamai "kubro" karena diikuti oleh banyak orang secara bersamaan, hal ini membuat Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menjadikan tradisi ini sebagai acara pariwisata daerah yang mendatangkan puluhan hingga ribuan pengunjung.[4] Pada 2024, tradisi ini diperkirakan dihadiri oleh dua puluh lima ribu warga.[5] Sementara pada 2025, tradisi ini diperkirakan dihadiri oleh dua puluh hingga tiga puluh ribu warga.[6][7] PelaksanaanTradisi ziarah kubro umumnya dikhususkan bagi laki-laki dan mengenakan pakaian serba putih, dilakukan pada pagi dan sore hari. Kemudian memadati ruas jalan tertentu yang menyerupai kegiatan pawai. Berbagai sumber media menyebutkan tradisi ini turut diikuti oleh tokoh agama (ulama) dan bangsawan dari Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, hingga Yaman.[1][8] Dalam barisan yang panjang, para ulama dan bangsawan tersebut berjalan kaki menuju lokasi-lokasi ziarah di Palembang, sambil membawa bendera-bendera yang dihiasi tulisan Arab bersama dengan masyarakat dan komunitas muslim Palembang. Setelah berziarah, para pendatang yang hadir dari luar pulau biasanya mendatangi kediaman keluarga yang tersebar di wilayah provinsi Sumatera Selatan, khususnya kota Palembang. Pejabat setempat turut menghadiri tradisi ini sebagai bentuk silaturahmi yang dilakukan oleh pemerintah dengan komunitas muslim dalam menjaga tradisi untuk menyambut Ramadan.[9] Ziarah kubro tidak terpusat untuk mengunjungi satu makam saja, namun tersebar ke berbagai tempat seperti Kambang Koci 5 Ilir, Kawah Tekurep, hingga Seberang Ulu. SejarahZiarah kubro mengalami perkembangan signifikan seiring dengan penyebaran Islam di wilayah tersebut pada abad ke-16. Hal ini ditandai dengan meningkatnya peran komunitas keturunan Arab sebagai penasihat spiritual dan guru bagi raja-raja Palembang. Puncak perkembangan tradisi ini terjadi pada awal abad ke-19, ketika Palembang menjadi pusat komunitas Arab di Sumatra, sejajar dengan Aceh. Faktor utama yang mendorong perkembangan ini adalah kebijakan Sultan Mahmud Badr-al-Din, Sultan Palembang Darussalam, yang memberikan ruang bagi komunitas keturunan Arab untuk menetap dan berinteraksi secara harmonis dengan masyarakat lokal.[10] Sejak saat itu, Ziarah Kubro berkembang menjadi ritual bersama antara komunitas keturunan Arab dan masyarakat Palembang. Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam (1659-1823), terjadi akulturasi budaya antara tradisi Arab dan Palembang. Hal ini terlihat dari adanya pawai yang melibatkan prajurit berpakaian khas Melayu Palembang, serta kunjungan ke makam para pendiri dan penguasa Palembang terdahulu.[11] Tradisi ini berfungsi sebagai sarana introspeksi diri, sekaligus menjadi pengingat akan peran besar ulama dan pemimpin Kesultanan Palembang Darussalam dalam penyebaran agama Islam.[12] Pada masa tersebut, Palembang mengalami perkembangan pesat dalam bidang keagamaan, sehingga mampu menyaingi bahkan melampaui Aceh sebagai pusat pengajaran Islam pada masa itu. Kemajuan ini didukung oleh kondisi perekonomian Palembang yang makmur, terutama melalui ekspor lada dan timah sebagai komoditas utama.[13] Lihat pulaReferensi
|