Imran bin Hushain
Imran bin Hushain (bahasa Arab: عمران بن حصين) adalah salah seorang Sahabat Nabi Muhammad,[1] qadi, serta periwayat hadits. Nama lengkapnya ialah Imran bin Hushain bin Ubaid bin Khalaf al-Khuza'i.[1] Ia berasal dari suku Khuza'ah keturunan Bani Ka'bi, nama panggilannya Abu Nujaid.[2] KehidupanImran dan ayahnya, Hushain bin Ubaid, bersama Abu Hurairah[3] masuk Islam pada tahun terjadinya Perang Khaibar (629 M).[1] Saat Penaklukkan Mekah ia membawa panji Khuza'ah.[3] Suatu hari Imran duduk di depan Nabi lalu melihat kedatangan Fatimah yang nampak pucat kelaparan, lalu Nabi menempelkan tangannya ke perut Fatimah dan mendoakan kesehatan dan kebugaran baginya. Fatimah lalu nampak segar kembali,"Aku tdak pernah lagi rnerasa lapar sesudah itu wahai Imran."[4] Umar bin Khaththab saat menjadi khalifah menunjuk Imran bin Hushain sebagai qadi dan pengajar agama bagi penduduk Bashrah,[5] dan sejak saat itu ia menetap di sana. Di Bashrah, Imran bin Hushain mengajarkan agama dan meriwayatkan hadits pada banyak ulama Tabi'in, termasuk di antaranya Ibnu Sirin.[6] Pada masa terjadinya perselisihan kekuasaan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan, Imran bin Hushain bersikap tidak memihak dan menganjurkan masyarakat agar juga bersikap demikian.[5][7] Ketika rombongan Aisyah mendekati Bashrah menjelang pertempuran Jamal, 'Aisyah. menulis surat kepada al-Ahnaf bin Qais dan orang-orang di sana mengabarkan bahwa ia sudah sampai di Bashrah. Utsman bin Hunaif mengutus Imran bin Hushain dan Abul Aswad ad-Duali untuk menemui ‘Aisyah, guna menanyakan maksud kedatangannya. Ketika kedua utusan itu datang menemui ‘Aisyah, keduanya mengucapkan salam dan menanyakan maksud kedatangan beliau. ‘Aisyah. menyampaikan kepada kedua utusan itu bahwa maksud kedatangannya adalah hendak menuntut atas tertumpahnya darah Utsman. Karena beliau dibunuh secara zhalim pada bulan Haram di negeri Haram.[8] Setelah berdialog, Imran dan Abul Aswad kembali kepada Utsman bin Hunaif lalu menyampaikan kepadanya. Utsman bin Hunaif berkata, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, demi Rabb pemilik Ka'bah, telah tiba masa berperang dalam Islam. Coba lihat alternatif apakah yang terbaik untuk kita?" Imran berkata, "Demi Allah, hal itu akan menjebak kalian dalam peperangan yang panjang." Kemudian Utsman bin Hunaif berkata kepada Imran bin Hushain, "Beri aku saran!" Imran berkata, "Menghindarlah, sesungguhnya aku akan berdiam dalam rumahku atau aku akan duduk di atas untaku."[8] Ia pun berpesan pada penduduk Basrah,“Rajinlah ke masjid! Jika kau didarangi, diamlah di rumahmu! Jika kau berada di rumahmu, cetapi masih juga didatangi, dan orang itu berusaha menzalimi diri serta hartamu maka perangilah dial!”[2] KematianIbnu Sirin berkata, "Perut 'Imran bin Hushain dipenuhi cairan berwarna kuning selama tiga puluh tahun. Selama itu pula, selalu ditawarkan kepadanya agar berobat dengan cara kay (pengobatan dengan besi yang dipanaskan), namun ia menolak. Hingga dua tahun sebelum kematiannya ia baru bersedia diobati dengan cara itu."[3] Mutharrif dan saudaranya, al-'Ala' menemuinya. Kondisinya itu membuatnya menangis. Lalu Imran berkata, "Kenapa engkau menangis?" Mutharrif berkata, "Karena aku melihatmu dalam kondisi yang sedemikian parah." Imran berkata,"Janganlah engkau menangis, sebab sesuatu yang paling aku cintai adalah sesuatu yang paling dicintai Allah." Imran bin Hushain wafat di Bashrah (sekarang di Irak) pada tahun 52 H / 673 M[1] dikarenakan sakit kelebihan cairan pada perutnya selama bertahun-tahun sehingga ia lebih banyak berbaring.[2] Lihat pulaReferensi
|