Abu Darda'
Abu Darda al-Anshari (bahasa Arab: أبو الدرداء الأنصاري) adalah sahabat Nabi Muhammad. Nama asli beliau adalah Uwaimir bin Amir, dari suku Khazraj. Ibunya bernama Mahabbah binti Qaqid bin Amru.[1] Ketika Muhammad dan kaum muslimin hijrah ke Madinah, beliau dipersaudarakan dengan Salman Al Farisi setelah Pertempuran Khandaq. Ia adalah saudagar kaya raya di Madinah. Abu Darda termasuk sahabat yang akhir masuk Islamnya, yakni setelah Perang Badar, tetapi bagus keislamannya. Ia diajak masuk Islam oleh saudaranya Abdullah bin Rawahah.[1] Nabi bersabda tentangnya, "Uwaimir adalah hakîmul ummah (seorang yang sangat bijaksana).”[2] Ketika mengenal Islam, Abu Darda memilih untuk meninggalkan itu semua dan hidup sederhana. Ia berharap agar perniagaan dan ibadah berjalan berirringan. Namun, ia tidak mampu melaksanakan hal tersebut. Ia berkata, "Aku menyatakan masuk Islam dihadapan Muhammad saat aku menjadi saudagar. Aku ingin agar ibadah dan perniagaanku dapat berjalan beriiringan, tetapi hal itu tidak berhasil. Aku pun mengabaikan perniagaan dan fokus beribadah."[3] Ia melanjutkan, "Aku tidak merasa gembira sedikitpun jika sekarang aku berjual beli dan beruntung setiap harinya tiga ratus dinar, sekalipun tokoku itu terletak di depan pintu masjid. Perlu dipahami bahwa aku tidak mengatakan kepada kalian, bahwa Allah mengharamkan jual beli. Hanya saja, secara pribadi aku lebih senang bila aku termasuk kedalam golongan orang yang perniagaan dan jual beli itu tidak melalaikan dari Dzikir kepada Allah".[3] Karena setiap orang punya kecenderungan masing-masing dalam mendekatkan diri kepada Allah. Ada orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan hartanya, ada juga yang dengan ilmunya, atau ibadahnya. [3] KeislamanPada awalnya ia adalah keturunan Yahudi di Madinah. Kemudian setelah Ia mendengarkan dakwah Nabi Muhammad, Dia memeluk Islam bersama Abdullah bin Salam yang lebih dulu. Ia pernah ditawarkan oleh Khalifah Umar bin Khattab untuk menjadi hakim di Suriah, tetapi ditolaknya. Kemudian Khalifah memintanya untuk mengajarkan Islam di Suriah. Meski ia termasuk sahabat yang akhir keislamannya, namun ia adalah ulama sahabat dan penghafal Al-Qur'an. Anas bin Malik berkata, "Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Alquran itu tidak dihafal kecuali oleh empat orang; Abu Darda, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Abu Zaid.”[4] Perjalanan Kehidupan Abu Darda'![]() Abu Darda' adalah sahabat yang memilih untuk hidup Zuhud, menjauhi dunia. Pernah suatu ketika beliau berdo'a, "Ya Allah, Aku berlindung kepadaMu dari hati yang bercabang-cabang." diatanyakan kepadanya, "Apakah maksud hati yang bercabang-cabang itu wahai Abu Darda'? ia menjawab, "Memiliki Harta disetiap lembah". [3] Ia juga menyeru kepada para sahabatnya untuk meninggalkan kemewahan Dunia. Pernah beliau mengirim surat kepada sahabatanya:[3]
Bahkan beliau menolak lamaran Yazid bin Muawiyah, Putra dari Muawiyah sekaligus khalifah kaum muslimin saat itu untuk putrinya. Namun ketika yang datang pemuda yang miskin, tetapi sholeh, beliau malah menerimanya. Orang-orang pun bingung dengan sikap Abu Darda'. Abu Darda' pun menjelaskan alasannya, "Bagaimana opini kalian nanti tentang si Abu Darda' bila putrinya telah dikelilingi para pelayan dan terpedaya oleh kemewahan istana? Dimana Letak agamanya waktu itu?". [3] Abu Darda' pernah memberikan nasihat yang luar biasa, “Seandainya seseorang lari dari rezekinya sebagaimana dia lari dari kematian, pasti rezeki tersebut tetap mendapatkannya sebagaimana kematian tetap mendapatkannya.”