Parasetamol atau asetaminofen adalah obat analgesik dan antipiretik yang banyak dipakai untuk meredakan sakit kepala ringan akut, nyeri ringan hingga sedang,[8] serta demam. Manfaatnya dalam penanganan demam kurang tepercaya. Berbeda dengan obat analgesik yang lain seperti aspirin dan ibuprofen, parasetamol memiliki sifat antiinflamasi (antiradang) yang sangat lemah sehingga tidak dapat menggantikan obat-obat tersebut pada penanganan sejumlah penyakit.[9] Obat ini cukup aman pada dosis standar tetapi overdosis mudah terjadi karena ia muncul pada banyak sediaan obat. Obat ini termasuk obat bebas di Indonesia.
Pada jangka waktu yang pendek, efek samping umum paracetamol mencakup mual dan nyeri perut.[10][11] Penggunaan jangka panjang dapat mengakibatkan berkurangnya kadar hemoglobin, salah satu ciri pendarahan saluran cerna,[12] dan hasil uji fungsi hati yang abnormal.[13] Terdapat hubungan antara dosis tinggi parasetamol dan peningkatan kematian serta efek samping pada sistem peredaran darah (strok, serangan jantung), saluran pencernaan (ulkus, pendarahan),[11][12][14] dan ginjal. Obat ini juga dapat meningkatkan risiko munculnya hipertensi.[15] Peningkatan kejadian serangan asma dan gangguan perkembangan serta reproduktif tampak pada keturunan perempuan dengan penggunaan jangka panjang paracetamol selama kehamilan. Kebenaran akan paracetamol sebagai penyebab utamanya masih belum jelas.[15] Bukti hubungan antara penggunaan paracetamol selama kehamilan dan gangguan spektrum autisme serta gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas ditemukan memiliki kekuatan sedang.[16][17] Oleh karena itu, penggunaan paracetamol pada masa kehamilan dianjurkan dilakukan pada dosis efektif yang paling rendah dalam waktu yang sesingkat mungkin.[15][18][19]
Parasetamol pertama kali dibuat pada tahun 1877 atau 1852.[27] Ia merupakan obat paling umum untuk penanganan nyeri dan demam baik di Amerika Serikat dan Eropa.[28] Ia termasuk dalam Daftar Obat Esensial Organisasi Kesehatan Dunia.[29] Parasetamol tersedia sebagai obat generik dengan berbagai bentuk obat dagang seperti Tylenol dan Panadol.[30] Pada tahun 2018, obat ini adalah obat ke-20 yang paling banyak diresepkan di Amerka Serikat, dengan lebih dari 27 juta resep.[31][32]
Asal kata
Kata asetaminofen dan parasetamol berasal dari singkatan nama kimia bahan tersebut:
Versi Amerika N-asetil-para-aminofenol asetominofen
Versi Inggris Para-asetil-amino-fenol parasetamol[butuh rujukan]
Sejarah
Sebelum penemuan asetaminofen, kulit sinkona digunakan sebagai agen antipiretik, selain digunakan untuk menghasilkan obat antimalaria, kina.[butuh rujukan]
Karena pohon sinkona semakin berkurang pada 1880-an, sumber alternatif mulai dicari. Terdapat dua agen antipiretik yang dibuat pada 1880-an; asetanilida pada 1886 dan fenasetin pada 1887. Pada masa ini, parasetamol telah disintesis oleh Harmon Northrop Morse melalui pengurangan p-nitrofenol bersama timah dalam asam asetat gletser. Biarpun proses ini telah dijumpai pada tahun 1873, parasetamol tidak digunakan dalam bidang pengobatan hingga dua dekade setelahnya. Pada 1893, parasetamol telah ditemui di dalam air kencing seseorang yang mengambil fenasetin, yang memekat kepada hablur campuran berwarna putih dan berasa pahit. Pada tahun 1899, parasetamol dijumpai sebagai metabolit asetanilida. Namun penemuan ini tidak dipedulikan pada saat itu.[butuh rujukan]
Pada 1946, Lembaga Studi Analgesik dan Obat-obatan Sedatif telah memberi bantuan kepada Departemen Kesehatan New York untuk mengkaji masalah yang berkaitan dengan agen analgesik. Bernard Brodie dan Julius Axelrod telah ditugaskan untuk mengkaji mengapa agen bukan aspirin dikaitkan dengan adanya methemoglobinemia, sejenis keadaan darah tidak berbahaya. Di dalam tulisan mereka pada 1948, Brodie dan Axelrod mengaitkan penggunaan asetanilida dengan methemoglobinemia dan mendapati pengaruh analgesik asetanilida adalah disebabkan metabolit parasetamol aktif. Mereka membela penggunaan parasetamol karena memandang bahan kimia ini tidak menghasilkan racun asetanilida.[butuh rujukan]
Dewasa dan anak di atas 12 tahun: 1 tablet, 3 – 4 kali sehari.
