Konstantinus Agung
Konstantinus Agung (bahasa Latin: Flavius Valerius Aurelius Constantinus Augustus;[2] bahasa Yunani Koine: Κωνσταντῖνος ὁ Μέγας, Konstantinos ho Megas; 27 Februari ca 272 M[1] – 22 Mei 337 M), juga dikenal sebagai Konstantinus I atau Santo Konstantinus (dalam Gereja Ortodoks sebagai Santo Konstantinus Agung, Setara Rasul),[3] merupakan seorang Kaisar Romawi dari tahun 306 sampai 337 M. Konstantinus adalah putra dari Flavius Valerius Konstantius, seorang perwira tentara Romawi, dan Helena istrinya. Ayahnya menjadi Caesar, wakil kaisar, di barat pada tahun 293 M. Konstantinus diutus ke timur, di mana ia menapaki pangkat-pangkatnya hingga menjadi seorang tribun militer di bawah Kaisar Diokletianus dan Galerius. Pada tahun 305 Konstantius meraih pangkat Augustus, kaisar barat senior, dan Konstantinus dipanggil ke barat untuk membantu ayahnya melangsungkan kampanye di Britania. Dengan pengakuan sebagai kaisar oleh pasukannya di Eboracum (York masa kini) setelah ayahnya meninggal dunia pada tahun 306 M, Konstantinus meraih kemenangan dalam serangkaian perang saudara melawan Kaisar Maxentius dan Lisinius hingga ia menjadi penguasa tunggal di barat maupun timur pada tahun 324 M. Sebagai kaisar, Konstantinus melakukan banyak reformasi di bidang administrasi, keuangan, sosial, dan militer untuk memperkuat kekaisaran. Pemerintahan direstrukturisasi, serta dilakukan pemisahan kewenangan sipil dan militer. Koin emas baru, yakni solidus, dikeluarkan untuk mengatasi inflasi. Ini menjadi standar mata uang Bizantin dan Eropa selama lebih dari seribu tahun. Sebagai kaisar Romawi pertama yang mengaku melakukan konversi ke Kekristenan,[notes 4] Konstantinus memainkan suatu peranan penting dalam mendeklarasikan Maklumat Milan pada tahun 313, yang menetapkan toleransi bagi Kekristenan di dalam kekaisaran. Ia menghimpun Konsili Nicea Pertama pada tahun 325; pada saat itu kaum Kristiani menyatakan pengakuan iman mereka melalui Kredo Nicea. Dalam bidang militer, tentara Romawi direorganisasi sehingga terdiri dari unit lapangan yang mobil dan tentara garnisun yang mampu menghadapi ancaman internal dan invasi kaum barbar. Konstantinus melakukan kampanye-kampanye militer yang sukses terhadap suku-suku di perbatasan Romawi—suku Franka, Alemanni, Goth, dan Sarmatia—bahkan memukimkan kembali wilayah-wilayah yang ditinggalkan oleh para pendahulunya selama gejolak pada abad sebelumnya. Masa pemerintahan Konstantinus menandai suatu zaman yang berbeda dalam sejarah Kekaisaran Romawi.[5] Ia membangun kediaman kekaisaran yang baru di Bizantium dan mengganti nama kota itu menjadi Konstantinopel (Kota Konstantinus) menurut namanya sendiri (julukan "Roma Baru" yang bersifat pujian baru timbul belakangan, dan tidak pernah menjadi julukan resmi). Kota ini nantinya menjadi ibu kota Kekaisaran selama lebih dari seribu tahun, dan karenanya Kekaisaran Timur yang terbentuk kelak menjadi dikenal sebagai Kekaisaran Bizantin. Warisan politiknya yang lebih berdampak langsung yaitu, ketika meninggalkan kekaisaran untuk para putranya, ia menggantikan sistem tetrarki Diokletianus dengan prinsip suksesi dinasti. Reputasinya berkembang selama masa pemerintahan anak-anaknya dan berabad-abad setelah pemerintahannya. Gereja abad pertengahan mempertahankannya sebagai salah seorang teladan kebajikan, sementara para penguasa sekuler merujuknya sebagai suatu prototipe, titik acuan, serta simbol identitas dan legitimasi kekaisaran.