Diplomasi gerilyaDiplomasi Gerilya adalah sebuah metode diplomasi yang diidentifikasi sebagai pendekatan alternatif terhadap kerangka umum hubungan internasional yang telah mapan. Konsep ini terutama dikemukakan oleh Daryl Copeland[1] sebagai respon terhadap hasil kebijakan luar negeri pasca Perang Melawan Teror. Dalam konteks tertentu, respon terhadap peristiwa-peristiwa besar pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 yang telah membawa perubahan signifikan terhadap tatanan internasional dianggap menandai perlunya paradigma baru dalam pemikiran diplomatik agar mampu beradaptasi dengan kebutuhan diplomasi modern. Contoh-contoh yang dikategorikan sebagai praktik diplomasi gerilya antara lain, berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Sergio Vieira de Mello atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kamboja, bekas Yugoslavia, dan Timor Timur pada periode 1991–2002; tindakan Duta Besar Ken Taylor selama krisis penyanderaan di Iran pada tahun 1979; upaya diplomat Swedia, Raoul Wallenberg, dalam menyelamatkan nyawa selama Perang Dunia II; serta aksi publik Menteri Perikanan Kanada, Brian Tobin, yang memamerkan jaring ikan berukuran kecil dari atas tongkang di Sungai East, tepat di seberang markas besar PBB. Jaring tersebut merupakan barang sitaan dari kapal pukat Spanyol selama “Perang Ikan Kod” antara Britania Raya dan Islandia pada tahun 1994. Pada tahun 2018, pendekatan ini diterapkan secara efektif di Britania Raya dalam skandal Windrush. Strategi tersebut digunakan oleh Guy Hewitt bersama para komisaris tinggi negara-negara Karibia di London untuk menjadikan isu Windrush sebagai perhatian nasional di Inggris dan mendorong perubahan kebijakan yang signifikan.[2][3] Latar belakangDalam buku Guerrilla Diplomacy: Rethinking International Relations, digunakan perbandingan terhadap prinsip-prinsip dasar Guerrilla Warfare (perang gerilya), dengan mengidentifikasi sejumlah karakteristik yang, menurut Daryl Copeland, juga berguna dalam konteks hubungan internasional dan jangkauan diplomatik lintas budaya. Karakteristik tersebut meliputi: kelincahan, kemampuan beradaptasi, improvisasi, kemandirian, dan dukungan rakyat.[4] Buku ini telah mendapatkan ulasan positif dari sejumlah akademisi dan pakar hubungan internasional. Nicholas Cull menyebutnya sebagai karya yang "penting untuk menavigasi jeram diplomatik di abad ke-21", sementara Simon Anholt menggambarkan analisis dalam buku ini sebagai "tonggak sejarah" dalam "revolusi diplomasi masa kini".[5] Diplomasi gerilya muncul sebagai respons terhadap terpinggirkannya dialog, negosiasi, dan kolaborasi sebagai alat utama dalam hubungan internasional. Pendekatan ini dilahirkan dari keyakinan bahwa strategi diplomatik yang lebih fleksibel dan tegas telah tersisih akibat militerisasi kebijakan luar negeri proses yang dimulai sejak Perang Dingin dan berlanjut hingga era Perang Global Melawan Teror. Diplomasi gerilya dirancang sebagai respon terhadap tantangan globalisasi dan disesuaikan dengan perubahan lingkungan operasional dunia modern. Dalam konteks ini, prinsip untuk menciptakan dan memelihara suasana kepercayaan, keyakinan, dan rasa hormat diidentifikasi sebagai hal yang krusial guna mengatasi kelemahan-kelemahan pendekatan kebijakan luar negeri yang saat ini dianggap tidak memadai. Referensi
|