Anak-anak 6 – 12 tahun: ½ – 1, tablet 3 – 4 kali sehari.
Paracetamol Sirup 125 mg/5 ml
Anak usia 0 – 1 tahun: ½ sendok takar (5 mL), 3 – 4 kali sehari.
Anak usia 1 – 2 tahun: 1 sendok takar (5 mL), 3 – 4 kali sehari.
Anak usia 2 – 6 tahun: 1 – 2 sendok takar (5 mL), 3 – 4 kali sehari.
Anak usia 6 – 9 tahun: 2 – 3 sendok takar (5 mL), 3 – 4 kali sehari.
Anak usia 9 – 12 tahun: 3 – 4 sendok takar (5 mL), 3 – 4 kali sehari.[butuh rujukan]
Demam
Parasetamol digunakan sebagai penurun suhu tubuh pada kondisi demam.[33] Namun demikian, sifatnya sebagai obat antipiretik, terutama untuk pasien dewasa, masih belum cukup diteliti sehingga manfaatnya masih belum jelas.[34] Maka dari itu, parasetamol disebut diresepkan berlebihan untuk indikasi ini. Selain itu, data klinis dengan kualitas rendah mengantarkan pada kesimpulan bahwa dalam penatalaksanaan pilek, parasetamol dapat meredakan hidung yang tersumbat atau beringus tetapi tidak mengatasi gejala pilek lain seperti sakit tenggorokan, malaise, bersin, ataupun batuk.[35]
Parasetamol yang diberikan kepada pasien yang dirawat di instalasi rawat intensif menurunkan suhu tubuh 0,2–0,3°C lebih banyak dibandingkan dengan intervensi kontrol serta tidak berpengaruh terhadap tingkat kematian.[36] Pemberian parasetamol tidak mengubah luaran pasien demam yang menderita strok.[37] Namun demikian, terdapat hasil yang tidak bersesuaian pada pemberian parasetamol dalam menangani sepsis: terdapat temuan tingkat kematian lebih tinggi, tingkat kematian lebih rendah, dan tingkat kematian yang tidak berbeda.[36] Dalam penatalaksanaan demam dengue, parasetamol tidak memberikan manfaat dan mengakibatkan kenaikan kadar enzim liver yang mungkin menandakan kerusakan hati.[38] Secara keseluruhan, tidak terdapat bukti yang cukup dalam penggunaan rutin obat antipiretik, termasuk parasetamol, secara untuk pasien yang dirawat inap dan mengalami demam beserta infeksi.[39]
Efikasi parasetamol pada anak-anak yang mengalami demam belum dapat disimpulkan.[40] Parasetamol tidak dianjurkan digunakan hanya untuk menurunkan suhu tubuh tetapi dapat dipertimbangkan untuk anak dengan demam yang tampak terganggu.[41] Parasetamol sendiri tidak mencegah kejadian kejang karena demam.[41][42] Pada kejadian kedaruratan, penurunan suhu tubuh sebanyak 0,2°C pada anak setelah pemberian dosis lazim parasetamol masih meragukan dalam penatalaksanaan.[43] Maka dari itu, sejumlah dokter menganjurkan penggunaan dosis yang lebih tinggi untuk penurunan suhu hingga 0,7°C.[44] Sejumlah metaanalisis menunjukkan bahwa parasetamol sendiri kurang efektif daripada ibuprofen pada pasien anak,[45] termasuk anak dengan usia lebih muda daripada 2 tahun,[46] dengan catatan pada tingkat keamanan yang sama.[47]Eksaserbasi (kekambuhan) asma muncul dengan frekuensi yang mirip pada penggunaan kedua obat tersebut.[48] Pemberian parasetamol dan ibuprofen secara bersamaan untuk anak di bawah lima tahun tidak direkomendasikan tetapi pemberiannya dapat dilakukan bergantian jika perlu.[41]
Nyeri
Parasetamol digunakan untuk meredakan nyeri ringan hingga sedang seperti sakit kepala, nyeri otot, nyeri radang sendi minor, dan sakit gigi selain nyeri yang disebabkan pilek, flu, terkilir, dan dismenorea.[49] Obat ini dianjurkan khusus untuk nyeri akut ringan hingga sedang sebab manfaat penggunaannya dalam perawatan nyeri kronis (jangka panjang) tidak cukup terbukti.[50]
