Gregorius Sidharta
Gregorius Sidharta Soegijo (30 November 1932 – 4 Oktober 2006)[1][2] adalah seorang pematung asal Indonesia.[3] Di Indonesia, Gregorius Sidharta merupakan salah satu tokoh pembaruan seni patung.[4] Latar belakangGregorius Sidharta Soegijo dilahirkan sebagai anak ketiga dari sepuluh bersaudara.[5] Ia mulai belajar melukis di Sanggar Pelukis Rakyat, Yogyakarta.[butuh rujukan] Setelah itu, ia kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia.[6] Sebelum beralih ke seni patung, ia sempat mempelajari dasar-dasar melukis dari tokoh-tokoh pelukis seperti Hendra Gunawan dan Trubus pada tahun 1950-an.[butuh rujukan] Pada tahun 1953, Sidharta menempuh pendidikan di Jan van Eyck Academie yang terletak di Maastricht, Belanda.[7] Ia tinggal selama tiga tahun atas misi pendidikan oleh Gereja Katolik.[8] Karya dan aktivitasNama Gregorius Sidharta mulai dikenal sebagai pematung ketika ia menyajikan karyanya yang berjudul "Tangisan Dewi Betari".[9] Karyanya ini kini menjadi salah satu patung yang dikoleksi oleh Museum Seni Asia Fukuoka yang terletak di Kota Fukuoka, Jepang.[10] Patung buatan Sidharta mulai memadukan karya seni patung dari Dunia Barat dan Indonesia sejak dasawarsa 1970-an.[11] Sidharta membuat patung berbentuk pipih sehingga tidak mirip seperti patung. Sidharta juga menggunakan media yang tak lazim dalam seni patung, seperti beras atau mata uang. Ia juga menjelajahi berbagai media seni rupa lainnya, seperti seni lukis, cetak saring, keramik, dan kerajinan tangan. Gregorius Sidharta membuat patung berbahan logam yang diberi nama "Tonggak Samudra".[12] Patung ini ditempatkan di wilayah Kecamatan Tanjung Priok, Kota Jakarta Utara.[13] Patung lain yang dibuat oleh Sidharta ialah Patung Garuda Pancasila yang ditempatkan di atas podium Gedung MPR/DPR.[butuh rujukan] Sidharta juga merupakan pembuat Patung Bung Karno di dalam kawasan Perpustakaan dan Museum Bung Karno di Kota Blitar yang berdekatan dengan kuburan Soekarno.[14] Ia juga menjadi pengatur tata ruang Monumen Proklamasi yang menghadirkan deretan pilar deformasi dari bentuk sayap garuda, yang menjadi latar belakang tokoh Proklamasi, Soekarno-Hatta, rancangan Piala Citra yang merupakan perpaduan seni tradisional wayang dan modern, dan patung "Mekatronik". Ia pernah menampilkan karya-karyanya di pameran Taman Patung Olimpiade Seoul, Korea Selatan (1986), Taman Patung ASEAN di Manila, Filipina, pameran patung di Plaza Elgala di Fukuoka, Jepang. Menjelang akhir hayatnya, Sidharta masih aktif berkarya. Karyanya yang terakhir adalah sebuah salib yang diberinya judul "Crucifix 2006". "Saat ini masih ada satu lagi patung yang belum sempat diberi judul, berupa patung wanita duduk," kata Bima, anak bungsunya. Sidharta juga berjasa karena mendirikan Studio Seni Patung ITB.[butuh rujukan] Selain itu, ia merupakan pembuat lambang lembaga bagi Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta.[15] Selama hidupnya, sejak tahun 1957 Sidharta banyak melakukan pameran tunggal maupun bersama, antara lain di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Singapura, Manila, New Delhi, India, Polandia, dan Norwegia. Rencananya, kalau kesehatannya memungkinkan, ia masih ingin melakukan pameran tunggal di Daleri Dhaupin, Singapura pada April 2007. Sebelumnya, galeri itu pernah memajang beberapa karya Sidharta dalam sebuah ekshibisi patung. Menderita sakit dan kematianSidharta meninggal dunia ketika berusia 74 tahun pada tanggal 4 Oktober 2006.[16] Ia meninggal di Rumah Sakit dr. Oen Surakarta setelah menderita kanker paru-paru stadium empat selama beberapa bulan sebelum kematiannya.[17] Ia juga pernah dirawat di Bethesda, Yogyakarta, dan di situlah penyakitnya diketahui. Ia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Universitas Nasional, Singapura, dan di sana diketahui bahwa tumor yang diidapnya pada tulang kompresi sudah menjalar ke paru-paru. Kemoterapi yang dijalaninya tidak dapat menyelamatkan nyawanya.[butuh rujukan] Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Keluarga Besar Moerdani yang terletak di Bonoloyo, Kelurahan Mojosongo, Kota Surakarta.[18] Pemakamannya dilakukan pada tanggal 5 Oktober 2006. KeluargaSidharta meninggalkan seorang istri, Maria Sri Noerna Moerdani, dan empat orang anak, Maria Antoinette Marisa Sandra, Brigitta Rina Aninda, Dionne Mira Trisani dan Gregorius Bima Bathara, serta delapan orang cucu. PenghargaanGregorius Sidharta pernah mendapatkan berbagai penghargaan atas karya-karyanya, antara lain:
Referensi
Pranala luar
|