Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Dinasti Han

Dinasti Han

漢朝
202 SM—9 M;
25—220 M
Sebuah peta Dinasti Han Barat pada tahun 2 M: 1) wilayah yang berwarna biru tua mencakup kerajaan semiotonom dan jun yang diperintah langsung dari pusat kekaisaran; 2) wilayah dengan warna biru muda menunjukkan luasnya Protektorat Kawasan Barat di Cekungan Tarim.[1]
Sebuah peta Dinasti Han Barat pada tahun 2 M: 1) wilayah yang berwarna biru tua mencakup kerajaan semiotonom dan jun yang diperintah langsung dari pusat kekaisaran; 2) wilayah dengan warna biru muda menunjukkan luasnya Protektorat Kawasan Barat di Cekungan Tarim.[1]
StatusKekaisaran
Ibu kotaChang'an
(206 SM–9 M, 190–195 M)

Luoyang
(23–190 M, 196 M)

Xuchang
(196–220 M)
Bahasa yang umum digunakanBahasa Tionghoa Kuno
Agama
Taoisme
Kepercayaan tradisional Tionghoa
PemerintahanMonarki
Kaisar 
• 202–195 SM (pertama)
Kaisar Gaozu
• 141–87 SM
Kaisar Wu
• 25–57 M
Kaisar Guangwu
• 189–220 M (terakhir)
Kaisar Xian
Kanselir 
• 206–193 SM
Xiao He
• 193–190 SM
Cao Can
• 189–192 M
Dong Zhuo
• 208–220 M
Cao Cao
• 220 M
Cao Pi
Era Sejarah202 SM
• Xiang Yu mengangkat Liu Bang sebagai Raja Han
206 SM
• Pertempuran Gaixia; mulainya kekuasaan Han di Tiongkok
202 SM
9 M–23 M
• Penyerahan takhta kepada Cao Wei
220 M
Luas
Diperkirakan tahun 50 SM (puncak Han Barat)[2]6.000.000 km2 (2.300.000 sq mi)
Diperkirakan tahun 100 M (puncak Han Timur)[2]6.500.000 km2 (2.500.000 sq mi)
Populasi
• 2 M[3]
57.671.400
Mata uangKoin Ban Liang dan koin Wu Zhu
Didahului oleh
Digantikan oleh
dnsDinasti
Qin
Chu Barat
Cao Wei
Shu Han
Wu Timur
Sekarang bagian dari Tiongkok
 Mongolia
 Korea Utara
 Vietnam
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini
Dinasti Han

"Han" dalam aksara segel kuno (kiri atas), aksara klerikal era Han (kanan atas), aksara Tionghoa Tradisional (kiri bawah), dan Sederhana (kanan bawah)
Hanzi tradisional: 漢朝
Hanzi sederhana: 汉朝
Pinyin: Hàncháo
Peta pengaruh Dinasti Han.

Dinasti Han (/hɑːn/;[4] Hanzi: 漢朝; Pinyin: Hàncháo) adalah dinasti kekaisaran Tiongkok (206 SM–220 M) yang kedua, berkuasa setelah Dinasti Qin (221–206 SM) dan sebelum Zaman Tiga Negara (220–280 M). Dinasti ini bertahan selama lebih dari empat abad, dan periode selama dinasti ini berkuasa dianggap sebagai zaman keemasan dalam sejarah Tiongkok.[5] Hingga saat ini, kelompok etnis mayoritas Tiongkok menyebut diri mereka "suku Han" dan aksara Tionghoa disebut "aksara Han".[6] Dinasti ini didirikan oleh pemimpin pemberontak Liu Bang, yang dikenal secara anumerta dengan nama Kaisar Gaozu. Sejarah dinasti ini sempat diselingi oleh Dinasti Xin (9—23 M) yang didirikan oleh seorang mantan wali penguasa, Wang Mang. Periode selingan ini membagi Dinasti Han menjadi dua periode: Han Barat atau Han Awal (206 SM—9 M) dan Han Timur atau Han Akhir (25—220 M).

