Mayor Abdoellah
Mayor Abdoellah (EYD: Abdullah, lahir di Gorontalo tahun 1924 - meninggal di Maluku, 25 September 1950) adalah seorang pelaut dan tentara yang berasal dari Gorontalo, Pulau Sulawesi. Mayor Abdoellah mendapat julukan Mayor Revolusi, karena keberhasilannya dalam setiap penugasan di medan perang pada masa revolusi nasional Indonesia. Pada tahun 1950, Abdoellah gugur dalam sebuah operasi militer melawan kelompok separatis Republik Maluku Selatan (RMS) yang sebagian besarnya merupakan bekas tentara KNIL. Tidak hanya Abdoellah, tokoh lainnnya seperti Slamet Rijadi dan Slamet Soediarto juga gugur dalam operasi militer gabungan yang sama di Ambon. Kehidupan Awal dan KeluargaAbdoellah lebih dikenal dengan nama Dullah. Tidak banyak informasi tentang orang tuanya, namun pria berdarah Gorontalo ini lahir pada tahun 1924 di Gorontalo, Pulau Sulawesi. Dullah kecil kemudian diangkat sebagai anak oleh keluarga pelaut dari Madura, Jawa Timur.[1][2] Dullah lalu ikut melaut bersama keluarga angkatnya, dan ikut berlayar menjadi pelaut muda. Dari Pelaut ke Tukang BecakTakdir kemudian membawa keluarga angkatnya pindah ke Surabaya dan tinggal di sekitar pelabuhan.[3] Berhenti melaut, Dullah kemudian menjadi tukang becak di sekitar pelabuhan di Surabaya. Dullah kecil tidak mengenyam pendidikan. Ia adalah seorang buta huruf, tidak bisa membaca dan menulis.[4] Istrinya yang seorang Guru kemudian mengajarinya membaca dan menulis. Selain itu, F. J. Tumbelaka, yang saat itu merupakan salah seorang stafnya juga ikut mengajarinya bahasa Belanda dan Inggris.[5] PernikahanPada Februari 1947, Dullah menikah dengan seorang perempuan Minahasa bernama Wims Umampan. Wims adalah perempuan berpendidikan dan berprofesi sebagai Guru. Pernikahan keduanya direstui oleh Andi R. Ahmad Aries, komandan Dullah saat itu. Perjuangan dan PertempuranMasa Pendudukan Jepang dan Pertempuran SurabayaSetelah berhenti melaut bersama keluarga angkatnya, Abdoellah akhirnya menetap di kawasan pelabuhan dan beralih profesi sebagai tukang becak. Ketika Jepang menduduki Indonesia, Abdoellah bergabung dengan Serikat Penarik Becak Surabaya dan mengikuti latihan Jibakutai, pasukan berani mati yang dibentuk Jepang di Surabaya. Setelah Republik Indonesia diproklamasikan, Abdoellah muda kemudian ikut berperang melawan sekutu pada Pertempuran Surabaya. Pada tanggal 10 November 1945, Abdoellah bersama Serikat Becaknya turut angkat senjata dan bertempur melawan serdadu Inggris dan sekutu. Menjadi Tentara Keamanan Rakyat dan Memimpin Pasukan Badjak LaoeutSetelah pertempuran 10 November, Abdoellah kemudian bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat Laut dan membentuk pasukan tempurnya sendiri. Pasukan Abdoellah terdiri dari para pelaut muda, kebanyakan merupakan rakyat biasa, bukan berasal dari keluarga priayi, dan tidak melalui pelatihan militer. Penugasan di Jogjakarta, Jawa Timur, dan Jawa BaratSalah satu pertempuran awal yang dipimpin Abdoellah terjadi di wilayah Buduran hingga Sruni.[6] Setelah itu, Abdoellah diperintahkan berangkat ke Jogjakarta untuk turut melakukan pengamanan di ibu kota revolusi saat itu.[7] Pada Agustus 1946, beberapa regu dari pasukan pimpinan Letnan Soeharto ditugaskan untuk bergabung dalam pasukan Abdullah. Gabungan pasukan ini kemudian dikirim ke Banyuwangi dibawah komando Letnan Satu Soelaiman dan ke Bangil dibawah komando Letnan Dua Soeparto. Setelah misi di Jawa Timur selesai, pasukan Abdoellah kembali ditugaskan ke Jawa Barat antara tanggal 22 Oktober 1946 hingga 16 November 1946. Abdoellah dan pasukannya ditugaskan untuk ikut mengawal perundingan di Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat. Agresi Militer Belanda IAgresi Militer Belanda yang pertama terjadi antara tanggal 21 Juli dan 4 Agustus 1947. Belanda menyebut peristiwa ini sebagai politionele actie pertama di Indonesia yang dilancarkan setelah Perundingan Linggajati. Pada peristiwa agresi militer Belanda ke-1 ini, serangan militer Belanda dipusatkan di wilayah Jawa dan Sumatera. Pasukan Abdoellah yang ditempatkan di Punten, Batu, dan Bululawang pun kemudian bersiap menghadapi serangan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dari Batu dan Bululawang, pasukan Abdoellah kemudian bergeser ke markas Pangkalan VII, Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) di Lawang.