Program gizi bagi pengungsi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk pemantauan status gizi secara berkelanjutan dan melindungi status gizi penduduk dalam keadaan darurat.[1] Dalam situasi darurat, tentunya para pengungsi akan mengalami kerentanan terhadap pangan, sehingga menyebabkan banyak pengungsi mengalami kekurangan gizi, asupan makanan serta nutrisi.[2]
Anak-anak pengungsi kerap mengalami kekurangan gizi kronis di negara asal mereka akibat dampak konflik dan trauma berkepanjangan. Kondisi ini semakin memburuk selama proses migrasi, membuat mereka lebih rentan terhadap penyakit menular, malnutrisi, serta peningkatan risiko kematian. Di tempat pengungsian, mereka umumnya menghadapi keterbatasan pangan, akses air bersih yang minim, tempat tinggal yang tidak layak, serta layanan kesehatan yang terbatas, yang semakin memperparah kondisi gizi mereka.[3] Oleh karena itu, dibutuhkannya program gizi di pengungsian untuk meningkatkan status gizi masyarakat.
Jenis- jenis program gizi di pengungsian
1.Menurunkan angka stunting dan wasting pada anak di bawah usia lima tahun, mengingat masih banyak anak di wilayah ini yang mengalami kondisi tersebut.[1]
2.Melakukan skrining terhadap kasus malnutrisi akut di fasilitas kesehatan serta memperkuat kapasitas institusi medis guna menangani kasus yang kompleks.[1]
3.Mengembangkan sistem pemantauan gizi yang andal untuk mendukung upaya pencegahan, peringatan dini, dan respons cepat saat terjadi keadaan darurat.[1]
4. Menyediakan makanan siap saji yang dimasak di dapur umum dan langsung dikonsumsi. Setiap penerima manfaat harus hadir setiap kali waktu makan setiap hari.[4]
5. Memberikan bahan pangan mentah untuk dibawa pulang ( dry ration ), dimasak dan dimakan dirumah. Bahan pangan biasanya diberikan sekali untuk satu minggu.[4]
Penanganan gizi pada saat pra bencana
Melakukan analisis dan mitigasi risiko gizi dengan mengantisipasi potensi masalah di daerah rawan bencana. Data status gizi kelompok rentan (bayi, balita, ibu hamil, ibu menyusui, lansia) dikumpulkan melalui surveilans gizi di Puskesmas dan Dinas Kesehatan. Jika data tidak tersedia, dapat digunakan sumber lain seperti PSG dan Riskesdas. Informasi ini membantu mengukur risiko gizi pasca bencana dan menentukan intervensi yang diperlukan.[5]
Sosialisasi dan orientasi pra-bencana meliputi pelatihan dan edukasi mengenai konseling penyakit, dukungan menyusui, serta pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI).[5]
Pemerintah pusat dan daerah dapat menyediakan sarana dan prasarana standar untuk pelayanan gizi saat bencana. Fasilitas yang disiapkan meliputi antropometri kit, ruang/tenda menyusui, kit konseling, food model, buku KIA, dapur bayi dan balita, serta media edukasi seperti KIE, food ware, dan apron menyusui.[5]