Kaisar berada di puncak masyarakat Han. Ia tidak hanya memegang tampuk pemerintahan Dinasti Han, tetapi juga berbagi kekuasaan dengan bangsawan Tiongkok dan para menteri pilihannya yang sebagian besar berasal dari golongan elit terpelajar. Kekaisaran Han dibagi menjadi daerah-daerah yang secara langsung dikendalikan oleh pemerintah pusat (yang disebut jun), serta sejumlah kerajaan semiotonom. Kerajaan-kerajaan ini secara bertahap kehilangan kemerdekaannya yang masih tersisa, khususnya setelah Pemberontakan Tujuh Negara. Sementara itu, dari masa pemerintahan Kaisar Wu (berkuasa 141–87 SM), pemerintah Tiongkok secara resmi mendukung ajaran Kong Hu Cu sebagai ideologi pendidikan dan politik, yang digabungkan dengan kosmologi yang dicetuskan oleh para cendekiawan seperti Dong Zhongshu. Kebijakan ini bertahan sampai jatuhnya Dinasti Qing pada tahun 1911 M.

Dinasti Han menikmati kemakmuran ekonomi dan pertumbuhan pesat ekonomi uang yang sebelumnya diperkenalkan pada masa Dinasti Zhou (sekitar tahun 1050–256 SM). Koin yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat pada tahun 119 SM tetap menjadi koin standar Tiongkok sampai masa Dinasti Tang (618–907 M). Untuk membiayai perang dan permukiman di wilayah perbatasan yang baru ditaklukkan, pemerintah Han menasionalisasi industri garam dan besi pada tahun 117 SM, tetapi monopoli pemerintah ini dicabut pada masa Dinasti Han Timur. Dinasti Han juga mencatat kemajuan yang signifikan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Contohnya adalah dalam pembuatan kertas, pemakaian kemudi di kapal, penggunaan bilangan negatif dalam matematika, serta penemuan peta timbul, bola dunia armiler bertenaga hidrolik untuk keperluan astronomi, dan seismometer dengan bandul terbalik yang dapat digunakan untuk mengetahui tempat terjadinya gempa bumi berdasarkan arah mata angin.

Konfederasi suku nomaden yang disebut Xiongnu[7] berhasil mengalahkan Han pada tahun 200 SM dan memaksa mereka untuk membayar upeti, tetapi Xiongnu tetap melanjutkan serangan militer mereka di perbatasan Han. Kaisar Wu melancarkan sejumlah perang melawan mereka. Kemenangan besar Han dalam perang ini akhirnya memaksa Xiongnu untuk menerima status sebagai negara pembayar upeti. Peperangan ini memperluas wilayah Han hingga ke Cekungan Tarim di Asia Tengah, membagi Xiongnu menjadi dua konfederasi terpisah, dan turut andil dalam membangun jaringan perdagangan luas yang dikenal dengan sebutan Jalur Sutra, yang menjangkau hingga kawasan Laut Tengah. Wilayah utara perbatasan Han kemudian diserbu oleh konfederasi nomaden Xianbei. Kaisar Wu juga memperluas wilayah ke Kawasan Selatan Tiongkok dan menaklukkan Nanyue pada 111 SM dan Dian pada 109 SM. Selain itu, ia juga melancarkan ekspedisi militer ke Semenanjung Korea dan mendirikan Jun Xuantu dan Lelang di wilayah tersebut pada 108 SM.

Setelah tahun 92 M, para kasim semakin terlibat dalam panggung perpolitikan istana. Mereka turut campur dalam perebutan kekuasaan antara klan berbagai maharani (permaisuri) dan ibu suri, dan hal inilah yang mengakibatkan kejatuhan Han. Wewenang kekaisaran juga ditantang oleh perkumpulan keagamaan Taoisme yang mengobarkan Pemberontakan Serban Kuning dan Pemberontakan Wu Dou Mi Dao. Sesudah kematian Kaisar Ling (berkuasa 168–189 M), para kasim dibantai oleh para panglima militer. Kemudian, para ningrat dan gubernur militer menjadi panglima perang dan membagi-bagi wilayah kekaisaran. Dinasti Han secara resmi bubar setelah Cao Pi, Raja Wei, merebut takhta dari Kaisar Xian pada tahun 220 M.