[6] Mulai dari Masa Renaisans, timbul penilaian-penilaian yang lebih kritis atas pemerintahannya karena ditemukannya kembali sumber-sumber anti-Konstantinian. Para kritikus menggambarkannya sebagai seorang tiran. Tren dalam keilmuan modern dan baru-baru ini berupaya untuk menyeimbangkan kedua sisi ekstrem keilmuan sebelumnya. Konstantinus merupakan seorang tokoh penting dalam sejarah Kekristenan. Gereja Makam Kudus, yang dibangun atas perintahnya di lokasi yang diklaim sebagai makam Yesus di Yerusalem, menjadi tempat tersuci dalam dunia Kristiani. Klaim Kepausan atas kekuasaan temporal pada Abad Pertengahan Tinggi didasarkan pada sebuah dokumen yang disebut Donasi Konstantinus. Konstantinus Agung dihormati sebagai orang kudus (santo) oleh kalangan Ortodoks Timur, Katolik Bizantin, dan Anglikan. Sumber-sumberKonstantinus adalah salah seorang penguasa besar yang penting dalam sejarah, dan ia senantiasa menjadi salah seorang tokoh yang kontroversial.[7] Naik turunnya reputasi Konstantinus mencerminkan sifat dari sumber-sumber kuno seputar pemerintahannya. Sumber-sumber ini sangat banyak tersedia dan terperinci,[8] namun sangat dipengaruhi oleh propaganda resmi periode tersebut,[9] dan sering kali hanya sepihak.[10] Tidak terdapat cerita sejarah ataupun biografi yang masih terlestarikan hingga sekarang berkenaan dengan pemerintahan dan kehidupan Konstantinus.[11] Sumber pengganti yang terdekat adalah Vita Constantini karya Eusebius dari Kaisarea, suatu karya yang merupakan paduan dari eulogi dan hagiografi.[12] Ditulis antara tahun 335 M dan ca 339 M,[13] Vita meninggikan kebajikan religius dan moral dari Konstantinus.[14] Vita menciptakan suatu citra positif Konstantinus yang menimbulkan perdebatan,[15] dan para sejarawan modern sering kali menantang keandalannya.[16] Seluruh kehidupan sekuler Konstantinus dikisahkan dalam sebuah karya anonim berjudul Origo Constantini.[17] Sebagai sebuah karya yang tidak jelas tarikhnya,[18] Origo berfokus pada peristiwa-peristiwa militer dan politik, mengabaikan hal-hal religius dan kultural.[19] De Mortibus Persecutorum karya Laktansius, sebuah pamflet politis Kristiani pada masa pemerintahan Diokletianus dan periode Tetrarki, menyajikan informasi berharga namun terdapat rincian tendesius mengenai para pendahulu dan masa muda Konstantinus.[20] Sejarah-sejarah gerejawi dari Sokrates, Sozomen, dan Teodoretus mendeskripsikan perselisihan keagamaan pada masa akhir pemerintahan Konstantinus.[21] Karya-karya para sejarawan gerejawi itu ditulis pada masa pemerintahan Teodosius II (408–50 M), seabad setelah pemerintahan Konstantinus, serta dianggap mengaburkan peristiwa-peristiwa dan teologi-teologi pada zaman Konstantinus melalui penyimpangan, kekeliruan, dan ketidakjelasan yang disengaja.[22] Tulisan-tulisan kontemporer dari dari seorang Kristiani ortodoks bernama Athanasius dan sejarah gerejawi dari seorang Arian bernama Filostorgius juga masih terlestarikan hingga saat ini, kendati terdapat bias yang tidak kalah tegasnya.[23] Berbagai epitome dari Aurelius Victor (De Caesaribus), Eutropius (Breviarium), Festus (Breviarium), dan penulis anonim Epitome de Caesaribus menyajikan sejarah militer dan politik sekuler yang dipadatkan dari periode tersebut. Meskipun bukan sumber Kristiani, epitome-epitome itu melukiskan suatu citra baik Konstantinus, tetapi tidak mengandung referensi seputar kebijakan-kebijakan keagamaan Konstantinus.[24] Panegyrici Latini, suatu kumpulan panegirik dari akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4, menyajikan informasi berharga mengenai politik dan ideologi pada periode tetrarki dan masa muda Konstantinus.[25] Arsitektur kontemporer, seperti Pelengkung Konstantinus di Roma dan istana-istana di Gamzigrad dan Kordoba,[26] peninggalan epigrafi, dan uang logam dari era tersebut melengkapi sumber-sumber literer yang tersedia.[27] Masa muda![]() Flavius Valerius Konstantinus, nama aslinya, dilahirkan di kota Naissus (sekarang Niš, Serbia), bagian dari Provinsi Dardania di Moesia pada tanggal 27 Februari,[28] mungkin ca 272 M.