Pengeboman Kiwirok
Pengeboman Kiwirok merupakan serangkaian pengeboman udara yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhadap warga sipil di distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua Barat pada bulan Oktober 2021. Latar belakangSetelah merdeka dari Belanda, Indonesia mengklaim seluruh wilayah jajahan Belanda di Kepulauan Melayu, termasuk Papua Barat (dahulu Nugini Belanda). Setelah referendum kontroversial yang dikenal sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), konflik Papua dimulai ketika separatis dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) melancarkan perang gerilya intensitas rendah melawan pasukan Indonesia, sementara Indonesia dituduh melakukan kampanye genosida terhadap suku-suku asli setempat.[1] Pada tanggal 8 September 2021, anggota TPNPB membakar mesin yang digunakan untuk pembangunan Jalan Raya Trans-Papua.[2] Lima hari kemudian, kerusuhan pecah di Kiwirok ketika anggota TPNPB menyerang gedung-gedung publik, termasuk sekolah dan pusat kesehatan,[3] melukai sembilan orang, salah satunya kemudian meninggal.[4] Insiden ini cukup tidak biasa untuk Kiwirok karena serangan TPNPB biasanya terfokus pada daerah lain seperti Oksibil. Akibatnya, Indonesia memperkuat kehadiran militer mereka di Kiwirok, yang selanjutnya mengintensifkan konflik. Ini termasuk melakukan beberapa penggerebekan selama bulan September dan Oktober, di mana pasukan keamanan Indonesia mengambil barang-barang penduduk desa, dan dalam kasus ekstrem, membunuh ternak mereka dan bahkan mencopot atap dari rumah mereka.[2] PengebomanPada 10 Oktober 2021, 14 bom dijatuhkan di dua gedung, termasuk markas TPNPB setempat.[5] Menurut Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib, peristiwa ini kemudian diikuti oleh serangkaian pengeboman antara 14 dan 21 Oktober, di mana 42 bom dijatuhkan di permukiman di 4 desa. Kesaksian saksi mata yang diperoleh BBC menguatkan laporan ini,[4] sementara laporan selanjutnya mengidentifikasi sembilan desa yang dibom dalam operasi tersebut: Depsus, Kotopib, Fomdin, Pemas, Lolim, Delepkrin, Kiwi, stasiun Kiwi, dan Babinbahkon.[6] Menurut informasi yang diperoleh Tempo, dan dikonfirmasi oleh pasukan Indonesia, mortir Krušik buatan Serbia digunakan dalam pengeboman tersebut.[7] Kesaksian saksi menyatakan bahwa empat helikopter, serta satu pesawat nirawak digunakan untuk melakukan pengeboman tersebut.[2] Menurut Riset Konflik Persenjataan, Badan Intelijen Negara (BIN) Indonesia telah membeli sekitar 2.500 mortir pada Februari 2021. Mortir yang dibeli telah dimodifikasi di Indonesia. Pertanyaan juga muncul apakah bom tersebut dijatuhkan dari pesawat BIN atau TNI, yang terakhir akan menjadi pelanggaran perjanjian pembelian amunisi menurut Serbia.[8][9] Laporan selanjutnya juga menyatakan bahwa roket Thales FZ-68 juga digunakan selama pengeboman,[6] sementara pesawat tanpa awak tersebut kemungkinan diidentifikasi sebagai Ziyan Blowfish A3 berdasarkan gambar dari para saksi.[10] AkibatPerkiraan mengenai korban jiwa setelah pengeboman sangat bervariasi. Menurut media Indonesia, 500 orang dilaporkan terpaksa mengungsi dari rumah mereka akibat konflik secara keseluruhan,[11] sementara BBC menyatakan bahwa jumlahnya "bisa mencapai ratusan atau ribuan".[4] Laporan selanjutnya berdasarkan laporan saksi mata menyebutkan jumlah ini mencapai 2.000 orang hanya akibat pengeboman, dan menyatakan bahwa 15 orang meninggal sebagai akibat langsung dari pengeboman, sementara 284 orang meninggal karena kelaparan setelah terpaksa mengungsi dari rumah mereka.[6] Angka yang diperoleh oleh pekerja gereja lebih rendah, sehingga total korban tewas menjadi sekitar 50 orang. Beberapa desa juga menjadi tidak layak huni akibat kejadian ini, dengan Human Rights Monitor mengidentifikasi 206 bangunan yang hancur, 127 di antaranya adalah bangunan tempat tinggal yang dihancurkan oleh Pasukan Keamanan Indonesia, sementara sisanya adalah bangunan umum yang dihancurkan oleh pasukan Indonesia atau TPNPB.[2] Referensi
|