Asal nama

Menurut Catatan Sejarawan Agung, setelah runtuhnya Dinasti Qin, Yang Dipertuan Agung Xiang Yu mengangkat Liu Bang menjadi pangeran atas daerah kecil Hanzhong, yang dinamai sesuai letaknya di Sungai Han (di Shaanxi barat daya saat ini). Setelah kemenangan Liu Bang dalam Perang Chu-Han, Dinasti Han diberi nama sesuai dengan nama daerah tersebut.[8]

Sejarah

Han Barat

Gambar kiri: Guci keramik Han Barat berlukis yang dihiasi dengan relief timbul naga, fenghuang, dan taotie
Gambar kanan: Sisi belakang sebuah cermin perunggu Han Barat dengan desain motif lukisan bunga

Dinasti kekaisaran pertama Tiongkok adalah Dinasti Qin (221–207 SM). Qin menyatukan Negara-Negara Berperang Tiongkok melalui penaklukan, tetapi kekaisarannya menjadi tidak stabil setelah kematian kaisar pertama Qin Shi Huang. Dalam waktu empat tahun, kekuasaan dinasti tersebut telah runtuh akibat pemberontakan.[9] Dua mantan pemimpin pemberontak, Xiang Yu (meninggal 202 SM) dari Chu dan Liu Bang (meninggal 195 SM) dari Han, saling berperang untuk menentukan siapa yang akan menjadi penguasa Tiongkok. Tiongkok sendiri telah terpecah menjadi 18 kerajaan, masing-masing menyatakan kesetiaan pada Xiang Yu atau Liu Bang.[10] Meskipun Xiang Yu terbukti merupakan panglima yang cakap, Liu Bang mengalahkannya dalam Pertempuran Gaixia (202 SM), di wilayah Anhui modern. Liu Bang mengambil gelar "kaisar" (huangdi) atas desakan para pengikutnya dan dikenal secara anumerta dengan nama Kaisar Gaozu (berkuasa 202–195 SM).[11] Chang'an (kini dikenal sebagai Xi'an) dipilih sebagai ibu kota baru dari kekaisaran yang dipersatukan kembali di bawah Han.[12]

Pada permulaan Dinasti Han Barat (Hanzi tradisional: 西漢; Hanzi sederhana: 西汉; Pinyin: Xīhàn), juga dikenal dengan nama Han Awal (Hanzi tradisional: 前漢; Hanzi sederhana: 前汉; Pinyin: Qiánhàn), tiga belas jun yang dikendalikan secara terpusat (termasuk wilayah ibu kota) berdiri di bagian barat yang mencakup sepertiga wilayah kekaisaran, sedangkan dua pertiga wilayah Han yang berada di timur dibagi menjadi sepuluh kerajaan semiotonom.[13] Untuk memuaskan para panglima yang mendukungnya dalam perang melawan Chu, Kaisar Gaozu mengangkat beberapa dari mereka menjadi raja. Pada tahun 157 SM, istana Han telah mengganti semua raja-raja ini dengan para anggota keluarga kekaisaran Wangsa Liu karena kesetiaan mereka yang bukan kerabat kaisar dipertanyakan.[13] Setelah meletusnya sejumlah pemberontakan yang dilancarkan oleh raja-raja Han (yang terbesar adalah Pemberontakan Tujuh Negara pada tahun 154 SM), pemerintah Han melancarkan sejumlah reformasi yang dimulai pada tahun 145 SM. Tindakan-tindakan yang diambil meliputi pembatasan luas dan kekuatan kerajaan-kerajaan ini serta pembagian bekas wilayah mereka menjadi jun-jun baru yang dikendalikan secara terpusat.[14] Para raja tidak bisa lagi mengangkat pegawai mereka sendiri; tugas ini diemban oleh istana kekaisaran.[15] Para raja menjadi penguasa wilayahnya di atas kertas saja dan menarik sebagian dari penerimaan pajak sebagai pendapatan pribadi mereka.[15] Kerajaan-kerajaan ini tidak pernah sepenuhnya dibubarkan dan tetap bertahan pada masa Han Barat maupun Timur.[16]