[29] Ayahnya adalah Flavius Konstantius, orang Iliria,[30][31] dan asli dari Provinsi Dardania di Moesia (Dacia Ripensis kelak).[32] Konstantinus kemungkinan hanya menghabiskan sedikit waktu dengan ayahnya,[33] yang adalah seorang perwira tentara Romawi dan termasuk salah seorang pengawal imperial Kaisar Aurelianus. Sang ayah, Konstantius, digambarkan sebagai seorang yang toleran dan memiliki ketrampilan berpolitik,[34] yang menapaki kariernya tahap demi tahap, dijadikan gubernur Dalmatia oleh Kaisar Diokletianus, salah seorang kolega Aurelianus dari Ilirikum, pada tahun 284 atau 285.[32] Ibu Konstantinus adalah Helena, kemungkinan seorang Bitinia dengan status sosial rendah.[35] Tidak dapat dipastikan apakah ia menikah secara sah dengan Konstantius, atau hanya menjadi selirnya.[36] Tidak ada kejelasan apakah Konstantinus dapat berbicara bahasa Trakia, bahasa utamanya adalah Latin dan ia membutuhkan penerjemah Yunani saat berpidato di hadapan publik.[37] ![]() Pada bulan Juli 285 M, Diokletianus mendeklarasikan Maximianus, koleganya yang lain dari Ilirikum, sebagai rekan-kaisar. Masing-masing kaisar memiliki istana sendiri, kekuasaan administratif serta militer tersendiri, dan masing-masing memerintah dengan prefek praetoria terpisah sebagai deputi kepala.[38] Maximianus memerintah di Barat, dari ibu kotanya di Mediolanum (Milan, Italia) atau Augusta Treverorum (Trier, Jerman), sementara Diokletianus memerintah di Timur, dari Nikomedia (İzmit, Turki). Pembagian ini dianggap pragmatis: Kekaisaran disebut "tak terbagi" dalam panegirik resmi,[39] dan kedua kaisar dapat bergerak dengan bebas di seluruh Kekaisaran.[40] Pada tahun 288, Maximianus menunjuk Konstantius sebagai prefek praetorianya di Galia. Konstantius meninggalkan Helena untuk menikahi Teodora, anak tiri Maximianus, pada tahun 288 atau 289.[41] Diokletianus kembali membagi Kekaisaran pada tahun 293 M, menunjuk dua Caesar (kaisar junior) untuk memerintah atas wilayah pembagian lanjutan di Timur dan Barat. Keduanya berada di bawah Augustus (kaisar senior) masing-masing, tetapi mereka dapat bertindak dengan otoritas tertinggi dalam wilayah kekuasaan masing-masing. Sistem ini kelak disebut Tetrarki. Penunjukkan pertama Diokletianus untuk jabatan Caesar adalah Konstantius; penunjukkan kedua adalah Galerius, yang berasal dari Felix Romuliana. Menurut Laktansius, Galerius adalah seorang yang brutal dan bersifat kebinatangan. Kendati sama-sama menganut paganisme dari aristokrasi Roma, ia dipandang oleh mereka sebagai seorang sosok asing, seorang semibarbar.[42] Pada tanggal 1 Maret, Konstantius dipromosikan ke jabatan Caesar, dikirim ke Galia untuk memerangi pemberontakan Karausius dan Alektus.[43] Kendati terdapat implikasi meritokratis, Tetrarki tersebut mempertahankan peninggalan dari hak istimewa keturunan,[44] dan Konstantinus segera menjadi kandidat utama Caesar di masa mendatang setelah ayahnya mendapatkan posisi tersebut. Konstantinus mendiami istana Diokletianus, tempat ia hidup sebagai pewaris ayahnya sebagaimana dihipotesiskan.[45] Di Timur![]() Konstantinus menerima pendidikan formal di istana Diokletianus, tempat ia belajar sastra Latin, bahasa Yunani, dan filsafat.[46] Lingkungan budaya di Nikomedia bersifat terbuka, fleksibel, dan kesosialannya luwes; Konstantinus mampu berbaur dengan para intelektual baik dari kaum pagan maupun Kristiani. Ia mungkin menghadiri pengajaran yang diberikan Laktansius, seorang akademisi Kristiani dalam keilmuan Latin di kota tersebut.