Heterodoksi
Definisi dan KonsepHeterodoksi dapat mencakup berbagai bentuk penyimpangan, baik dalam aspek teologi, praktik ibadah, maupun penafsiran kitab suci. Dalam sejarah berbagai agama besar, heterodoksi kerap muncul sebagai respons terhadap perubahan sosial, politik, maupun intelektual, dan sering diposisikan sebagai tantangan terhadap otoritas keagamaan arus utama. Dalam IslamDalam sejarah Islam, berbagai aliran teologis telah dikategorikan sebagai heterodoks. Salah satu contohnya adalah Mu'tazilah, yang mengedepankan rasionalisme dan kebebasan kehendak manusia, bertentangan dengan pandangan Asy'ariyah yang lebih ortodoks dan menekankan aspek takdir. Di Indonesia, sarjana seperti Harun Nasution mendukung pendekatan rasional terhadap Islam dan membela pemikiran Mu'tazilah sebagai antitesis terhadap teologi fatalistik yang menurutnya menghambat kemajuan umat Islam.[1] Contoh lain dari heterodoksi dalam Islam Indonesia adalah ajaran mistik Siti Jenar, yang dikenal dengan konsep wahdat al-wujud atau kesatuan wujud. Pandangan ini bertentangan dengan syariat formal, dan dianggap sesat oleh otoritas resmi Kesultanan Mataram, yang akhirnya menghukum mati Siti Jenar.[2] Konteks Sosial dan PolitikHeterodoksi juga memiliki dimensi sosial dan politik. Dalam masyarakat Muslim India, misalnya, praktik keagamaan yang bercampur dengan tradisi lokal dan unsur-unsur sufisme sering dianggap heterodoks oleh kalangan ortodoks. Namun, praktik tersebut mencerminkan dinamika keberagaman dalam masyarakat Muslim.[3] Dalam FilsafatDalam bidang filsafat, istilah heterodoksi digunakan untuk menyebut pandangan yang menyimpang dari arus utama. Dalam filsafat India, misalnya, terdapat aliran-aliran seperti Jainisme dan Buddhisme yang tidak mengakui otoritas Weda, sehingga dikategorikan sebagai sistem heterodoks. Meskipun demikian, aliran-aliran ini memiliki kontribusi besar dalam pemikiran filosofis di India.[4] Lihat pulaReferensi
|