Dinasti Han tahun 87 SM
Dinasti Han tahun 189–220 Masehi
Sebuah lampu minyak perunggu bersepuh emas yang berbentuk seorang pelayan wanita yang sedang berlutut, berasal dari abad ke-2 SM, ditemukan di makam Dou Wan, istri Pangeran Han Liu Sheng; penutup gesernya memungkinkan penyesuaian arah cahaya dan tingkat kecerahan, dan pada saat yang sama penutup ini juga menjebak asap di dalam tubuhnya.[17]

Di sebelah utara Tiongkok pada masa itu, kepala suku Xiongnu yang nomaden, Modu Chanyu (berkuasa 209–174 SM), menaklukkan suku-suku lain yang mendiami bagian timur Stepa Eurasia. Pada akhir masa pemerintahannya, ia menguasai Manchuria, Mongolia, dan Cekungan Tarim, serta menundukkan lebih dari dua puluh negara di sebelah timur Samarkand.[18] Kaisar Gaozu merasa resah dengan banyaknya senjata besi buatan Han yang diperdagangkan ke Xiongnu di sepanjang perbatasan utara, dan ia memberlakukan embargo perdagangan terhadap mereka.[19] Sebagai balasan, Xiongnu menyerbu wilayah yang sekarang merupakan Provinsi Shanxi, dan kemudian mereka mengalahkan pasukan Han di Baideng pada tahun 200 SM.[20] Setelah berlangsungnya beberapa perundingan, perjanjian heqin pada tahun 198 SM menjadikan para pemimpin Xiongnu dan Han sebagai mitra dengan kedudukan yang setara dengan menikahkan putri Han dengan pemimpin Xiongnu. Namun, Han dipaksa untuk mengirim banyak upeti seperti pakaian sutra, makanan, dan minuman anggur kepada Xiongnu.[21]

Sebuah panji sutra dari Mawangdui, Changsha, Provinsi Hunan. Selempang ini digantungkan di atas peti mati Putri Dai (meninggal 168 SM), istri Hou Li Cang (利 蒼) (meninggal 186 SM), Kanselir Kerajaan Changsha.[22]

Walaupun upeti telah dibayarkan dan meskipun Laoshang Chanyu (berkuasa 174—160 SM) dan Kaisar Wen (berkuasa 180–157 SM) berunding untuk membuka kembali pasar perbatasan, banyak bawahan sang Chanyu yang memilih untuk tidak mematuhi perjanjian. Mereka secara berkala menyerbu wilayah Han di sebelah selatan Tembok Besar untuk memperoleh barang-barang tambahan.[23] Dalam sebuah konferensi istana yang diselenggarakan oleh Kaisar Wu (berkuasa 141—87 SM) pada 135 SM, para menteri bersepakat untuk mempertahankan perjanjian heqin. Kaisar Wu menerima keputusan ini, meskipun serangan Xiongnu terus berlanjut.[24] Namun, dalam sebuah konferensi istana yang diselenggarakan pada tahun berikutnya, para menteri menyusun sebuah rencana penyergapan di Mayi, dengan harapan bahwa sang Chanyu tewas dalam pertempuran tersebut sehingga Xiongnu akan terjerumus dalam kekacauan yang akan menguntungkan Han.[25] Setelah upaya persekongkolan ini mengalami kegagalan pada tahun 133 SM,[26] Kaisar Wu melancarkan serangan besar-besaran ke wilayah Xiongnu. Serangan itu mencapai puncaknya pada tahun 119 SM dalam Pertempuran Mobei, dan panglima Han Huo Qubing (meninggal 117 SM) dan Wei Qing (meninggal 106 SM) berhasil membuat penguasa Xiongnu terpaksa melarikan diri ke wilayah di sebelah utara Gurun Gobi.[27]

Setelah masa pemerintahan Wu, pasukan Han terus menang melawan Xiongnu. Pemimpin Xiongnu Huhanye Chanyu (berkuasa 58—31 SM) akhirnya tunduk kepada Han sebagai pembayar upeti pada tahun 51 SM. Pesaingnya dalam klaim perebutan takhta, Zhizhi Chanyu (berkuasa 56—36 SM), tewas terbunuh oleh Chen Tang dan Gan Yanshou dalam Pertempuran Zhizhi di Taraz, Kazakhstan.[28]