[47] Karena Diokletianus tidak sepenuhnya mempercayai Konstantius—tak satu pun dari para penguasa Tetrarki yang sepenuhnya percaya pada kolega mereka—Konstantinus dijaga sebagai semacam sandera, suatu alat untuk memastikan Konstantius menunjukkan sikapnya yang terbaik. Bagaimanapun Konstantinus tetap seorang anggota keluarga istana yang menonjol: ia berperang bagi Diokletianus dan Galerius di Asia, dan melayani dalam beragam tribunat; ia melangsungkan kampanye militer terhadap kaum barbar di Danube pada tahun 296 M, serta bertempur melawan bangsa Persia yang berada di bawah kekuasaan Diokletianus di Siria (297 M) dan di bawah kekuasaan Galerius di Mesopotamia (298–299 M).[48] Pada akhir tahun 305 M, ia telah menjadi seorang tribunus peringkat pertama, seorang tribunus ordinis primi.[49] Konstantinus telah kembali ke Nikomedia dari front timur pada musim semi tahun 303 M, sehingga turut menyaksikan awal mula "Penganiayaan Besar" yang dilangsungkan Diokletianus, penganiayaan terhadap umat Kristiani yang paling berat dalam sejarah Romawi.[50] Pada tahun 302 akhir, Diokletianus dan Galerius mengirim seorang utusan ke orakel Apollo di Didima dengan suatu pertanyaan terkait umat Kristiani.[51] Konstantinus dapat mengingat kehadirannya di istana saat utusan tersebut kembali, ketika Diokletianus mengabulkan tuntutan kalangan istananya untuk melangsungkan penganiayaan secara universal.[52] Pada tanggal 23 Februari 303 M, Diokletianus memerintahkan penghancuran bangunan gereja baru di Nikomedia, membakar kitab-kitab suci yang terdapat di dalamnya, dan menyita hartanya. Selama bulan-bulan berikutnya, berbagai bangunan gereja dan kitab suci dihancurkan, orang-orang Kristiani kehilangan jabatan resminya, dan para imam dipenjarakan.[53] Konstantinus tidak memainkan peranan apapun dalam penganiayaan tersebut.[54] Dalam tulisan-tulisannya kelak ia berupaya menampilkan dirinya sebagai seorang penentang dari "maklumat-maklumat berdarah" Diokletianus terhadap "jemaah Allah",[55] namun tidak terlihat indikasi kalau ia melakukan penentangan secara efektif pada saat tersebut.[56] Meskipun tidak ada kalangan Kristiani kontemporer yang menantang Konstantinus karena ia tidak berbuat apa-apa selama masa penganiayaan, hal ini tetap dianggap sebagai suatu beban politis sepanjang hidupnya.[57] Pada tanggal 1 Mei 305 M, Diokletianus, sebagai akibat dari suatu penyakit parah yang dideritanya sejak musim dingin tahun 304–305 M, mengumumkan pengunduran dirinya. Dalam suatu upacara paralel di Milan, Maximianus melakukan hal yang sama.[58] Laktansius menyatakan bahwa Galerius memanipulasi Diokletianus yang berada dalam kondisi lemah agar mengundurkan diri, dan memaksa dia untuk menerima para sekutu Galerius dalam suksesi imperial. Menurut Laktansius, orang banyak yang mendengarkan pidato pengunduran diri Diokletianus meyakini, sampai saat-saat terakhir, bahwa Diokletianus akan memilih Konstantinus dan Maxentius (putra Maximianus) sebagai para penggantinya.[59] Namun yang terjadi tidak demikian: Konstantius dan Galerius dipromosikan menjadi Augustus, sementara Severus dan Maximinus Daia, keponakan Galerius, berturut-turut ditunjuk sebagai Caesar mereka. Konstantinus dan Maxentius diabaikan.[60] Beberapa sumber kuno merinci plot-plot yang dilakukan Galerius terhadap Konstantinus dalam bulan-bulan berikutnya setelah abdikasi Diokletianus. Sumber-sumber tersebut menegaskan bahwa Galerius menugaskan Konstantinus memimpin suatu unit untuk maju terlebih dulu dalam serangan kavaleri melalui rawa-rawa di tengah Sungai Donau (Danube), membuatnya terlibat dalam duel satu lawan satu dengan seekor singa, serta berusaha untuk membunuhnya dalam perburuan dan peperangan. Konstantinus selalu tampil sebagai pemenang: singa dalam kontes tersebut kondisinya lebih buruk daripada Konstantinus; Konstantinus kembali ke Nikomedia dari Danube dengan seorang Sarmatia yang ditawan untuk diletakkan di kaki Galerius.