Sindora javanica
Sindora javanica atau dikenal dengan nama lokal sebagai Sindur Jawa, Pohon Sprantu, atau Samparantu adalah spesies pohon endemik yang termasuk dalam keluarga kacang-kacangan (Fabaceae). Tumbuhan ini hanya ditemukan secara alami di Pulau Jawa.[3] Sindora javanica memiliki status spesies rentan (Endangered/EN) menurut IUCN Red List (versi 3.1), yang mengindikasikan spesies tersebut menghadapi risiko kepunahan yang tinggi di alam liar.[4] Habitat dan populasiSindora javanica (sinonim lokal: Sindur atau Pohon Sprantu) merupakan jenis tumbuhan tropis endemik Pulau Jawa yang tergolong dalam suku Leguminosae. Spesies ini tersebar terbatas mulai dari wilayah Priangan hingga Banyumas, dengan habitat spesifik di hutan daerah rendah kering yang kondisi tanahnya berpasir ataupun berbatu. Selain di Priangan dan Banyumas, sebaran populasinya juga tercatat di ekosistem hutan dataran rendah Cagar Alam Pulau Sempu dan Pulau Nusakambangan. Berdasarkan klasifikasi IUCN, S. javanica tergolong dalam kategori rawan kepunahan (vulnerable) dengan tingkat B1 + 2c. Status ini mencerminkan risiko kepunahan dalam jangka menengah akibat fragmentasi habitat dan penurunan kualitas habitat secara berkelanjutan.[5] KarakteristikTumbuhan Sindora javanica diklasifikasikan dalam ordo Fabales, famili Fabaceae (Leguminosae), dan genus Sindora. Secara morfologi, spesies endemik Pulau Jawa ini merupakan pohon berukuran besar yang mampu mencapai tinggi 25 hingga 35 meter, menghasilkan buah berbentuk polong datar, bundar, atau bulat telur yang agak berduri, dengan biji yang ditutupi oleh aril besar. Penyebaran aslinya terbatas di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, khususnya daerah Priangan dan Banyumas. Meskipun demikian, kayunya sangat dihargai karena sifatnya yang berat, keras, dan sangat kuat (dengan kekerasan Janka sekitar 1530 lbf atau 694 kgf), menjadikannya bahan favorit untuk alat-alat, tiang pagar, dan furnitur.[5] Penyebab penurunan populasiSpesies Sindora javanica menghadapi tantangan konservasi yang kritis karena kondisi habitatnya yang terfragmentasi dan mengalami penurunan kualitas akibat aktivitas manusia, seperti deforestasi, perkebunan besar, dan pembangunan infrastruktur. Ancaman ini diperburuk oleh sifat persebarannya yang sudah sangat terbatas, di mana tumbuhan ini diperkirakan hanya ditemukan di tidak lebih dari lima lokasi di dunia, termasuk di wilayah Priangan, Banyumas, Pulau Nusakambangan, dan Cagar Alam Pulau Sempu.[6] Referensi
|