Pada tahun 121 SM, pasukan Han mengusir Xiongnu dari wilayah yang terbentang dari Koridor Hexi hingga Lop Nur. Mereka juga berhasil menghalau serangan gabungan Xiongnu-Qiang di wilayah barat laut ini pada tahun 111 SM. Pada tahun yang sama, pemerintah Han membentuk empat jun baru di wilayah tersebut: Jiuquan, Zhangyi, Dunhuang, dan Wuwei.[29] Mayoritas penduduk di kawasan ini adalah para tentara.[30] Kadang-kadang pemerintah secara paksa memindahkan para petani ke permukiman perbatasan baru bersama dengan para budak dan narapidana yang melakukan kerja paksa.[31] Pemerintah juga mendorong rakyat jelata seperti para petani, pedagang, pemilik tanah, dan pekerja bayaran, untuk bermigrasi secara sukarela ke perbatasan.[32]

Bahkan sebelum Han memperluas wilayah ke Asia Tengah, Tiongkok sudah menjalin hubungan dengan banyak peradaban di sekitarnya melalui perjalanan diplomat Zhang Qian dari tahun 139 hingga 125 SM. Zhang bertemu dengan negara Dayuan (Fergana), Kangju (Sogdiana) dan Daxia (Baktria, sebelumnya Kerajaan Yunani-Baktria); ia juga menghimpun informasi tentang Shendu (lembah Sungai Indus di India Utara) dan Anxi (Kekaisaran Parthia). Semua negara ini akhirnya menerima para utusan Han.[33] Hubungan ini menandai awal dari jaringan perdagangan Jalur Sutra yang menjangkau hingga Kekaisaran Romawi. Melalui jalur ini, barang-barang Han seperti sutra dapat menjangkau Roma, dan begitu pula barang-barang Romawi seperti barang kaca yang diperdagangkan hingga ke Tiongkok.[34]

Dari sekitar tahun 115 hingga 60 SM, pasukan Han bertempur melawan Xiongnu untuk menguasai negara-negara di Cekungan Tarim. Han akhirnya menang dan mendirikan Protektorat Wilayah Barat pada tahun 60 SM, sehingga Han menjadi pihak yang mengatur pertahanan dan urusan luar negeri wilayah tersebut.[35] Han juga memperluas wilayahnya ke selatan. Penaklukan Nanyue pada tahun 111 SM memperluas wilayah Han hingga ke kawasan yang sekarang berada di Guangdong, Guangxi, dan Vietnam Utara. Yunnan dimasukkan ke dalam wilayah Han melalui penaklukan terhadap Kerajaan Dian pada tahun 109 SM, diikuti oleh Semenanjung Korea melalui Penaklukan Gojoseon oleh Han dan pembentukan Jun Xuantu dan Lelang pada tahun 108 SM.[36] Menjelang penghujung periode Han Barat, dalam sensus nasional pertama yang diketahui di Tiongkok yang dilakukan pada tahun 2 M, jumlah penduduk di wilayah Han yang membentang luas terdaftar sebanyak 57.671.400 jiwa dalam 12.366.470 rumah tangga.[3]

Untuk membiayai perang dan perluasan wilayah, Kaisar Wu menasionalisasi beberapa industri swasta. Ia membentuk monopoli pemerintah yang sebagian besar dikelola oleh mantan pedagang. Monopoli-monopoli ini termasuk dalam produksi garam, besi, dan minuman keras, serta koin perunggu. Monopoli minuman keras hanya berlangsung dari tahun 98 hingga 81 SM, dan monopoli garam dan besi akhirnya dihapuskan pada awal periode Han Timur. Penerbitan koin tetap menjadi monopoli pemerintah pusat hingga akhir Dinasti Han.[37] Monopoli pemerintah di berbagai sektor ekonomi akhirnya dicabut ketika faksi Reformis memperoleh pengaruh yang lebih besar di istana. Kelompok Reformis menentang faksi Modernis yang telah mendominasi politik istana pada masa pemerintahan Kaisar Wu dan kemudian selama masa perwalian Huo Guang (meninggal 68 SM). Kelompok Modernis memperjuangkan kebijakan luar negeri yang agresif dan ekspansif yang didukung oleh pendapatan dari campur tangan pemerintah dalam ekonomi swasta. Akan tetapi, kelompok Reformis membatalkan kebijakan-kebijakan ini dan memilih pendekatan kebijakan luar negeri yang berhati-hati dan tidak memperluas wilayah. Mereka juga mendukung reformasi penghematan anggaran dan penurunan pajak untuk pengusaha.[38]