[61] Tidak jelas sejauh mana kisah-kisah tersebut dapat dipercaya.[62] Di BaratKonstantinus menyadari masih adanya bahaya tersirat di dalam istana Galerius, tempat ia ditahan sebagai seorang sandera virtual. Kariernya bergantung pada penyelamatan yang dilakukan oleh ayahnya di Barat. Konstantius bertindak cepat dengan melakukan intervensi.[63] Pada akhir musim semi atau awal musim panas tahun 305 M, Konstantius meminta izin agar putranya diperbolehkan membantunya dalam kampanye di Britania. Setelah minum sepanjang malam, Galerius mengabulkan permintaan tersebut. Propaganda Konstantinus kelak mendeskripsikan bagaimana ia melarikan diri dari istana pada malam hari, sebelum Galerius berubah pikiran. Ia mengendarai kuda dengan kecepatan tinggi dari satu stasiun pos ke stasiun pos lainnya, melumpuhkan (hamstringing) kuda-kuda lain di belakangnya.[64] Pada saat Galerius terbangun keesokan paginya, Konstantinus telah melarikan diri sedemikian jauh sehingga sulit dikejar.[65] Konstantinus bergabung dengan ayahnya di Galia, di Bononia (Boulogne) sebelum musim panas tahun 305 M.[66] ![]() Dari Bononia mereka menyeberangi Selat menuju Britania dan melakukan perjalanan ke Eboracum (York), ibu kota provinsi Britannia Secunda dan merupakan suatu pangkalan militer besar. Konstantinus menghabiskan waktu selama setahun di Britania utara dengan mendampingi ayahnya, melakukan kampanye militer terhadap suku Pict di luar Tembok Hadrianus pada musim panas dan musim gugur.[67] Kampanye Konstantius, sebagaimana yang dilakukan Septimius Severus sebelumnya, kemungkinan berlanjut hingga jauh ke utara tanpa meraih kesuksesan besar.[68] Konstantius lalu menderita sakit parah, dan wafat pada tanggal 25 Juli 306 di Eboracum. Sebelum wafat, ia menyatakan dukungannya untuk mengangkat Konstantinus ke peringkat Augustus sepenuhnya. Chrocus, raja suku Alemanni, seorang barbar yang mengabdi pada Konstantius, kemudian memproklamirkan Konstantinus sebagai Augustus. Pasukan yang setia pada Konstantius mengikutinya secara aklamasi. Galia dan Britania segera menerima kekuasaannya;[69] Sementara Iberia, yang baru menjadi wilayah kekuasaan ayahnya kurang dari setahun, menolaknya.[70] ![]() Konstantinus mengirimkan Galerius sebuah pemberitahuan resmi mengenai wafatnya Konstantius dan aklamasinya sendiri. Bersama dengan pemberitahuan itu, ia menyertakan sebuah potret dirinya mengenakan jubah seorang Augustus.[71] Potret tersebut dilingkari daun-daun dafnah.[72] Ia meminta pengakuan sebagai pewaris takhta ayahnya, dan melemparkan tanggung jawab pengangkatannya yang melanggar hukum kepada pasukannya, mengklaim kalau mereka telah memaksakannya kepada dia.[73] Galerius marah besar karena pesan itu; ia nyaris membakar potret tersebut. Para penasihatnya menenangkan dia, dan berpendapat bahwa penolakan langsung atas klaim Konstantinus berarti perang.[74] Galerius terpaksa berkompromi: ia memberikan Konstantinus gelar "Caesar", bukan "Augustus" (jabatan ini sebagai gantinya diberikan ke Severus).[75] Untuk memperjelas kalau ia sendiri yang memberikan Konstantinus legitimasi, Galerius secara pribadi mengirimkan Konstantinus jubah ungu tradisional kekaisarannya.[76] Konstantinus menerima keputusannya,[75] karena mengetahui bahwa hal itu akan menghapus keraguan mengenai legitimasinya.[77] Pemerintahan awalBagian wilayah Kekaisaran yang menjadi kekuasaan Konstantinus meliputi Britania, Galia, dan Spanyol. Dengan demikian ia memimpin salah satu pasukan terbesar Romawi, yang menempati perbatasan penting Rhein.[78] Setelah promosinya menjadi kaisar, Konstantinus tetap di Britania, mengusir kembali suku Pict dan mengamankan kendalinya di keuskupan-keuskupan sipil bagian barat laut. Ia menyelesaikan rekonstruksi pangkalan-pangkalan militer yang dimulai sejak pemerintahan ayahnya, dan memerintahkan perbaikan jalan raya di kawasan itu.