Nyeri sistem otot dan rangka
Manfaat parasetamol dalam perawatan kondisi sistem otot dan rangka seperti osteoartritis dan nyeri punggung belum pasti.[50]
Parasetamol ditemukan hanya memberikan manfaat yang kecil dan tidak penting secara klinis dalam penanganan osteoartritis.[50][51] Pedoman tata laksana osteoartritis milik American College of Rheumatology dan Arthritis Foundation menyebutkan bahwa ukuran efek pada uji klinis parasetamol ialah sangat kecil, menunjukkan bahwa sebagian besar orang tidak mendapatkan efeknya.[52] Pedoman tersebut menganjurkan parasetamol pada kondisi tertentu dalam penggunaan jangka pendek dan sesuai episode manifestasi klinis bagi mereka yang tidak dapat menoleransi obat antiinflamasi nonsteroid. Individu yang menggunakan parasetamol secara rutin perlu memantau toksisitasnya di liver.[52] Pada dasarnya, hal yang sama dianjurkan oleh EULAR untuk tata laksana osteoartritis tangan.[53]
Parasetamol tidak efektif untuk menangani nyeri punggung bawah akut.[50][54] Penilaian penggunaan parasetamol untuk nyeri punggung kronis atau radikular belum sampai pada tingkat uji klinis acak terkendali. Bukti yang mendukung penggunaan parasetamol untuk kasus-kasus tersebut tidak cukup.[55][51][54]
Efek Samping
Pada dosis yang direkomendasikan, parasetamol tidak mengiritasi lambung, memengaruhi koagulasi darah, atau memengaruhi fungsi ginjal. Namun, pada dosis besar (lebih dari 2000 mg per hari) dapat meningkatkan risiko gangguan pencernaan bagian atas. Hingga tahun 2010, parasetamol dipercaya aman untuk digunakan selama masa kehamilan.
Kelebihan Dosis
Penggunaan parasetamol di atas rentang dosis terapi dapat menyebabkan gangguan hati. Pengobatan toksisitas parasetamol dapat dilakukan dengan cara pemberian asetilsistein (N-asetil sistein) yang merupakan prekusor glutation, membantu tubuh untuk mencegah kerusakan hati lebih lanjut.[butuh rujukan]
Mekanisme Aksi
Mekanisme aksi utama dari parasetamol adalah hambatan terhadap enzim siklooksigenase (COX, cyclooxygenase), dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa obat ini lebih selektif menghambat COX-2. Meskipun mempunyai aktivitas antipiretik dan analgesik, tetapi aktivitas antiinflamasinya sangat lemah karena dibatasi beberapa faktor, salah satunya adalah tingginya kadar peroksida dapat lokasi inflamasi. Hal lain, karena selektivitas hambatannya pada COX-2, sehingga obat ini tidak menghambat aktivitas tromboksan yang merupakan zat pembekuan darah.[butuh rujukan]
^Working Group of the Australian and New Zealand College of Anaesthetists and Faculty of Pain Medicine (2010). Macintyre, PE; Schug, SA; Scott, DA; Visser, EJ; Walker, SM (ed.). Acute Pain Management: Scientific Evidence(PDF) (Edisi 3rd). Melbourne, Australia: National Health and Medical Research Council. ISBN9780977517459. Diarsipkan dari asli(PDF) tanggal 2012-10-21. Diakses tanggal 2016-09-22.
^Karthikeyan, M.; Glen, R. C.; Bender, A. (2005). "General Melting Point Prediction Based on a Diverse Compound Data Set and Artificial Neural Networks". Journal of Chemical Information and Modeling. 45 (3): 581–590. doi:10.1021/ci0500132. PMID15921448.