Maruto Darusman adalah seorang politikus asal Indonesia. Ia merupakan tokoh berpengaruh dalam gerakan sayap kiri dan mendukung Musso serta Amir Sjarifuddin dalam upaya menggulingkan pemerintah. Setelah Pemberontakan Madiun gagal, Maruto ditangkap oleh pasukan pemerintah bersama beberapa tokoh lainnya dan dieksekusi pada Desember 1948.[1]
Maruto berangkat ke Belanda saat dia kira-kira berusia 20an tahun. Di Belanda, dia kuliah di jurusan Indologi di Universitas Leiden.[2] Maruto aktif di organisasi Roekoen Peladjar Indonesia (Roepi). Di organisasi tersebut, dia pernah menjadi wakil ketua, lalu ketua. Maruto juga ikut serta mengurus media Roepi, Soeara Roepi.[3]
Bersama Soeripno dan Soenito, Maruto ikut memimpin Perhimpunan Indonesia ketika invasi Belanda oleh Jerman. Maruto punya nama samaran Nico van Zuilen. Maruto baru betul-betul aktif dalam gerakan bawah tanah ketika Jerman menyerbu Rusia. Di masa pendudukan Jerman, Maruto bertemu dan kemudian menikah dengan Sundari, kawan wanitanya dalam pergerakan di Belanda. Setelah Perang Dunia II dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Maruto Darusman dan Setiadjit pulang bersama Suwandi pada tanggal 25 April 1946 sehabis perundingan di Hoge Veluwe.[4]
Dia masuk Partai Komunis Indonesia dan masuk ke dalam kabinet Amir Sjarifuddin I, menjabat sebagai menteri negara yang tidak memimpin departemen. Setelah kabinet Amir bubar, Maruto terseret ke dalam pemberontakan Madiun. Alasan Maruto dan Amir menyingkir ke Madiun karena alasan keamanan. Di Madiun, mereka disebut bergiat dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR).[5] Maruto tiba di Madiun pada 27 Sepetember 1948.[6]
Maruto sempat bersama rombongan pimpinan Amir Sjarifuddin. Dalam rombongan tersebut, terdapat Fransisca Fanggidaej.[7] Maruto ditangkap 18 November 1948. Selama berminggu-minggu setelahnya, dia ditahan. Wajahnya ikut menghiasi pamflet terbitan pemerintah yang berjudul "Musso cs: Mengatjau Kesalamatan Negara Kita." Nasib Maruto dan kawan-kawannya yang tertangkap itu diputuskan pada 18 Desember 1948 dalam sebuah sidang yang yang diliputi ketegangan. Dari 12 menteri kabinet Hatta, hanya 4 yang setuju mereka dibebaskan dari eksekusi mati. Pada 19 Desember 1948, mereka akhirnya dibawa ke Ngalihan di sebelah timur Solo untuk dieksekusi mati.[8]
Artikel bertopik biografi Indonesia ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.