[79] Ia segera berangkat menuju Augusta Treverorum (Trier) di Galia, ibu kota Tetrarki di Kekaisaran Romawi bagian barat laut.[80] Suku Franka, setelah mengetahui aklamasi Konstantinus, menginvasi Galia di hilir Sungai Rhein selama musim dingin tahun 306–307 M.[81] Konstantinus mengusir mereka kembali ke luar Rhein dan menangkap dua raja mereka, Ascaric dan Merogaisus. Kedua raja dan tentara mereka dijadikan mangsa hewan-hewan di amfiteater Trier dalam perayaan-perayaan adventus (kedatangan) yang mengiringinya.[82] Konstantinus memulai perluasan Trier. Ia memperkuat dinding yang mengelilingi kota dengan menara-menara militer dan gerbang-gerbang berkubu, serta mulai membangun kompleks istana di bagian timur laut kota. Di sisi selatan istananya, ia memerintahkan pembangunan sebuah balairung formal yang besar, dan sebuah pemandian imperial yang sangat besar. Konstantinus memprakarsai banyak proyek bangunan di seluruh Galia selama masa jabatannya sebagai kaisar Barat, khususnya di Augustodunum (Autun) dan Arelate (Arles).[84] Menurut Laktansius, Konstantinus mengikuti jejak ayahnya dalam hal kebijakan toleransi terhadap Kekristenan. Meskipun belum menjadi seorang penganut Kristiani, ia mungkin pada saat itu menilainya sebagai kebijakan yang lebih bijaksana daripada penganiayaan secara terbuka,[85] dan sebagai salah satu cara untuk membedakan dirinya dari sang "penganiaya besar", Galerius.[86] Konstantinus secara resmi memutuskan diakhirinya penganiayaan, dan mengembalikan segala milik penganut Kristiani yang telah hilang selama masa penganiayaan.[87] Karena Konstantinus umumnya masih belum teruji dan memiliki suatu jejak ilegitimasi, ia mengandalkan reputasi ayahnya dalam propaganda awalnya: berbagai panegirik tertua mengenai Konstantinus memuat perbuatan-perbuatan ayahnya sebanyak perbuatan-perbuatan Konstantinus sendiri.[88] Proyek-proyek bangunan dan keterampilan militer Konstantinus segera memberikan sang panegiris kesempatan untuk berkomentar positif mengenai kesamaan antara ayah dan putranya. Eusebius mengatakan bahwa Konstantinus adalah suatu "pembaruan dari kehidupan dan pemerintahan ayahnya, seakan-akan di dalam pribadinya sendiri".[89] Oratoria, patung, dan uang logam Konstantinian juga menunjukkan suatu kecenderungan baru yang merendahkan "bangsa barbar" d luar perbatasan. Setelah kemenangan Konstantinus atas suku Alemanni, ia mencetak koin yang menggambarkan suku Alemanni sedang meratap dan memohon—"Suku Alemanni takluk"—di bawah frasa "Kegembiraan bangsa Romawi".[90] Hanya ada sedikit simpati bagi musuh-musuh itu. Panegirisnya menyatakan: "Adalah suatu ampunan yang bodoh jika menyayangkan musuh yang ditaklukkan."[91] Pemberontakan Maxentius![]() Setelah pengakuan Galerius atas Konstantinus sebagai caesar, potret Konstantinus dibawa ke Roma, sesuai kebiasaan saat itu. Maxentius mencemooh subjek potret tersebut sebagai anak seorang pelacur, dan meratapi ketidakberdayaannya sendiri.[92] Maxentius, karena iri akan otoritas Konstantinus,[93] merebut gelar kaisar pada tanggal 28 Oktober 306 M. Galerius menolak mengakuinya, namun gagal menggesernya. Galerius mengirim Severus untuk melawan Maxentius, tetapi pasukan Severus, sebelumnya berada di bawah komando Maximianus (ayah Maxentius), membelot pada saat kampanye militer; Severus ditangkap dan dipenjarakan.