Rezim Wang Mang dan perang saudara

Gambar kiri: Sebuah patung prajurit berkuda keramik bercat Han Barat dari makam seorang panglima militer di Xianyang, Shaanxi
Gambar kanan: Sebuah patung kuda perunggu Han Barat atau Timur dengan sebuah pelana utama

Wang Zhengjun (71 SM—13 M) pertama-tama adalah seorang permaisuri, kemudian ibu suri, dan akhirnya menjadi janda permaisuri agung. Ia berkiprah pada masa pemerintahan Kaisar Yuan (berkuasa 49—33 SM), Cheng (berkuasa 33–7 SM), dan Ai (berkuasa 7—1 SM). Pada masa tersebut, kerabat-kerabat pria Wang Zhengjun secara bergantian memegang gelar wali penguasa.[39] Menyusul kematian Ai, keponakan laki-laki Wang Zhengjun, Wang Mang (45 SM—23 M), diangkat menjadi wali penguasa dengan gelar Marsekal Negara pada 16 Agustus di bawah Kaisar Ping (berkuasa 1 SM—6 M).[40] Setelah Ping wafat pada 3 Februari tahun 6 M, Ruzi Ying (meninggal 25 M) dipilih sebagai penerus dan Wang Mang ditunjuk sebagai pelaksana tugas untuk sang kaisar yang masih kecil.[40] Wang berjanji untuk melepaskan kekuasaannya kepada Liu Ying begitu dia dewasa.[40] Namun, meskipun ditentang habis-habisan oleh para bangsawan, pada 10 Januari 9 M, Wang Mang menyatakan bahwa Mandat Langit menyerukan berakhirnya Dinasti Han dan permulaan dinastinya sendiri: Dinasti Xin (9—23 M).[41]

Wang Mang memprakarsai serangkaian reformasi besar yang pada akhirnya tidak berhasil. Reformasi ini termasuk upaya melarang perbudakan, menasionalisasi tanah untuk mendistribusikannya secara merata kepada rakyat, dan memperkenalkan mata uang baru (suatu perubahan yang menurunkan nilai sistem mata uang).[42] Meskipun reformasi ini memicu perlawanan, hal yang pada akhirnya menjatuhkan rezim Wang adalah serangkaian banjir besar yang melanda pada tahun 3 M dan 11 M. Penumpukan endapan lumpur secara bertahap di Sungai Kuning telah meningkatkan permukaan air dan infrastruktur pengendali banjir akhirnya tidak dapat menahannya lagi. Sungai Kuning terbagi menjadi dua cabang baru: satu mengalir ke utara dan yang lain ke selatan Semenanjung Shandong, meskipun para insinyur Han berhasil membendung cabang selatan pada tahun 70 M.[43]

Peristiwa banjir menelantarkan ribuan petani; untuk bertahan hidup, banyak dari mereka yang bergabung dengan kawanan pencuri dan kelompok pemberontak seperti Alis Merah.[43] Tentara Wang Mang tidak mampu menumpas kelompok pemberontak yang semakin membesar ini. Akhirnya, gerombolan pemberontak menerobos masuk ke Istana Weiyang dan membunuh Wang Mang.[44]

Kaisar Gengshi (berkuasa 23—25 M), keturunan Kaisar Jing (berkuasa 157—141 SM), berupaya memulihkan Dinasti Han dan menduduki Chang'an sebagai ibu kotanya. Namun, pemberontak Alis Merah kemudian menggulingkan, membunuh, dan menggantikannya dengan raja boneka Liu Penzi.[45] Saudara laki-laki Gengshi, Liu Xiu (yang menjadi terkenal setelah berhasil memenangi Pertempuran Kunyang pada tahun 23 M), didesak untuk menggantikan Gengshi sebagai kaisar. Ia dikenal secara anumerta dengan nama Kaisar Guangwu (berkuasa 25—57 M).[46]

