Mo ashibi (毛遊び、Bahasa Yaeyama: Yū asïbi) adalah pesta tradisional dalam kebudayaan masyarakat Kepulauan Ryukyu.[1][2]
Pesta diadakan pada malam hari, dihadiri oleh sekelompok muda mudi yang berkumpul di sebuah tempat yang jauh dari desa.[1] Kata mo bisa diartikan sebagai tempat terbuka atau bukit.[1] Pesta diisi dengan kegiatan bersukacita seperti menari dan menyanyi serta menjadi ajang mereka untuk mencari pasangan. Penulis George Feifer dalam bukunya "Battle of Okinawa: The Blood and the Bomb", mengartikan mo ashibi sebagai "bersenang-senang di ladang sambil menyanyi, menari, dan saling menggoda".[3] Pesta ini sekarang sudah tidak diselenggarakan lagi semenjak Perang Dunia ke-2 (1945).
Pesta mo ashibi dianggap sebagai salah satu dari fondasi musik rakyat Okinawa. Di dalam pesta ini ditampilkan kemampuan menyanyi secara bergantian antara grup laki-laki dan perempuan (antifonal).[1] Lagu yang dinyanyikan adalah lirik yang diimprovisasi dan sering kali bertemakan hal-hal erotis. Praktik menyanyi secara antifonal merupakan bentuk "perbincangan musik", salah satu keunikan musik rakyat Kepulauan Ryukyu. Dokumen tertua yang menuliskan tentang mo ashibi adalah "Nanto Zatsuwa" (南島雑話 ; Kumpulan Cerita dari Kepulauan Selatan) tahun 1828 tentang suatu tradisi rakyat pulau Amami, yang ditulis sebagai kakeuta.[1]
Laki-laki dan perempuan dibagi ke dalam dua kelompok, duduk saling berhadapan dalam jarak yang tidak jauh. Mereka menyanyi diiringi petikan shamisen (sanshin), bertepuk tangan atau menepukkan tangan ke kaki mereka pada saat menyanyi. Lagu-lagu sering kali diimprovisasi di tempat, penyanyi yang menciptakan lirik yang terbagus dianggap sebagai pemenang, yang lidahnya kelu kalah.
Walau dokumen itu tak menyinggung tentang hal-hal erotis atau seks, tetapi pesta mo ashibi dianggap berkaitan dengan aktivitas seks muda mudi.[1] Hal ini umum di seluruh Kepulauan Ryukyu. Menurut laporan pemerintah Jepang tahun 1894, banyak pernikahan di Okinawa ditentukan lewat mo ashibi. Hal ini diterima oleh pihak orang tua masing-masing pasangan.[1]
Kaitan dengan budaya Jepang dan daratan Asia
Menurut sejarawan dan penulis asal Jepang, tradisi serupa juga terdapat di wilayah lain di Asia Timur, contohnya pada masyarakat Suku Dong di Guizhou, Tiongkok. Beberapa penulis mengaitkan adanya hubungan tradisi mo ashibi dengan tradisi kuno Jepang yang bernama utagaki atau kagai. Referensi mengenai Utagaki ditemukan dalam koleksi puisi-puisi kuno di Kojiki, Manyoshu dan Kokin waka shu.[1] Pada masa lalu, dalam masyarakat agraris, aktivitas seksual dipandang sebagai bagian dari ritual kesuburan.[4] Utagaki adalah tradisi kuno Jepang kira-kira pada Periode Nara (710-784) dimana warga desa di provinsi-provinsi di sebelah timur menyanyi menari dan membaca puisi sebagai bagian dari ritual panen dan kesuburan, umumnya diikuti dengan aktivitas seks bebas.[4]
Menurut penulis Jepang, Roo Takenaka (1901-1990) yang meneliti tentang musik Okinawa, tradisi menyanyi lagu-lagu yang dibumbui erotisisme telah lenyap dari minyo Jepang, tetapi masih dipertahankan dalam shunka (lagu erotis) dan nasake uta (lagu percintaan) dalam kategori uta sanshin (menyanyi dengan petikan sanshin) di Kepulauan Ryukyu.[1] Ahli folklor Kuno Yanagita menuliskan bahwa mo ashibi dan musik bertema erotis dianggap sebagai tradisi rakyat jelata yang vulgar dan tidak pantas, ditolak oleh pemusik yang menjalankan aliran musik istana.[1]
Lihat juga
Referensi