[94] Maximianus keluar dari masa pensiunnya karena pemberontakan anaknya; ia berangkat menuju Galia untuk berunding dengan Konstantinus pada akhir tahun 307 M. Ia menawarkan Fausta putrinya kepada Konstantinus untuk dinikahi, dan mengangkatnya ke peringkat Augustan. Sebagai imbalannya, Konstantinus harus menegaskan kembali aliansi lama keluarga antara Maximianus dan Konstantius, dan mendukung perkara Maxentius di Italia. Konstantinus menyetujui, dan menikahi Fausta di Trier pada akhir musim panas tahun 307 M. Konstantinus sekarang memberikan sedikit dukungannya kepada Maxentius, memberikan Maxentius pengakuan politik.[95] Namun, Konstantinus tetap menjauhkan diri dari konflik Italia. Selama musim semi dan musim panas tahun 307 M, ia meninggalkan Galia menuju Britania untuk menghindari keterlibatan apapun dalam gejolak Italia;[96] alih-alih memberikan bantuan militer kepada Maxentius, ia mengirim pasukannya untuk melawan suku Jermanik di sepanjang Sungai Rhein. Pada tahun 308 M, ia menyerang wilayah suku Brukteri, dan membuat sebuah jembatan yang melintasi Rhein di Colonia Agrippinensium (Köln). Pada tahun 310 M, ia bergerak menuju Rhein utara dan bertempur melawan suku Franka. Ketika tidak sedang melakukan kampanye, ia mengunjungi wilayahnya sambil mempromosikan kebaikan hatinya, serta mendukung perekonomian dan kesenian. Penolakan Konstantinus untuk berpartisipasi dalam perang meningkatkan popularitasnya di kalangan rakyatnya, dan memperkuat basis kekuasaannya di Barat.[97] Maximianus kembali ke Roma pada musim dingin tahun 307–308 M, namun segera terlibat dalam perdebatan dengan putranya. Pada awal tahun 308 M, setelah kegagalan upaya untuk merebut gelar Maxentius, Maximianus kembali ke istana Konstantinus.[98] Pada tanggal 11 November 308 M, Galerius menghimpun suatu konsili umum di kota militer Carnuntum (Petronell-Carnuntum, Austria) untuk menyelesaikan isu ketidakstabilan di provinsi-provinsi Barat. Di antara yang hadir terdapat Diokletianus, kembali sejenak dari masa pensiunnya, Galerius, dan Maximianus. Maximianus dipaksa untuk turun takhta lagi dan Konstantinus kembali diturunkan ke peringkat Caesar. Lisinius, salah seorang kolega lama Galerius dalam militer, ditunjuk sebagai Augustus di wilayah Barat. Sistem baru tersebut tidak berlangsung lama: Konstantinus menolak demosinya, dan tetap menyebut dirinya Augustus pada uang logam yang dicetaknya, kendati anggota Tetrarki yang lain menyebutnya Caesar pada uang logam cetakan mereka. Maximinus Daia frustasi karena ia telah dilewati dalam promosi tersebut sementara Lisinius sebagai pendatang baru telah diangkat ke jabatan Augustus, dan menuntut agar Galerius mempromosikan dirinya. Galerius mengajukan penawaran untuk memanggil Maximinus maupun Konstantinus dengan sebutan "putra-putra Augusti",[99] namun tidak satupun di antara mereka menerima gelar baru itu. Pada musim semi tahun 310 M, Galerius menyebut keduanya Augusti.[100] Pemberontakan Maximianus![]() Pada tahun 310 M, Maximianus yang telah dicabut kekuasaannya memberontak terhadap Konstantinus ketika Konstantinus sedang melakukan kampanye melawan kaum Franka. Maximianus telah dikirim ke selatan menuju Arles dengan satu kontingen tentara Konstantinus, sebagai persiapan untuk menangkal setiap serangan dari Maxentius di Galia selatan. Ia mengumumkan bahwa Konstantinus telah gugur, dan mengambil jubah ungu kekaisaran. Meskipun menjanjikan hadiah besar bagi siapa saja yang mendukungnya sebagai kaisar, kebanyakan tentara Konstantinus tetap setia kepada kaisar mereka, dan tak lama kemudian Maximianus terpaksa pergi. Konstantinus segera mendengar pemberontakan tersebut, mengesampingkan kampanyenya terhadap kaum Franka, dan menggerakkan pasukannya ke hulu Sungai Rhein.[102] Di Cabillunum (Chalon-sur-Saône), ia memindahkan pasukannya ke dalam kapal-kapal yang telah menanti untuk menyusuri Sungai Saône yang berarus lambat menuju Sungai Rhône yang arusnya lebih cepat. Ia mendarat di Lugdunum (Lyon).