Pemakaman Banyusumurup merupakan lokasi penguburan orang-orang penting dan masih kalangan berdarah biru yang dianggap membangkang atau melawan raja berkuasa,[1] khususnya Amangkurat Tegalwangi I
Kompleks
Pemakaman tersebut mula-mula dipakai untuk mengebumikan Pangeran Pekik asal Surabaya, beserta para anak dan bawahannya setelah dihukum mati oleh Amangkurat I pada 21 Februari 1659.[2]
Diantara 52 nisan yang ada di situ, terdapat 32 yang berkaitan dengan Pangeran Pekik.
Setelah itu, Banyusumurup juga dipakai untuk mengebumikan orang-orang yang berkhianat, memberontak, atau anti terhadap penguasa, yang masih berasal dari golongan sentono dalem (keluarga). Di antaranya adalah:
Roro Oyi, putri asal Surabaya yang direncanakan untuk dipinang Amangkurat I, antara 1668-1670.[3]
Prawirodirjo III yang didakwa berontak terhadap Belanda, 1810. Namun makam Prawirodirjo dipindahkan ke Magetan pada tahun 1957, ditempatkan di samping makam istrinya, Maduretno.[4]
Raden Tumenggung Danukusumo I, ayah dari Danurejo II, dihukum gantung saat diasingkan menuju Pacitan, 15 Januari 1812. Kemudian dipindahkan ke Mlangi pada tahun 1812.[6]
Kompleks Makam Banyusumurup terdiri atas dua halaman yang masing-masing dikelilingi tembok bata dan berdenah empat persegi panjang, dengan arah utara selatan.
Halaman I
Berukuran panjang 37 m, lebar 24 m, tinggi 2, 75 m dan terdapat regol yang tinggi sampai ujung atap. Regol ini selalu ditutup dan dibuka hanya bila ada peziarah datang. Pada halaman I ini terdapat 52 makam, diantaranya makam Pangeran Pekik, Pangeran Lamongan, Rara Oyi, Pangeran Timur, kerabat dan pengikut Pangeran Pekik.
Halaman II
Berukuran panjang 20,3 m, lebar 19,5 m dan ukuran regol sama dengan halaman I. Halaman II ini berada di luar halaman I, yaitu di sisi selatan bagian barat. Di halaman II terdapat dua bangunan yang terletak di sisi utara dan selatan yang disebut bale panyerenan, yaitu tempat untuk meletakkan jenazah sebelum dimakamkan dan tempat menunggu para peziarah.
Cagar Budaya
Kompleks Makam Banyusumurup sudah ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya berdasarkan UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dengan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia No. PM.89/PW.007/ MKP/2011.[10]
^R., Carey, P. B. Kuasa ramalan : Pangeran Diponegoro dan akhir tatanan lama di Jawa, 1785-1855 (Edisi Cetakan pertama). Jakarta. ISBN 9799103959. OCLC 882551668
^Carey, Peter (2017). Judul: Sisi Lain Diponegoro – Babat Kedung Kedo dan Historiografi Perang Jawa. Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 151. ISBN978-602-424-680-8.