Di bawah pemerintahan Guangwu, Kekaisaran Han dipulihkan. Guangwu menjadikan Luoyang sebagai ibu kotanya pada tahun 25 M, dan pada tahun 27 M, perwiranya Deng Yu dan Feng Yi telah memaksa kelompok Alis Merah untuk menyerah dan mengeksekusi para pemimpin mereka.[47] Dari tahun 26 hingga 36 M, Kaisar Guangwu harus berperang melawan para panglima perang daerah lainnya yang menginginkan gelar kaisar. Setelah para panglima perang ini dikalahkan, Tiongkok bersatu kembali di bawah Han.[48]

Periode antara berdirinya Dinasti Han hingga rezim Wang Mang dikenal dengan sebutan "Han Barat" (Hanzi tradisional: 西漢; Hanzi sederhana: 西汉; Pinyin: Xīhàn) atau "Han Awal" (Hanzi tradisional: 前漢; Hanzi sederhana: 前汉; Pinyin: Qiánhàn) (206 SM–9 M). Selama periode ini, ibu kota Han terletak di Chang'an (Xi'an saat ini). Sejak masa pemerintahan Guangwu, ibu kota dipindahkan ke Luoyang di timur. Periode yang berlangsung dari awal masa pemerintahannya hingga pembubaran Dinasti Han dikenal dengan istilah "Han Timur" atau "Han Akhir" (25-220 M).[49]

Han Timur

Koin emas Dinasti Han Timur
Situasi pasukan panglima perang dan petani pada awal Dinasti Han Timur

Han Timur (Hanzi tradisional: 東漢; Hanzi sederhana: 东汉; Pinyin: Dōnghàn), juga dikenal dengan sebutan Han Akhir (Hanzi tradisional: 後漢; Hanzi sederhana: 后汉; Pinyin: Hòuhàn), secara resmi dimulai pada 5 Agustus 25, ketika Liu Xiu menjadi kaisar.[50] Selama pemberontakan yang terjadi di mana-mana terhadap Wang Mang, negara Goguryeo leluasa untuk menyerang jun milik Han di Korea; Han tidak mengukuhkan kembali kekuasaannya di wilayah itu sampai tahun 30 M.[51] Sementara itu, Trung bersaudari dari Vietnam memberontak melawan Han pada tahun 40 M. Pemberontakan mereka dipadamkan oleh panglima Han Ma Yuan (meninggal 49 M) dalam sebuah kampanye militer yang dilancarkan dari tahun 42 hingga 43 M.[52]

Pada masa Wang Mang, permusuhan dengan Xiongnu kembali tersulut. Hubungan Han dengan Xiongnu tetap buruk hingga pemimpin Xiongnu, Bi (比), yang memperebutkan takhta dengan sepupunya Punu (蒲 奴), menyatakan tunduk kepada Han sebagai pembayar upeti pada tahun 50 M. Maka terbentuklah dua negara Xiongnu yang saling berseteru: Xiongnu Selatan yang dipimpin oleh Bi (sekutu Han) dan Xiongnu Utara yang dipimpin oleh Punu (musuh Han).[53]

Tiongkok juga kehilangan kendali atas Cekungan Tarim pada masa Wang Mang. Wilayah tersebut kemudian ditaklukkan oleh Xiongnu Utara pada tahun 63 M dan digunakan sebagai pangkalan untuk menyerang Koridor Hexi di Gansu.[54] Dou Gu (meninggal 88 M) mengalahkan Xiongnu Utara dalam Pertempuran Yiwulu pada tahun 73 M, mengusir mereka dari Turpan, dan mengejar mereka hingga Danau Barkol sebelum akhirnya ia membentuk sebuah garnisun di Hami.[55] Setelah Panglima Pelindung Wilayah Barat yang baru diangkat, Chen Mu (meninggal 75 M), tewas dibunuh oleh para sekutu Xiongnu di Karasahr dan Kucha, garnisun di Hami dibubarkan.[56] Dalam