[103] Maximianus melarikan diri ke Massilia (Marseille), suatu kota yang lebih mampu menahan pengepungan dalam waktu lama daripada Arles. Bagaimanapun, hal ini hanya membuat sedikit perbedaan karena para penduduk yang setia membuka gerbang belakang untuk Konstantinus. Maximianus ditangkap dan ditegur karena kejahatannya. Konstantinus memberikan sejumlah ampunan, namun sangat menganjurkan agar ia melakukan bunuh diri. Pada bulan Juli 310 M, Maximianus gantung diri.[102] Terlepas dari perpecahan sebelumnya dalam relasi mereka, Maxentius sangat bersemangat untuk menampilkan dirinya sebagai anak yang berbakti kepada ayahnya setelah kematian Maximianus.[104] Ia mulai mencetak koin dengan gambar ayahnya yang didewakan, menyatakan hasratnya untuk membalas kematian Maximianus.[105] Konstantinus awalnya menyajikan bunuh diri tersebut sebagai suatu tragedi keluarga yang patut disayangkan. Namun, pada tahun 311 M, ia menyebarkan versi yang lain. Menurut versi ini, setelah Konstantinus mengampuninya, Maximianus merencanakan untuk membunuh Konstantinus saat tidur. Fausta mengetahui rencana tersebut dan memperingatkan Konstantinus, yang menempatkan seorang kasim di tempat tidurnya sendiri. Maximianus ditangkap ketika dia membunuh kasim tersebut dan ditawarkan untuk melakukan bunuh diri, yang ia setujui.[106] Bersamaan dengan penggunaan propaganda, Konstantinus melakukan damnatio memoriae pada Maximianus dengan menghancurkan semua inskripsi yang menyebutkan namanya dan melenyapkan segala karya umum yang mengandung citra dirinya.[107] Kematian Maximianus menyebabkan perlunya suatu perubahan citra publik Konstantinus. Ia tidak dapat lagi mengandalkan hubungannya dengan kaisar sepuh Maximianus, dan membutuhkan suatu sumber legitimasi baru.[108] Dalam pidato yang disampaikannya di Galia pada tanggal 25 Juli 310 M, seorang orator anonim mengungkapkan suatu hubungan kedinastian yang sebelumnya tidak diketahui dengan Klaudius II, kaisar dari abad ke-3 yang terkenal karena mengalahkan suku Goth dan memulihkan ketertiban dalam kekaisaran. Pidato tersebut menekankan hak prerogatif untuk memerintah dari leluhur Konstantinus, bukan prinsip-prinsip kesetaraan imperial, sehingga melepaskan diri dari model tetrarki. Ideologi baru yang diungkapkan dalam pidato ini menjadikan Galerius dan Maximianus tidak relevan bagi hak Konstantinus untuk memerintah.[109] Orator tersebut menekankan keturunan dengan mengesampingkan semua faktor lainnya: "Tidak mungkin kesepakatan manusia, ataupun sejumlah konsekuensi persetujuan yang tak terduga, menjadikan Anda kaisar," sebagaimana dinyatakan sang orator bagi Konstantinus.[110] Orasi tersebut juga menggeser ideologi keagamaan Tetrarki, dengan berfokus pada dinasti kembar Yupiter dan Herkules. Sang orator menyatakan bahwa Konstantinus mengalami suatu penglihatan ilahi tentang Apollo dan Viktoria yang memberikan dia bumban dafnah kesehatan dan suatu pemerintahan yang panjang. Dalam keserupaan Apollo, Konstantinus mengenali dirinya sendiri sebagai sosok penyelamat yang kepadanya diberikan "kekuasaan seluruh dunia",[111] mirip dengan yang pernah diramalkan penyair Virgil.[112] Pergeseran keagamaan yang disampaikan dalam orasi tersebut diiringi dengan pergeseran serupa dalam cetakan koin Konstantinus. Dalam masa awal pemerintahannya, cetakan koin Konstantinus mengiklankan Mars sebagai pelindungnya. Sejak tahun 310 M dan seterusnya, Mars digantikan dengan Sol Invictus, suatu dewa yang biasa diidentifikasi dengan Apollo.[113] Hanya ada sedikit alasan untuk meyakini bahwa baik hubungan kedinastian ataupun penglihatan ilahi adalah sesuatu yang lain daripada fiksi, tetapi proklamasi mereka memperkuat klaim Konstantinus atas legitimasi dan meningkatkan popularitasnya di antara warga Galia.[114] Perang saudaraPerang melawan Maxentius |