Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Tambang Pasir Merapi

Tambang Pasir Merapi merujuk pada kegiatan pengambilan material pasir dan batu hasil erupsi Gunung Merapi yang dilakukan di lereng dan aliran sungai berhulu dari Gunung Merapi. Kegiatan ini mencakup baik tambang resmi yang berizin maupun aktivitas ilegal oleh masyarakat atau pihak swasta tanpa izin. Lokasi utama termasuk Sungai Gendol, Kali Putih, dan daerah-lereng di Kabupaten Sleman (DIY), Magelang, dan Klaten (Jawa Tengah). [1]

Sejarah dan Praktek

Aktivitas penambangan pasir di lereng Merapi dan aliran sungai seperti Kali Gendol telah ada sejak awal 1980-an. Salah satu lokasi tambang pasir dengan izin adalah di Kali Gendol, Desa Kalitengah Kidul, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. Contohnya tambang milik CV Sari Mulya yang mengantongi izin eksplorasi sejak 2015 dan izin operasi produksi sejak 2017. Di sisi lain banyak tambang pasir yang tidak berizin (ilegal), yang beroperasi baik secara tradisional maupun dengan alat berat di berbagai titik lereng dan sungai. [2]

Dampak Lingkungan dan Sosial

Dampak Negatif:

  1. Kerusakan Lereng dan Tebing, tambang yang dilakukan terlalu dalam (50-80 meter) menyebabkan lubang bekas galian dan kerusakan fisik lereng Gunung Merapi yang memperburuk stabilitas tanah.
  2. Longsor sudah terjadi beberapa insiden longsor di area tambang, menewaskan buruh dan sopir truk. Misalnya longsor tebing ~20 meter di Kali Gendol, Desa Glagaharjo, Sleman, yang menewaskan dua orang dan melukai beberapa lainnya.
  3. Kerusakan ekosistem penambangan pasir mempengaruhi keanekaragaman hayati, flora dan fauna di sepanjang sungai dan lereng lereng, juga mengganggu proses resapan air tanah.
  4. Gangguan air bersih pemanfaatan pasir di aliran sungai dapat menurunkan kualitas air dan mengurangi pasokan air bagi masyarakat yang bergantung pada sungai sebagai sumber air.
  5. Kerusakan lahan pertanian dan perkebunan lahan pertanian dan pekarangan penduduk mengalami rusak atau tertutup material akibat aktivitas penambangan dan erosi. [2]

Dampak Sosial:

  1. Kegiatan tambang pasir menjadi alternatif mata pencaharian bagi sebagian masyarakat lereng Merapi, terutama sebagai buruh pengangkut atau penggali tradisional. Namun pendapatannya tidak stabil dan risiko kerja tinggi.
  2. Ada efek ketimpangan meskipun ada keuntungan, distribusi manfaat seringkali tidak merata. Pemerintah dan pemangku kepentingan didesak supaya manfaat lingkungan dan ekonomi lebih adil. [3]

Regulasi pengelolaan dan tindakan pemerintah

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bersama Sultan HB X telah menutup 14 titik penambangan pasir ilegal di lereng Merapi karena aktivitas tersebut ilegal dan merusak lingkungan. [4]

Sultan HB X menyebut bahwa penambangan ilegal yang berlangsung hingga kedalaman 50-80 meter sangat merusak dan tidak memperhatikan aspek lingkungan. [5]

Pemerintah ESDM Jawa Tengah juga telah melakukan sidak dan pemanggilan terhadap para penambang ilegal di wilayah Magelang yang berada di lereng Merapi. [6]

Di sisi akademis dan kebijakan, ada seruan untuk memperbaiki tata kelola penambangan pasir, termasuk menentukan zona-zona yang boleh ditambang, batas kedalaman dan jarak aman dari tebing sungai, serta persyaratan lingkungan (AMDAL), dan pengaturan transportasi muatan truk agar tidak menimbulkan getaran yang memicu longsor. [4]

Upaya pemulihan

Pemanfaatan Lahan Bekas Tambang: Beberapa area bekas tambang pasir di lereng Merapi telah dialihfungsikan menjadi lahan hortikultura atau tanaman pangan. Hal ini dianggap salah satu cara pemulihan lahan dan penyediaan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat. [7]

Penelitian Dampak Ekologis: Studi-studi ilmiah telah mengkaji dampak kualitas air, tanah, dan keanekaragaman hayati akibat penambangan pasir di lereng Merapi. Contohnya penelitian di Sleman yang menunjukkan degradasi ekosistem sungai dan lereng akibat pengerukan pasir. Kesadaran Masyarakat dan Pemangku Kepentingan ada peningkatan tuntutan agar masyarakat yang melakukan kegiatan tambang memahami risiko lingkungan, dan agar pemerintah memperkuat pengawasan serta penegakan hukum terhadap aktivitas ilegal. [1]

Referensi

  1. ^ a b Salsabil, Rahmatia; Wibowo, Rohmad Bagus; Rahayu, Rina (2024-05-12). "Kerusakan Ekosistem Akibat Penambangan Pasir di Kawasan Gunung Merapi Kabupaten Sleman, Yogyakarta". Jurnal Ekologi, Masyarakat dan Sains. 5 (1): 122–129. doi:10.55448/jbn5pr88. ISSN 2720-9717.
  2. ^ a b "KAJIAN DAMPAK KERUSAKAN LINGKUNGAN AKIBAT KEGIATAN PENAMBANGAN PASIR DI DESA KENINGAR DAERAH KAWASAN GUNUNG MERAPI | Yudhistira | Jurnal Ilmu Lingkungan" (dalam bahasa American English). doi:10.14710/jil.9.2.76-84.
  3. ^ Wibowo, Filbert (2022). "Analisa Pemanfaatan Tailing Pasir Merapi sebagai Bahan Baku Pembuatan Batako di Kecamatan Srumbung Kabupatan Magelang Provinsi Jawa Tengah". Jurnal Sumberdaya Bumi Berkelanjutan (SEMITAN). 1 (1): 472–475. doi:10.31284/j.semitan.j.2022.v1i1.4939. ISSN 2962-682X.
  4. ^ a b antaranews.com (2021-09-13). "Sultan HB X: Tambang pasir ilegal lereng Merapi tidak pro-lingkungan". Antara News. Diakses tanggal 2025-09-25.
  5. ^ detikJateng, Tim. "Ironi Tambang Pasir Ilegal di Taman Nasional Gunung Merapi". detikTravel. Diakses tanggal 2025-09-25.
  6. ^ S, Jauh Hari Wawan. "Gunung Merapi Siaga, Masih Ada Penambangan Pasir di Sungai Gendol". detiknews. Diakses tanggal 2025-09-25.
  7. ^ "Kabupaten Magelang". magelangkab.go.id. Diakses tanggal 2025-09-25.
Prefix: a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Portal di Ensiklopedia Dunia

Kembali kehalaman sebelumnya