Liberty Manik lahir pada 21 November 1924 di Huta Manik, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara. Ia diberi nama Raja Tiang Manik, namun nama ini kemudian diubah oleh seorang pendeta pada saat pembaptisannya.[5] Ayah Liberty bernama Raja Patiham Manik, sedangkan ibunya bernama Solat boru Situmorang.
Mengarang lagu-lagu nasional: Satu Nusa Satu Bangsa, Desaku Yang Kucinta, Tamanku, Pantai Sepi, Di Laut, Negara Jaya.[9] Lagu Satu Nusa Satu Bangsa yang dikarangnya merupakan salah satu dari tujuh lagu perjuangan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka sebagai lagu wajib nasional berdasarkan Instruksi Menteri Muda Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan pada tahun 1963.[10]
Menerjemahkan dan mementaskan oratorium Mattheus Passion dan Weichnachtsoratorim karangan J.S. Bach di Yogyakarta tahun 1980-an.
Mengarang lagu rohani: Molo Saut Ma Ho (Buku Ende No. 809), Yesus Kristus Kehidupan Dunia (Pelengkap Kidung Jemaat No. 263)[a], Kumohon Pengampunan (Pelengkap Kidung Jemaat No. 42)[b], Padamu Kami Datang[c], S'lamat Datang Kami Ucapkan[d], Karuniamu, Tuhan[e].[11]
Karya tulis
Musik di Indonesia dan beberapa persoalannya bersama J.A. Dungga (1952)
Das arabische Tonsystem im Mittelalter (1969)
Batak-Handschriften (1973), buku ini berisi koleksi 501 Pustaha Batak yang tersebar di seluruh Jerman, kecuali koleksi Museum Leipzig, Museum Stuttgart Linden, dan RMG. Liberty Manik mengatalogkan dan juga memberikan penjelasan yang menyeluruh tentang isi dari tiap-tiap pustaha.[12]
Register van eigennamen in pustaha's bersama Petrus Voorhoeve (1977)
Ketens van overlevering in pustaha's bersama Petrus Voorhoeve
Suku Batak Dengan "Gondang Batak"-nya (1977) dalam Majalah Peninjau Tahun IV Nomor 1
Pandangan
Liberty Manik terlibat dalam polemik kebudayaan Indonesia yang berlangsung sejak akhir tahun 1930-an hingga pertengahan tahun 1950-an. Periode ini diisi dengan perdebatan akan musik baru Indonesia. Liberty Manik bersama J.A. Dungga dan Amir Pasaribu berpihak pada pengadopsian seni musik Barat. Dalam tulisannya bersama J.A. Dungga pada 1952, Liberty mengeluhkan kurangnya karya komponis Indonesia yang bernilai seni. Mereka menolak musik tradisional sebagai gambaran masa depan musik Indonesia.[13] Sebaliknya, mereka berpandangan bahwa musik nasional Indonesia seharusnya bukan ditekankan pada aspek keaslian dan ketimuran musik itu sendiri, melainkan pada komposisi musik yang berkualitas tinggi. Sama halnya dengan Sindoedarsono Soedjojono yang mendesak para pelukis untuk menguasai teknik-teknik melukis, Liberty Manik merasa bahwa pembelajaran dan penguasaan akan teknik komposisi musik jauh lebih berguna bagi seorang musisi daripada mencari-cari corak nasional dalam musik.[14]
Liberty Manik juga berpandangan bahwa gamelan merupakan simbol ketertinggalan dan kemerosotan yang berkaitan dengan gaya hidup hedonistik kaum priayi. Musik tradisional tidak mampu lagi mengakomodasi perasaan masyarakat yang telah berubah karena situasi dunia yang penuh dinamisme, turbulensi, dan konflik. Kondisi batin masyarakat membutuhkan gaya musik baru yang mampu menggambarkan realitas yang mereka alami. Berbeda dengan Jaap Kunst, Liberty berpandangan bahwa musik yang mengandung unsur magis dan primitif tidak lagi disukai karena perasaan religius masyarakat pun telah berubah.[13] Sebagai contoh, ia menyinggung pemutaran perdana film Enam Djam di Jogja karya Usmar Ismail yang menuai komentar dari para penonton karena menggunakan musik gamelan dalam adegan peperangan alih-alih mars yang dianggap lebih menggugah.[15]