[4] Kisah Abu Darda dan Salman AlfarisiSalman al Farisi dipersaudarakan oleh Muhammad dengan Abu Darda'. Suatu Ketika, Salman mengunjungi Abu Darda. Ia lihat Ummu Darda tampil kusut. Ia berkata, ‘Bagaimana kondisimu’? Ummu Darda menjawab, ‘Saudaramu Abu Darda itu tak butuh lagi dengan dunia’. Lalu Abu Darda datang. Ia membuatkan makanan untuk Salman. Lalu Salman mengatakan, ‘Makanlah’! Abu Darda menjawab, ‘Aku sedang berpuasa’. Salman berkata, ‘Aku tak akan makan sampai kau juga ikut makan’.[4] Abu Darda pun makan. Saat malam tiba, Abu Darda langsung bersiap untuk shalat malam. Kata Salman, ‘Tidurlah dulu’. Ia pun tidur. Beberapa saat kemudian ia bangun untuk shalat. Salman Kembali mengatakan, ‘Tidurlah’. Saat akhir malam, Salman berkata, ‘Sekarang shalatlah’. Lalu keduanya pun shalat. Setelah itu Salman berkata, ‘Sesungguhnya Rabmu memiliki hak atas dirimu. Dirimu juga memiliki hak atas dirimu sendiri. Demikian juga keluargamu memiliki hak atas dirimu. Berilah kepada setiap yang memiliki hak itu, haknya masing-masing’.[4] Kemudian Abu Darda menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia menyebutkan apa yang diucapkan Salman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengomentari, ‘Salman benar’.” (HR Bukhari)[4] Abu Darda' dan Umar bin KhattabDimasa Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra, Abu Darda' ditunjuk untuk menjadi Gubernur di Damaskus, namun ia menolaknya. Beliau lebih memilih bergabung bersama masyarakat untuk mengajarkan mereka kitabullah. Abu Darda' berkata, "Jika kamu merasa senang jika aku mendatangi mereka untuk mengajarkan Kitab Tuhan mereka dan Sunah Nabi mereka serta berdoa bersama mereka, maka aku akan pergi." Umar pun mengizinkannya pergi. [5] ![]() Suatu ketika, Umar ra datang ke Damaskus untuk mengunjungi saudaranya Abu Darda'. Umar mendorong pintu rumahnya, ternyata tak terkunci. Ia masuk ke dalam rumahnya yang gelap. Ia meraba-raba hingga tahu posisi Abu Darda. Ia sentuh bantalnya. Ternyata bantalnya adalah pelana kuda. Ia pegang selimutnya. Ternyata kain yang tipis. Umar kemudian berkomentar, “Bukankah kondisi kita sekarang lapang? Maukah kuberi bantuan”? Maksud Umar, umat Islam sekarang berkecukupan tidak seperti di awal keislaman.[4] Abu Darda menanggapi, “Ingatkah engkau sebuah hadits yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”? Umar bertanya, “Hadits yang mana”? Abu Darda menjawab,[4]
Saat Utsman bin Affan terbunuh, Abu Darda sedang bertugas sebagai hakim (qadhi) di Palestina dipimpin Wali kota Alqamah bin Hakim dan Gubernur Syams yaitu Muawiyah.[6] Semasa Khalifah Muawiyah, Abu Darda ikut terlibat dalam Penaklukkan Siprus bersama sahabat lain seperi Abu Dzar, Ubadah bin Shamid, Miqdad dan lainnya pada 649 M. Jubair berkata,"Ketika kami menawan (orang Siprus) aku melihat Abu al-Darda' menangis, dan aku berkata, 'Mengapa kamu menangis pada hari ketika Allah telah meninggikan Islam dan para pengikutnya serta merendahkan kekufuran dan para pengikutnya?' Dia menepuk bahuku dengan tangannya dan berkata, 'Betapa hinanya manusia di hadapan Allah ketika mereka mengabaikan perintah-perintah-Nya. Di sini ada sebuah bangsa yang kuat (Romawi), yang mendominasi (rakyat) kita dan memiliki kekuasaan kerajaan. Kemudian mereka mengabaikan perintah-perintah Allah, dengan demikian mereka jatuh ke dalam kondisi yang kamu lihat dan Allah menundukkan mereka dalam tawanan. Jika suatu kaum menjadi tawanan, maka Allah tidak membutuhkan mereka."[6] Kematian![]() Abu Darda radhiallahu ‘anhu wafat pada tahun 32 H / 653 M.[4] Abu Darda' dikuburkan di Kota Aleksandria, Mesir.[7] Referensi
|