[8] Dalam periode ini, TNI kemudian melancarkan perang gerilya dengan menguasai wilayah pedesaan sedangkan Belanda dan sekutu mulai menguasai kembali beberapa titik strategis di wilayah Jawa dan Sumatera. Agresi Militer Belanda IIPada serangan militer Belanda kedua ini, banyak wilayah yang diambil alih kembali oleh Belanda dan memaksa TNI untuk mundur keluar dari Jogjakarta. Atas peristiwa ini, Pemerintah di bawah Wakil Presiden Mohammad Hatta lalu mengeluarkan kebijakan reorganisasi militer, termasuk di tubuh ALRI untuk menggabungkan Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI) ke Angkatan Darat. Hasilnya, pasukan Badjak Laoet pimpinan Abdoellah pun digabung menjadi Depot Batalyon. Selanjutnya, Mayor Abdoellah bersama pasukannya kemudian berada di bawah garis komando Brigade 16, Divisi I TNI (saat ini bernama Kodam V/Brawijaya), dengan Kolonel Soengkono sebagai panglimanya. Depot Batalyon ini kemudian secara resmi ditingkatkan menjadi Batalyon XVII, dan tetap dipimpin oleh Mayor Abdullah. Menjelang akhir 1948, Batalyon XVII yang dipimpin Abdoellah dipecah menjadi dua bagian untuk memenuhi kebutuhan taktis. Dua kompi dikirim ke Tuban, sementara dua lainnya menuju Tretes hingga Lawang untuk melanjutkan perang gerilya di wilayah masing-masing. Penugasan ke Sulawesi SelatanSetelah agresi militer Belanda II berakhir, tahun 1950 terjadi banyak pemberontakan di beberapa daerah. Salah satu daerah yang bergejolak adalah Makassar, Sulawesi Selatan. Dalam menangani peristiwa ini, salah satu pasukan yang ditugaskan adalah Batalyon XVII di bawah komando Mayor Abdullah.[9] Batalyon Abdullah merupakan bagian dari tiga batalyon dalam Brigade Mataram yang direncanakan mendarat di Bantaeng. Namun, perubahan strategi membuat dua batalyon lainnya langsung menuju Makassar, sementara hanya 1 Batalyon pimpinan Abdoellah yang tetap diarahkan ke Bantaeng dengan kapal motor Kaimana. Setelah situasi di Bantaeng dinyatakan aman, Batalyon Abdoellah kemudian menyebar beberapa kompi pasukannya ke beberapa daerah, seperti Bantaeng, Jeneponto, Malakaji, Bulukumba, dengan konsentrasi pasukan utamanya berada di Parepare. Penugasan ke Maluku![]() Setelah sebulan bertugas menjaga stabilitas di Sulawesi Selatan, Batalyon XVII di bawah komando Mayor Abdoellah menerima perintah baru pada 21 Mei 1950. Abdoellah dan pasukannya ditugaskan untuk bergabung dalam Operasi gabungan militer dalam merebut wilayah Republik Maluku Selatan, yang oleh Dr. Soumokil menyatakan kemerdekaannya. Dengan latar belakang tersebut, pasukan Badjak Laoet Mayor Abdoellah kemudian ikut bertugas di Maluku di bawah Komando Operasi Pasukan Sunda Kecil yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Kosasih.[10] Batalyon Abdoellah kemudian berhasil menempatkan pasukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS pada saat itu) di berbagai titik strategis seperti Kepulauan Tanimbar, Kei, Aru, Geser, dan Seram Selatan. Pada 24 Agustus 1950, basukan utama pasukan Mayor Abdoellah dipusatkan di Pulau Geser, Seram bagian timur. Kematian![]() Dalam operasi gabungan militer di Ambon, Maluku, Abdoellah dan pasukannya berhasil menggempur dan menguasai wilayah Seram utara (Wahai), dan Seram Timur (Geser), Maluku Tenggara. Kemudian pada September 1950, Batalyon 711 yang dipimpin Mayor Abdoellah terus bergerak ke daerah Seram bagian selatan. Batalyon Abdullah kemudian bergeser merebut wilayah Lafa dengan menyusur pantai menggunakan perahu motor. Pertempuran secara terbuka kemudian terjadi ketika pasukan Abdoellah bertemu dengan kelompok pendukung RMS yang didukung oleh bekas tentara Baret Hijau KNIL. Pertempuran di Lafa berhasil dimenangkan oleh Batalyon Abdoellah, meskipun komandannya sendiri gugur terlebih dahulu. Mayor Abdoellah gugur terkena peluru tajam bersama beberapa prajuritnya. Jasadnya kemudian dibawa ke Pulau Geser untuk dimakamkan. Referensi
|